Home / Thriller / THE DEAD WALK / kota yg mati

Share

kota yg mati

Author: Agung Nugraha
last update Last Updated: 2025-03-07 21:42:22

Fajar baru saja menyingsing ketika Aldric membuka matanya. Udara di dalam tempat persembunyian terasa dingin, tapi itu lebih baik daripada di luar yang penuh bahaya.

Di sudut ruangan, Lyra masih tertidur, sesekali menggerakkan tubuhnya dalam tidurnya yang gelisah. Finn juga masih terlelap di atas karpet usang.

Aldric bangkit perlahan, meraih pisaunya, lalu berjalan ke jendela kecil yang tertutup papan kayu. Dia mengintip sedikit.

Jalanan masih kosong, hanya ada mayat-mayat membusuk dan beberapa zombie yang berjalan tanpa arah. Dunia ini benar-benar sudah mati.

Dia menghela napas. Persediaan makanan mereka cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi air semakin menipis. Mereka harus keluar dan mencari suplai.

Beberapa menit kemudian, Finn terbangun, diikuti oleh Lyra yang menguap panjang.

"Apa rencananya hari ini?" tanya Lyra sambil merenggangkan tubuhnya.

Aldric menoleh. "Kita butuh air. Aku tahu tempat yang mungkin masih punya persediaan."

"Di mana?" tanya Finn, masih terlihat lelah.

"Toko swalayan di pusat kota," jawab Aldric. "Tapi kita harus bergerak cepat sebelum terlalu banyak yang berkeliaran."

Finn tampak ragu. "Apa itu aman?"

"Tidak ada tempat yang aman," kata Aldric datar. "Tapi kalau kita tetap di sini tanpa air, kita akan mati pelan-pelan."

Lyra berdiri dan meraih besi yang selalu ia bawa. "Baiklah, ayo kita pergi sebelum hari semakin siang."

Aldric mengambil ranselnya, memeriksa senjata, lalu memberi isyarat pada mereka untuk mengikuti.

Mereka keluar dari tempat persembunyian dengan hati-hati. Jalanan masih sepi, hanya suara angin yang berhembus di antara bangunan-bangunan rusak.

Saat mereka melewati tikungan, Lyra tiba-tiba menghentikan langkah.

"Ada sesuatu di depan," bisiknya.

Aldric melirik ke sudut jalan.

Benar saja.

Sekelompok zombie sedang berkumpul di depan toko kelontong yang mereka tuju. Jumlahnya sekitar enam atau tujuh.

Finn menelan ludah. "Bagaimana kita bisa masuk?"

Aldric berpikir sejenak, lalu berkata, "Kita cari jalan belakang. Kalau beruntung, kita bisa masuk tanpa menarik perhatian mereka."

Mereka berbalik dan menyelinap melewati gang sempit. Suara langkah mereka nyaris tidak terdengar.

Tapi tiba-tiba—

*"CRAK!"*

Finn menginjak pecahan kaca.

Zombie-zombie itu langsung menoleh.

*"GRAAAHHH!"*

"Sial!" seru Aldric. "Lari!"

Mereka bertiga langsung berlari menuju pintu belakang toko, sementara zombie-zombie itu mulai mengejar mereka dengan geraman haus darah.

Pintu toko tampak terkunci.

"Kita harus dobrak!" teriak Lyra.

Tanpa berpikir panjang, Aldric menendang pintu itu sekuat tenaga.

*"BRAK!"*

Pintu terbuka, dan mereka segera masuk.

Tapi zombie-zombie itu semakin dekat.

Finn buru-buru menutup pintu dan mencari sesuatu untuk mengganjalnya. Dia menemukan rak kayu dan mendorongnya ke depan pintu.

*"DUG! DUG! DUG!"*

Zombie-zombie itu mulai menghantam pintu dengan liar.

"Kita tidak punya banyak waktu!" seru Aldric. "Cari air dan makanan secepatnya!"

Lyra dan Finn segera berpencar, mencari apa pun yang bisa mereka bawa.

Waktu mereka tidak banyak.

Dan di luar, kematian terus mengintai.

Finn bergegas menuju rak minuman dan mulai memasukkan botol-botol air ke dalam tasnya. Tangannya gemetar saat mendengar suara pukulan zombie di pintu belakang yang semakin kuat.

*"DUG! DUG! DUG!"*

"Kita harus cepat!" teriaknya.

Lyra menyusuri rak-rak kosong, mencari apa pun yang bisa berguna. Dia menemukan beberapa kaleng makanan yang masih tersegel dan segera meraihnya.

Aldric, sementara itu, mengawasi pintu dengan pisau di tangannya. Dia tahu rak kayu yang mereka dorong ke pintu itu tidak akan bertahan lama.

*"BRAK!"*

Salah satu papan kayu mulai retak.

"Ayo keluar dari sini!" seru Aldric.

Finn dan Lyra berlari ke arahnya dengan tas yang sudah penuh.

"Kemana kita keluar?" tanya Lyra, napasnya tersengal.

Aldric melirik ke belakang toko. Ada sebuah pintu lain di sisi kiri, kemungkinan menuju ke lorong penyimpanan barang.

"Kita coba lewat sana," katanya, lalu berlari lebih dulu.

Dia membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan di dalamnya gelap, hanya diterangi cahaya yang masuk dari jendela kecil di ujung ruangan. Beberapa kotak kayu berserakan di lantai, dan bau apek memenuhi udara.

Mereka bertiga masuk dan menutup pintu di belakang mereka.

"Ada jalan keluar?" tanya Finn.

Aldric berjalan perlahan, memperhatikan sekeliling. Dia melihat sebuah pintu besi di ujung lorong dengan tanda **KELUAR** di atasnya.

"Tunggu di sini," katanya, lalu berjalan mendekati pintu itu.

Tangannya meraih pegangan pintu dan mendorongnya pelan.

*"CETAK!"*

Pintu itu terkunci.

"Sial," gumamnya.

Tapi sebelum dia bisa berbuat apa-apa, suara geraman terdengar dari sudut ruangan.

*"GRAHHH!"*

Dari balik tumpukan kotak kayu, seorang zombie tiba-tiba bangkit dan berjalan terseok ke arah mereka.

Lyra terkejut dan mundur selangkah. "Aldric!"

Aldric bergerak cepat.

Dia menghunus pisaunya dan menunggu sampai zombie itu cukup dekat. Saat makhluk itu mengayunkan tangannya, Aldric menghindar dan langsung menusukkan pisaunya ke bawah dagu zombie itu.

Darah hitam menyembur saat zombie itu terhuyung, lalu ambruk.

Namun suara gaduh itu menarik perhatian.

Dari luar ruangan, zombie-zombie mulai menabrakkan diri ke dinding dan pintu.

"Kita tidak bisa terjebak di sini!" teriak Finn.

Aldric mencoba mendorong pintu besi lagi, tapi tetap terkunci. Dia melihat ke kanan dan menemukan sebuah jendela kecil, cukup besar untuk mereka lewati.

"Kita keluar lewat sini!" katanya.

Dia segera memecahkan kaca dengan gagang pisaunya, lalu membersihkan pecahannya agar mereka bisa lewat dengan aman.

"Sekarang cepat keluar!"

Finn naik lebih dulu, diikuti oleh Lyra. Aldric menunggu sampai mereka berdua di luar sebelum akhirnya ikut naik.

Begitu mereka semua berhasil keluar, mereka menemukan diri mereka berada di sebuah gang sempit di belakang toko.

Jalanan tampak sepi, tapi mereka tahu itu hanya masalah waktu sebelum zombie menemukan mereka lagi.

Aldric menatap Lyra dan Finn. "Kita harus kembali ke tempat persembunyian. Sekarang."

Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke tempat persembunyian, meninggalkan toko yang kini penuh dengan zombie mengamuk di dalamnya.

Dunia di luar semakin berbahaya.

Dan mereka tahu, ini baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • THE DEAD WALK   Dunia tanpa hukum

    Aldric, Lyra, dan Finn berjalan cepat melewati gang-gang sempit dengan napas memburu. Mereka berhasil keluar dari toko sebelum keadaan semakin buruk, tapi itu tidak berarti mereka sudah aman. Jalanan di sekitar mereka sunyi, hanya ada bangunan kosong dan kendaraan yang ditinggalkan. Namun, keheningan itu justru lebih menakutkan daripada suara zombie. "Ayo percepat langkah," kata Aldric. Finn menyesuaikan tas di punggungnya. "Menurutmu, berapa lama tempat persembunyian kita bisa tetap aman?" Aldric tidak langsung menjawab. Dia tahu bahwa tempat mereka sekarang bukan benteng yang tak bisa ditembus. Jika jumlah zombie terus bertambah, atau jika ada orang lain menemukannya, mereka harus pergi lagi. "Kita bertahan selama mungkin," jawabnya singkat. Saat mereka berbelok di sebuah tikungan, Lyra tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Ada apa?" tanya Finn. Lyra menunjuk ke depan. "Lihat itu." Mereka bertiga menoleh. Di ujung jalan, ada beberapa so

    Last Updated : 2025-03-08
  • THE DEAD WALK   Malam yg mencekam

    Langit mulai gelap saat Aldric, Lyra, dan Finn kembali ke tempat persembunyian mereka. Gudang tua yang selama ini mereka gunakan masih sunyi, tapi ada perasaan tidak nyaman yang merayapi pikiran Aldric. Dia tidak percaya dunia ini memberi mereka keberuntungan dua kali. “Kita harus cepat mengemas barang-barang,” kata Aldric sambil menutup pintu gudang dengan hati-hati. Finn langsung menuju ke tumpukan persediaan mereka di sudut ruangan. “Apa kita benar-benar harus pergi? Tempat ini sudah cukup aman.” “Untuk saat ini, iya,” kata Lyra sambil mengemasi barang-barangnya. “Tapi setelah pertemuan tadi, kita tak bisa ambil risiko.” Aldric berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar. Jalanan kosong, tapi kegelapan mulai menyelimuti kota. “Kalau kita pergi sekarang, kita harus mencari tempat lain sebelum fajar,” katanya. Finn menghela napas dan mengangkat ranselnya. “Baiklah, aku ikut saja. Tapi aku harap tempat selanjutnya punya kasur yang lebih empuk.” Aldric tersenyum tip

    Last Updated : 2025-03-09
  • THE DEAD WALK   Kota yg mati

    Udara malam terasa dingin saat Aldric, Lyra, dan Finn berjalan melewati jalanan kota yang hancur. Lampu-lampu jalanan sudah lama mati, gedung-gedung berdiri seperti kuburan raksasa yang ditinggalkan manusia. Finn menggigil dan memeluk dirinya sendiri. “Aku benci malam. Terasa seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut.” Lyra tetap waspada, matanya meneliti setiap bayangan. “Karena memang ada sesuatu yang mengintai.” Aldric berjalan di depan, menggenggam pisaunya erat. Instingnya mengatakan mereka belum sepenuhnya aman. Mereka harus menemukan tempat berlindung sebelum fajar. Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari kejauhan. Mereka bertiga berhenti. Finn menelan ludah. “Itu…” Aldric mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Dari kegelapan, sosok-sosok bergerak lambat. Zombie. Banyak. Mereka berjalan terseok-seok, mata kosong mereka bersinar samar di bawah cahaya bulan. Finn berbisik, “Sial… kita harus putar balik?” Aldric melihat seke

    Last Updated : 2025-03-10
  • THE DEAD WALK   cahaya di tengah kegelapan

    Aldric berdiri di tepi atap, matanya mengamati kota yang sepi di bawah. Jalanan dipenuhi mobil-mobil terbengkalai, beberapa di antaranya masih menyisakan jejak darah yang sudah mengering. Di kejauhan, terdengar geraman samar. Zombie masih berkeliaran, mencari mangsa. Finn duduk bersandar di tembok, napasnya masih tersengal. “Kita nggak bisa terus kayak gini, Aldric. Kita harus cari tempat yang lebih aman.” Lyra mengangguk. “Aku setuju. Kita butuh makanan, air, dan tempat berlindung yang lebih layak.” Aldric menarik napas dalam. Mereka tidak bisa tinggal di sini selamanya. Dia menoleh ke kiri, dan matanya menangkap sesuatu yang menarik. Di kejauhan, ada sebuah gedung dengan lampu yang menyala. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Lihat itu,” katanya, menunjuk ke arah gedung bercahaya itu. Finn menyipitkan mata. “Apa itu? Ada orang di sana?” Lyra juga ikut melihat. “Mungkin… atau mungkin itu jebakan.” Aldric mengerti kekhawatiran Lyra. Di dunia seperti ini, manusia

    Last Updated : 2025-03-11
  • THE DEAD WALK   Wilayah yg di jaga

    Aldric berdiri diam, tangannya perlahan terangkat. Finn dan Lyra melakukan hal yang sama. Pria bersenjata di atas gedung masih menodongkan senapannya ke arah mereka. Wajahnya tertutup syal hitam, hanya matanya yang terlihat tajam, penuh kewaspadaan. “Kalian siapa?” suara pria itu terdengar dalam dan tegas. Aldric menelan ludah. “Kami hanya lewat.” “Jangan bohong,” pria itu mempererat genggaman pada senjatanya. “Kalian jalan ke sini dengan sengaja. Kalian mau apa?” Lyra melirik Aldric, berharap ada solusi. Aldric tetap tenang. “Kami butuh tempat berlindung. Kami lihat ada cahaya di gedung ini. Kami pikir ada orang di sini.” Pria itu menatap mereka lama, lalu melirik ke belakang, seperti sedang memastikan sesuatu. “Kalian bawa senjata?” tanyanya. Aldric ragu. Mengatakan tidak mungkin akan membuat mereka terlihat lemah, tapi jika mengakuinya, pria ini mungkin akan men

    Last Updated : 2025-03-12
  • THE DEAD WALK   Peraturan yg berlaku

    Aldric, Finn, dan Lyra berdiri di hadapan Robert, pria tua yang memimpin tempat ini. Suasana hening sesaat sebelum Robert kembali berbicara. “Kalian boleh tinggal, tapi ada aturan yang harus kalian ikuti.” Aldric menyilangkan tangan di dadanya. “Aturan seperti apa?” Robert tersenyum kecil, lalu menoleh ke wanita berambut dikepang. “Tunjukkan mereka.” Wanita itu melangkah ke meja kayu di sudut ruangan, mengambil sebuah buku catatan lusuh, lalu menyerahkannya pada Aldric. Aldric membuka halaman pertama dan membaca tulisan yang tertera di sana: **Aturan Komunitas Haven** 1. Setiap orang harus bekerja. Tidak ada pengecualian. 2. Tidak ada pencurian, perkelahian, atau pengkhianatan. Hukuman adalah pengusiran. 3. Makanan dan persediaan dibagi rata sesuai kebutuhan, bukan keinginan. 4. Tidak ada keputusan individu yang membahayakan komunitas. 5. Jika ada ancaman dari luar, s

    Last Updated : 2025-03-13
  • THE DEAD WALK   RAHASIA DI BALIK HEAVEN

    Pagi itu, Aldric terbangun lebih awal dari biasanya. Langit di luar masih berwarna abu-abu, matahari bahkan belum sepenuhnya terbit. Dia duduk di kasur tipis yang mereka gunakan semalaman, memijat pelipisnya. Tidurnya tidak nyenyak. Bukan karena tempat ini tidak nyaman, tetapi karena pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Haven memang terlihat seperti tempat perlindungan yang ideal, tapi sesuatu terasa tidak beres. Aldric berdiri dan berjalan ke dekat ventilasi kecil di sudut kamar. Dari celah itu, dia bisa melihat ke area luar gedung supermarket. Beberapa orang sudah berkumpul. Mereka membawa kantong-kantong hitam besar, sama seperti yang dia lihat semalam. “Ini aneh…” gumamnya. Di belakangnya, Finn menggeliat dan membuka mata. “Kau bicara apa, Aldric?” Aldric tidak menjawab. Matanya masih tertuju pada orang-orang di luar sana. Finn duduk dan mengusap wajahnya. “Jangan bilang kau masih

    Last Updated : 2025-03-15
  • THE DEAD WALK   MISTERI YG TERSEMBUNYI

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aldric, Lyra, dan Finn tidak bisa tidur dengan tenang. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi di Haven? Apa yang mereka sembunyikan? Aldric berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit ruangan. Ia yakin seseorang mengawasi mereka tadi. Finn, yang tidur di sebelahnya, berbisik, “Aku gak nyaman, bro. Serius. Tempat ini makin aneh.” Lyra ikut berbisik, “Aku juga merasa begitu. Ada sesuatu yang salah di sini.” Aldric duduk perlahan. “Kita harus mulai penyelidikan kita sekarang. Kalau kita tunda, bisa saja besok kita sudah tidak punya kesempatan lagi.” Finn mengangkat alis. “Maksudmu?” Aldric menatapnya serius. “Aku punya firasat buruk. Bisa saja mereka sedang menguji kita. Kalau mereka tahu kita curiga, kita bisa ‘dihilangkan’.” Finn menelan ludah. “Oke, sekarang aku makin takut.” L

    Last Updated : 2025-03-17

Latest chapter

  • THE DEAD WALK   Markas yg terlambat di selamatkan

    Pagi di luar sana tidak lagi berarti sinar matahari yang hangat. Di dunia yang telah dilahap kehancuran, pagi hanyalah tanda waktu yang terus berjalan, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Mereka tiba di markas cadangan: sebuah bunker militer tua di bawah reruntuhan kota Althea. Dindingnya dari baja tebal, beberapa lorong masih aktif dengan lampu darurat yang berkedip pelan. Semuanya tampak… terlalu tenang.“Gue nggak suka suasananya,” gumam Jonas, tangan tak pernah jauh dari senjatanya.Kaela mengetik kode pada panel keamanan. Pintu terbuka, memperlihatkan koridor dalam bunker yang panjang dan remang. Mereka masuk satu per satu, langkah pelan, hati-hati, suara sepatu menggema.“Menurut data lama, markas ini seharusnya masih steril. Belum ada catatan kontaminasi,” ujar Rhea, menatap peta digital di tangannya.“Seharusnya,” ulang Elio lirih. “Tapi kita udah tahu, ‘seharusnya’ sering nggak berlaku lagi sekarang.”Merek

  • THE DEAD WALK   Mutasi kedua

    Langit pagi di luar reruntuhan kota gelap seperti menjelang badai, padahal belum genap pukul delapan. Awan menggulung pekat, seperti menyimpan sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekadar hujan.Elara menatap ke belakang. Asap dari laboratorium tua masih menjulang tinggi, tapi tak ada lagi ledakan, tak ada lagi cahaya.“Dia benar-benar mengorbankan diri,” gumamnya pelan.Jonas, dengan chip Alpha-3 kini disimpan dalam tabung khusus di ranselnya, mengangguk sambil mengecek senjatanya. “Dan dia percaya sama kita. Jadi kita gak boleh nyia-nyiain itu.”Mereka tak bisa kembali ke markas lama—jalanannya tertutup reruntuhan dan zombie mulai bermunculan dari bawah tanah. Mereka menuju timur, ke satu-satunya tempat yang mungkin bisa membaca data di chip: *Stasiun Eden-9.*Kaela mempercepat langkahnya. “Kalau mutasi kedua itu beneran muncul... kita harus buru-buru. Virus tipe pertama aja udah kayak neraka. Gimana yang kedua?”“Mutasi yang

  • THE DEAD WALK   Rahasia hidup

    Langkah kaki mereka bergema di lorong bawah tanah yang berliku dan gelap. Hanya lampu dari senter kecil dan pantulan cahaya dari lensa kacamata milik tim LUX yang jadi satu-satunya penerang.Elara terus berjalan di samping perempuan berambut merah itu—yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Kaela, mantan ahli biokimia dari LUX Corporation sebelum dunia runtuh."Aku tahu nama LUX udah kayak mitos sekarang," kata Kaela. "Tapi dulu, kami bukan hanya korporasi. Kami yang memetakan ulang DNA manusia... dan virus.""Jadi kalian yang nyiptain virus ini?" Dima memotong tajam.Kaela menatap ke depan. "Tidak. Kami yang menemukan... dan berusaha menghancurkannya. Tapi orang-orang di atas kami—para elite—mereka punya rencana lain."Jonas mencibir. "Rencana yang bikin dunia kayak neraka gini?"Kaela menoleh pelan. "Bukan cuma dunia. Mereka ingin menciptakan spesies baru. Manusia 2.0. Tapi gagal total."Langit-langit lorong berge

  • THE DEAD WALK   Evolusi gelap

    Malam itu seperti mimpi buruk yang hidup. Elara menginjak pedal gas sekuat tenaga, membuat mobil melaju kencang menabrak apapun yang menghalangi. Sosok-sosok aneh berlarian di sekitar mereka—bukan zombie biasa, lebih gesit, lebih lincah… dan lebih pintar.“Gue nggak ngerti,” kata Jonas sambil menarik napas terengah-engah, matanya menatap ke luar jendela. “Sejak kapan zombie bisa kayak gitu? Kayak… nunggu, ngintai, terus nyerbu bareng-bareng?”“Mereka bukan zombie biasa,” gumam Elio pelan, wajahnya masih pucat. “Itu… mutasi. Mereka berevolusi.”“Evolusi?” tanya Rhea.“Elio benar,” timpal Elara. “Sistem tubuh mereka pasti berubah karena paparan virus bertahun-tahun. Apalagi di atas sini, terkena sinar matahari, udara bebas, dan mungkin... bahan-bahan kimia yang nggak kita tahu. Mereka adaptasi. Mungkin ini tahap berikutnya dari infeksi.”Mobil berhenti setelah mereka merasa cukup jauh dari tempat itu. Mereka parkir di terowongan jalan tol y

  • THE DEAD WALK   DI LUHUR TANEH

    Lift berderak pelan, naik melewati lantai-lantai kosong yang gelap. Lampu merah masih berkedip, menciptakan bayangan panjang di dinding lift. Tak ada yang berbicara. Napas mereka tenang tapi tegang, seperti menunggu sesuatu yang tak bisa diprediksi.Saat suara *ding* terdengar—tanda bahwa lift telah sampai di tujuan—mereka semua serempak mengangkat senjata.Pintu terbuka.Dan yang mereka lihat... bukan kehancuran.Melainkan langit.Langit sore yang memerah, dilapisi awan tebal berwarna jingga kelabu. Di depan mereka terbentang jalanan utama kota yang dulu padat. Kini, jalan itu lengang, dipenuhi reruntuhan gedung, mobil-mobil terbengkalai, dan tumbuhan liar yang mulai merambat di trotoar.“Ini... kota?” bisik Rhea nyaris tak percaya.“Lebih kayak hutan beton yang ditelan waktu,” gumam Elio.Mereka melangkah keluar, waspada. Suara langkah mereka menggema di antara bangunan tinggi yang sunyi. Udara dingin, menusuk

  • THE DEAD WALK   KOTA PAEH

    Langkah mereka cepat menyusuri lorong bawah tanah yang dingin dan lembap. Setiap dinding penuh dengan retakan dan lumut, aroma besi tua dan debu memenuhi udara. Elara berjalan paling depan tanpa ragu, seolah dia tahu ke mana harus pergi, padahal selama ini dia tertidur dalam kapsul kaca.“Gue masih nggak ngerti,” bisik Jonas ke Rhea. “Gimana anak sekecil itu bisa bikin orang dewasa mental ke dinding.”Rhea menatap punggung Elara. “Dia bukan anak kecil biasa, Jon. Dan kalau Kern nggak bohong, dia... semacam kunci.”Elio mengikuti mereka sambil terus menengok ke belakang. Derap kaki zombie makin lama makin dekat. Di kejauhan, jeritan dan geraman terdengar mengerikan, seperti orkestra kematian yang tak sabar memburu mangsanya.“Lurus terus. Ada akses menuju permukaan lewat ruang kontrol stasiun,” kata Elara tanpa menoleh.“Kamu yakin?” tanya Dima, agak terengah.Elara hanya mengangguk.Begitu mereka sampai di ruang kontrol, Elio cepat-cepat menutup pintu baja dan menguncinya. Mereka semu

  • THE DEAD WALK   SUARA DARI BAWAH TANAH

    Langkah kaki mereka bergema di lorong spiral yang makin menurun dan menurun, seakan tak ada ujung. Udara makin lembap. Bau besi karat dan sesuatu yang amis memenuhi hidung mereka.Jonas terbatuk pelan, “Gue ngerasa kita gak jalan ke bawah... tapi makin dalam ke neraka.”Rhea mengangguk, “Kayaknya ini bukan fasilitas biasa. Ini... bunker. Atau mungkin tempat percobaan utama mereka.”Elio tetap diam, fokus pada suara-suara samar yang makin jelas—seperti geraman... tapi juga isakan.Begitu mereka sampai di dasar lorong, terbuka satu pintu logam besar. Di baliknya, sebuah ruangan luas menyambut mereka. Dinding dipenuhi kabel-kabel besar yang menjalar ke pusat ruangan, tempat sebuah kapsul kaca berdiri.Isinya: seorang anak perempuan.Sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Terlihat seperti sedang tidur, rambutnya pirang kusut, tubuhnya kurus tapi tak tampak terluka. Di dadanya menempel alat seperti detektor denyut jantung—tapi

  • THE DEAD WALK   Mata dalam bayangan

    Malam begitu sunyi. Hanya desiran angin dan sesekali suara geraman jauh dari reruntuhan yang jadi pengingat kalau dunia ini belum sepenuhnya mati. Empat sosok berjongkok di balik bangkai mobil berkarat, mengamati bangunan besar di kejauhan.Markas Sektor X.Terlihat seperti pabrik tua dari luar, tapi dindingnya bersih, terawat. Penerangan di sekitar nyaris nihil, hanya beberapa kilatan lampu infrared kecil yang hanya bisa dilihat lewat kacamata khusus.Rhea menarik napas pelan. “Jalan masuknya ada di sisi barat. Tapi butuh kode.”Jonas mengangguk. “Kalau kita gak bisa buka, kita masuk lewat atas.”Dima mengeluarkan alat pembobol elektronik dari tasnya. “Gue coba crack dulu. Kasih gue waktu dua menit.”Elio berjaga di belakang, matanya awas. Tapi tiba-tiba ia berbisik melalui radio kecil, “Ada gerakan. Dari utara. Satu orang. Sendirian.”Semua diam.Dari kegelapan, muncul siluet seseorang berjalan terta

  • THE DEAD WALK   sextor x

    Langkah kaki itu makin jelas. Teratur. Menggema. Bukan seperti zombie yang terseret lemas, tapi ritmis… terlatih.Grayson langsung berseru, “SEMUA SIAP TEMPUR!”Penjaga yang tadinya menodong ke arah Maya, kini membalikkan arah. Senapan-senapan diangkat. Nafas mereka terengah tapi mantap. Rhea berdiri di sisi tubuh Maya yang membujur kaku, wajahnya dipenuhi amarah dan luka yang belum sempat sembuh.Dan dari balik kabut, mereka muncul.Belasan sosok berpakaian hitam. Lengkap dengan rompi taktis dan helm transparan yang menampakkan wajah-wajah mereka. Tapi aneh—mata mereka kosong, pupilnya nyaris tak terlihat. Kulit pucat. Tubuh-tubuh mereka berdiri dengan keangkuhan tak manusiawi.“Sektor X,” bisik Elio dari atas menara. “Gue pikir itu cuma rumor...”Mereka tidak berteriak. Tidak bergerak acak. Tidak mengaum seperti zombie.Mereka hanya... berdiri. Memandang ke arah barisan pertahanan Benteng Timur.Lalu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status