"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.
Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan."Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan."Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang."Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk, tak banyak bicara, hanya senyum terpaksa saja yang aku sematkan untuk orang lain yang berusaha menguatkan.Aku menutup mata sejenak, seandainya suami sendiri seperhatian itu, mungkin aku tak sesedih ini. Namun, nasibku berbeda, bertemu dengan pria yang justru selalu menghinaku. Ia tidak pernah menjaga marwah seorang istri, Mas Dimas justru selalu menjadikan aku luapan segala nafsunya, baik amarah maupun batinnya.Aku tidak boleh terus berlarut seperti ini, meskipun sangat menyesal dengan kejadian yang aku alami, tapi ada yang aku lupakan, yaitu kondisi mental ibuku yang ditinggal pergi bapak untuk selama-lamanya. Aku pun menghampiri ibu yang tengah memeluk jasad bapak."Proses pemakamannya kapan, Bu?" tanyaku saat memegang bahunya. Aku sengaja bertanya mengenai hal ini dengan cara bisik-bisik, supaya ibu segera mengatur proses pemakaman.Ibu menoleh dengan wajah sembab, ia menghela napas sambil sesegukan."Ibu nggak tahu harus bagaimana menjalani hidup ke depannya tanpa bapakmu, Nak," ucap ibuku dengan disertai Isak tangis. Ia memelukku erat-erat. Ternyata sesakit ini kehilangan, ini semua karena Mas Dimas yang tega memisahkan kami. Jika tidak menikah dengannya, seharusnya aku dan keluargaku hidup bahagia di Karawang meskipun makan dengan lauk seadanya."Bu, kita harus kuat dan ikhlas melepas bapak, jangan sampai almarhum berat meninggalkan dunia," ungkapku terkesan kuat, padahal sebenarnya aku pun rapuh.Ibu menghela napas, kemudian ia menyeka air matanya."Baiklah, Ibu akan berusaha ikhlas," timpalnya."Kita harus cepat melakukan prosesi pemakaman, Bu," usulku.Ibu pun mengangguk seraya menyetujui usulankuKemudian, kami menemui Pak Pram dan keluarganya supaya dengan cepat mengurus jenazah bapak."Baiklah, kalian sudah tenang ya sekarang? Saya akan segera urus semuanya," ucap Pak Pram mewakili keluarganya.Ibu dan aku mengangguk seraya setuju dengan segala ucapannya. Kami pun menunggu hingga jenazah bisa dibawa ke pemakaman, bahkan sampai proses menyalatkan jenazah saja, Pak Pram dan Pak Satria ikut andil.Sekitar dua jam, akhirnya semua selesai, kini kami bergegas membawa jenazah bapak ke liang lahat.Kalimantan ini bukan tempat bapak dilahirkan, aku tidak pernah mengira bahwa peristirahatan terakhir bapak berada di pulau ini.Proses pemakaman berlangsung cukup lama, dari memandikan, menyalatkan saja sudah mamakan waktu dua jam lamanya. Kini untuk pemakaman, kami harus mempercepat karena matahari nyaris terbenam saat ini.Setelah gundukan tanah telah menutup raga bapak, kami menengadahkan tangan. Semua memohon doa dan ampunan dari Tuhan untuk bapak. "Semoga Bapak tenang di alam sana, Inggit biar aku yang urus, Pak," ucap ibu ketika menaburkan bunga.Kemudian kami bangkit dan hendak pulang ke rumah ibu yang berada di Kalimantan ini. Namun, keluarga Satria menahan lebih dulu."Kalian bisa tinggal di rumah kami," ucap Pak Satria."Tidak, Pak," jawab ibu singkat."Saya mau membalas budi Pak Rudi, bagaimana caranya? Kalian harus bahagia dan hidup berkecukupan, nyawa Pak Rudi melayang gara-gara menyelamatkan saya," ungkap Pak Satria."Ini sudah suratan takdir, mungkin ini jalannya kami bisa berjumpa lagi." Ibu menjawab sambil merangkulku.Aku menatapnya sedih, terharu karena ia mampu menyimpan duka di matanya."Kalian sudah lama tidak bertemu? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Pak Satria.Ibu menoleh ke arahku. Ia tersenyum manis, "Inggit anak berbakti, ia juga sangat berbakti pada suaminya," timpal ibu.Aku menyunggingkan senyuman. Andai ibu tahu kalau aku tersiksa, ia pasti akan ikut merasakan sakitnya."Kalau begitu, tolong beritahu kami jika ada yang harus kami lakukan lagi untuk kalian, saya benar-benar merasa bersalah atau meninggalnya Pak Rudi," papar Pak Satria."Untuk saat ini, kami rasa cukup, Pak. Saya sangat merasa terbantu karena sudah dibantu segala proses pemakaman," timpal ibu."Kalau begitu, saya pamit, kalian diantar Pram, ya," suruh Pak Satria.Ibu pun mengangguk seraya setuju."Salam untuk Ibu, Pak," timpal ibuku pada Pak Satria. Kemudian, laki-laki ramah itu bergegas menaiki mobil sedannya.Sementara kami, akan diantar pulang oleh Pak Pram yang sudah menyiapkan mobilnya di ujung parkiran.Sepanjang jalan kami hanya saling diam, tidak ada topik pembicaraan sedikitpun, sebab suasana masih sangat berduka. Mungkin Pak Pram ingin banyak tanya pun jadi sungkan.Sekitar satu jam kemudian, akhirnya aku tiba di rumah tempat ibu dan bapak tinggal di Kalimantan. Rumahnya cukup sederhana, tapi lebih besar ketimbang rumah kami yang dulu hanya satu petak saja.Kami langsung pamit pada Pak Pram, aku dan ibu pun turun dari mobilnya."Terima kasih banyak, Pak Pram," ucap ibu."Kalian yang sabar ya, kalau butuh sesuatu telepon aku saja, Bu Anis kan tahu nomornya," ucap Pak Pram."Terima kasih juga, Pak. Sudah susah payah mencari nomor telepon Inggit," ucap ibu menambahkan rasa syukurnya."Nggak susah kok, saat saya memerintahkan detektif untuk mencari nomor telepon, justru ditemukan di kantor saya sendiri," jawab Pak Pram.Aku mengangguk seraya ikut menyimak apa yang menjadi obrolan mereka, ternyata Mas Dimas kerja di kantor Pak Pram."Baik, Pak. Kami ucapkan terima kasih sekali lagi," sahut ibu lagi.Kemudian, mobil itu pergi dan kami bergegas masuk ke dalam. Langkah kakiku sangat pelan karena mengamati ruangan demi ruangan."Ini rumah dikasih atau ngontrak, Bu?" tanyaku padanya ketika menginjakkan kaki di rumahnya. Mata ini tak lepas memandang seisi ruangan, ternyata ibuku sudah lebih baik ketika mengadu nasib ke Kalimantan."Iya, ini kontrakan yang disediakan oleh Pak Satria, baik orangnya," jawab ibu. Kemudian, aku keheranan karena Ibu tidak langsung menutup pintunya."Kok dibuka pintunya, Bu?" tanyaku."Dibuka sedikit karena mencari sirkulasi angin untuk keluar masuk." Kami pun duduk bersebelahan di sofa berwarna hitam pekat. Namun mataku memandang sekeliling ruangan. Rumahnya cukup nyaman meskipun sederhana."Bu, aku mau cerita, kira-kira Ibu sudah tenang belum ya?" tanyaku padanya."Cerita aja, tentang Dimas ya?" tanya Ibu.Aku pun mengangguk, agak sedikit takut ingin cerita padanya. Namun, aku harus menceritakan semuanya pada orang tua tunggal yang tersisa."Bu, setelah ini aku akan minta cerai aja dari Mas Dimas," celetukku membuat mata ibu membuka lebar."Apa kamu disakiti oleh Dimas dan Bu Dewi?" tanya ibu.Aku menggigit bibir ini seraya takut bercerita padanya."Iya, Bu," ucapku. "Aku sangat tersakiti," tambahku.Ibuku menurunkan bahunya. Kemudian ia meraih punggung tanganku."Sebenarnya Ibu dan bapakmu juga dulu tidak berani nyusul ke Jakarta karena sesuatu hal," ucapnya membuatku menautkan kedua alis. "Tapi, kamu ceritakan saja dulu keluh kesahmu, Nak. Ibu siap mendengarkannya," sambung ibu lagi.Aku pun menelan ludah dengan susah payah, kemudian mulai menceritakan perlakuan suami dan ibu mertuaku yang membuat penyesalan tak berujung ini. Sebab, karena mereka lah aku jadi terpisah dari orang tuaku hingga lima tahun lamanya."Ibu mertuaku selalu membatasi ruang lingkup pertemananku, Bu. Jadi, semenjak menikah dengan Mas Dimas, aku benar-benar seperti pembantu, terlebih lagi sosok anak yang tak kunjung hadir dalam pernikahan kami," ungkapku menceritakan semuanya satu persatu.Ibu mengelus dada dengan tangan kirinya. Namun, tangan kanan berada di mulutnya yang menganga karena terkejut mendengar pengakuanku."Kami pikir kamu bahagia, Nak. Memang semenjak kami dilarang menemui kamu tuh bapakmu selalu bertekad untuk menjadi orang sukses," papar ibu gantian membuatku shock."Aku kangen banget sama Ibu dan almarhum bapak, sekalinya ketemu, kini bapak sudah nggak ada lagi di dunia ini, aku jadi nyesel, Bu, kenapa nurut dengan laki-laki macam Mas Dimas?" Aku mengelus kening sambil menghela napas kasar. "Mas Dimas dan Mama Dewi itu sering mencaci makiku jika tidak melakukan pekerjaan rumah. Terakhir kalinya aku bertengkar saat mereka ingin makan tapi belum ada lauk, aku bagai pembantu, Bu," sambungku lagi.Tak tertahankan keluhanku itu akhirnya terluapkan juga di hadapan ibuku."Ya Allah, Nak. Kenapa kamu tidak bicara dari awal? Ibu juga nyesel telah mengikuti keinginan mertuamu, Nak, dalam surat itu ia me__"Tiba-tiba saja ada suara ketukan pintu, kami lihat jelas wajah Pak Pram ada di ambang pintu yang masih terbuka sedikit."Pak Pram, sudah lama Bapak di situ?" tanyaku padanya."Ma-af, tadi aku dengar pembicaraan kalian, ini handphone Inggit ketinggalan di kursi belakang, aku baru sadar pas ada suara dering telepon, dikarenakan kontaknya tertulis Suami, jadi aku antar buru-buru, takutnya penting," ucap Pak Pram, justru membuatku terkejut.Aku sontak meraih ponsel yang diberikan Pak Pram barusan, lalu mengusap lembut layarnya. Kemudian, aku buka panggilan tak terjawab, ada lima kali panggilan dari Mas Dimas.'Mas Dimas? Ngapain dia nelpon aku sampai berkali-kali?' batinku."Banyak pesan juga darinya. Mohon maaf tadi terbaca sebagian saat mengambil ponsel di kursi belakang," terang Pak Pram membuatku malu.Apa kira-kira pesan yang dikirim Mas Dimas? Aku segera membukanya dengan cepat.[Sialan, kamu pergi dengan laki-laki siapa tadi, Hah? Ada yang laporan nih!]Aku menelan ludah dengan susah payah. Rutukan dan penyesalan pun semakin menyelimuti. Kenapa aku menikah dengan pria arogan seperti Mas Dimas?Pesan berikutnya pun ia kirim sebanyak tiga kali dengan isi yang sama.[Pulang hari ini. Awas kalau nggak! Aku akan seret kamu!] ancam Mas Dimas lagi.BersambungAku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku."Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini."Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi."Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku."Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup."I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja."Nanti kita bicarakan lag
Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai."Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram."Niatnya iya," jawabku singkat."Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria."Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta."Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan."Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram."Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami,
"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku."Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku."Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak. Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci. "Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun."Ini banyak banget, Inggit, kal
"Terus, kita diam di sini?" Aku ditanya oleh ibu yang sepertinya muak tinggal di sini. Padahal baru hitungan menit, belum ada satu hari, bagaimana aku yang sudah lima tahun?"Menurut Ibu gimana? Ini udah malam, cucian juga masih numpuk di rumah," jawabku.Ibu terdiam sebentar. Kemudian ia menghampiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu ibu membisikkan sesuatu di telingaku."Ibu nggak mau kita nyuci, lebih baik tinggalkan aja rumah ini, toh kita sudah bisa gugat cerai dengan bukti yang Pak Pram pegang, betul nggak?" usul ibu."Tapi, Bu, cucian sudah terlanjur aku rendam, pasti besok bau," sanggahku lagi."Biarin aja, biar Dewi marah-marah saat ia melek mata, darah tinggi terus terserang stroke, ibu tuh geregetan sama mertuamu, heran aja kok kamu betah?" tanya ibu. Aku bergeming karena pertanyaan ibu membuatku malu sendiri.Alasanku cuma satu, ingin Mas Dimas sadar dan insyaf, tapi sepertinya percuma."Ya udah, Bu. Aku setuju dengan usulan Ibu," timpalku.Akhirnya kami pun beranja
Aku menoleh pelan-pelan tapi dengan mata terpejam. Sebab masih belum siap ketahuan oleh Mas Dimas, aku bingung harus menjawab apa. Dengan menghela napas panjang, aku pun mulai membuka mata perlahan. Ternyata Mas Dimas masih dalam kondisi tidur, tapi dia tengah mengigau. Ini hal biasa yang sering terjadi ketika ia hendak tidur sangat lelap sekali.Aku menurunkan bahu ketika ia memiringkan tubuhnya dan membelakangi pintu. "Syukurlah, akh pikir Mas Dimas memang sadar dengan kepergianku," bisikku bermonolog.Daun pintu aku buka kembali dan menutupnya pelan. Kemudian aku keluar dari kamar untuk menemui ibu yang ternyata sudah menunggu di sofa. "Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya ibu dengan suara pelan."Sudah, ayo kita pergi dari neraka ini," ajakku sambil menggandeng tangannya.Akhirnya kami bisa memutuskan untuk pergi dari rumah yang penuh dengan cacian, umpatan bahkan bully. Mereka tidak menyaring lagi tiap kali melontarkan kata-kata untuk kami. Mama dan Mas Dimas hanya memikirkan dir
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan untuk angkat saja teleponnya. Daripada berisik kalau tidak diangkat, ia pasti terus-menerus menghubungiku."Halo," ucapku."Halo, halo, nggak tahu diri kamu kabur? Cucian masih banyak. Sialan kamu!" hardik Mas Dimas.Aku membiarkannya bicara sendirian sampai ia puas dan tidak bicara lagi."Inggit! Dengar suami ngomong nggak sih? Hah! Kamu kabur? Tas ibumu nggak ada di rumah, sialan kalian!" Dia mengatakan itu lagi, ucapan yang sangat tidak pantas untuk dilontarkan terhadap mertuanya."Maaf, Mas. Aku ini seorang wanita, memang harus taat pada laki-laki, tapi suami yang bagaimana dulu, kalau suaminya baik dan Soleh tentu aku akan tetap bertahan di rumah. Tahukah kamu, Mas, lima tahun itu bukan waktu yang singkat," paparku cukup puas. Baru kali ini aku membalikkan kata-katanya dengan penuh nasihat."Tetap aja kamu salah, datang baik-baik ya keluar baik-baik dong! Jangan seperti maling kayak gitu, apa jangan-jangan kamu mencuri? Aku ak
'Mas Dimas?' Aku bertanya di dalam hati sambil menarik pergelangan tangan ibu untuk bersembunyi.Aku mengerucutkan bibir sambil menutupnya dengan jari telunjuk."Ada Dimas?" tanya ibu berbisik.Aku pun mengangguk sambil terus menatap dari kejauhan."Restoran di lantai dua, kan ya?" Wanita itu bicara pada Mas Dimas. Aku dapat mendengarnya dengan jelas."Kita ikuti mereka, Bu. Aku mau rekam atau fotoin sebagai bukti," ucapku pada ibu.Sekarang kami menunggu Mas Dimas naik lebih dulu ke lantai dua, sementara kami akan menyusulnya. Yang terpenting sudah tahu tujuan mereka hendak ke restoran yang ada di hotel ini.Namun, tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Pak Pram. Aku pun langsung menerima panggilan tersebut."Halo, Pak." ucapku lebih dulu."Halo, Tante." Suara mungil itu terdengar nyaring dan sangat menghiburku seketika."Eh, ternyata Jingga, kirain papanya Jingga," sahutku. "Hm, ada apa nih?" tanyaku lagi."Tante, aku mau ketemu Tante Inggit, boleh nggak?" tanyanya m
Aku berusaha tarik napas dan memutuskan untuk tidak gegabah. Jangan sampai mempermalukan diri sendiri di hadapan umum. Jika aku marah, itu artinya aku menjatuhkan harga diri sendiri. Seharusnya balas saja nanti dengan cara elegan."Aku nggak tahu kalau kamu dan papamu sekarang sesukses ini, aku salut," ucap Mas Dimas lagi."Ya, setelah aku sudah kaya raya kini banyak lelaki yang mendekati, termasuk kamu," celetuk wanita yang itu."Bukan aku orangnya, kita kan ketemu secara tidak sengaja, artinya itu adalah jodoh, bukan aku yang mendekatimu tapi Tuhan langsung," sahut Mas Dimas.Dulu juga Mas Dimas meyakinkan aku seperti itu, bilang bahwa kami adalah jodoh makanya dipertemukan oleh alam. Kenyataannya, setelah menikah, dia terang-terangan mengatakan bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya."Ya udah yuk, kita ke kamar! Aku sudah lama nih nggak___" Aku mendengar wanita itu becanda dengan suamiku saat dia memotong pembicaraannya. Gelak tawa seakan memperlihatkan bahwa Mas Dimas memang t
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su