Lavanya melangkah ke kantor dengan gontai. Menggunakan blazer abu-abu dan rok pensil hitam, ia tampak begitu feminin. Sedikit pun tidak ada firasat dalam dirinya kalau hari ini akan terjadi sesuatu yang besar.
Suasana di kantor tampak tidak seperti biasa. Para rekan kerjanya berbisik-bisik.
"Nya, sini!" Dian melambaikan tangan pada Lavanya yang sudah berada di kursinya.
Lavanya melempar senyum dari jauh. Ia sedang malas mendengar gosip apa pun.
Melihat Lavanya hanya tersenyum tanpa ada niat untuk bergabung, Dian, Lina dan Sari menghampirinya.
"Nya, udah dengar gosip terbaru belum?" kata Dian.
"Gosip apa?" tanya Lavanya tanpa minat.
"Pak Herman bakal dimutasi dan kita bakal punya kepala cabang yang baru."
"Oh. Terus kenapa?" respon Lavanya yang tidak terlalu tertarik. Mutasi atau rotasi jabatan bukanlah hal yang aneh.
Dian mencondongkan tubuhnya ke arah Lavanya dan berbisik dengan suara rendah. "Kabar baiknya dia masih muda dan ganteng banget!!!"
Lina dan Sari cekikan menanggapi Dian yang berbinar-binar menyampaikan gosip terbarunya.
Lavanya hanya tersenyum singkat.
"Idih, kok responnya cuma segitu doang?" Dian belum puas melihat reaksi Lavanya yang apa adanya dan cenderung tanpa minat.
"Jadi aku harus gimana? Loncat-loncat? Jingkrak-jingkrak?"
Dian mendengkus. "Ya nggak gitu juga, Nya. Tapi setidaknya kamu bisa lebih excited. Ini kepala cabang yang baru lho! Biasanya ‘kan orang baru pasti jadi pusat perhatian."
Lina ikut menimpali. "Iya. Apalagi kalau sekeren yang kita dengar dari gosip. Katanya dia gagah, pintar, tegas tapi tetap humble."
"Belum tentu juga sih, jangan-jangan cuma mitos. Ntar pas datang biasa aja," sahut Sari sambil terkikik.
Lavanya tersenyum lagi. "Ya udah, nanti kalau udah datang kita lihat sendiri aja gimana orangnya."
Mereka bertiga masih cekikikan membahas kemungkinan seperti apa kepala cabang yang baru. Sedangkan Lavanya memilih untuk fokus pada pekerjaannya.
Sampai beberapa jam kemudian suasana kantor mulai berubah. Semua orang terlihat lebih rapi dari biasanya. Beberapa karyawan pria merapikan pakaian mereka. Sementara para wanita mengecek penampilan masing-masing di layar ponsel atau cermin kecil yang selalu ada di dalam tas.
Seorang lelaki memasuki ruangan dengan jas hitam yang pas di tubuhnya. Wajahnya tampak tampan dengan sorot mata yang teduh. Rambunya tertata rapi, menunjukkan kesan profesional yang kuat.
Lavanya yang tadinya tidak terlalu tertarik kini mematung di tempatnya. Jantungnya lebih cepat dari biasanya. Karena lelaki yang berdiri di sana, yang kini diperkenalkan sebagai kepala cabang baru oleh kepala HRD adalah seseorang yang sangat dikenalnya, seseorang yang juga pernah datang sebelumnya.
Danish.
Suasana kantor menjadi riuh oleh bisik-bisik. Beberapa karyawan wanita saling menyenggol, berbisik tentang betapa tampannya pria itu.
Namun Lavanya tidak bisa mendengar mereka dengan jelas. Dunia seakan mengecil, menyisakan hanya dirinya dan Danish.
Danish juga melihatnya. Tatapan mereka bertemu sesaat dan ada kilasan perasaan yang sulit Lavanya artikan di dalam mata lelaki itu.
Danish tersenyum tipis. "Senang bertemu lagi dengan kalian semua. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik," ucapnya.
Di saat semua orang bertepuk tangan, Lavanya justru merasa dadanya semakin sesak.
Kepindahan Danish ke kota A adalah suatu hal. Tapi menjadi atasannya di kantor?
Lavanya tidak pernah menyangka ini akan terjadi.
**
Lavanya sedang berkaca di cermin wastafel toilet. Bekas tamparan Erik masih ada, menyisakan warna kemerahan di pipinya.
Mengingat suaminya yang sekarang sudah berani bermain tangan membuatnya semakin sakit. Bukan hanya fisik, tapi terlebih batinnya.
Lavanya keluar dari toilet. Akibat terburu-buru berjalan ia hampir menabrak seseorang yang berjalan di lorong toilet dari arah yang berlawanan.
"Maaf, maaf, nggak senga—" ucapan Lavanya menggantung begitu saja ketika menyadari orang yang hampir ia tabrak adalah Danish.
Pria itu menatapnya dengan dahi mengerut. Sesuatu dalam suaranya membuat Lavanya meremang, terlebih saat tangan besarnya tiba-tiba menyentuh pipi Lavanya.
"Kenapa pipi kamu lebam?"
**
Lavanya menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah akibat tamparan Erik."Nggak apa-apa," jawabnya pelan.Danish mempersempit jarak di antara mereka, matanya menatap Lavanya dengan penuh selidik. "Nggak apa-apa gimana? Ini pipi kamu merah banget."Suara itu membuat Lavanya ingin jatuh, tapi ia tidak punya tempat untuk bersandar."Maaf, Pak, saya harus kembali kerja."Lavanya melangkah cepat melewati Danish. Namun lelaki itu mencekal lengannya. Tidak keras, tapi berhasil menghentikan langkah Lavanya."Lavanya, kalau kamu ada masalah, kamu tahu akan cerita ke siapa, 'kan? Aku siap mendengarnya, Nya.""Terima kasih, Pak, tapi saya baik-baik saja."Usai mengatakan kalimat singkat itu Lavanya melepaskan tangannya, meninggalkan Danish yang berdiri di lorong, menatap punggungnya yang semakin menjauh.**Ruangan meeting hari itu terasa lebih dingin. Lavanya duduk di sisi kiri meja, sedangkan Danish di ujungnya. Saat ini Danish sedang memimpin presentasi tender untuk proyek besar
Lavanya memasuki ruangannya dengan tubuh lesu. Ia langsung menghempaskan diri ke kursi. Menyalakan komputer, ia menatap grafik angka penawaran yang telah disusunnya dengan rapi dan penuh perhitungan tapi ditolak Danish. Semua terasa sia-sia dan tidak ada gunanya. "Lemes banget, kenapa sih?" tanya Nadia yang mendatangi mejanya.Lavanya tidak bersuara. Ia menjawab dengan tatapan yang tertuju pada layar komputer."Oh itu." Nadia ikut memperhatikan layar komputer Lavanya. "Udahlah, Nya. Ikuti aja maunya Pak Bos. Kita cuma kacung. Yang punya kuasa tetap yang di atas."Iya, mereka hanya bawahan di kantor itu yang harus menuruti semua aturan dan keputusan atasan. Namun kali ini Lavanya benar-benar kecewa.Lavanya menghela napas. Ditatapnya Nadia yang masih berdiri di dekat mejanya. "Dia bilang harga kita nggak make sense, tapi dia sadar nggak sih kalau angka yang dia ajukan justru nggak masuk akal? Dengan harga setinggi itu kita nggak bakal menang. Kalau katanya nggak apa-apa kalah daripada
Hari sudah beranjak malam saat Danish pulang dari kantor. Saat ini ia sedang duduk di kursi belakang mobil sambil termenung. Ia sedang memikirkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Lavanya. Meski sudah mendapatkan data Lavanya dari file karyawan, namun itu baginya belum cukup. Sosok Lavanya terus membayanginya. Tatapannya yang sendu seakan menahan kesedihan yang mendalam, caranya membawa diri dengan ketegaran yang seolah dipaksakan membuat Danish tahu bahwa Lavanya memang tidak baik-baik saja. Jangan pernah lupakan, Lavanya pernah menjadi orang terdekatnya, jadi Danish tahu bagaimana perempuan itu."Pak Dharma," panggil Danish pada supir perusahaan yang kini menjadi supir pribadinya."Iya, Pak," jawab lelaki separuh baya itu sambil memandang Danish melalui spion tengah."Bapak sudah lama kerja di sini?""Lumayan, Pak. Sudah hampir sepuluh tahun," jawab Dharma dengan sopan."Kalau begitu Bapak tahu banyak tentang karyawan di kantor?""Lumayan, Pak."Danish terdiam sejenak, memikirkan
Menurut kabar, hari ini hasil tender keluar. Tim tender berkumpul menunggu pengumuman resmi dari klien. Lavanya duduk dengan wajah tegang. Ia harap harga tinggi yang dipertahankan Danish tidak akan sia-sia. Serenity Construction-lah pemenangnya.Beberapa menit kemudian email dari klien masuk. Riza segera membacanya dengan suara lantang."—maka ditetapkan proyek pembangunan rumah sakit dimenangkan oleh PT. Indonesia Raya."Seketika suasana ruangan berubah senyap. Atmosfer tegang menyelubungi dengan kental. PT. Indonesia Raya adalah perusahaan yang Lavanya maksudkan kala meeting waktu itu. Mereka berani memasang harga murah dari perusahaan lainnya.Lavanya mengembuskan napas. Danish juga berada di sana. Ekspresi pria itu begitu sulit dibaca. Entah Lavanya harus tertawa atau sedih sekarang. Mereka gagal meraih proyek itu. Proyek besar yang direbutkan banyak perusahaan.Embusan napas penuh kekecewaan perlahan-lahan mengisi ruangan. Namun tak lama kemudian Riza berseru, "Bentar, ada emai
Lavanya menahan napas, berusaha tidak terpancing. Ia menjelaskan dengan baik-baik. "Iya, Bu. Aku memang baru bisa pulang jam segini karena harus lembur. Lagi ada proyek besar yang aku kerjakan.""Selalu lembur yang kamu jadikan alasan. Kamu pikir Ibu nggak tahu?""Tahu apa, Bu?" Lavanya balik bertanya sambil mengerutkan dahinya."Kamu pasti selingkuh, bukan kerja! Apalagi Ibu dengar di kantor kamu ada bos baru. Laki-laki dan masih muda. Kamu sering berduaan dengan dia."Lavanya refleks terdiam. Memang benar yang dikatakan mertuanya mengenai atasan barunya. Seorang laki-laki dan masih muda. Tapi ia tidak habis pikir dari mana Neli tahu mengenai hal tersebut. Apalagi sampai menudingnya berselingkuh."Kenapa diam? Nggak punya alasan buat ngeles karena yang Ibu katakan nggak salah? Gitu kan?!" ucap Neli merasa menang.Lavanya menggelengkan kepalanya, menyangkal tudingan sang mertua. "Bukan begitu, Bu. Ibu salah. Aku di kantor kerja lembur nggak hanya berdua, tapi dengan tim. Lagian Ibu den
Hari-hari berikutnya, interaksi Lavanya dan Danish semakin intens. Setiap hari mereka lembur dan lebih seringnya hanya berdua. Nadia meminta cuti demi merawat anaknya yang sakit.Lavanya sebenarnya merasa resah dan tidak nyaman. Apalagi semenjak ibu mertua menuduhnya selingkuh karena terlalu sering lembur. Tapi apa boleh buat, Lavanya tak mungkin lari dari tanggung jawab. Karena itu, sebisa mungkin Lavanya menjaga jarak dari Danish. Ia hanya berbicara seperlunya saja dengan pria itu.Malam ini, Lavanya dan Danish duduk di depan komputer masing-masing. Hanya suara keyboard dan jarum jam yang terdengar. Merasa perutnya lapar, Lavanya bangkit dari kursi. Ia bermaksud membuat mie di pantry. Tadi ia membeli sebungkus mie instan untuk mengganjal perutnya."Permisi sebentar, Pak, saya mau ke pantry," izinnya pada Danish."Boleh nitip kopi?""Kopi dan gulanya masing-masing berapa sendok, Pak?"Danish terdiam. Apa Lavanya benar-benar sudah lupa? Dulu Lavanya hafal betul berapa takaran kopi y
Lavanya memegang pipinya yang perih. Perasaannya begitu terluka diperlakukan seperti ini. Benar kata orang. Sekali saja lelaki sudah main fisik maka ia akan terbiasa dan terus melakukannya tanpa rasa bersalah."Seharusnya aku yang tanya sama kamu. Kamu yang kenapa? Kenapa semakin hari semakin nggak sopan sama Ibu?" bentak Erik dengan keras. Suaranya menggema di kamar mereka yang ukurannya tidak seberapa."Aku nggak sopan gimana, Mas?" tanya Lavanya tidak habis pikir. Justru ia sudah bersikap sesopan mungkin pada mertuanya. Tidak satu kali pun ia bersikap kurang ajar padanya."Ibu belum selesai ngomong tapi kamu langsung melipir. Apa itu yang dinamakan sopan, hah?!""Aku ‘kan udah minta izin buat masuk ke kamar, Mas. Aku pergi karena ingin menghindari pertengkaran dengan ibu. Lagian kapan kamu bisa membela aku di depan ibumu, Mas?" ujar Lavanya dengan perasaan kecewa."Apanya yang harus dibela? Udah jelas-jelas kamu bersalah. Apa nggak ngerti juga?" Suara Erik kembali keras, matanya me
"Gimana sih kamu? Sengaja ya numpahin teh ke tangan Mona?" Tiba-tiba saja hardikan keras itu terdengar. Berasal dari mulut Neli yang ditujukan pada Lavanya."Maaf, aku nggak sengaja," ucap Lavanya dengan perasaan bersalah. Bukan dusta. Kejadian itu terjadi begitu saja. Tiba-tiba tangan Mona menyenggol tangannya hingga teh itu akhirnya tumpah.Erik dengan cepat mengambil tisu dari kotak di atas meja lalu menyeka tangan Mona dan juga baju perempuan itu.Lavanya tertegun menyaksikan pemandangan tersebut. Sesuatu terasa menjentik hatinya. Kenapa Erik tega melakukan hal ini padanya? Kenapa Erik tidak menghargainya sebagai istri?"Sakit?" tanya Erik sambil menatap Mona penuh perhatian seakan tumpahan teh tersebut bisa membuat kulit perempuan itu melepuh."Nggak, Mas, udah nggak apa-apa," jawab Mona sambil tersenyum manis. Perhatian Erik membuat hatinya berbunga-bunga, hingga ia lupa kalau istri sah lelaki itu ada di sana.Erik kembali duduk di tempatnya lalu menatap Lavanya dengan tajam.
Pagi mulai menjelang. Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Di sebuah kamar yang didominasi oleh warna putih, sepasang anak manusia masih bergelung di bawah selimut dengan tubuh tanpa busana. Kemarin mereka menghabiskan malam yang panas sampai kelelahan.Erik terbangun lebih dulu. Ia menggeliatkan tubuhnya. Lelaki itu tersentak saat menyaksikan tubuh tanpa sehelai benang di sebelahnya.Seketika ingatannya membawa pada kejadian kemarin malam. Seharusnya ia tidak berada di sini. Semestinya ia berada di rumah sakit menemani istrinya mendampingi anak mereka yang sakit. Namun semalam karena larut dalam suasana ia menjadi hilang kendali dan melupakan segalanya.Mengusap wajahnya dengan kasar, Erik bangun lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia menghela napas lalu memungut pakaiannya yang berceceran di lantai, mengenakannya."Mas Erik, mau ke mana?" Suara Mona terdengar. Perempuan itu baru bangun.Erik menoleh. "Aku pulang sekarang, Mon. Udah pagi."Semalam Mona mengatakan bahwa orangtuanya m
Erik memacu motornya dengan kencang menuju rumah Mona. Ia menyalip dengan sembarangan ketika ada kendaraan yang menghalanginya di depan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Mona. Ia akhirnya tiba di rumah mantan kekasihnya. Suasana rumah malam itu terhitung sunyi. Hanya ada suara samar gemerisik daun dari pohon yang tumbuh di halaman.Di beranda rumah, Mona sedang duduk menunggu Erik. Ia tersenyum manis menyambut kedatangan lelaki itu."Akhirnya Mas Erik datang juga," ucapnya senang."Aku nggak mungkin membiarkan kamu sendirian dalam keadaan begini, Mon." Erik membalas senyuman Mona.Mona membukakan pintu untuk Erik. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam rumah."Kamar Mona di lantai atas. Karena gelap tadi Mona hampir kepeleset, Mas," beber perempuan itu sembari memimpin langkah menaiki tangga.Tiba di kamar, Erik mendapati suasana gulita. Hanya ada sedikit cahaya dari luar yang menembus jendela sebagai sedikit penerangan.Erik mendongak, menatap lampu y
Erik tidak kunjung kembali hingga malam tiba. Hanya Lavanya sendiri yang menjaga Belia di rumah sakit. Bahkan Lavanya masih memakai pakaian kerjanya tadi pagi. Lavanya mengambil handphone. Ia bermaksud menelepon Erik dan meminta agar dibawakan pakaian ganti. Tapi setelah sambungan terhubung Erik tidak juga menjawab panggilan darinya hingga berkali-kali Lavanya men-dial.Akhirnya Lavanya menyerah. Ia mematikan panggilan terakhir dengan embusan napas kecewa."Mama barusan nelepon Papa?" tanya Belia yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya.Lavanya beralih menatap Belia kemudian menganggukkan kepala."Terus Papanya mana, Ma? Tadi Mama bilang Papa cuma keluar sebentar. Sampai sekarang kok nggak balik-balik?"Tatapan Lavanya jatuh lebih lekat di wajah Belia. Ia bisa merasakan bahwa anaknya tersebut begitu berharap akan kehadiran ayahnya."Mama telepon Papa tapi nggak dijawab. Mungkin Papa masih sibuk. Bentar ya Mama chat Papa dulu.""Suruh Papa ke sini ya, Ma?" pinta Belia."Iya, Sayan
"Papa ke mana, Ma? Kenapa Papa pergi?" Belia merengek melihat Erik meninggalkannya."Papa ke luar sebentar. Ada perlu katanya." Lavanya terpaksa berbohong pada anaknya. Ia sama sekali tidak tahu Erik pergi ke mana. Lelaki itu pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa memberi tahu. Tidak juga meminta izin.Belia menatap pintu kamar yang tertutup rapat dengan harapan ayahnya akan segera kembali. "Papa perginya lama ya, Ma?""Nggak... Papa hanya sebentar.""Tadi Papa marah sama Mama ya? Papa marah sama aku juga ya?""Papa nggak marah sama siapa-siapa, Sayang." Lavanya menyangkal sembari tangannya membelai lembut kepala Belia. Hatinya begitu sedih saat mengatakan itu. Tapi apa lagi yang bisa ia ucapkan? Belia tidak akan mengerti kalau cinta bisa melukai dan perasaan tidak akan sama selamanya."Tapi tadi aku dengar Papa bentak-bentak Mama."Lavanya ingin mengatakan bahwa Belia hanya sedang bermimpi. Bahwa sikap Erik padanya baik-baik saja. Namun rasanya sudah terlalu sering ia membohongi anak
"Aku belum selesai," kata Erik ketika Lavanya membalikkan badannya dan berniat untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada Belia.Lavanya memejamkan mata sembari menahan napas. Benar dugaannya. Erik masih berniat melanjutkan pertengkaran."Apa lagi, Mas?" tanya Lavanya tanpa melihat lelaki itu.Erik merengkuh tubuh Lavanya hingga menghadap padanya. "Sebenarnya ada hubungan apa di antara kalian?" tatapnya dengan sorot menusuk tajam."Maksud Mas?""Jangan bilang kalau hubungan kamu dan dia hanya sebatas atasan dan bawahan.""Tapi memang begitu faktanya, Mas. Hubungan aku dan Pak Danish hanya sebatas atasan dan bawahan di kantor. Nggak lebih," kata Lavanya menegaskan."Nggak lebih kamu bilang? Aku ngeliat sendiri gimana caranya memandang kamu, caranya bicara, semua gestur tubuhnya menunjukkan lebih dari itu.""Itu hanya perasaan Mas saja," sangkal Lavanya. "Itu bukan hanya perasaanku, tapi fakta. Dia punya rasa sama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?""Sebenarnya Mas hanya ngerasa insecure
Danish terdiam di sisi pintu. Matanya memandang Lavanya dan Erik yang berdiri saling berhadapan penuh ketegangan. Walaupun ia tidak mendengar percakapan di antara keduanya, namun atmosfer panas yang melingkupi ruangan cukup memberinya gambaran. Telah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di sini. Ingin berbalik pergi, namun ia sudah terlanjur membuka pintu dan terlihat oleh keduanya."Maaf, saya nggak tahu kalau Mas Erik sudah datang," kata Danish dengan sopan. Ia melangkahkan kakinya pelan masuk ke dalam kamar. Diletakkannya kantong berisi makanan di atas meja di samping tempat tidur Belia. "Ini saya belikan nasi untuk makan siang Lavanya dan Mas Erik. Silakan dimakan kalau Mas Erik berkenan," sambungnya. Sebenarnya satu bungkus nasi lagi adalah untuknya. Namun karena melihat Erik sudah ada di sana Danish menjadi sungkan.Erik mengirim tatapan tajam pada Danish. Dadanya naik turun menahan emosi yang memuncak. Lavanya yang menyadari situasi semakin genting melangkah menghampiri Danis
Lavanya salah jika mengira Erik akan langsung meledak. Lelaki itu justru terdiam menatap Lavanya dalam keheningan yang mencekam. Namun, Lavanya tahu dari rahangnya yang mengeras dan wajahnya yang menggelap sebentar lagi Erik akan memuntahkan kemarahan. "Lagi-lagi dia!" Erik akhirnya bersuara. Nadanya rendah tapi begitu tajam. "Kenapa selalu ada dia di setiap urusan kamu?""Mas, kamu jangan langsung emosi. Ini bukan tentang aku, bukan tentang dia dan bukan tentang kamu. Tapi tentang anak kita," ucap Lavanya mencoba memberi pengertian sebelum bara dalam amarah Erik membesar."Tapi kamu selalu melibatkan dia! Kamu biarin dia membawa kamu dan membawa anakku ke rumah sakit mahal, di kamar VIP pula. Jangan-jangan dia yang bayar. Iya?"Lavanya menundukkan wajahnya. Tak perlu repot-repot menjawab karena keheningannya sudah cukup sebagai jawaban.Erik tertawa pelan. Tawa yang begitu penuh dengan amarah. Harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang suami terasa dilukai oleh sikap Danish. "Hebat
Alih-alih menelepon atau mengirimi Lavanya pesan, Erik menanyakan keberadaan kamar Belia ke bagian informasi rumah sakit. Petugas di sana menjawab bahwa Belia dirawat di kamar VIP 01. Erik terkejut mengetahuinya. "Di kamar VIP?""Benar sekali, Pak," jawab petugas setelah mengecek sekali lagi datanya di komputer.Lalu tanpa berterima kasih Erik pergi begitu saja. Langkahnya tertuju ke kamar yang disebutkan petugas tadi. Lelaki itu menggeram di dalam hati. Lavanya selalu bilang kekurangan uang, tapi bisa-bisanya menempatkan Belia di kamar VIP yang tentunya tidak murah. Bagaimana dia membayarnya?Erik benar-benar tidak habis pikir atas sikap Lavanya yang bertentangan dengan ucapannya.Ketika tiba di kamar VIP 01, Erik tidak langsung masuk ke kamar tersebut. Ia berdiri di depan pintu sambil menghela napasnya. Lalu tanpa mengetuk ia membuka pintu dan menerobos begitu saja. Lavanya yang sedang menggenggam tangan Belia yang sedang tidur terkejut atas kedatangan lelaki itu. Pikirnya Erik t
Sudah berjam-jam berlalu. Belia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap karena harus menjalani perawatan sampai beberapa hari ke depan. Namun, Erik masih belum muncul juga.Hanya Danish yang setia menemani Lavanya sejak tadi. Mulai dari pergi ke sekolah Belia, mengantar ke rumah sakit, mendampingi Lavanya yang bergumul dengan kekhawatiran, hingga membujuk Belia yang menangis karena ingin membuka jarum infus di tangannya.Lavanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia tersentak seolah baru tersadar.'Ini kan kamar VIP, biayanya pasti mahal,' lirihnya di dalam hati.Tadi karena panik jadi Lavanya tidak terlalu memperhatikan ketika Danish mengurus kamar untuk Belia. Lavanya pikir Danish akan menempatkan Belia di kamar biasa. Nyatanya ia salah.Lavanya menggigit bibirnya. Buana Hospital adalah rumah sakit swasta ternama di kota A. Dan masalahnya adalah asuransi karyawan di kantornya tidak meng-cover perawatan jenis apa pun di rumah sakit tersebut. Kantornya hanya bekerja sama dengan rumah s