"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah.
Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang.
"Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini.
"Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang mengusirku dari rumah Ibu? Kalau begitu aku sungguh senang sekali. Jadi ada alasan untuk meminta pisah rumah pada Mas Rahman dan Ibu.
Sesungguhnya tinggal bersama mertua itu butuh kesabaran yang luas dan hati yang sangat lapang, dan belum aku miliki. Ini semua terpaksa aku lakukan demi baktiku pada Mas Rahman. Apalagi, kami memang belum punya rumah.
"Cepetan! MANA UANGNYA?" bentaknya, begitu bengis pandangannya padaku. Bagaimana mungkin aku mau minjemin uang, kalau cara pinjamnya begini. Allah, sabarkan aku. Aku beristighfar dalam hati, takut aku terbawa amarah dan melawan kakak iparku ini. Kepalaku mulai berdenyut melihat kelakuan Kak Eni yang tak tahu malu ini.
"Sudah Mala bilang-kan, Kak, Mala gak ada uang simpanan yang harus dipinjamkan. Adapun uang memang hanya cukup buat kebutuhan Mala sama Mas Rahman." Aku tetap menolaknya. Karena kalau aku beralasan gak ada uang, Kak Eni sangat tahu jadwal gajian suamiku.
"Kamu memang kelewatan pelitnya, Mala, padahal aku yang ngurusin Rahman waktu kecil, aku yang nyuci pup-nya dia, kamu istrinya tinggal enaknya saja. Tapi pelit sekali padahal aku pinjam bukan minta!" Kak Eni, keukeuh memaksa ingin aku memberinya pinjaman. Dan aku tidak akan sebodoh kemarin lagi, saat Kak Eni pinjam Emas yang sedang aku pakai.
"Maaf, kak, Mala mual," ucapku lalu buru-buru berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku.
"Alasan saja, dasar pelit, biarin nanti lahirannya susah!" gerutuan Kak Eni yang aku dengan diantara aktivitas muntahku. Dengan tega ia menyumpahi calon keponakannya sendiri. Luar biasa sekali mulutnya itu.
Kak Eni sepertinya marah sekali, lalu aku bisa apa? Meminjamkan uang lagi dan dia tidak berniat membayar lagi? Tidak, aku tidak peduli walaupun seluruh dunia men-cap ku adik ipar yang pelit dan perhitungan. Untuk saat ini aku harus mengatur keuanganku. Apalagi kehamilanku sudah menginjak 14 Minggu, itu artinya bulan depan aku harus mengadakan syukuran. Ya memang belum ada hadis mewajibkannya, tapi ini kehamilan pertamaku. Aku ingin seperti kehamilan yang lain, diadakan syukuran empat bulanan, juga tujuh bulanan. Karena adat di kampung ini, ya seperti itu.
Banyak biaya yang harus aku keluarkan nantinya. Aku pun selalu berhemat untuk hal apapun, biar apa? Biar gaji suamiku bisa cukup untuk segala hal.
Jujur saja, tinggal dengan mertua ada hal plus minusnya. Di satu sisi aku bisa menghemat uang kontrakan. Meski Mas Rahman selalu menjatah uang untuk ibunya setiap bulan. Belanja pun kadang dari Ibu. Meski kadang sikap Ibu galak dan bengis, tapi tidak pelit kalau untuk makan anak dan suaminya. Ingat bukan untuk aku ya. Namun keberadaan aku di rumah ini, bak sasaran empuk bagi ka Eni, pinjam uang lah, bahkan makan pun sering numpang.
2cf2-408b-8172-e8567ffb2f44
"Aku mau pindah kesini pokoknya, Bu!" Ku dengar Kak Eni berbicara sedikit tinggi nadanya dengan Ibu. Akh, bukankah Kak Eni tadi sudah keluar? Kok bisa balik lagi. Aku mendekati jendela ingin melihat ke halaman. Dimana sumber suara Kak Eni muncul."Mau tinggal dimana? Semua kamar terisi. Jangan ngada-ngada," tolak Ibu. "Suruh si Rahman, ngontrak saja, biar tahu bagaimana rasanya bayar kontrakan setiap bulan. Dia sudah setahun tinggal disini, gantian, giliran aku sekarang!" Kak Eni belum menyerah juga agar dapat uang untuk bayar kontrakan rumahnya. "Makanya kamu kalau suami gajian itu, mbok ya ingat, sisihkan buat bayar kontrakan. Bukannya malah jajan dan nge mall," semprot Ibu dengan tatapan mendelik. Kalau sudah begitu, biasanya Ibu yang akan mengeluarkan uang untuk Ka Eni. "Ada apa ini?" Ria memasukan motornya, ia baru aja pulang. Ku lihat ka Eni diam ketika melihat adik bungsunya datang. Kupastikan akan ada hal lebih besar dari sebuah pertengkaran."Ada apa, Bu?" Ku dengar Ria, b
Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing."Mala," panggil Ibu mertuaku."Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan."Mana uangnya?" Ibu menengadahkan tangannya padaku. Aku menatap ragu pada Ibu."Eh, anu, Bu. Mala gak ada uangnya," cicitku, mencoba tetap menolaknya. Walau bagaimanapun bukan kewajibanku memikirkan hidup Kak Eni. Dia pun seandainya suaminya lagi ada kerjaan, pasti akan tidak kenal dengan aku, bahkan dengan ibunya sendiri kadang tidak peduli. Tapi ketika suaminya menganggur, maka keluarga kami-lah yang akan dilibatkan, termasuk aku."Tadi kamu bilang ada uang buat selamatan empat bulanan, sini itu aja, Ibu pinjam dulu, biar si Eni gak bikin pusing lagi," ucap Ibu terlihat frustasi. "Tidak, Bu, syukuran tinggal dua Minggu lagi, Mala takut nanti pas hari H nya uangnya tidak ada, mau kemana lagi Mala sama Mas
Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya."Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?" tanya Ria sambil mendekat ke arahku dan mendaratkan bokongnya di sampingku. Aku mengangguk dengan bingung. Ya, bingung. Karena kini aku harus memikirkan bagaimana cara menambah uang untuk acara dua Minggu lagi."Berapa?""Lima ratus ribu." "Nanti Ria ganti, ya, Kak, kalau gajian, tapi jangan bilang ke Ibu," ucapnya sepertinya gadis itu melihat kebingunganku. "Tidak usah, biar nanti, Kakak, saja yang nyari tambahnya." Aku menolaknya, aku tahu, gaji Ria cuma 1,5 juta rupiah. Bahkan untuk kebutuhannya saja mungkin tidak cukup, karena setengah gajinya ia berikan pada Ibu. Ria hanya bekerja di sebuah kantor pemasaran rumah subsidi di kota kami. Memang dia akan dapat bonus disetiap bisa menjual satu rumah, tapi tidak besar dan aku hapal ga
"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Masing-masing membawa bungkusan di tangan mereka."Ya … Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria. Aku melongo melihat kedatangan Kak Eni serta ketiga anaknya dengan bawaan di tangan mereka. "Salam itu wajib dijawab, malah pada bengong kayak ayam kena penyakit," ucap Kak Eni sambil menjatuhkan tasnya dengan kasar. Ketiga anaknya pun langsung berebut remot tv hingga menimbulkan kegaduhan. "Ada apa ini?" Ibu seketika keluar dari kamar dengan heran. "Eh, jangan berisik! jangan berebut begitu, nanti remotnya rusak, gak bisa lagi mindahin channel TV-nya." Ibu dengan segera mengambil remotnya dari tangan Nayla. "Eni, nih uangnya untuk bayar kontrakan. Sana bawa barang-barangmu dan juga anak-anakmu, Ib
"Mas.""Kenapa?" "Mas, ada masalah, ya? Kok, aku ngerasa ada sesuatu.""Maksudnya?" "Cerita dong!" Aku mulai merangsek mendekatinya lagi, Mas Rahman malah menjatuhkan bobotnya ditepi tempat tidur. Dia menatapku lalu menghembuskan nafasnya. Semakin membuat aku penasaran ada apa dengannya?"Mas, bingung mau memulai ceritanya dari mana.""Ada apa sih, Mas? Aku jadi deg degan." ucapku sambil memegang dadaku, sekalian berusaha menggodanya."Kemarin, Mas, ketemu sama Alif temen kuliah Mas dulu," ucapnya lalu diam, aku ikut diam dan tetap mendengarkan apa lagi selanjutnya yang akan diucapkan suamiku."Alif mengajak, Mas, ke Lampung. Dan akan mengusahakan membantu untuk jadi Pegawai Negeri! Jika sudah dapat, maka nanti bisa pindah lagi kesini. Disana hanya untuk mendapatkan SK saja, dengan syarat harus mengabdi beberapa tahun. Tapi, bagaimana dengan kamu? Untuk ikut pun, belum memungkinkan dengan keadaan hamil seperti ini." Kaget, senang dan sedih ketika ku dengar apa yang Mas Rahman kata
Ku tatap lelaki yang menikahiku setahun lalu. Ada rasa berat melepasnya. Aku takut, takut jika seandainya nanti Mas Rahman jadi PNS dia malah lupa daratan, dia akan melupakan aku dan anaknya. Akh, pikiran apa ini!Fenomena sikap suami bergelar PNS bukan hanya isapan jempol. Itu hanya oknum, Mala! Oknum. Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. ~~~~"Bang, ada ayam?," tanyaku pada tukang sayur langganan."Eh, Mala tumben belanja, biasanya Bu Samirah yang belanja " ucap Bu Usman. Aku hanya tersenyum, tak berniat menjawab pertanyaan sang Ratu gosip di kampung ini."Begitu dong jadi mantu, jangan durhaka sama mertua, masa mertua dijadiin babu! Ingat, Bu Samirah itu wanita yang melahirkan si Rahman," cerocosnya. Apakah aku marah? Tentu saja. Tapi ini Bu Usman yang bicara, jadi aku hanya mendengarkannya saja."Bu Usman, jangan suka ikut campur urusan orang," ucap Umi Hamzah sambil memilah sayur. "Bu Usman kalau gak nyampuri urusan orang bisa stroke, Bu," timpal seseibu yang
"Bang, ada kangkung," tanya Tika yang baru saja datang."Kangkung lagi, Tik? Pasti kawan lainnya tempe dan tahu," ucap Bu Usman."Emang kenapa gitu, Bu?" Tika yang biasanya diam kali ini dia mulai bersuara."Ndak apa-apa, cuma saya melihat kamu setiap hari beli kangkung aja dah bosen, gimana kalau memakannya. Mbok, ya beli yang bergizi, Tik." Bu Usman menatap Tika dengan tatapan meremehkan. "Bu, saya dan anak-anak suka sekali tumis kangkung, emang salah ya, apakah berdosa jika saya makan kangkung tiap hari? Buat saya sih, ya, Bu. Makan dengan lauk apapun tak jadi masalah. Yang penting saya gak suka minjem duit sama tetangga kalau ada kebutuhan mendadak." tegasnya sambil mengeluarkan smirk evilnya.Bu Usman sedikit melotot mendengar penuturan Tika. Sepertinya dia tersindir, karena yang aku tahu, Bu Usman sering meminjam uang sama Ibu mertuaku, tapi ketika tak dikasih pinjam, maka ibunya Tika-lah orang selanjutnya yang akan ia datangi."Saya pinjam sama siapapun juga bayar tepat waktu,
"Alhamdulillah ya, Mas, tidak ada yang kurang," ucap Mala dengan binar bahagia. Ia tersenyum lega."Iya, Mas juga was-was. Alhamdulillah juga kita tidak sampai berhutang.""Besok, keberangkatanmu, Mas. Aku rasanya gimana gitu," ucap sang istri sambil menatap lekat wajah suaminya. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang kian menampakkan identitasnya bahwa ia wanita yang sedang hamil."Hei, aku berangkat kesana dengan sejuta cita-cita untuk kita, aku, kamu juga anak ini," ucap Rahman sambil mengelus perut istrinya. Mala tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia merapatkan tubuhnya dan memeluk suaminya kemudian menangis sesenggukan di dada bidang suaminya, tempat dimana ia begitu merasa nyaman saat bersandar di sana.Jauh dilubuk hati Rahman, pun merasakan sakit yang tiada terkira, saat istrinya hamil, ia diharuskan menjauh demi sebuah pekerjaan. Namun tidak ada pilihan lain selain memang harus pergi dan meninggalkan istri juga keluarga sementara. Perekonomian keluarganya bergantung pada di
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda