Mobil terparkir di sebuah halaman rumah, seorang security segera menutup gerbang besi raksasa dan kembali lagi masuk ke sebuah pos yang berada dekat dengan gerbang besi itu.
Mang Dadang membukakan pintu untuk Tante Nita. Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Mang Dadang yang masih berdiri di ambang pintu kayu dengan ornamen ukir itu masih memikirkan hal-hal yang aneh di rumah yang baru di beli oleh majikannya itu.
"Sungguh aneh," beonya saat mengingat sebuah kotak musik yang terpampang di lemari rumah tersebut. Bulu kuduknya mulai merinding dibuatnya, sesekali dia menggosok-gosok lengannya. "Kenapa aku jadi merinding seperti ini."
"Maaanngg!!!" teriak seorang wanita dengan balutan daster dan membawa serbet.
"Astaghfirullah!" Mang Dadang tersentak kaget dan mengelus dadanya. "Doooh, Bi Inah. Kira-kira dong kalau mau ngagetin orang! Gimana kalau nanti Mamang kena serangan jantung terus kejang-kejang?! Bi Inah mau tanggung jawab?" seru Mang Dadang masih memegang dadanya yang masih tak beraturan degupannya.
"Ya mangap eh ... maaf, Mang. Bibi gak tahu kalau Mamang sedang melamun," Bi Inah tertawa sambil menutup mulutnya. "Habis si Mamang serius amat melamunnya, emang sedang melamuni apa sih?" tanya bi Inah kepo.
"Ah, itu ... anu, Mamang merasa sangat aneh dengan rumah yang baru dibeli sama Ibu buat Non Aluna dan Non Alena. Mamang teh merasa ada sesuatu yang ganjil di rumah itu," ujar Mang Dadang.
"Si Mamang teh parno habis, mungkin hanya perasaan Mamang saja. Makanya Mang, jangan kebanyakan nonton pelem horor!" sahut Bi Inah.
"Apaan itu pelem?" tanya Mang Dadang.
"Film Mang ... film maksud Bibi teh!"
Mang Dadang langsung memasang ekspresi muka mrengut, "pelem mah itu kalau di Jawa artinya mangga!" imbuhnya.
"Udah atuh ah, hayuk masuk ke dalam!" ajak bi Inah.
Mang Dadang dan Bi Inah akhirnya masuk ke dalam rumah, akan tetapi Bu Inah masih terus berkicau ingin mendengarkan lebih jelas lagi tentang rumah itu.
***
Musim semi kembali menyapa kota Lisse, ini adalah musim semi ke enam kalinya. Pemandangan musim semi di negeri bunga tulip sangat indah. Salju mulai mencair di awal musim semi. Pada musim semi antara bulan Maret hingga Mei, berbagai jenis bunga sedang mengalami proses tumbuh dengan mekarnya berbagai macam bunga termasuk bunga tulip yang beraneka macam warnanya.
Angin sejuk berhembus menggerakkan cabang-cabang pepohonan. Semilir angin membawa suasana bahagia dan ceria menyambut kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Berbagai macam warna bunga tulip menjadi satu di sebuah taman raya di kota Lisse. Keukenhof adalah taman bunga yang terletak di antara kota Hillegom dan kota Lisse, provinsi South Holland, Belanda, tepatnya di area yang disebut sebagai Bollenstreek atau wilayah kebun bunga atau bulb growing region antara kota Amsterdam dan Den Haag.
Di taman ini terdapat tujuh macam bunga tulip, itulah kenapa Keukenhof di sebut taman tulip terbesar. Ya, taman yang selalu menjadi taman yang indah ketika musim semi tiba. Keukenhof yang berarti kebun dapur ini terdapat tujuh juta kuntum bunga yang ditanam setahun sekali di taman Keukenhof tersebut.
Kupu-kupu yang berterbangan di taman tersebut dan kicauan burung-burung yang bersautan bertengger di dahan pohon, seolah mereka sedang memperdebatkan sesuatu yang hanya di pahami oleh mereka dan sejenisnya.
Sayup-sayup terdengar sebuah alunan musik yang dihasilkan oleh sebuah biola. Ada seorang anak kecil yang duduk memainkan biolanya di tengah-tengah warna-warni bunga tulip.
Bagas dan Revan yang baru saja sampai di taman tersebut segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman. Kedua laki-laki tersebut nampak menggendong tas punggung, di balut dengan setelan casual.
"Mereka di mana?" celetuk Bagas, masih menyebarkan pandangannya. "Kau yakin mereka berdua sudah berada di taman ini?" tanyanya pada Revan.
Revan yang tengah sibuk memainkan ponselnya menganggukkan kepala tanda menjawab pertanyaan dari Bagas.
"Dia tadi mengirim pesan, kalau sudah sampai 10 menit yang lalu," jawab Revan, lalu memasukan ponselnya ke saku celana setelah mengirim sebuah pesan.
"Kau mengirim pesan pada siapa?" tanyanya memicingkan matanya.
"Mister Sneijder!" jawab Revan singkat.
Bagas kembali memicingkan matanya mendengar Revan menyebut dosen killer.
"Ada apa kau mengirim pesan ke dosen Killer kita itu?" Bagas mulai kepo.
"Dia menanyakan tentang Thesisku!" jelas Revan.
"Thesis?" Bagas menoleh ke arah Revan, "bukannya kau sudah memberikannya pada mister Sneijder tiga hari yang lalu."
Revan mengangguk, "mungkin dia lupa menaruhnya."
"Gila saja kalau sampai hilang!"
"Sudahlah, thesis pikir nanti. Sekarang kita cari dulu mereka," ajak Revan.
Kedua laki-laki itu tampak berjalan menyusuri mengelilingi taman bunga. Mata mereka tampak menelusuri setiap sudut tempat itu. Taman bunga yang luasnya mencapai hingga 32 hektar menjadikannya taman bunga terbesar di dunia.
Mata kedua laki-laki itu menelitik setiap kerumunan orang-orang yang sedang berkunjung di taman tersebut.
"Mereka berdua sebenarnya di mana sih?" gerutuk Bagas, yang akhirnya dia mengeluarkan sebuah benda pipih dari dalam saku celananya.
Revan pun tengah asyik dengan benda pipihnya di tangan, sesekali matanya menyebar lagi, menengok kanan-kiri mencari dia orang gadis.
"Van, kau yakin kan mereka berdua sudah berada di taman ini?" ucap Bagas menatap Revan dengan penuh tanda tanya.
"Aku pun tidak tahu, tadi sebelum kita berangkat ke sini, Aluna mengirim sebuah pesan kalau dia sudah berada di taman!" imbuh Revan.
"Waah, jangan-jangan mereka berdua masih di asrama!" balas Bagas, masih dengan jemari tangannya yang sibuk menari-nari di atas keyboard ponselnya. "Tapi benar kan, kita janjian di taman ini?!" Bagas menatap Revan lagi, "atau jangan-jangan kita yang salah tempat." imbuh Bagas.
"Benar kok, kita janjian di tempat ini!" ujar Revan sambil mendengarkan pesan suara dari Aluna.
"Lalu di mana mereka berdua? Masa iya mereka ngerjain kita?!" dengus Bagas.
"Revaaaaannn!!!" teriak Aluna.
"Bagaaaaaasss!!!" teriak Alena.
Sebuah teriakan yang mengalun bersamaan membuat kedua cowok ganteng itu menoleh ke sebuah rumah kincir angin. Si kembar berdiri di bawah sebuah kincir angin raksasa.
"Kenapa kalian lama sekali datangnya?" rengek Alena.
"Mana aku tahu kalau kalian berada di sini!" dengus Bagas. "Aturan dong kalian bilang kalau kalian menunggu di rumah kincir angin!"
"Kau merajuk ya, Gas?!" ledek Alena pada kekasihnya yang bernama Bagas itu.
"Aku tidak merajuk, hanya kesal saja!" kata Bagas ketus.
"Sama saja itu, ah!" balas Alena.
"Sudah dong sahut-menyahutnya. Kenapa sih setiap kalian berdua bertemu selalu bertengkar?" cibir Aluna di sambut ocehan dari Revan.
"Jangankan dia!" Revan menunjuk Bagas dan Alena, "kau pun sama saja, kok!" sambung Revan tertawa lagi.
"Ih, jangan sekali kau ini!" Aluna melempar topinya kearah Revan.
Revan menangkap topi yang di lempar oleh Aluna. "Sudah cukup bercandanya!"
"Terus setelah ini, kita mau ngapain?" tanya Bagas linglung.
"Nah iya, kita mau kemana?" sambung Revan.
"Oh, aku lupa mau kasih tahu pada kalian, kalau besok kita sudah balik ke Indonesia."
"Balik? Maksudmu pulang?" Revan menatap Aluna. Si kembar langsung menyambut pertanyaan Revan dengan anggukan.
"Kita telat selangkah dari mereka, Van!" seru Bagas.
"Nanti pun setelah kalian wisuda, kalian juga akan pulang ke Indonesia!" sahut Alena.
"Jadi kalian ninggalin kita berdua disini? Jangan salahkan kita kalau kita nanti menikung!" canda Revan.
"Kalau kalian mau sih, kita tidak apa-apa ya, Lun!" jawab Alena santai.
"He'em, benar kata Alena. Kita mah gak maksa ya. Kalau kalian mau nikung silahkan!" canda Aluna.
"Konsekuennya, kita pecat jadi pacar kita!" celetuk Alena di barengi dengan gelak tawanya dan di sambut gelak tawa dari mereka bertiga.
Begitulah candaan mereka jika sedang berkumpul. Candaan yang selalu membuat mereka tertawa lepas.
"Ayo kita cari makan, aku sudah lapar!" keluh Aluna bangkit dari duduknya di rerumputan dan mengibaskan celana kainnya.
"Lebih baik kita jalan-jalan sambil mencari tempat untuk makan siang!" Revan mengangkat tangan kirinya dan menatap jam tangan.
"Aku rasa sudah waktunya makan siang," Bagas berdiri lalu mengulurkan tangannya pada gadis yang masih terduduk di atas rumput.
Alena meraih uluran tangan Bagas dan Bagas dengan sigap menarik tangan Alena.
"Dankje!" ucap Alena singkat.
Ke empatnya kemudian berjalan menyusuri taman yang semakin ramai oleh pengunjung yang akan menikmati warna-warni bunga tulip. Ya, biasanya di musim semi seperti ini taman raksasa ini pun suka mengadakan festival bunga. Namun tampaknya bagi si kembar tidak akan bisa menikmati festival bunga terbesar di dunia di musim semi kali ini. Si kembar harus segera kembali ke Indonesia.
Si kembar Aluna dan Alena Prisillia yang sudah menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas tertua di Belanda, Leiden University. Sama halnya dengan Revan Atmajaya dan Bagas Herlangga, mereka sama-sama satu kampus. Namun, kali ini si kembarlah yang harus lebih dulu pulang ke Indonesia.
***
Pagi yang sangat cerah, secerah senyuman manis dari si kembar Aluna dan Alena Pricillia. Kedua gadis itu tampak tengah sibuk mengemas semua barang-barangnya. Mereka berdua menata rapi pakaian-pakaian mereka dan menatanya ke dalam koper. Terlihat begitu jelas raut bahagia terpancar dari muka Aluna dan Alena. Selesai mengemas barang-barang, mereka segera bersiap untuk berangkat menuju bandara. "Aku tidak sabar ingin segera terbang!" ujar Aluna berseri-seri. "Aku pun sama, tak sabar ingin segera sampai di Indonesia," sambung Alena. "Apa kau sudah memberitahu pada Tante Nita, kalau kita terbang hari ini?" tanya Aluna. Alena menggelengkan kepalanya, "aku belum memberitahu Tante Nita. Aku pikir, kita beri kejutan saja pada Tant
Aluna dan Alena akhirnya sampai di rumah Tantenya, yaitu Tante Nita. Benar-benar sebuah kejutan, Pak Suhar yang notabene adalah satpam di rumah tante Nita kaget dengan kemunculan mereka berdua malam itu. "Loh ... Neng Aluna dan Neng Alena, kenapa tidak memberi kabar dulu?" pak Amir terlihat tercengang kaget. "Ssssttt! Kita sengaja Pak, mau memberi surprise!" sahut Aluna. "Apa Tante sudah tidur, Pak?" tanya Alena. "Sepertinya belum, Neng." "Kalau begitu kita-kita masuk ya, Pak!" Alena menarik kopernya, disusul Aluna. Kedua gadis itu berjalan menuju pintu utama. Saat keduanya menginjakkan kaki mereka, tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Mang Dadang. Mang Dadang terlihat terkejut. Dia hampir saja berteriak, namun si kembar langsung memberi kode. "Sssssttt!!!" Kedua gadis kembar itu menempelkan jari telunjuknya di bibirnya masing-masing. Mang Dadang pun manggut-manggut. "Si Eneng, k
Malam terus menjalar dan bergerak mendekati tengah malam. Si kembar, Aluna dan Alena menarik kursi masing-masing, lalu disusul mang Dadang dan bi Inah yang duduk di kursinya masing-masing. Keempatnya menyantap makanan yang telah dihangatkan oleh bi Inah. Tanpa menimbulkan keberisikan keempat orang tersebut menikmatinya. "Neng Aluna dan Neng Alena apa tidak takut gemuk makan malam jam segini?" tanya mang Dadang. Aluna menatap mang Dadang penuh dengan tanda tanya, "Memangnya kenapa, Mang? Ada yang salah ya, kalau makan malam selarut ini?" imbuhnya. "Katanya, perempuan itu takut kalau makan malam sudah melewati jam 7 malam. Lah ini kan hampir jam 10, Neng." "Ah, mitos itu Mang. Buktinya berat badanku segini terus dari dulu," jelas Alena, disetujui oleh Aluna. "Setuju aku, dari dulu berat badanku gak baik-baik, Mang. Ada yang punya resepnya tidak?" imbuh Aluna.
Aluna dan Alena nampak sangat senang, ketika mengetahui jika sang Tante memberikan sebuah hadiah berupa rumah untuk mereka tinggali. Kedua gadis kembar itu tak meminta banyak, sebelum pulang mereka memang ingin tinggal sendiri, walaupun hanya mengontrak rumah kecil-kecilan.Kedua gadis kembar itu memang sudah membicarakan ketika mereka masih berada di Belanda. Bahkan sudah curhat dengan Bagas dan Revan tentang keinginan mereka untuk mempunyai rumah sendiri. Akhirnya impian mereka menjadi nyata.Suatu saat ketika mereka berdua akan kembali ke Indonesia, mereka berdua sepakat untuk menyewa rumah kecil-kecilan untuk ditinggali. Rencananya mereka akan menggunakan tabungan mereka berdua untuk menyewa rumah, bahkan Bagas dan Revan pun setuju untuk membantu jika memang biayanya kurang. Namun ternyata, Tante Nita justru sudah membelikan sebuah rumah untuk mereka berdua. Padahal ulangtahun mereka masih beberapa hari lagi.Ketika Aluna dan Alena merasa cocok dengan
Pesawat mendarat tepat jam 9 malam. Semua penumpang keluar, termasuk Revan dan Bagas. Malam yang semakin larut saat pesawat mendarat di Bandara Seokarno-Hatta dengan selamat. Revan dan Bagas masih terduduk disebuah bangku sekedar untuk meluruskan otot-ototnya. "Perjalanan yang sangat lama membuat semua badanku pegal-pegal!" keluh Bagas. "Jangan banyak mengeluh!" Revan bangkit, lalu menatap Bagas. "Apa?" ujar Bagas balas menatap Revan dengan penuh tanya. "Kita pulang!" sahut Revan. "Pulang?" Bagas nampak terkejut. "Iya pulang. Memangnya kau mau menginap disini?" tanya Revan. "Apa kita tidak cari penginapan di sekitar Bandara dulu. Aku benar-benar butuh istirahat. Kita pulang besok pagi saja, lagian jarak dari bandara ke rumah juga lumayan jauh," rengek Bagas. Revan pun menimbang-nimbang apa yang dikatakan Bagas. Memang benar jarak d
"Pindah rumah?" seru Bagas dan Revan kompak dan saling pandang ketika dua gadis kembar itu mengutarakan maksudnya. "Tante Nita membelikan rumah untuk kalian berdua?" tanya Revan. Aluna dan Alena mengangguk, "Beliau membelikan rumah itu sebagai hadiah ulang tahun." "Lalu kapan kalian berdua akan menempati rumah tersebut?" tanya Bagas. "Rencananya lusa, kita akan menempatinya," sahut Alena. "Kalian mau ikut membantu kita untuk pindah rumah?" tanya Aluna "Pasti, kita akan membantu kalian!" respon dari Revan. "Memang sih rumahnya tidak terlalu besar, tapi lumayanlah untuk di singgahi," sahut Alena. "Yang penting kalian bisa betah tinggal dirumah tersebut," timpal Revan. "Kalian akan tinggal berdua?" tanya Bagas. "Iya, hanya kita berdua!" sahut Alena. ***
Beberapa hari si kembar tinggal di rumah barunya, mereka berdua harus membiasakan diri beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu saja, perumahan yang terbilang elit itu jika malam tiba terasa sangat sepi, berbeda dengan perumahan yang ditinggali oleh Tante Nita, jika malam tiba perumahan itu sangat ramai. Ini yang membuat heran Aluna dan Alena. Mungkin mereka terbiasa dengan keramaian, apalagi selama tinggal di Belanda, dua gadis kembar ini tinggal di lingkungan yang benar-benar ramai 24 jam. Jadi, ketika mereka pindah dan menempati rumah tersebut, mereka berdua sangat kaget dan harus berusaha beradaptasi di lingkungan baru. Hari itu, hari yang sangat cerah untuk berberes-beres rumah. Aluna dan Alena memang belum ada planing sama sekali. Sebelumnya mereka berdua memang membuat planing, setelah menempati rumah barunya, mereka akan segera mencari pekerjaan. Kedua gadis kembar itu masih sangat san
Sudah berjalan hampir sebulan si kembar menjadi penghuni rumah tersebut, dan mereka sudah mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Selama sebulan itu juga mereka berdua belum mendapatkan panggilan kerja, padahal si kembar sudah melamar di beberapa perusahaan, namun belum ada panggilan kerja sama sekali.Sama halnya dengan Revan dan Bagas yang masih menunggu panggilan kerja, namun mereka berdua menyibukkan diri mereka sendiri. Revan membantu toko buket bunga milik Pamannya, sedangkan Bagas sibuk di kedai orang tuanya.Setelah selesai kerja, mereka berdua menyempatkan diri untuk singgah di rumah si kembar. Bahkan kadang mereka datang membawa makanan beserta cemilan untuk kekasih mereka masing-masing."Wah, Mas Revan dan Mas Bagas itu tidak pernah absen ya nengokin si Eneng," ujar pak Dakir ketika mobil yang dikendarai dua pemuda itu melintasi pos satpam."Pak Dakir mau kacang rebus dan gorengan?" ta
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny
"Apakah aku juga harus membunuh orang-orang itu?" ucapnya memainkan pisau yang sedang dia pegang. "Jika tidak aku bunuh, mereka pasti akan mengetahui di mana aku menguburnya hidup-hidup," imbuhnya.Pria tersebut terlihat sangat kebingungan dan berjalan mondar-mandir di ruangannya. Memegang kepalanya dan mengurut pelipisnya. Lalu dia berteriak kencang dan mengobrak-abrik barang-barang yang ada di atas meja.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, begitulah kata pepatah. Pria berkumis itu mendadak menjadi cemas dan gelisah."Bagaimana kalau setiap malam dia selalu datang menghantuiku?" Sembari menggigit kukunya."Belum lagi hantu kepala buntung dan—dia—dia dengan suara tangisan yang menggelegar setiap malam." Pria itu mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat sangat stres.Malam kembali datang, desiran angin malam berhembus
"Orang pinter, Non?" Pernyataan Aluna membuat Mang Dadang mengerutkan alisnya. "Hmm ... kalau orang pinter sih Mamang tidak tahu, tapi kalau Nyonyah tahu.""Tante Nita?" ulang Aluna. Mang Dadang mengangguk."Tapi sepertinya beliau sedang istirahat, karena dari tadi siang ada di rumah sakit," papar Mang Dadang."Ya sudah, biar besok saja. Lagi pula aku juga capek, Mang." Aluna duduk di sofa."Mang, aku mau ngomong nih," tutur Revan."Mau ngomong apaan, Den? Kok sepertinya serius banget," lanjut Mang Dadang."Begini Mang, kita kan dari kemarin selalu dihantui oleh hantu anak-anak dan hantu wanita berbaju merah. Nah, kemarin itu kita berdua eh ... bukan ding, bukan aku tapi Aluna di datangi oleh hantu tanpa kepala," ucap Revan panjang lebar."Terus-terus." Mang Dadang terlihat kepo."Ih, apaan sih Mang." Revan kaget saat melihat Mang Dadang b
"Kamar mandi ... kamar mandi, Lun. Ada banyak darah di kamar mandi." Revan terlihat heboh sendiri."Kamar mandinya kenapa, Van? Gelap?" ledek Aluna."Bu-bukan itu, Lun. Ada darah di mana-mana." Revan menarik Aluna dan memposisikan dirinya di belakang tubuh Aluna ketika sampai di depan pintu kamar mandi. Revan mendorong tubuh Aluna pelan. "Coba kau tengok ke dalam," tunjuk Revan."Iya-iya, aku tengok. Tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti ini kan, Van," protes Aluna. Revan pun melepas pegangan tangannya.Sementara itu, Aluna menelan saliva-nya ketika tangannya terulur untuk mendorong pintu kamar mandi tersebut. Aluna menutup matanya dan mendorong pelan pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah terbuka lebar, Aluna membuka matanya sendiri. Lalu kepalanya melongok masuk ke dalam dan memeriksa seluruh isi kamar mandi. Aluna mengerutkan dahinya setelah dia masuk ke dalam kamar mandi untuk memastikannya.