Kabut tipis bergulung di atas puing-puing Horizon Camp yang setengah hancur. Bau darah, mesiu, dan debu bercampur jadi satu. Meski berhasil menahan serangan malam itu, semua orang tahu itu hanya permulaan.Kaela berdiri di atas tumpukan puing, matanya memandang jauh ke arah timur, ke arah di mana The Core tersembunyi. Elio mendekat, membawa sekantong kecil peralatan yang mereka butuhkan."Kita berangkat sekarang?" tanya Elio, suaranya serak karena kelelahan.Kaela mengangguk. "Semakin lama kita menunggu, semakin kuat mereka."Arden bergabung bersama mereka, wajahnya kaku. “Orang-orangku sudah siap. Tapi sekali kita masuk ke wilayah The Core, jangan harap ada jalan pulang. Ini misi sekali jalan.”Tak ada yang menjawab. Mereka semua tahu. Ini bukan tentang bertahan hidup lagi. Ini soal mengakhiri semuanya.***Perjalanan menuju The Core adalah neraka itu sendiri. Mereka melintasi kota-kota mati, jalanan yang dipenuhi bangkai kendaraan berkarat, dan reruntuhan gedung-gedung tinggi yang s
Lorong di depan mereka semakin sempit dan gelap. Dinding logamnya berubah menjadi batu kasar, seolah mereka sedang menuruni sebuah gua tua yang dipaksa beradaptasi dengan teknologi.Suara-suara aneh mulai terdengar. Bukan gemerisik zombie, bukan juga langkah kaki manusia. Tapi suara napas berat, geraman rendah, dan... sesuatu seperti bisikan."Ada yang dengar itu?" bisik Kaela, tangannya merapat pada pistol.Elio mengangguk, wajahnya menegang. "Apa pun itu, aku rasa mereka tahu kita di sini."Mereka mempercepat langkah, tapi tetap berhati-hati. Setiap sudut bisa jadi perangkap.Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan besar. Di tengahnya, berdiri sebuah mesin raksasa berwarna hitam pekat, berdenyut perlahan seperti jantung hidup. Kabel-kabel tebal menjulur keluar dari mesin itu, menancap ke tanah dan dinding sekitarnya."The Core," gumam Arden, setengah tak percaya.Mesin itu... terasa hidup. Setiap denyutnya menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.Tapi sebelum mereka bisa mende
Matahari mulai merangkak naik di balik reruntuhan kota, menciptakan semburat oranye yang membakar langit. Di tengah tumpukan debu dan puing-puing, Kaela, Arden, dan Elio berjalan perlahan, tertatih-tatih menjauh dari tempat ledakan. Mereka kelelahan, tapi napas mereka masih ada. Itu saja sudah cukup untuk hari ini."Aku nggak percaya kita masih hidup," gumam Elio sambil memegang sisi rusuknya yang memar."Ya... keajaiban kecil di dunia kiamat," balas Arden, setengah tertawa, setengah batuk.Kaela hanya diam. Matanya menatap lurus ke depan, seolah belum sepenuhnya bisa mempercayai apa yang baru saja mereka lewati. Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya, tapi juga karena beban emosional yang tak terlihat.Mereka sampai di sebuah bekas stasiun kereta bawah tanah yang setengah runtuh. Tempat itu cukup aman untuk beristirahat sementara.Setelah memastikan tidak ada makhluk atau ancaman lain di sekita
Langit mendung, seolah tahu bahwa dunia sudah tidak sama lagi. Jalanan kosong, tak ada suara klakson, tak ada suara orang-orang mengobrol, hanya angin yang berbisik di antara bangunan yang mulai ditinggalkan. Aldric berjalan perlahan di tengah kota yang sekarang lebih mirip kuburan raksasa. Mobil-mobil terbengkalai di jalanan, sebagian masih menyisakan bekas darah yang sudah mengering. Mayat-mayat tergeletak di trotoar, sebagian hancur, sebagian lagi masih utuh, seakan tertidur selamanya. Dulu, dia tidak pernah membayangkan hidup di dunia seperti ini. Dunia tempat manusia lebih takut pada sesamanya daripada pada kematian itu sendiri. Ia merapatkan jaketnya dan meraih pisau berburu yang terselip di ikat pinggangnya. Setiap langkahnya harus hati-hati. Salah sedikit, nyawanya bisa melayang. Tiba-tiba, ada suara dari belakang sebuah mobil yang terguling. *"Kraak... kraak..."*
Perempuan itu masih berdiri di tempatnya, matanya menatap Aldric penuh kewaspadaan. Tangannya tetap menggenggam erat besi panjang yang bisa saja ia gunakan untuk menyerang. Aldric paham. Di dunia yang sudah hancur seperti ini, tidak ada yang bisa langsung percaya pada orang asing. "Aku Aldric," ucapnya, berusaha membuat nada suaranya tetap tenang. Perempuan itu tidak segera merespons. Napasnya masih berat, seakan menahan diri untuk tidak langsung melarikan diri atau menyerangnya. "Kalau kamu mau membunuhku, kamu pasti sudah melakukannya," katanya akhirnya. Aldric mengangguk. "Aku cuma cari tempat berlindung. Bukan musuhmu." Perempuan itu mengendurkan sedikit genggamannya pada besi di tangannya, tapi masih tetap berjaga-jaga. "Namaku Lyra," katanya lirih. Aldric mengamati Lyra lebih jelas sekarang. Bajunya kotor dan robek di beberapa bagian. Ada bekas luka di lengannya, tapi tampaknya bukan gigitan zombie. Rambutnya berantakan, dan matanya penuh kelelahan—seperti
Langit semakin gelap ketika Aldric dan Lyra menyusuri jalan-jalan yang sepi. Kota yang dulu ramai kini hanya berisi bangunan hancur, kendaraan terbengkalai, dan mayat-mayat yang membusuk di pinggir jalan. Mereka berjalan dengan hati-hati, menghindari zombie yang berkeliaran di kejauhan. "Tempatmu jauh?" tanya Lyra, suaranya pelan. Aldric menggeleng. "Tidak terlalu. Hanya perlu melewati dua blok lagi." Lyra mengangguk. Dia terus berjalan di samping Aldric, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Tiba-tiba, mereka mendengar suara aneh dari sebuah gang kecil di sebelah kanan. *"Grrhh..."* Lyra langsung meraih besi yang tadi ia gunakan sebagai senjata. Aldric juga bersiap dengan pisaunya. Dari dalam gang, muncul seorang pria. Bajunya compang-camping, wajahnya penuh luka. Bukan zombie. Pria itu masih hidup. "Tolong..." suaranya serak. "Jangan... bunuh aku..." Aldric menatapnya tajam. "Kau sendirian?" Pria itu m
Fajar baru saja menyingsing ketika Aldric membuka matanya. Udara di dalam tempat persembunyian terasa dingin, tapi itu lebih baik daripada di luar yang penuh bahaya. Di sudut ruangan, Lyra masih tertidur, sesekali menggerakkan tubuhnya dalam tidurnya yang gelisah. Finn juga masih terlelap di atas karpet usang. Aldric bangkit perlahan, meraih pisaunya, lalu berjalan ke jendela kecil yang tertutup papan kayu. Dia mengintip sedikit. Jalanan masih kosong, hanya ada mayat-mayat membusuk dan beberapa zombie yang berjalan tanpa arah. Dunia ini benar-benar sudah mati. Dia menghela napas. Persediaan makanan mereka cukup untuk beberapa hari ke depan, tapi air semakin menipis. Mereka harus keluar dan mencari suplai. Beberapa menit kemudian, Finn terbangun, diikuti oleh Lyra yang menguap panjang. "Apa rencananya hari ini?" tanya Lyra sambil merenggangkan tubuhnya. Aldric menoleh. "Kita butuh air. Aku tahu tempat yang mungkin masih punya persediaan." "Di mana?" tanya Finn, masih te
Aldric, Lyra, dan Finn berjalan cepat melewati gang-gang sempit dengan napas memburu. Mereka berhasil keluar dari toko sebelum keadaan semakin buruk, tapi itu tidak berarti mereka sudah aman. Jalanan di sekitar mereka sunyi, hanya ada bangunan kosong dan kendaraan yang ditinggalkan. Namun, keheningan itu justru lebih menakutkan daripada suara zombie. "Ayo percepat langkah," kata Aldric. Finn menyesuaikan tas di punggungnya. "Menurutmu, berapa lama tempat persembunyian kita bisa tetap aman?" Aldric tidak langsung menjawab. Dia tahu bahwa tempat mereka sekarang bukan benteng yang tak bisa ditembus. Jika jumlah zombie terus bertambah, atau jika ada orang lain menemukannya, mereka harus pergi lagi. "Kita bertahan selama mungkin," jawabnya singkat. Saat mereka berbelok di sebuah tikungan, Lyra tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Ada apa?" tanya Finn. Lyra menunjuk ke depan. "Lihat itu." Mereka bertiga menoleh. Di ujung jalan, ada beberapa so
Matahari mulai merangkak naik di balik reruntuhan kota, menciptakan semburat oranye yang membakar langit. Di tengah tumpukan debu dan puing-puing, Kaela, Arden, dan Elio berjalan perlahan, tertatih-tatih menjauh dari tempat ledakan. Mereka kelelahan, tapi napas mereka masih ada. Itu saja sudah cukup untuk hari ini."Aku nggak percaya kita masih hidup," gumam Elio sambil memegang sisi rusuknya yang memar."Ya... keajaiban kecil di dunia kiamat," balas Arden, setengah tertawa, setengah batuk.Kaela hanya diam. Matanya menatap lurus ke depan, seolah belum sepenuhnya bisa mempercayai apa yang baru saja mereka lewati. Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya, tapi juga karena beban emosional yang tak terlihat.Mereka sampai di sebuah bekas stasiun kereta bawah tanah yang setengah runtuh. Tempat itu cukup aman untuk beristirahat sementara.Setelah memastikan tidak ada makhluk atau ancaman lain di sekita
Lorong di depan mereka semakin sempit dan gelap. Dinding logamnya berubah menjadi batu kasar, seolah mereka sedang menuruni sebuah gua tua yang dipaksa beradaptasi dengan teknologi.Suara-suara aneh mulai terdengar. Bukan gemerisik zombie, bukan juga langkah kaki manusia. Tapi suara napas berat, geraman rendah, dan... sesuatu seperti bisikan."Ada yang dengar itu?" bisik Kaela, tangannya merapat pada pistol.Elio mengangguk, wajahnya menegang. "Apa pun itu, aku rasa mereka tahu kita di sini."Mereka mempercepat langkah, tapi tetap berhati-hati. Setiap sudut bisa jadi perangkap.Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan besar. Di tengahnya, berdiri sebuah mesin raksasa berwarna hitam pekat, berdenyut perlahan seperti jantung hidup. Kabel-kabel tebal menjulur keluar dari mesin itu, menancap ke tanah dan dinding sekitarnya."The Core," gumam Arden, setengah tak percaya.Mesin itu... terasa hidup. Setiap denyutnya menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.Tapi sebelum mereka bisa mende
Kabut tipis bergulung di atas puing-puing Horizon Camp yang setengah hancur. Bau darah, mesiu, dan debu bercampur jadi satu. Meski berhasil menahan serangan malam itu, semua orang tahu itu hanya permulaan.Kaela berdiri di atas tumpukan puing, matanya memandang jauh ke arah timur, ke arah di mana The Core tersembunyi. Elio mendekat, membawa sekantong kecil peralatan yang mereka butuhkan."Kita berangkat sekarang?" tanya Elio, suaranya serak karena kelelahan.Kaela mengangguk. "Semakin lama kita menunggu, semakin kuat mereka."Arden bergabung bersama mereka, wajahnya kaku. “Orang-orangku sudah siap. Tapi sekali kita masuk ke wilayah The Core, jangan harap ada jalan pulang. Ini misi sekali jalan.”Tak ada yang menjawab. Mereka semua tahu. Ini bukan tentang bertahan hidup lagi. Ini soal mengakhiri semuanya.***Perjalanan menuju The Core adalah neraka itu sendiri. Mereka melintasi kota-kota mati, jalanan yang dipenuhi bangkai kendaraan berkarat, dan reruntuhan gedung-gedung tinggi yang s
Langit mulai memerah saat malam mendekap Horizon Camp. Bau mesiu dan darah masih mengambang di udara. Serangan dari Z-01 dan pasukannya berhasil dipukul mundur sementara, tapi kamp itu tidak lagi sama. Dinding pagar utara jebol, dua menara penjaga runtuh, dan banyak korban jatuh—termasuk mereka yang selama ini menjadi pelindung utama.Kaela duduk di ruang strategis dengan peta besar terbentang di depannya. Wajahnya penuh luka gores dan keringat, tapi matanya tetap tajam.“Kalau mereka datang lagi, kita nggak akan sanggup nahan,” ucapnya pelan.Di sampingnya, Elio memutar frekuensi radio, mencoba menjangkau jaringan-jaringan lama.“Kelompok dari utara... mereka masih hidup, kalau sinyal ini benar,” katanya, menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar pemindai.Kaela mengangguk. “Kita nggak punya pilihan lain.”---Beberapa jam kemudian, Kaela dan Elio menaiki kendaraan tempur kecil dan meluncur keluar dari kamp. Tujuan mereka: reruntuhan Stasiun Delta—tempat terakhir kelompok utara te
Pagi itu, langit tampak lebih terang dari biasanya. Matahari seakan berusaha menyapa bumi yang perlahan mulai bernapas kembali. Di Horizon Camp, suara alat-alat berat dan tawa anak-anak kecil mulai mengisi udara yang dulu hanya diisi oleh teriakan ketakutan.Kaela duduk di depan tenda sambil mencatat nama-nama pendatang baru. Wajah-wajah baru mulai berdatangan dari berbagai arah. Beberapa datang dengan luka, beberapa dengan keluarga yang sudah tak lengkap, tapi semuanya membawa harapan.“Elio, kita butuh lebih banyak tenaga medis,” kata Kaela sambil menyerahkan daftar ke Elio yang baru saja datang dari pos depan.“Aku tahu. Tapi kalau kita tarik orang dari garis depan, siapa yang jaga perimeter?”Kaela terdiam. Dunia pasca-apokalips masih menyimpan banyak ancaman. Zombie memang sudah mulai terkontrol, tapi itu bukan akhir dari segalanya.Belum sempat mereka lanjutkan percakapan, suara alarm panjang menggema dari menara pengawas.“Ancaman mendekat dari barat! Kendaraan tak dikenal mend
Langit pagi itu seperti lembaran kain kelabu—lelah, dingin, dan hampa. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan peperangan dan kejar-kejaran dengan kematian, dunia terasa... sunyi. Bukan damai, hanya sunyi. Dan itu lebih menakutkan daripada ledakan bom.Kaela duduk di tepi reruntuhan markas pusat. Tangannya masih gemetar, bukan karena takut, tapi karena beban. Ia memandangi puing-puing menara Null yang kini jadi abu. Elio duduk di sampingnya, mencoba mengikat kembali perban di lengan kirinya yang robek.“Rasanya aneh,” kata Elio lirih. “Kita masih hidup.”Kaela mengangguk pelan. “Iya. Tapi berapa lama lagi dunia bisa tetap begini?”Tidak ada jawaban. Di kejauhan, anak-anak bermain di antara puing-puing seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka tertawa, berlarian, mencoba meniru suara laser atau tiruan zombie. Dunia memang cepat lupa... atau mungkin berusaha melupakan.Vian datang membawa dua cangkir kopi hangat. Satu dia lempar ke
Cahaya dari ledakan membuat bayangan mereka menari di antara reruntuhan. Pasukan kecil Kaela langsung bergerak dalam formasi menyebar. Di tengah hujan api dan suara derit logam yang melengking, mereka tidak lagi melawan makhluk-makhluk mengerikan dari laboratorium, tapi musuh yang lebih dingin, lebih presisi—**cyborg** hasil rekayasa Null.“Jangan sampai mereka mendekat ke tongkat!” Kaela berteriak, menebas satu cyborg dengan parang berujung arus listrik buatan Jonas.Ledakan granat asap mengaburkan pandangan, dan di sela-sela kepulan abu, Elio melompat dari puing ke puing, menembakkan peluru berlapis EMP ke arah kepala-kepala logam itu. “Mereka bisa mati, cuma lebih susah dibikin nyesel!”“Rhea, temukan jalur masuk ke menara!” teriak Kaela sambil menangkis serangan pisau plasma yang hampir menebas lehernya.“Aku butuh waktu tiga menit!” jawab Rhea sambil menekan tombol perangkat di pergelangan tangannya.“Lu punya dua!”Sementara itu, Vian memimpin dua orang lainnya ke sisi barat men
Angin pagi membawa kabut tipis ke sekitar kamp yang baru mereka rebut. Para mantan tahanan mulai membersihkan area, membakar baju-baju dan simbol milik ‘Pemurni’. Meski tubuh mereka kelelahan, mata-mata itu menyimpan cahaya baru—cahaya harapan.Di tengah-tengah kesibukan itu, Kaela duduk bersila di dekat api unggun kecil, menggenggam sisa-sisa peta yang sudah lusuh. Di sebelahnya, Vian mengunyah kacang kering dan menatap langit."Berapa hari lagi ke Zona Omega?" tanya Vian, pelan.Kaela menarik napas dalam. "Tiga hari jalan kaki. Tapi itu kalau nggak ada gangguan. Gue yakin mereka bakal ngejar.""Pemurni?"Kaela menggeleng. "Yang lebih bahaya."Mata Vian menyipit. "Kayak... zombie yang bisa lari?""Enggak. Ini lebih gila. Mereka manusia. Tapi... nggak sepenuhnya."Sebelum Vian sempat bertanya lagi, suara langkah cepat menghampiri mereka. Jonas, napasnya memburu, matanya panik."Ada yang datang dari hutan utara. Elara lihat pergerakan. Gak banyak. Tapi cepat dan senyap."Vian langsung
Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah dinding beton tua, membawa aroma lembab dan besi karat. Ruangan tempat mereka berlindung tak lebih besar dari garasi kecil, penuh dengan kabel-kabel tua dan panel kendali yang mati. Tapi untuk malam itu, tempat itu adalah surga.Elio menempelkan telinganya ke dinding. Ia mendengar suara samar—seperti langkah kaki, tapi terlalu ringan untuk zombie.Kaela menatapnya, paham tanpa perlu kata. Ia mengangkat telunjuk, memberi isyarat agar yang lain tetap diam.Tak lama kemudian, terdengar ketukan. Bukan ketukan zombie. Ketukan tiga kali, jeda, lalu dua ketukan cepat. Seperti kode.“Siapa itu?” Kaela mendekat ke pintu besi, bicara setenang mungkin.“Teman,” jawab suara laki-laki dari balik pintu. “Nama gue Vian. Sendirian. Gak bersenjata.”Semua saling berpandangan. Elara mengangguk pelan. Kaela membuka pintu dengan hati-hati, mengarahkan senjata kecil ke celahnya.Seorang pria dengan rambut awut-awutan dan pakaian yang kotor berdiri di sana.