Inggit seorang wanita miskin yang menikah dengan laki-laki untuk memperbaiki kehidupannya. Namun, Inggit justru menikah dengan pria yang salah, dia dianggap sebagai pembantu oleh suami dan mertuanya, bahkan ia diajak pindah ke Jakarta agar tidak bisa lagi bertemu dengan orang tuanya. Terlebih pernikahannya yang menginjak usia lima tahun tak kunjung dikaruniai seorang anak. Alasan inilah yang membuat Inggit diremehkan oleh suami dan mertuanya. 'Ternyata dunia itu cepat sekali berputarnya. Perasaan baru kemarin dada ini sesak dihina olehnya. Kini dia, sudah berada di posisi itu. Apa aku berbalik mencemoohnya bahkan menghardiknya? Tentu tidak. Aku akan mempermainkan hatinya, memporak-porandakan dan mempermalukannya terlebih dahulu. Anggap saja, aku angkat kamu tinggi-tinggi, lalu aku banting dari atas sana,' batin Inggit saat nasibnya telah berubah.
Lihat lebih banyak"Inggit! Inggit! Mana makanan buat aku dan Mama makan?" Suara itu tidak lain teriakan Mas Dimas.
Setengah berlari, aku menghampiri suamiku yang tengah berteriak tersebut. Mataku melebar ketika menatap wajah Mas Dimas yang tampak marah. Suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya."Maaf, Mas, tadi ketiduran, lagian ini baru jam empat kok tumben udah pulang? Biasanya kalau—"Baru sepotong aku bicara, tapi Mas Dimas sudah menyuruhku berhenti dengan menggunakan tangannya. Iya menekan tangan ke bawah dan aku tahu itu sebuah perintah."Lihat sendiri, kan? Dari tadi istrimu itu main handphone terus. Makanya belum masak sudah jam empat sore," ucap Mama mertuaku, dia tinggal bersama kami, sebab suaminya alias ayah mertuaku sudah lama meninggal dunia. Lagi pula Mas Dimas adalah anak tunggal."Mah, tadi kan aku bilang ketiduran," sanggahku tak terima.Tiba-tiba Mas Dimas maju ke arahku. Kini posisi kami saling berhadapan. Jarak kami sekitar satu jengkal saja.Jari telunjuk Mas Dimas berada di daguku, kemudian ia mendongakkan kepalaku sedikit sampai mata kami saling menatap.Aku menahan napas melihat tatapannya yang penuh kemarahan. Meskipun begitu, aku tetap menatapnya. Sebab, aku tahu betul karakter suamiku ini, jika marah harus ditanggapi dan didengar."Maaf, Mas," bisikku hanya bicara sedikit.Kemudian Mas Dimas membuang tangannya dengan kasar. "Sial! Bikin kesal aja, suami lapar tidak ada lauk untuk disantap!" tekannya."Aku akan masak sarden, yang lebih cepat tersaji," timpalku buru-buru sambil beranjak ke arah lemari es.Senyumku harus tetap terukir supaya Mas Dimas tidak tambah naik darah. Jika emosi, aku tidak boleh naik pitam, itu nasihat mama mertuaku kalau mau rumah tangga kami tetap utuh."Jadi istri tuh harus berguna," ucap Mas Dimas. "Kalau tidak bisa memberikan keturunan, setidaknya bisa membuatku nyaman di rumah!" sambungnya lagi.Deg!Dunia terasa berhenti berputar, aku memejamkan mata ini sambil menghela napas. Ya, aku tidak boleh menangis di saat ia marah dan menghardikku dengan kata-kata sembarangan."Kenapa? Mau balik marah?" Mama Dewi turut bicara. Aku hanya memutar badan lalu menuju kompor gas untuk segera mengolah sarden sebagai lauk Mas Dimas makan sore ini.'Sabar, kata Bapak dan Ibu, kami itu harus terima diperlakukan apa pun sama orang. Karena kami orang susah, jadi memang harus kuat mental ketika direndahkan orang,' batinku mengeluh.Aku melirik ke arah meja makan, Mas Dimas duduk bersama Mama Dewi berdampingan. Mereka memperhatikanku yang tengah memasak."Dim, kamu sudah menikah selama lima tahun, kan?” celetuk Mama tiba-tiba. “Tapi sampai detik ini Mama belum dapat cucu. Istrimu itu mandul ya?”Hatiku seperti teriris, lagi-lagi aku yang disalahkan. Padahal, bisa saja yang mandul itu Mas Dimas. Aku pun juga ingin memiliki anak dari pernikahanku dengan pria yang kucintai itu."Udah santai aja sih, Mah. Aku masih muda, bisa nikah lagi nanti,” balas Mas Dimas. “Siapa tahu jodohku itu kaya raya," tambahnya.Seketika aku menoleh ke arahnya. Lima tahun berumah tangga, dengan entengnya suamiku bilang mau menikah lagi jika sudah ketemu jodoh kaya raya. Apa tidak salah dengar? Semudah itu ia mempermainkan pernikahan? Darahku benar-benar mendidih dibuatnya.Aku menghela napas sambil mengurutkan dada ini yang sedikit sesak."Kenapa tengak-tengok? Hah!" bentak Mama. "Kamu itu hanya seorang istri yang berprofesi sebagai babu, ngerti babu nggak?" Mama berteriak dari meja makan.Aku pun menghentikan aktivitas, kemudian melangkah maju satu tapak."Mas, Mah, kalau hanya dijadikan pembantu, kenapa mencari istri? Kenapa kalian nggak pelihara asisten rumah tangga aja? Dibayar ketahuan nominalnya!" Aku berteriak menyanggah segala ucapannya."Hey, Inggit! Ibu dan Bapak kamu itu orang miskin, hanya tukang becak yang nggak mampu memberikan anaknya makan, enak!" umpat mama. "Seharusnya kamu bersyukur dijadikan istri oleh Dimas. Makan gratis, tanpa harus susah payah!" tambahnya lagi.Mama mencaci bahkan menghina orang tuaku yang sudah lima tahun lamanya tidak ada kabar. Ya, setelah menikah dengan Mas Dimas, akses berkomunikasi dengan mereka sudah dilenyapkan. Aku ikut suami pindah ke Jakarta tanpa sepengetahuan kedua orang tua.'Bu, Pak, kalian di mana sekarang? Apa sehat dan masih hidup? Inggit rindu,' ucapku dalam hati.Aku tak kuat menahan tangis. Namun, aku harus tetap bertahan meski menyakitkan. Sebab, tidak ada pilihan lain selain hidup bersama Mas Dimas di sini. Aku tak memiliki siapa-siapa di Jakarta.Aku membalikkan badan ke arah kompor yang tengah menyala untuk menyiapkan makanan. Kenyang sekali mendengar umpatan dan cacian dari suami dan mertuaku."Ya, kalian benar, aku memang harus lebih banyak bersyukur," bisikku.***Lima tahun sudah aku hidup bersama Mas Dimas. Selama itu pula aku tak pernah saling bertukar kabar dengan ibu dan bapak. Ya, Mas Dimas memboyongku ke Jakarta sejak menikah, dan ia menghilangkan semua akses yang berhubungan dengan keluargaku.Pernah bahkan sering aku tanya maksud dan tujuan mereka memutuskan silaturahmi terhadap anak dan orang tua. Mereka bilang, takut aku memberikan sejumlah uang untuk kedua orang tua. Padahal, bapak dan ibu bukan tipikal orang seperti itu. Sesusah-susahnya kami, lebih baik tidak makan ketimbang harus meminta.Hari sudah mulai malam. Tiba-tiba saja ponselku berdering, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal."Halo, ini siapa?" tanyaku penasaran."Apa betul ini nomor handphone Inggit?" tanya wanita yang berada di seberang telepon. Suaranya, seperti aku kenal, tapi agak sulit juga menebaknya, sebab ia seperti tengah menangis."Iya, ini siapa?" tanyaku lagi."Inggit, kamu harus pulang, Nak," timpalnya membuatku semakin cemas. Ini ibuku? Ada apa dengan orang tuaku di ujung telepon sana?"Kenapa, Bu, ada apa?" Aku semakin yakin dia adalah ibuku."Kamu harus pulang, Bapak–"Namun, sayangnya kata-kata tersebut terpotong kedatangan Mas Dimas,"Heh, kamu telepon siapa itu?"Bersambung"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen