"Cuma ini? Uang segini dapat apa? Sekarang apa-apa mahal, harga sembako naik. Token listrik baru lima hari udah bunyi, belum lagi gas dan pulsa!"
Lavanya menatap nanar ke arah Neli, ibu mertuanya yang tengah marah-marah padanya.
Lavanya baru saja memberikan uang sebanyak satu juta padanya. Ia baru menerima gaji, dan seperti biasa setiap kali habis gajian Lavanya selalu menyetorkan jatah untuk sang mertua.
Lavanya cukup tahu diri. Ia masih tinggal menumpang di rumah mertuanya.
"Maaf, Bu, adanya cuma segitu," ujar Lavanya. Ia tidak mungkin memberikan semua uang yang dimilikinya pada Neli, sedangkan Lavanya juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi.
"Bohong! Kamu kira ibu nggak tahu?!" Neli membelalak padanya. "Sini!" Wanita paruh baya itu merebut tas Lavanya yang tersampir di bahu kemudian membuka tas tersebut.
Begitu menemukan dompet Lavanya, Neli mengambil sejumlah uang di sana hingga hanya menyisakan tiga helai uang kertas berwarna merah.
"Bu, jangan, Bu. Aku juga butuh uang itu, Bu." Lavanya memohon agar Neli mengembalikan uang yang ia ambil.
Gaji yang Lavanya terima tidak seberapa karena setiap bulan dipotong untuk pembayaran kas bon di kantornya. Setiap bulan ia harus menyetor satu juta pada mertuanya, lima ratus ribu untuk suaminya, dan sisanya baru untuk dirinya sendiri dan kebutuhan Belia—anaknya. Tapi sekarang hanya disisakan tiga ratus ribu saja.
"Kenapa tidak boleh? Uang ini gunanya untuk membiayai kehidupan kita sehari-hari. Termasuk makan kamu dan anak kamu!" ucap Neli ketus.
"Aku tahu, Bu, tapi biasanya nggak sebanyak itu…."
"Ibu 'kan sudah bilang! Sekarang semua harga lagi pada naik. Uang satu juta mana cukup!" sentak Neli, ia menatap Lavanya tajam. "Dengar, Lavanya, uang ini bukan untuk Ibu sendiri tapi biaya hidup kita sekeluarga. Sedangkan kamu cuma untuk beli skincare!"
Lavanya menggeleng. Alih-alih akan membeli skincare, berbedak pun ia jarang. Kadang ia hanya memakai bedak tabur anak-anak milik Belia.
"Nih!" Neli mengembalikan tas Lavanya dengan kasar kemudian berlalu pergi dari hadapannya.
Lavanya membeku di tempat merenungi nasib yang malang. Sudah bertahun-tahun ia menanggung seluruh biaya hidup keluarga suaminya.
Bukan hanya mertua, tapi juga kakak iparnya yang janda dan memiliki dua orang anak. Sedangkan Erik—suami Lavanya—hanyalah seorang pengangguran.
Erik dipecat dari kantornya akibat sering membangkang pada atasan dan kinerjanya yang sangat buruk. Ia tidak mau bekerja lagi jika hanya menjadi karyawan biasa.
Meski ingin, tapi Lavanya tidak bisa lepas dari Erik karena sudah tidak punya keluarga. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal.
"Mama! Mama sudah pulang?" Suara Belia membuyarkan lamunan Lavanya.
Lavanya mengusap matanya yang berkaca-kaca lalu tersenyum pada anaknya yang berumur lima tahun. "Sudah, Nak."
"Ma, aku mau jajan. Minta uang ya, Ma?"
Lavanya mengiyakan lalu mengambil uang lima ribu dari dalam tasnya, kemudian memberikannya pada Belia.
"Makasih ya, Ma!" kata anak itu terlihat riang.
"Iya, Sayang, hati-hati." Lavanya membelai kepala Belia.
"Nya, kasih uang jajan untuk Yosi dan Yoga juga."
Suara itu tiba-tiba terdengar, berasal dari mulut Iris—kakak iparnya.
Lavanya terdiam. Sebenarnya ia tidak memiliki kewajiban untuk memberi uang belanja pada anak-anak Iris. Tapi kalau Lavanya menolak maka bisa dipastikan Iris akan mengadu pada Neli. Lalu mertuanya yang cerewet itu akan mengomelinya habis-habisan dan mengatainya pelit.
"Mbak, uang aku tinggal dikit. Tadi aku baru aja setor sama Ibu. Coba Mbak minta sama Ibu," kata Lavanya mencoba menolak.
"Aku tuh minta sama kamu, bukan sama Ibu! Nggak usah ngajarin aku. Jangan pelit-pelit lah. Lupa kalau di sini kamu hanya numpang?"
Lagi-lagi hal itu yang dijadikan senjata oleh keluarga Erik.
"Aku tahu, Mbak. Tapi uangku tinggal tiga ratus ribu."
"Oh gitu? Jadi kamu nggak mau?" Suara Iris meningkat beberapa oktaf.
"Bukan nggak mau, Mbak, tapi ... ya sudahlah."
Lavanya akhirnya mengalah. Ia memberikan masing-masing lima ribu rupiah untuk anak kakak iparnya.
"Yaaah, cuma lima ribu," kata anak-anak tidak tahu terima kasih itu.
"Uang Tante hanya ada segitu. Tadi Belia juga Tante kasih lima ribu kok," ujar Lavanya.
Anak-anak itu kemudian berlari pergi untuk jajan.
Iris mendengkus. "Dasar pelit!" umpatnya pada Lavanya sebelum ikut bergerak pergi.
Hati Lavanya terasa sakit. Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tetap saja semua yang ia lakukan tidak ada artinya bagi mertua dan kakak iparnya.
Lavanya kemudian masuk ke kamar dan menemukan suaminya sedang main game online. Itulah kegiatan Erik sehari-hari.
Lavanya sering menyuruh untuk mencari kerja, tapi Erik berdalih ia tidak ingin gaji yang kecil. Erik ingin langsung menjadi bos.
"Mas," panggil Lavanya.
Erik mendongak dari ponselnya lalu menengadahkan tangannya. "Mana? Kamu udah gajian, 'kan?"
Lavanya menatap Erik nanar. Kenapa semua orang di rumah ini hanya menjadikannya bagai kerbau yang membajak sawah?
"Nggak ada, Mas."
"Nggak ada gimana?" suara Erik meninggi.
"Tadi udah diambil Ibu satu juta tujuh ratus. Kalau Mas mau uang, Mas minta sama Ibu."
"Kamu yang kerja kenapa aku mintanya sama Ibu?"
Lavanya berusaha menyabarkan diri. "Ibu maksa aku buat ngasih lebih dari biasanya, Mas. Ibu merampas tas aku dan mengambil sendiri uangnya di sana."
"Jadi kamu mau menyalahkan Ibu? Wajar Ibu minta uang sama kamu. Kita 'kan masih numpang di sini."
"Makanya kita pindah aja dari sini ya, Mas? Kita ngontrak rumah atau ngekos kamar. Walau kecil nggak apa-apa."
"Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh, Nya! Aku nggak mungkin ninggalin Ibu. Aku satu-satunya lelaki dewasa di rumah ini. Aku nggak mungkin membiarkan Ibu tinggal sama Mbak Iris. Mereka itu perempuan."
Ayah Erik memang sudah tiada. Dan setiap kali Lavanya mengajak pindah, Erik selalu menjadikan itu sebagai alasan.
Lavanya meremas ujung bajunya. Lututnya terasa goyah.
Siklus ini selalu berulang. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi juga pikiran dan batinnya.
Erik menghempaskan ponselnya ke kasur lalu keluar dari kamar dengan wajah kesal. Lelaki itu sedikit membanting pintu.
Diam-diam Lavanya mengikutinya. Langkahnya tertahan ketika ia mendengar percakapan Erik dan Neli.
"Ibu beneran ambil uang 1,7 juta dari Lavanya?"
"Iya, kenapa? Istri kamu itu udah ngadu?" Neli menatap garang.
"Kenapa sebanyak itu, Bu? Biasanya 'kan cuma satu juta."
"Harga sembako pada naik. Uang satu juta udah nggak ada artinya!"
"Tapi, Bu, di sana ada uang aku juga. Minta aku lima ratus. Aku mau beli rokok."
Di detik itu Neli memandang tajam pada Erik. "Ibu 'kan udah bilang nggak cukup! Istrimu makin lama juga makin pelit. Mending kamu nikah lagi!"
Erik tertawa mendengarnya.
"Ibu nggak main-main, Rik," ucap Neli sungguh-sungguh. "Kamu masih ingat Mona anaknya Pak Eko kan? Mantan kamu dulu. Dia cantik, banyak uang dan nggak pelit kayak istrimu. Kamu kan gagah. Dia pasti mau sama kamu. Hidup kita terutama kamu akan bahagia. Nggak kayak sama si Lavanya!"
Dari balik lemari Lavanya mendengar semuanya. Hatinya bagai teriris-iris mendengar perkataan mertuanya, apalagi Erik hanya tertawa, bukannya membantah atau marah saat disuruh nikah dengan wanita lain.
**
'Jadi selama ini aku dianggap apa?'Bukankah dia seorang istri? Bukankah dia menantu di rumah ini? Tapi mengapa mereka tidak menghargainya sama sekali?Perlahan-lahan ia melangkah pergi dari balik lemari dan kembali ke kamar.Ia menemukan Belia tertidur. Mungkin perutnya sudah kenyang setelah jajan tadi.Lavanya duduk di tepi tempat tidur dengan hati yang remuk. Ia menatap wajah polos anaknya lalu membelai lembut kepalanya."Mama nggak kuat lagi, Sayang. Mama nggak tahu entah sampai kapan bisa bertahan di rumah ini," bisiknya nyaris tanpa suara dengan perasaan sedih yang mendalam.Lavanya ingin pergi dari rumah itu. Ia ingin menemukan kebahagiaannya, tapi dengan uang tiga ratus ribu, ia bisa apa?Air mata menggenang di pelupuk matanya, namun Lavanya menahan agar tidak luruh. Jika menangis bisa membuatnya bebas, Lavanya sudah melakukannya sejak bertahun-tahun yang lalu.Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Erik masuk ke dalamnya."Pergi cuci piring sana. Aku lihat udah menumpuk. Kamu nggak ma
"Bu Lavanya," panggil guru Belia, membangunkan Lavanya dari ketertegunannya.Lavanya menelan saliva. Tangannya yang menjinjing tas terasa gemetar. Ditatapnya guru Belia dengan perasaan malu sembari menyusun kata-kata di dalam hati."Iya, Bu. Saya minta maaf. Saya memang belum sempat membayarnya. Mohon diberi waktu beberapa hari lagi."Guru Belia tersenyum tipis, mencoba untuk mengerti, namun di sisi lain juga harus melaksanakan tugasnya. "Saya mengerti, Bu Lavanya, tapi pihak sekolah juga punya aturan. Kalau sampai awal bulan depan belum dibayar, pihak sekolah akan memberikan teguran resmi."Lavanya menganggukkan kepalanya. "Baik, Bu, saya janji paling lambat akhir bulan ini sudah dibayar.""Tolong diusahakan ya, Bu. Kasihan Belia kalau sampai ada kendala dalam kegiatan belajarnya."Perkataan tersebut semakin menyayat hati Lavanya. Ia tidak ingin hal buruk itu sampai terjadi. Belia pasti sedih jika pihak sekolah tidak mengizinkannya masuk. Apalagi Belia adalah anak yang rajin."Terima
"Kenalkan, ini Pak Danish, owner perusahaan kita sekaligus CEO di kantor pusat," kata Bu Ratna pada Lavanya yang mematung.Nama itu menggema di kepala Lavanya.Danish.Pria yang pernah dicintainya. Cukup lama Danish menjadi bagian dari hidupnya sampai akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan Lavanya demi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.Lalu kini Danish berada di hadapannya. Dan ini benar-benar nyata.Tatapan Danish menelisik wajah Lavanya seolah ingin meyakinkan bahwa wanita yang berada di dekatnya saat ini adalah Lavanya yang dulu ia kenal.Namun, bedanya sekarang wanita itu tampak begitu dewasa walau wajahnya terlihat lelah.Lavanya berusaha mengendalikan diri dan menyapa Danish."Selamat pagi, Pak," ucapnya sembari sedikit menundukkan badannya sebagai tanda penghormatan."Pagi." Danish menjawab dengan suara yang tenang."Ada perlu apa, Lavanya?" sela Ratna menengahi.Jantung Lavanya masih berdegup dengan kencang. Untuk sejenak ia lupa apa alasannya datang ke ruangan itu.Nam
Lavanya tampak terkejut. Ia pikir pria itu sudah pergi, ternyata masih berada di kantornya."Iya, Pak? Tentang uang tadi—""Aku nggak membahas uang, Nya," potong Danish cepat sebelum Lavanya selesai dengan perkataannya."Jadi, Bapak mau apa?""Nggak usah seformal itu ngomong sama aku, Nya. Aku masih Danish yang dulu."Mata Lavanya mengelana ke sekitar, khawatir ada orang di dekat mereka yang mendengar percakapan itu.Para rekan kerjanya pasti akan menggosip jika tahu Lavanya bicara berdua dengan Danish."Maaf, Pak, kita lagi di kantor dan saya nggak mau orang-orang salah mengartikan keberadaan Bapak di dekat saya," jawab Lavanya sopan."Memangnya mereka mau mengartikan bagaimana?"Lavanya terdiam karenanya. Ia mulai resah lantaran terlalu lama berdekatan dengan Danish.Danish tersenyum tipis melihat Lavanya yang jelas-jelas gelisah, seolah ia menikmati reaksi perempuan itu."Aku cuma mau ngajak kamu makan siang, Nya."Lavanya bertambah grogi. Ia tidak mungkin makan siang dengan Danish.
Lavanya memandang layar ponselnya tanpa berkedip. Tidak ada tanda tanya. Tidak ada basa-basi. Hanya sekadar pengenalan. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.Jari-jemari Lavanya gemetar saat hendak mengirim balasan. Namun ia kembali menghapus huruf-huruf yang telah diketiknya.Pesan itu tidak perlu dibalas. Karena mungkin Danish hanya sekadar ingin memberitahu nomornya.Handphonenya kembali berdenting. Kali ini pesan dari Nadia yang memberitahu ada meeting siang ini.Lavanya mengesahkan napas. Ia harus kembali ke kantor sekarang.Ketukan high heels Lavanya yang bertemu dengan lantai menimbulkan bunyi tersendiri.Saat ia masuk ke kantornya ia menemukan keadaan yang sunyi. Ia memang telat hampir setengah jam akibat pulang ke rumah tadi.Ia menggegas langkahnya ke ruang meeting."Maaf, saya terlambat, Pak," kata Lavanya pada Herman—atasannya.Semua mata tertuju pada Lavanya, termasuk Danish. Lavanya pikir lelaki itu sudah pergi, nyatanya masih ada di sini.Herman menatap L
"Ma, aku juga mau punya boneka kayak Oci," kata Belia malam itu."Boneka apa, Nak?" tanya Lavanya lembut."Oci beli boneka baru, Ma. Bagus deh," tunjuk Belia pada sepupunya yang sedang bermain boneka Hello Kitty berwarna pink.Lavanya hanya bisa menghela napas. Ia mengusap kepala putrinya sambil menahan sesak di dada. Ia ingin sekali membelikan boneka baru untuk Belia, tapi apa daya, untuk makan pun harus berhemat."Nanti kalau Mama punya uang kita beli ya, Nak," ucap Lavanya dengan suara setenang mungkin.Belia menganggukkan kepalanya meski kekecewaan jelas terlihat di wajahnya.Belia kemudian mengambil boneka beruangnya yang sudah kumal. Yang matanya sudah copot sebelah dan terdapat sobekan di bagian pinggang. Anak itu bermain berdua dengan sepupunya. Melihat hal itu Lavanya semakin tidak kuasa menahan perasaannya. Terlebih lagi ketika mendengar percakapan keduanya."Ih, Bel, boneka kamu jelek banget," hina Yosi."Nggak apa-apa. Walau jelek tapi ini boneka kesayanganku," jawab Belia
Pipi Lavanya terasa panas dan perih, tapi hatinya jauh lebih sakit. Napasnya tersengal, dadanya bergetar hebat, menahan tangis yang hampir pecah. Ia meminjamkan mata, mencoba menelan semua perasaan sakit. Tapi amarah dan kecewa yang sudah lama ia pendam kini mendidih di dadanya. "Mas Erik...," suaranya gemetar, tetapi matanya basah dan penuh luka saat menatap Suaminya. "Kamu udah keterlaluan, Mas."Erik menggeram. Wajahnya merah karena emosi dan alkohol yang menguasai tubuhnya. "Kamu yang bikin aku kayak gini!" bentaknya. "Istri macam apa yang menolak suami sendiri? Sejak kapan kamu pandai menolakku, hah? Siapa yang ngajarin? Kamu lupa udah nggak punya siapa-siapa lagi selain aku?"Lavanya menggeleng, air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. "Aku ini istrimu, Mas, tapi aku juga manusia. Aku capek, aku muak. Aku udah nggak tahan sama semua ini."Lavanya berusaha bangkit dari tempat tidur tapi Erik menahannya. Mata Lelaki itu membelalak, tangannya mencengkeram lengan Lavanya dengan kuat.
Lavanya melangkah ke kantor dengan gontai. Menggunakan blazer abu-abu dan rok pensil hitam, ia tampak begitu feminin. Sedikit pun tidak ada firasat dalam dirinya kalau hari ini akan terjadi sesuatu yang besar.Suasana di kantor tampak tidak seperti biasa. Para rekan kerjanya berbisik-bisik."Nya, sini!" Dian melambaikan tangan pada Lavanya yang sudah berada di kursinya.Lavanya melempar senyum dari jauh. Ia sedang malas mendengar gosip apa pun.Melihat Lavanya hanya tersenyum tanpa ada niat untuk bergabung, Dian, Lina dan Sari menghampirinya."Nya, udah dengar gosip terbaru belum?" kata Dian."Gosip apa?" tanya Lavanya tanpa minat."Pak Herman bakal dimutasi dan kita bakal punya kepala cabang yang baru.""Oh. Terus kenapa?" respon Lavanya yang tidak terlalu tertarik. Mutasi atau rotasi jabatan bukanlah hal yang aneh.Dian mencondongkan tubuhnya ke arah Lavanya dan berbisik dengan suara rendah. "Kabar baiknya dia masih muda dan ganteng banget!!!" Lina dan Sari cekikan menanggapi Dian y
Pagi mulai menjelang. Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Di sebuah kamar yang didominasi oleh warna putih, sepasang anak manusia masih bergelung di bawah selimut dengan tubuh tanpa busana. Kemarin mereka menghabiskan malam yang panas sampai kelelahan.Erik terbangun lebih dulu. Ia menggeliatkan tubuhnya. Lelaki itu tersentak saat menyaksikan tubuh tanpa sehelai benang di sebelahnya.Seketika ingatannya membawa pada kejadian kemarin malam. Seharusnya ia tidak berada di sini. Semestinya ia berada di rumah sakit menemani istrinya mendampingi anak mereka yang sakit. Namun semalam karena larut dalam suasana ia menjadi hilang kendali dan melupakan segalanya.Mengusap wajahnya dengan kasar, Erik bangun lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia menghela napas lalu memungut pakaiannya yang berceceran di lantai, mengenakannya."Mas Erik, mau ke mana?" Suara Mona terdengar. Perempuan itu baru bangun.Erik menoleh. "Aku pulang sekarang, Mon. Udah pagi."Semalam Mona mengatakan bahwa orangtuanya m
Erik memacu motornya dengan kencang menuju rumah Mona. Ia menyalip dengan sembarangan ketika ada kendaraan yang menghalanginya di depan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Mona. Ia akhirnya tiba di rumah mantan kekasihnya. Suasana rumah malam itu terhitung sunyi. Hanya ada suara samar gemerisik daun dari pohon yang tumbuh di halaman.Di beranda rumah, Mona sedang duduk menunggu Erik. Ia tersenyum manis menyambut kedatangan lelaki itu."Akhirnya Mas Erik datang juga," ucapnya senang."Aku nggak mungkin membiarkan kamu sendirian dalam keadaan begini, Mon." Erik membalas senyuman Mona.Mona membukakan pintu untuk Erik. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam rumah."Kamar Mona di lantai atas. Karena gelap tadi Mona hampir kepeleset, Mas," beber perempuan itu sembari memimpin langkah menaiki tangga.Tiba di kamar, Erik mendapati suasana gulita. Hanya ada sedikit cahaya dari luar yang menembus jendela sebagai sedikit penerangan.Erik mendongak, menatap lampu y
Erik tidak kunjung kembali hingga malam tiba. Hanya Lavanya sendiri yang menjaga Belia di rumah sakit. Bahkan Lavanya masih memakai pakaian kerjanya tadi pagi. Lavanya mengambil handphone. Ia bermaksud menelepon Erik dan meminta agar dibawakan pakaian ganti. Tapi setelah sambungan terhubung Erik tidak juga menjawab panggilan darinya hingga berkali-kali Lavanya men-dial.Akhirnya Lavanya menyerah. Ia mematikan panggilan terakhir dengan embusan napas kecewa."Mama barusan nelepon Papa?" tanya Belia yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya.Lavanya beralih menatap Belia kemudian menganggukkan kepala."Terus Papanya mana, Ma? Tadi Mama bilang Papa cuma keluar sebentar. Sampai sekarang kok nggak balik-balik?"Tatapan Lavanya jatuh lebih lekat di wajah Belia. Ia bisa merasakan bahwa anaknya tersebut begitu berharap akan kehadiran ayahnya."Mama telepon Papa tapi nggak dijawab. Mungkin Papa masih sibuk. Bentar ya Mama chat Papa dulu.""Suruh Papa ke sini ya, Ma?" pinta Belia."Iya, Sayan
"Papa ke mana, Ma? Kenapa Papa pergi?" Belia merengek melihat Erik meninggalkannya."Papa ke luar sebentar. Ada perlu katanya." Lavanya terpaksa berbohong pada anaknya. Ia sama sekali tidak tahu Erik pergi ke mana. Lelaki itu pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa memberi tahu. Tidak juga meminta izin.Belia menatap pintu kamar yang tertutup rapat dengan harapan ayahnya akan segera kembali. "Papa perginya lama ya, Ma?""Nggak... Papa hanya sebentar.""Tadi Papa marah sama Mama ya? Papa marah sama aku juga ya?""Papa nggak marah sama siapa-siapa, Sayang." Lavanya menyangkal sembari tangannya membelai lembut kepala Belia. Hatinya begitu sedih saat mengatakan itu. Tapi apa lagi yang bisa ia ucapkan? Belia tidak akan mengerti kalau cinta bisa melukai dan perasaan tidak akan sama selamanya."Tapi tadi aku dengar Papa bentak-bentak Mama."Lavanya ingin mengatakan bahwa Belia hanya sedang bermimpi. Bahwa sikap Erik padanya baik-baik saja. Namun rasanya sudah terlalu sering ia membohongi anak
"Aku belum selesai," kata Erik ketika Lavanya membalikkan badannya dan berniat untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada Belia.Lavanya memejamkan mata sembari menahan napas. Benar dugaannya. Erik masih berniat melanjutkan pertengkaran."Apa lagi, Mas?" tanya Lavanya tanpa melihat lelaki itu.Erik merengkuh tubuh Lavanya hingga menghadap padanya. "Sebenarnya ada hubungan apa di antara kalian?" tatapnya dengan sorot menusuk tajam."Maksud Mas?""Jangan bilang kalau hubungan kamu dan dia hanya sebatas atasan dan bawahan.""Tapi memang begitu faktanya, Mas. Hubungan aku dan Pak Danish hanya sebatas atasan dan bawahan di kantor. Nggak lebih," kata Lavanya menegaskan."Nggak lebih kamu bilang? Aku ngeliat sendiri gimana caranya memandang kamu, caranya bicara, semua gestur tubuhnya menunjukkan lebih dari itu.""Itu hanya perasaan Mas saja," sangkal Lavanya. "Itu bukan hanya perasaanku, tapi fakta. Dia punya rasa sama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?""Sebenarnya Mas hanya ngerasa insecure
Danish terdiam di sisi pintu. Matanya memandang Lavanya dan Erik yang berdiri saling berhadapan penuh ketegangan. Walaupun ia tidak mendengar percakapan di antara keduanya, namun atmosfer panas yang melingkupi ruangan cukup memberinya gambaran. Telah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di sini. Ingin berbalik pergi, namun ia sudah terlanjur membuka pintu dan terlihat oleh keduanya."Maaf, saya nggak tahu kalau Mas Erik sudah datang," kata Danish dengan sopan. Ia melangkahkan kakinya pelan masuk ke dalam kamar. Diletakkannya kantong berisi makanan di atas meja di samping tempat tidur Belia. "Ini saya belikan nasi untuk makan siang Lavanya dan Mas Erik. Silakan dimakan kalau Mas Erik berkenan," sambungnya. Sebenarnya satu bungkus nasi lagi adalah untuknya. Namun karena melihat Erik sudah ada di sana Danish menjadi sungkan.Erik mengirim tatapan tajam pada Danish. Dadanya naik turun menahan emosi yang memuncak. Lavanya yang menyadari situasi semakin genting melangkah menghampiri Danis
Lavanya salah jika mengira Erik akan langsung meledak. Lelaki itu justru terdiam menatap Lavanya dalam keheningan yang mencekam. Namun, Lavanya tahu dari rahangnya yang mengeras dan wajahnya yang menggelap sebentar lagi Erik akan memuntahkan kemarahan. "Lagi-lagi dia!" Erik akhirnya bersuara. Nadanya rendah tapi begitu tajam. "Kenapa selalu ada dia di setiap urusan kamu?""Mas, kamu jangan langsung emosi. Ini bukan tentang aku, bukan tentang dia dan bukan tentang kamu. Tapi tentang anak kita," ucap Lavanya mencoba memberi pengertian sebelum bara dalam amarah Erik membesar."Tapi kamu selalu melibatkan dia! Kamu biarin dia membawa kamu dan membawa anakku ke rumah sakit mahal, di kamar VIP pula. Jangan-jangan dia yang bayar. Iya?"Lavanya menundukkan wajahnya. Tak perlu repot-repot menjawab karena keheningannya sudah cukup sebagai jawaban.Erik tertawa pelan. Tawa yang begitu penuh dengan amarah. Harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang suami terasa dilukai oleh sikap Danish. "Hebat
Alih-alih menelepon atau mengirimi Lavanya pesan, Erik menanyakan keberadaan kamar Belia ke bagian informasi rumah sakit. Petugas di sana menjawab bahwa Belia dirawat di kamar VIP 01. Erik terkejut mengetahuinya. "Di kamar VIP?""Benar sekali, Pak," jawab petugas setelah mengecek sekali lagi datanya di komputer.Lalu tanpa berterima kasih Erik pergi begitu saja. Langkahnya tertuju ke kamar yang disebutkan petugas tadi. Lelaki itu menggeram di dalam hati. Lavanya selalu bilang kekurangan uang, tapi bisa-bisanya menempatkan Belia di kamar VIP yang tentunya tidak murah. Bagaimana dia membayarnya?Erik benar-benar tidak habis pikir atas sikap Lavanya yang bertentangan dengan ucapannya.Ketika tiba di kamar VIP 01, Erik tidak langsung masuk ke kamar tersebut. Ia berdiri di depan pintu sambil menghela napasnya. Lalu tanpa mengetuk ia membuka pintu dan menerobos begitu saja. Lavanya yang sedang menggenggam tangan Belia yang sedang tidur terkejut atas kedatangan lelaki itu. Pikirnya Erik t
Sudah berjam-jam berlalu. Belia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap karena harus menjalani perawatan sampai beberapa hari ke depan. Namun, Erik masih belum muncul juga.Hanya Danish yang setia menemani Lavanya sejak tadi. Mulai dari pergi ke sekolah Belia, mengantar ke rumah sakit, mendampingi Lavanya yang bergumul dengan kekhawatiran, hingga membujuk Belia yang menangis karena ingin membuka jarum infus di tangannya.Lavanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tersentak seolah baru tersadar.'Ini kan kamar VIP, biayanya pasti mahal,' lirihnya di dalam hati.Tadi karena panik jadi Lavanya tidak terlalu memperhatikan ketika Danish mengurus kamar untuk Belia. Lavanya pikir Danish akan menempatkan Belia di kamar biasa. Nyatanya ia salah.Lavanya menggigit bibirnya. Buana Hospital adalah rumah sakit swasta ternama di kota A. Dan masalahnya adalah asuransi karyawan di kantornya tidak meng-cover perawatan jenis apa pun di rumah sakit tersebut. Kantornya hanya bekerja sama dengan rumah s