Bakti Seorang Menantu

Bakti Seorang Menantu

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-26
Oleh:  RatuNna KaniaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.6
7 Peringkat. 7 Ulasan-ulasan
221Bab
24.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Ketika Mala yang hanya lulusan SMP, menikah dengan Rahman yang lulusan S1 . keluarga Rahman tak sepenuh hati menerima Mala, maka terjadilah banyak pertengkaran di rumah itu. bagaimana caranya Mala menyikapi keluarga Rahman, serta mertuanya yang sangat cerewet itu? simak terus ceritanya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

1. Kita tidak punya pembantu.

Braaak….

"Jangan mentang-mentang lagi hamil, terus dibuat alasan untuk bangun siang dan malas-malasan! Di rumah ini, nggak ada pembantu! Kamu anggap aku pembantu? Hah?!"

Mala membuka selimutnya dan mencoba duduk, setelah mendengar omelan mertuanya. Kebetulan kamarnya memang tidak terkunci, hingga dengan mudah Bu Samirah membuka pintu kamar menantunya sambil mengomel.

Mala merasa kepalanya pusing pagi ini, sejak subuh ia sudah bangun dan hanya menunaikan sholat, lalu kembali ke kamarnya. Mungkin efek kehamilannya yang baru menginjak dua bulan membuat Mala tidak seperti biasanya. Hingga membuat mertuanya geram.

"Enak banget, ya! Tidur sampai jam segini, rumah sudah bersih, makanan sudah matang, dan Nyonya besar baru bangun." Omelan Bu Samirah semakin nyaring di telinga menantunya. Tapi tak sepatah katapun di sahutinya oleh Mala.

Wanita 23 tahun itu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual seperti ingin memuntahkan sesuatu.

"Yang pernah ngidam itu bukan kamu doang! Saya juga dulu ngidam anak 4, gak ada kayak kamu, jangan drama, deh!" Lagi-lagi Bu Samirah mengomel, setiap apa gerakan Mala yang mata tangkap, tak pernah luput dari omelannya.

Mala memuntahkan isi perutnya hingga berurai air mata. Padahal perutnya sudah kosong sejak semalam. Karena sejak sebelum tidur pun ia muntah juga.

"Allah," lirih Mala sambil membasuh mukanya. Ia seolah berusaha menguatkan dirinya sendiri dengan keadaan seperti ini.

"Cepat sarapan, sana! Nanti anakmu kelaparan!" titah Bu Samirah yang melihat wajah menantunya sangat pucat. Ia juga merasa khawatir setelah melihat keadaan Mala, tapi sifat egois sangat mendominasi otaknya, hingga yang keluar dari mulutnya bukan kata-kata yang baik melainkan omelan pedas di setiap kata-nya.

Mala menyandarkan punggungnya di kursi makan, ia sejenak memejamkan matanya, dunia rasanya berputar, hingga untuk mengambil segelas air hangat saja ia butuh menstabilkan tubuhnya terlebih dahulu .

"Nih, minum." Bu Samirah meletakan segelas air hangat yang diambilnya dari termos. Mala membuka matanya melihat mertuanya yang berdiri tepat di sampingnya sambil memandangnya sinis.

"Buruan minum, biar gak dehidrasi," titahnya lagi, dengan pandangan mata yang tajam.

Mala meneguk air hangat yang di suguhkan mertuanya, meski bagaimanapun mertuanya ternyata masih peduli pada dirinya.

"Allahuakbar, Ibu sedang melayani Nyonya besar?" Eni bertanya sekaligus meledek ibunya. Eni adalah kakak sulung dari suaminya Mala. Bu Samirah hanya mendelik. menatap anaknya yang baru saja datang bersama ketiga cucunya.

"Waah, sayur asem," pekik Eni. Tatkala melihat isi tudung saji di meja makan. Ia langsung menyuruh anaknya mengambil 3 piring untuk mereka makan.

"Kamu emang gak masak di rumah, En?" tanya Bu Samirah dengan sedikit ketus. Karena ia memasak untuk porsinya berlima saja hingga sore. Namun dengan kedatangan Eni dan anaknya, sudah pasti untuk makan siang sang suami pun, ia harus masak kembali.

"Aku malas masak, Bu, anak-anak rewel," jawabnya dengan mulut penuh. Dipiring ya sudah penuh dengan tempe goreng, ikan pindang juga kerupuk kulit.

"Ayo, Mala kamu makan dulu, nanti keburu habis nasinya," ucap Bu Samirah. Sebenarnya ia khawatir kalau nasi beserta lauk yang ia masak tadi pagi akan habis oleh anak dan cucunya itu. Sudah pasti Rahman akan marah jika tahu istrinya blm makan, sedangkan untuk memasak lagi ia malas. Bukan hanya karena malas tapi tubuhnya juga tidak bisa diforsir seperti itu. Bisa kelelahan nantinya.

"Enak banget ya, jadi Nyonya besar! Makan aja di tawar-tawarin, anak sendiri mah boro-boro!" ucap Eni dengan sinis. Dia selalu iri pada Mala dalam hal apapun.

"Nggak ditawari juga sudah nyentong nasi. Apa kabar kalau ditawari?" timpal Ria yang baru saja datang dengan menenteng sebuah plastik.

Eni mendelik melihat adik bungsunya itu. Ria memang punya sifat judes dan kalau ngomong pedes banget. Kalau makanan bisa di levelkan pada tingkat 10++.

Ria gadis yang baik, hanya pada Eni dan istri Rahmat saja yang ngomongnya ketus karena kakak dan iparnya itu memang bisa dibilang gak tau diri.

"Awas, ya! Nanti kalau suamiku pulang, gak akan ku kasih jajan!" ancamnya sambil menghabiskan tempe di piring makannya.

"Halah, ngasih dua puluh ribu aja sampe tahu satu desa ini!" ejeknya.

"Dua puluh ribu juga duit, kamu belum bisa cari duit segitu! Lebaran kemarin juga aku yang beliin baju." Eni mengingatkan kebaikannya pada adik bungsunya.

Mala yang melihat itu semua, kepalanya makin pusing. Dan mual makin melanda,ia langsung berlari lagi ke kamar mandi dan memuntahkan air yang baru saja ia teguk.

"Mbak Mala, kenapa?" tanya Ria yang kini sudah berada diambang pintu kamar mandi.

"Namanya juga orang ngidam, ya begitulah! Mana aku lagi makan! Gak sopan. Huft." Eni membanting sendok Hingga suara dentingnya begitu nyaring.

"Kenapa Kakak makan disini? Gak punya rumah? Atau sengaja menghabiskan makanan kami?" Ria mengoceh sambil menuntun Mala yang hendak ke kamarnya. Tapi Eni tak menyahut omongan adiknya. Bisa berabe kalau Ria nanti ngadu sama suami dan bapaknya.

"Ayo, pulang," ajak Eni pada anak-anak yang baru saja menyelesaikan makan mereka.

"Heh, cuci piringnya dulu sebelum pulang! Di sini tidak ada pembantu!" teriak Ria. Sedangkan Bu Samirah, hanya memandang geram pada Eni dan anak-anaknya yang tetap melangkah keluar tanpa menghiraukan teriakan adiknya. Bu samirah pun tak berniat mencegah atau menyuruh Eni untuk membereskan bekas makan mereka. Ia terlalu lelah kalau harus berdebat kembali dengan anak sulungnya.

———RatuNnaKania———

Pagi itu, mentari begitu hangat menyinari halaman rumah besar milik Bu Samirah. Pak Edi sedang menikmati secangkir kopi dan berita di layar tv besar miliknya. Suasana rumah itu telah ramai dengan para penghuninya yang bersiap untuk melakukan rutinitas biasanya.

Rahman sudah mandi, sedangkan Mala masih bersandar di tempat tidurnya setelah morning sick menyerangnya tadi. Jangankan untuk menyiapkan sarapan, untuk hidupnya sendiri pun, Mala merasa kepayahan.

"Kita ke dokter?" ungkap Rahman yang melihat wajah pucat istrinya dari balik cermin.

"Tidak usah, Mas, kata Ibu, memang begini kalau lagi ngidam," jawabnya sambil membenarkan letak duduknya.

"Aku tak tega melihatmu setiap hari begini." Raut muka Rahman, begitu kelam, dirinya takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi wanita yang tengah duduk itu sedang mengandung anaknya.

"Engga apa-apa, Mas, dah sana pergi kerja," usirnya.

"Apa aku bisa tenang ninggalin kamu disini?"

"Aku baik-baik saja, ada Ibu juga-kan."

Rahman memandang lekat wajah Mala, sungguh ia tahu bagaimana sikap ibunya jika ia dan ayahnya tak di rumah. Namun ia juga tak mungkin terus di rumah menunggui Mala, sedangkan saat ini sedang membutuhkan biaya untuk persalinan nanti. Lelaki itu menarik nafas dalam. Ia tak punya pilihan lain untuk hari ini.

"Aku pamit, ya," ucapnya sambil mencium kening istrinya. Mala pun mencium tangan Rahman dengan takjim, lantunan doa mengiringi langkah suaminya hingga pintu itu tertutup.

"Bu, Pak, pamit ya," ujar Rahman pada kedua orangtuanya.

"Hati-hati di jalan," pesan Bu Samirah pada anak lelakinya.

Bu Samirah lalu bangkit, ia berniat membeli sayur di pengkolan depan. Jam segini memang sudah saatnya tukang sayur langganan warga kampung itu mangkal dekat pos ronda.

"Dua ikat kangkung sama tempe Mang," ucap Tika, seorang ibu beranak dua tetangga Bu Samirah.

"Gimana ada gizinya, Tik, makan tiap hari kangkung, tempe aja," ujar Bu Usman sambil mencebik.

"Yang penting masih bisa makan, iyakan, Tik?" Umi Hamzah menyahuti. Ia merasa kasian setiap hari Tika jadi bahan Bullyan ibu-ibu tetangganya.

"Kamu emang gak punya duit buat beli ayam, Tik?" tanya Bu Samirah yang baru saja datang tapi tak mau ketinggalan mengolok Tika.

"Ibu!" bentak Ria, yang kebetulan lewat hendak pergi kerja. Ia mendengar ucapan ibunya pada Tika.

"Kamu jalan kaki?" Bu Samirah malah balik bertanya, ketika melihat anak gadisnya ada disampingnya dengan stelan rapi hendak berangkat kerja.

"Maafkan ibuku ya, Tika," ucapnya sambil mengelus pundak tetangganya.

"Tenang, sudah biasa," jawab Tika dengan seulas senyum getir. Ria memandang tajam ke arah ibunya.

"Heh, Ria, gak sopan kamu ya, melihat ibumu seperti itu!" ucap Bu Usman sambil mendelik.

"Kalau mau disopanin ya harus sopan dulu, Bu!"

"Ngeyel tenan anakmu, Mirah!" ucapnya pada Bu Samirah yang sejak tadi diam karena takut sama Ria.

"Ria, pamit, Bu, jangan begitu lagi sama orang," ucapnya sambil mencium takjim tangan ibunya. Lalu ia melangkah meninggalkan kerumunan tukang sayur itu. Begitupun Tika, ia cepat-cepat meninggalkan para tetangganya setelah membayar sayuran miliknya.

"Si Tika itu penghasilan suaminya banyak lho, tapi kalau belanja ngirit banget," ucap Bu Usman, lagi-lagi membahas Tika.

"Mungkin duitnya mau dibawa mati!" sahut Bu Samirah sambil terkikik.

"Biarkan orang menikmati hidupnya, Bu, jangan terus kalian bully, kasian," ucap Umi Hamzah.

"Halah, Umi, ini sok-sokan membela Tika, tapi tetap senang ghibah sama kita," ucap Bu Samirah hingga membuat Umi Hamzah mendelik.

"Saya permisi, ibu-ibu, mau keliling lagi, sudah selesai kan belanjanya?" pamit Mamang sayur yang mulai jengah dengan obrolan para langganan sayurnya yang ajaib itu.

~~Bersambung~~

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

default avatar
muhamad15459541
gk diterusin ih ceritanya
2023-01-06 13:08:16
0
user avatar
Fei-Fei
terusin dong plisss
2022-12-28 13:17:59
0
user avatar
Fei_Fei 86
kapan dilanjut nya? kesel bgt gk update2
2022-12-11 17:38:45
0
user avatar
Aksara Ocean
Suka bangettttt! Cerita yang bagus, dan juga menarik. Semangat, kak......️...️...️...️
2022-06-22 00:07:08
1
user avatar
Tyarasani
Ceritanya bagus, semangat terus Thor ...
2022-06-16 09:31:03
1
user avatar
SachanStory
wih, cerita baru nih. semangat kak......️
2022-06-12 10:03:53
1
user avatar
diyah dhee
Babnya pendek2, tiap awal bab pengulangannya ga tanggung2. Bisa 2 paragraf sendiri. Padahal ceritanya lumayan oke ...
2022-09-14 13:30:04
0
221 Bab
1. Kita tidak punya pembantu.
Braaak…."Jangan mentang-mentang lagi hamil, terus dibuat alasan untuk bangun siang dan malas-malasan! Di rumah ini, nggak ada pembantu! Kamu anggap aku pembantu? Hah?!" Mala membuka selimutnya dan mencoba duduk, setelah mendengar omelan mertuanya. Kebetulan kamarnya memang tidak terkunci, hingga dengan mudah Bu Samirah membuka pintu kamar menantunya sambil mengomel.Mala merasa kepalanya pusing pagi ini, sejak subuh ia sudah bangun dan hanya menunaikan sholat, lalu kembali ke kamarnya. Mungkin efek kehamilannya yang baru menginjak dua bulan membuat Mala tidak seperti biasanya. Hingga membuat mertuanya geram."Enak banget, ya! Tidur sampai jam segini, rumah sudah bersih, makanan sudah matang, dan Nyonya besar baru bangun." Omelan Bu Samirah semakin nyaring di telinga menantunya. Tapi tak sepatah katapun di sahutinya oleh Mala. Wanita 23 tahun itu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual seperti ingin memuntahkan sesuatu.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-29
Baca selengkapnya
2. Tidak ada yang beres bagian A.
"Neneeeeek," panggil Wulan, anak pertama Rahmat. "Kamu sudah pulang sekolah, Lan?" tanya Bu Samirah, melihat cucunya datang padahal jam belum menunjukan waktu pulang sekolah. "Ulan gak sekolah, Nek, Mama kesiangan bangunnya," dengan polos. "Ya…Ampun, punya menantu dua biji gak ada yang beres. Istri si Rahmat malasnya gak ketulungan. Sampai-sampai anak sendiri tak sekolah," gerutunya sambil mengaduk balado ikan yang sedang di masaknya. "Ulan lapar, Nek," rengek bocah 8 tahun sambil mengelus perutnya. "Ibumu juga belum ngasih sarapan?" tanya Bu Samirah semakin geram. Wulan hanya memandang dengan wajah sendu. Bu Samirah dengan cepat nyentong nasi dan memberi balado ikan yang sebenarnya belum matang benar. Tapi ia tak ingin cucunya. "Sana makan," titahnya sambil menyodorkan piring pada Wulan. "Bu, Bu Samirah." panggil seseorang dari depan. "Siapa lagi itu, mana lagi repot." ketusnya. "Bu, Bu Samirah." Lagi suara Bu Usman menggema. "Ya…Robbi, mau ngapain lagi dia," gerutu Bu
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
3. Tidak ada yang beres bagian B.
Ikh, pelit banget sama tetangga juga, mati gak bawa ikan, Mir," cerocosnya saat Bu Samirah hanya memberi setengah potong saja. "Kamu nyicip loh, bukan minta makan bilangnya juga tadi!" Bu Usman mengingatkan ucapan tetangganya. "Tapi gak segini juga kali, eh, tapi enak banget lho, Mir. Bumbunya meresap, garam dan gulanya pas, empuk ikannya juga pas, gak terlalu matang." pujinya sambil mengecap ikan di mulutnya."Maaf, hanya itu yang bisa kamu makan, ini sudah jatah anak suamiku!" Bu Samirah tidak terlena dengan ucapan tetangganya yang ia tahu sering dibilang Ria katanya MODUS."Aku gak bilang minta lho, saya hanya menilai masakan kamu. Kamu pinter banget masak." Sekali lagi Bu Usman berkata manis pada tetangganya. Ia sangat hafal dengan Bu Samirah yang senang disanjung."Ya sudah, aku pamit, nanti sore kita jadi kan ikut pengajian di kampung sebelah?" tanya Bu Usman setelah menghabiskan ikan di piringnya. "Jadi lah, kita sudah tua harus banyak menghadiri pengajian, sisa umur kita su
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
4. Pinjam uang bagian A.
"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah. Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang."Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini. "Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang me
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
5. Pinjam Uang bagian B.
"Aku mau pindah kesini pokoknya, Bu!" Ku dengar Kak Eni berbicara sedikit tinggi nadanya dengan Ibu. Akh, bukankah Kak Eni tadi sudah keluar? Kok bisa balik lagi. Aku mendekati jendela ingin melihat ke halaman. Dimana sumber suara Kak Eni muncul."Mau tinggal dimana? Semua kamar terisi. Jangan ngada-ngada," tolak Ibu. "Suruh si Rahman, ngontrak saja, biar tahu bagaimana rasanya bayar kontrakan setiap bulan. Dia sudah setahun tinggal disini, gantian, giliran aku sekarang!" Kak Eni belum menyerah juga agar dapat uang untuk bayar kontrakan rumahnya. "Makanya kamu kalau suami gajian itu, mbok ya ingat, sisihkan buat bayar kontrakan. Bukannya malah jajan dan nge mall," semprot Ibu dengan tatapan mendelik. Kalau sudah begitu, biasanya Ibu yang akan mengeluarkan uang untuk Ka Eni. "Ada apa ini?" Ria memasukan motornya, ia baru aja pulang. Ku lihat ka Eni diam ketika melihat adik bungsunya datang. Kupastikan akan ada hal lebih besar dari sebuah pertengkaran."Ada apa, Bu?" Ku dengar Ria, b
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
6. Iba pafa Ibu bagian A.
Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing."Mala," panggil Ibu mertuaku."Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan."Mana uangnya?" Ibu menengadahkan tangannya padaku. Aku menatap ragu pada Ibu."Eh, anu, Bu. Mala gak ada uangnya," cicitku, mencoba tetap menolaknya. Walau bagaimanapun bukan kewajibanku memikirkan hidup Kak Eni. Dia pun seandainya suaminya lagi ada kerjaan, pasti akan tidak kenal dengan aku, bahkan dengan ibunya sendiri kadang tidak peduli. Tapi ketika suaminya menganggur, maka keluarga kami-lah yang akan dilibatkan, termasuk aku."Tadi kamu bilang ada uang buat selamatan empat bulanan, sini itu aja, Ibu pinjam dulu, biar si Eni gak bikin pusing lagi," ucap Ibu terlihat frustasi. "Tidak, Bu, syukuran tinggal dua Minggu lagi, Mala takut nanti pas hari H nya uangnya tidak ada, mau kemana lagi Mala sama Mas
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
7. Iba pada Ibu bagian B.
Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya."Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?" tanya Ria sambil mendekat ke arahku dan mendaratkan bokongnya di sampingku. Aku mengangguk dengan bingung. Ya, bingung. Karena kini aku harus memikirkan bagaimana cara menambah uang untuk acara dua Minggu lagi."Berapa?""Lima ratus ribu." "Nanti Ria ganti, ya, Kak, kalau gajian, tapi jangan bilang ke Ibu," ucapnya sepertinya gadis itu melihat kebingunganku. "Tidak usah, biar nanti, Kakak, saja yang nyari tambahnya." Aku menolaknya, aku tahu, gaji Ria cuma 1,5 juta rupiah. Bahkan untuk kebutuhannya saja mungkin tidak cukup, karena setengah gajinya ia berikan pada Ibu. Ria hanya bekerja di sebuah kantor pemasaran rumah subsidi di kota kami. Memang dia akan dapat bonus disetiap bisa menjual satu rumah, tapi tidak besar dan aku hapal ga
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
8. Tawaran jadi PNS bagian A.
"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Masing-masing membawa bungkusan di tangan mereka."Ya … Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria. Aku melongo melihat kedatangan Kak Eni serta ketiga anaknya dengan bawaan di tangan mereka. "Salam itu wajib dijawab, malah pada bengong kayak ayam kena penyakit," ucap Kak Eni sambil menjatuhkan tasnya dengan kasar. Ketiga anaknya pun langsung berebut remot tv hingga menimbulkan kegaduhan. "Ada apa ini?" Ibu seketika keluar dari kamar dengan heran. "Eh, jangan berisik! jangan berebut begitu, nanti remotnya rusak, gak bisa lagi mindahin channel TV-nya." Ibu dengan segera mengambil remotnya dari tangan Nayla. "Eni, nih uangnya untuk bayar kontrakan. Sana bawa barang-barangmu dan juga anak-anakmu, Ib
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
9. Tawaran jadi PNS bagian B.
"Mas.""Kenapa?" "Mas, ada masalah, ya? Kok, aku ngerasa ada sesuatu.""Maksudnya?" "Cerita dong!" Aku mulai merangsek mendekatinya lagi, Mas Rahman malah menjatuhkan bobotnya ditepi tempat tidur. Dia menatapku lalu menghembuskan nafasnya. Semakin membuat aku penasaran ada apa dengannya?"Mas, bingung mau memulai ceritanya dari mana.""Ada apa sih, Mas? Aku jadi deg degan." ucapku sambil memegang dadaku, sekalian berusaha menggodanya."Kemarin, Mas, ketemu sama Alif temen kuliah Mas dulu," ucapnya lalu diam, aku ikut diam dan tetap mendengarkan apa lagi selanjutnya yang akan diucapkan suamiku."Alif mengajak, Mas, ke Lampung. Dan akan mengusahakan membantu untuk jadi Pegawai Negeri! Jika sudah dapat, maka nanti bisa pindah lagi kesini. Disana hanya untuk mendapatkan SK saja, dengan syarat harus mengabdi beberapa tahun. Tapi, bagaimana dengan kamu? Untuk ikut pun, belum memungkinkan dengan keadaan hamil seperti ini." Kaget, senang dan sedih ketika ku dengar apa yang Mas Rahman kata
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
10. Selalu salah bagian A.
Ku tatap lelaki yang menikahiku setahun lalu. Ada rasa berat melepasnya. Aku takut, takut jika seandainya nanti Mas Rahman jadi PNS dia malah lupa daratan, dia akan melupakan aku dan anaknya. Akh, pikiran apa ini!Fenomena sikap suami bergelar PNS bukan hanya isapan jempol. Itu hanya oknum, Mala! Oknum. Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. ~~~~"Bang, ada ayam?," tanyaku pada tukang sayur langganan."Eh, Mala tumben belanja, biasanya Bu Samirah yang belanja " ucap Bu Usman. Aku hanya tersenyum, tak berniat menjawab pertanyaan sang Ratu gosip di kampung ini."Begitu dong jadi mantu, jangan durhaka sama mertua, masa mertua dijadiin babu! Ingat, Bu Samirah itu wanita yang melahirkan si Rahman," cerocosnya. Apakah aku marah? Tentu saja. Tapi ini Bu Usman yang bicara, jadi aku hanya mendengarkannya saja."Bu Usman, jangan suka ikut campur urusan orang," ucap Umi Hamzah sambil memilah sayur. "Bu Usman kalau gak nyampuri urusan orang bisa stroke, Bu," timpal seseibu yang
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-08
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status