Setelah Aku Kaya, Suamiku Mati Gaya

Setelah Aku Kaya, Suamiku Mati Gaya

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-31
Oleh:  Siti_Rohmah21Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
4 Peringkat. 4 Ulasan-ulasan
236Bab
82.4KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Inggit seorang wanita miskin yang menikah dengan laki-laki untuk memperbaiki kehidupannya. Namun, Inggit justru menikah dengan pria yang salah, dia dianggap sebagai pembantu oleh suami dan mertuanya, bahkan ia diajak pindah ke Jakarta agar tidak bisa lagi bertemu dengan orang tuanya. Terlebih pernikahannya yang menginjak usia lima tahun tak kunjung dikaruniai seorang anak. Alasan inilah yang membuat Inggit diremehkan oleh suami dan mertuanya. 'Ternyata dunia itu cepat sekali berputarnya. Perasaan baru kemarin dada ini sesak dihina olehnya. Kini dia, sudah berada di posisi itu. Apa aku berbalik mencemoohnya bahkan menghardiknya? Tentu tidak. Aku akan mempermainkan hatinya, memporak-porandakan dan mempermalukannya terlebih dahulu. Anggap saja, aku angkat kamu tinggi-tinggi, lalu aku banting dari atas sana,' batin Inggit saat nasibnya telah berubah.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

"Inggit! Inggit! Mana makanan buat aku dan Mama makan?" Suara itu tidak lain teriakan Mas Dimas.

Setengah berlari, aku menghampiri suamiku yang tengah berteriak tersebut. Mataku melebar ketika menatap wajah Mas Dimas yang tampak marah. Suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya.

"Maaf, Mas, tadi ketiduran, lagian ini baru jam empat kok tumben udah pulang? Biasanya kalau—"

Baru sepotong aku bicara, tapi Mas Dimas sudah menyuruhku berhenti dengan menggunakan tangannya. Iya menekan tangan ke bawah dan aku tahu itu sebuah perintah.

"Lihat sendiri, kan? Dari tadi istrimu itu main handphone terus. Makanya belum masak sudah jam empat sore," ucap Mama mertuaku, dia tinggal bersama kami, sebab suaminya alias ayah mertuaku sudah lama meninggal dunia. Lagi pula Mas Dimas adalah anak tunggal.

"Mah, tadi kan aku bilang ketiduran," sanggahku tak terima.

Tiba-tiba Mas Dimas maju ke arahku. Kini posisi kami saling berhadapan. Jarak kami sekitar satu jengkal saja.

Jari telunjuk Mas Dimas berada di daguku, kemudian ia mendongakkan kepalaku sedikit sampai mata kami saling menatap.

Aku menahan napas melihat tatapannya yang penuh kemarahan. Meskipun begitu, aku tetap menatapnya. Sebab, aku tahu betul karakter suamiku ini, jika marah harus ditanggapi dan didengar.

"Maaf, Mas," bisikku hanya bicara sedikit.

Kemudian Mas Dimas membuang tangannya dengan kasar. "Sial! Bikin kesal aja, suami lapar tidak ada lauk untuk disantap!" tekannya.

"Aku akan masak sarden, yang lebih cepat tersaji," timpalku buru-buru sambil beranjak ke arah lemari es.

Senyumku harus tetap terukir supaya Mas Dimas tidak tambah naik darah. Jika emosi, aku tidak boleh naik pitam, itu nasihat mama mertuaku kalau mau rumah tangga kami tetap utuh.

"Jadi istri tuh harus berguna," ucap Mas Dimas. "Kalau tidak bisa memberikan keturunan, setidaknya bisa membuatku nyaman di rumah!" sambungnya lagi.

Deg!

Dunia terasa berhenti berputar, aku memejamkan mata ini sambil menghela napas. Ya, aku tidak boleh menangis di saat ia marah dan menghardikku dengan kata-kata sembarangan.

"Kenapa? Mau balik marah?" Mama Dewi turut bicara. Aku hanya memutar badan lalu menuju kompor gas untuk segera mengolah sarden sebagai lauk Mas Dimas makan sore ini.

'Sabar, kata Bapak dan Ibu, kami itu harus terima diperlakukan apa pun sama orang. Karena kami orang susah, jadi memang harus kuat mental ketika direndahkan orang,' batinku mengeluh.

Aku melirik ke arah meja makan, Mas Dimas duduk bersama Mama Dewi berdampingan. Mereka memperhatikanku yang tengah memasak.

"Dim, kamu sudah menikah selama lima tahun, kan?” celetuk Mama tiba-tiba. “Tapi sampai detik ini Mama belum dapat cucu. Istrimu itu mandul ya?”

Hatiku seperti teriris, lagi-lagi aku yang disalahkan. Padahal, bisa saja yang mandul itu Mas Dimas. Aku pun juga ingin memiliki anak dari pernikahanku dengan pria yang kucintai itu.

"Udah santai aja sih, Mah. Aku masih muda, bisa nikah lagi nanti,” balas Mas Dimas. “Siapa tahu jodohku itu kaya raya," tambahnya.

Seketika aku menoleh ke arahnya. Lima tahun berumah tangga, dengan entengnya suamiku bilang mau menikah lagi jika sudah ketemu jodoh kaya raya. Apa tidak salah dengar? Semudah itu ia mempermainkan pernikahan? Darahku benar-benar mendidih dibuatnya.

Aku menghela napas sambil mengurutkan dada ini yang sedikit sesak.

"Kenapa tengak-tengok? Hah!" bentak Mama. "Kamu itu hanya seorang istri yang berprofesi sebagai babu, ngerti babu nggak?" Mama berteriak dari meja makan.

Aku pun menghentikan aktivitas, kemudian melangkah maju satu tapak.

"Mas, Mah, kalau hanya dijadikan pembantu, kenapa mencari istri? Kenapa kalian nggak pelihara asisten rumah tangga aja? Dibayar ketahuan nominalnya!" Aku berteriak menyanggah segala ucapannya.

"Hey, Inggit! Ibu dan Bapak kamu itu orang miskin, hanya tukang becak yang nggak mampu memberikan anaknya makan, enak!" umpat mama. "Seharusnya kamu bersyukur dijadikan istri oleh Dimas. Makan gratis, tanpa harus susah payah!" tambahnya lagi.

Mama mencaci bahkan menghina orang tuaku yang sudah lima tahun lamanya tidak ada kabar. Ya, setelah menikah dengan Mas Dimas, akses berkomunikasi dengan mereka sudah dilenyapkan. Aku ikut suami pindah ke Jakarta tanpa sepengetahuan kedua orang tua.

'Bu, Pak, kalian di mana sekarang? Apa sehat dan masih hidup? Inggit rindu,' ucapku dalam hati.

Aku tak kuat menahan tangis. Namun, aku harus tetap bertahan meski menyakitkan. Sebab, tidak ada pilihan lain selain hidup bersama Mas Dimas di sini. Aku tak memiliki siapa-siapa di Jakarta.

Aku membalikkan badan ke arah kompor yang tengah menyala untuk menyiapkan makanan. Kenyang sekali mendengar umpatan dan cacian dari suami dan mertuaku.

"Ya, kalian benar, aku memang harus lebih banyak bersyukur," bisikku.

***

Lima tahun sudah aku hidup bersama Mas Dimas. Selama itu pula aku tak pernah saling bertukar kabar dengan ibu dan bapak. Ya, Mas Dimas memboyongku ke Jakarta sejak menikah, dan ia menghilangkan semua akses yang berhubungan dengan keluargaku.

Pernah bahkan sering aku tanya maksud dan tujuan mereka memutuskan silaturahmi terhadap anak dan orang tua. Mereka bilang, takut aku memberikan sejumlah uang untuk kedua orang tua. Padahal, bapak dan ibu bukan tipikal orang seperti itu. Sesusah-susahnya kami, lebih baik tidak makan ketimbang harus meminta.

Hari sudah mulai malam. Tiba-tiba saja ponselku berdering, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

"Halo, ini siapa?" tanyaku penasaran.

"Apa betul ini nomor handphone Inggit?" tanya wanita yang berada di seberang telepon. Suaranya, seperti aku kenal, tapi agak sulit juga menebaknya, sebab ia seperti tengah menangis.

"Iya, ini siapa?" tanyaku lagi.

"Inggit, kamu harus pulang, Nak," timpalnya membuatku semakin cemas. Ini ibuku? Ada apa dengan orang tuaku di ujung telepon sana?

"Kenapa, Bu, ada apa?" Aku semakin yakin dia adalah ibuku.

"Kamu harus pulang, Bapak–"

Namun, sayangnya kata-kata tersebut terpotong kedatangan Mas Dimas,

"Heh, kamu telepon siapa itu?"

Bersambung

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Zulfahmi Ilyas
bagus banget
2023-08-25 11:08:19
1
default avatar
Zulfahmi Ilyas
siip bangetttzzz
2023-08-21 21:46:28
2
user avatar
Darma Wati
ceritanya seru
2023-06-09 10:02:25
1
user avatar
Darma Wati
ceritanya bagus
2023-06-05 12:59:05
1
236 Bab
Bab 1
"Inggit! Inggit! Mana makanan buat aku dan Mama makan?" Suara itu tidak lain teriakan Mas Dimas.Setengah berlari, aku menghampiri suamiku yang tengah berteriak tersebut. Mataku melebar ketika menatap wajah Mas Dimas yang tampak marah. Suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya."Maaf, Mas, tadi ketiduran, lagian ini baru jam empat kok tumben udah pulang? Biasanya kalau—" Baru sepotong aku bicara, tapi Mas Dimas sudah menyuruhku berhenti dengan menggunakan tangannya. Iya menekan tangan ke bawah dan aku tahu itu sebuah perintah."Lihat sendiri, kan? Dari tadi istrimu itu main handphone terus. Makanya belum masak sudah jam empat sore," ucap Mama mertuaku, dia tinggal bersama kami, sebab suaminya alias ayah mertuaku sudah lama meninggal dunia. Lagi pula Mas Dimas adalah anak tunggal."Mah, tadi kan aku bilang ketiduran," sanggahku tak terima.Tiba-tiba Mas Dimas maju ke arahku. Kini posisi kami saling berhadapan. Jarak kami sekitar satu jengkal saja.Jari telunjuk Mas Dimas berada di
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-07
Baca selengkapnya
Bab 2
"Heh, kamu telepon siapa itu?" Seketika mataku membuka lebar saat Mas Dimas memergoki.Aku sontak meletakkan ponsel, lalu bicara sebentar dengan Mas Dimas. Telepon genggam sengaja tidak aku matikan supaya ibu mendengar bahwa ada Mas Dimas di sini."Siapa yang telepon?" Mas Dimas mendongakkan dagunya seraya orang curiga."Bukan siapa-siapa," jawabku bohong.Mata Mas Dimas menyipit, ia melirik ke arah ponsel yang aku letakkan di atas ranjang. Sungguh dadaku bergetar hebat ketika matanya menyorot penuh.Kakinya mulai melangkah, aku benar-benar tak tenang sekarang, ia meraih ponsel itu dan mengambilnya."Siapa ini? Kok belum dimatikan?" tanya Mas Dimas.Aku terdiam, masih takut ingin bicara jujur padanya."Halo, Dimas, jangan marahi Inggit!" Ibu, suara itu suara ibu dari ujung telepon membujuk Mas Dimas, itu artinya aku tidak bisa berbohong lagi padanya.Kemudian, Mas Dimas mengaktifkan speakernya di hadapanku. Tatapannya itu sangat sinis, aku tahu bahwa Mas Dimas tengah marah karena tadi
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-07
Baca selengkapnya
Bab 3
"Kamu Inggit?"Aku menatap sesosok pria di hadapanku dengan curiga.“Saya yang dimintai tolong oleh Bu Anis untuk menjemput kamu.”Baru setelah mendengar itu, aku mengangguk dan tersenyum. Pria itu langsung membuka pintu mobil dengan cepat, tapi aku masih terdiam melihat sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi, hidungnya yang bangir dan rambut hitam legam membuatku seketika tak berkedip."Masuk kamu, jangan berdiri di situ!" perintah laki-laki itu.Aku terkesiap dan mengedarkan pandangan ke sembarang tempat."Ya, saya masuk."Buru-buru aku menyudahi panggilan dengan ibuku dan masuk ke dalam mobil."Tante," sapa suara anak kecil. Aku terkejut, ternyata ada seorang gadis mungil yang tengah duduk di belakang bersamaku.Ini efek dari memandang laki-laki lain selain suami sendiri, jadi gagal fokus pada apa pun yang ada di sekitar."Eh, kamu lucu dan cantik, kok ada di sini?" "Iya, Tante, aku ikut Papa," jawabnya membuatku menelan ludah. Ternyata laki-laki itu sudah berkeluarga, bahkan memi
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-07
Baca selengkapnya
Bab 4
"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan."Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan."Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang."Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-07
Baca selengkapnya
Bab 5
Aku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku."Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini."Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi."Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku."Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup."I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja."Nanti kita bicarakan lag
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-10
Baca selengkapnya
Bab 6
Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai."Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram."Niatnya iya," jawabku singkat."Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria."Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta."Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan."Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram."Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami,
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-10
Baca selengkapnya
Bab 7
"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku."Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku."Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak. Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci. "Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun."Ini banyak banget, Inggit, kal
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-11
Baca selengkapnya
Bab 8
"Terus, kita diam di sini?" Aku ditanya oleh ibu yang sepertinya muak tinggal di sini. Padahal baru hitungan menit, belum ada satu hari, bagaimana aku yang sudah lima tahun?"Menurut Ibu gimana? Ini udah malam, cucian juga masih numpuk di rumah," jawabku.Ibu terdiam sebentar. Kemudian ia menghampiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu ibu membisikkan sesuatu di telingaku."Ibu nggak mau kita nyuci, lebih baik tinggalkan aja rumah ini, toh kita sudah bisa gugat cerai dengan bukti yang Pak Pram pegang, betul nggak?" usul ibu."Tapi, Bu, cucian sudah terlanjur aku rendam, pasti besok bau," sanggahku lagi."Biarin aja, biar Dewi marah-marah saat ia melek mata, darah tinggi terus terserang stroke, ibu tuh geregetan sama mertuamu, heran aja kok kamu betah?" tanya ibu. Aku bergeming karena pertanyaan ibu membuatku malu sendiri.Alasanku cuma satu, ingin Mas Dimas sadar dan insyaf, tapi sepertinya percuma."Ya udah, Bu. Aku setuju dengan usulan Ibu," timpalku.Akhirnya kami pun beranja
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-12
Baca selengkapnya
Bab 9
Aku menoleh pelan-pelan tapi dengan mata terpejam. Sebab masih belum siap ketahuan oleh Mas Dimas, aku bingung harus menjawab apa. Dengan menghela napas panjang, aku pun mulai membuka mata perlahan. Ternyata Mas Dimas masih dalam kondisi tidur, tapi dia tengah mengigau. Ini hal biasa yang sering terjadi ketika ia hendak tidur sangat lelap sekali.Aku menurunkan bahu ketika ia memiringkan tubuhnya dan membelakangi pintu. "Syukurlah, akh pikir Mas Dimas memang sadar dengan kepergianku," bisikku bermonolog.Daun pintu aku buka kembali dan menutupnya pelan. Kemudian aku keluar dari kamar untuk menemui ibu yang ternyata sudah menunggu di sofa. "Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya ibu dengan suara pelan."Sudah, ayo kita pergi dari neraka ini," ajakku sambil menggandeng tangannya.Akhirnya kami bisa memutuskan untuk pergi dari rumah yang penuh dengan cacian, umpatan bahkan bully. Mereka tidak menyaring lagi tiap kali melontarkan kata-kata untuk kami. Mama dan Mas Dimas hanya memikirkan dir
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-13
Baca selengkapnya
Bab 10
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan untuk angkat saja teleponnya. Daripada berisik kalau tidak diangkat, ia pasti terus-menerus menghubungiku."Halo," ucapku."Halo, halo, nggak tahu diri kamu kabur? Cucian masih banyak. Sialan kamu!" hardik Mas Dimas.Aku membiarkannya bicara sendirian sampai ia puas dan tidak bicara lagi."Inggit! Dengar suami ngomong nggak sih? Hah! Kamu kabur? Tas ibumu nggak ada di rumah, sialan kalian!" Dia mengatakan itu lagi, ucapan yang sangat tidak pantas untuk dilontarkan terhadap mertuanya."Maaf, Mas. Aku ini seorang wanita, memang harus taat pada laki-laki, tapi suami yang bagaimana dulu, kalau suaminya baik dan Soleh tentu aku akan tetap bertahan di rumah. Tahukah kamu, Mas, lima tahun itu bukan waktu yang singkat," paparku cukup puas. Baru kali ini aku membalikkan kata-katanya dengan penuh nasihat."Tetap aja kamu salah, datang baik-baik ya keluar baik-baik dong! Jangan seperti maling kayak gitu, apa jangan-jangan kamu mencuri? Aku ak
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-14
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status