Menurut kabar, hari ini hasil tender keluar. Tim tender berkumpul menunggu pengumuman resmi dari klien. Lavanya duduk dengan wajah tegang. Ia harap harga tinggi yang dipertahankan Danish tidak akan sia-sia. Serenity Construction-lah pemenangnya.Beberapa menit kemudian email dari klien masuk. Riza segera membacanya dengan suara lantang."—maka ditetapkan proyek pembangunan rumah sakit dimenangkan oleh PT. Indonesia Raya."Seketika suasana ruangan berubah senyap. Atmosfer tegang menyelubungi dengan kental. PT. Indonesia Raya adalah perusahaan yang Lavanya maksudkan kala meeting waktu itu. Mereka berani memasang harga murah dari perusahaan lainnya.Lavanya mengembuskan napas. Danish juga berada di sana. Ekspresi pria itu begitu sulit dibaca. Entah Lavanya harus tertawa atau sedih sekarang. Mereka gagal meraih proyek itu. Proyek besar yang direbutkan banyak perusahaan.Embusan napas penuh kekecewaan perlahan-lahan mengisi ruangan. Namun tak lama kemudian Riza berseru, "Bentar, ada emai
Lavanya menahan napas, berusaha tidak terpancing. Ia menjelaskan dengan baik-baik. "Iya, Bu. Aku memang baru bisa pulang jam segini karena harus lembur. Lagi ada proyek besar yang aku kerjakan.""Selalu lembur yang kamu jadikan alasan. Kamu pikir Ibu nggak tahu?""Tahu apa, Bu?" Lavanya balik bertanya sambil mengerutkan dahinya."Kamu pasti selingkuh, bukan kerja! Apalagi Ibu dengar di kantor kamu ada bos baru. Laki-laki dan masih muda. Kamu sering berduaan dengan dia."Lavanya refleks terdiam. Memang benar yang dikatakan mertuanya mengenai atasan barunya. Seorang laki-laki dan masih muda. Tapi ia tidak habis pikir dari mana Neli tahu mengenai hal tersebut. Apalagi sampai menudingnya berselingkuh."Kenapa diam? Nggak punya alasan buat ngeles karena yang Ibu katakan nggak salah? Gitu kan?!" ucap Neli merasa menang.Lavanya menggelengkan kepalanya, menyangkal tudingan sang mertua. "Bukan begitu, Bu. Ibu salah. Aku di kantor kerja lembur nggak hanya berdua, tapi dengan tim. Lagian Ibu den
Hari-hari berikutnya, interaksi Lavanya dan Danish semakin intens. Setiap hari mereka lembur dan lebih seringnya hanya berdua. Nadia meminta cuti demi merawat anaknya yang sakit.Lavanya sebenarnya merasa resah dan tidak nyaman. Apalagi semenjak ibu mertua menuduhnya selingkuh karena terlalu sering lembur. Tapi apa boleh buat, Lavanya tak mungkin lari dari tanggung jawab. Karena itu, sebisa mungkin Lavanya menjaga jarak dari Danish. Ia hanya berbicara seperlunya saja dengan pria itu.Malam ini, Lavanya dan Danish duduk di depan komputer masing-masing. Hanya suara keyboard dan jarum jam yang terdengar. Merasa perutnya lapar, Lavanya bangkit dari kursi. Ia bermaksud membuat mie di pantry. Tadi ia membeli sebungkus mie instan untuk mengganjal perutnya."Permisi sebentar, Pak, saya mau ke pantry," izinnya pada Danish."Boleh nitip kopi?""Kopi dan gulanya masing-masing berapa sendok, Pak?"Danish terdiam. Apa Lavanya benar-benar sudah lupa? Dulu Lavanya hafal betul berapa takaran kopi y
Lavanya memegang pipinya yang perih. Perasaannya begitu terluka diperlakukan seperti ini. Benar kata orang. Sekali saja lelaki sudah main fisik maka ia akan terbiasa dan terus melakukannya tanpa rasa bersalah."Seharusnya aku yang tanya sama kamu. Kamu yang kenapa? Kenapa semakin hari semakin nggak sopan sama Ibu?" bentak Erik dengan keras. Suaranya menggema di kamar mereka yang ukurannya tidak seberapa."Aku nggak sopan gimana, Mas?" tanya Lavanya tidak habis pikir. Justru ia sudah bersikap sesopan mungkin pada mertuanya. Tidak satu kali pun ia bersikap kurang ajar padanya."Ibu belum selesai ngomong tapi kamu langsung melipir. Apa itu yang dinamakan sopan, hah?!""Aku ‘kan udah minta izin buat masuk ke kamar, Mas. Aku pergi karena ingin menghindari pertengkaran dengan ibu. Lagian kapan kamu bisa membela aku di depan ibumu, Mas?" ujar Lavanya dengan perasaan kecewa."Apanya yang harus dibela? Udah jelas-jelas kamu bersalah. Apa nggak ngerti juga?" Suara Erik kembali keras, matanya me
"Gimana sih kamu? Sengaja ya numpahin teh ke tangan Mona?" Tiba-tiba saja hardikan keras itu terdengar. Berasal dari mulut Neli yang ditujukan pada Lavanya."Maaf, aku nggak sengaja," ucap Lavanya dengan perasaan bersalah. Bukan dusta. Kejadian itu terjadi begitu saja. Tiba-tiba tangan Mona menyenggol tangannya hingga teh itu akhirnya tumpah.Erik dengan cepat mengambil tisu dari kotak di atas meja lalu menyeka tangan Mona dan juga baju perempuan itu.Lavanya tertegun menyaksikan pemandangan tersebut. Sesuatu terasa menjentik hatinya. Kenapa Erik tega melakukan hal ini padanya? Kenapa Erik tidak menghargainya sebagai istri?"Sakit?" tanya Erik sambil menatap Mona penuh perhatian seakan tumpahan teh tersebut bisa membuat kulit perempuan itu melepuh."Nggak, Mas, udah nggak apa-apa," jawab Mona sambil tersenyum manis. Perhatian Erik membuat hatinya berbunga-bunga, hingga ia lupa kalau istri sah lelaki itu ada di sana.Erik kembali duduk di tempatnya lalu menatap Lavanya dengan tajam.
"Mama, coklatnya enak deh, Ma. Tante Mona baik ya, Ma." Kedatangan Belia yang masuk ke dalam kamar membuat Lavanya tersentak dari lamunannya.Lavanya tersenyum menatap putrinya. "Iya," jawabnya singkat. "Udah habis semua kue dan coklatnya?""Udah, Ma. Diminta Yosi dan Yoga." Belia sedikit cemberut ketika mengatakannya yang membuat Lavanya yakin pasti kedua anak itu memaksa untuk memberikannya."Nggak apa-apa, Sayang. Yosi dan Yoga ‘kan saudara Belia juga.""Tapi giliran mereka yang punya makanan dan aku minta, mereka nggak mau kasih, Ma. Mereka pelit banget," tutur Belia mengadukan kejadian yang pernah dialaminya."Belia nggak usah minta-minta sama Yosi dan Yoga ya. Minta-minta itu nggak bagus.""Tapi kenapa setiap aku ada makanan mereka selalu minta sama aku, Ma?" Belia menatap Lavanya dengan wajah polosnya.Lavanya terdiam sesaat. Ia menatap putrinya yang menampilkan raut bingung. Bagaimana cara menjelaskannya? Belia belum akan paham mengenai apa yang terjadi.Akhirnya Lavanya membe
Gerakan tangan Lavanya yang sedang membangunkan Belia terhenti begitu saja kala mendengar perkataan Erik. Ia mendongak dan menemukan mata suaminya yang berkilat marah."Kenapa nggak boleh? Belia anakku juga, Mas. Aku yang mengandung dan melahirkan dia.""Tapi aku ayahnya. Kalau aku nggak ada, dia juga nggak akan ada!" jawab Erik keras.Lavanya terdiam sambil menatap Belia dengan perasaan sedih. Ia tidak mungkin membebaskan dirinya sendiri dan meninggalkan Belia di rumah itu. Siapa yang akan mengurus Belia? Bagaimana jika anaknya tersebut bertanya tentangnya? Ke mana Mama, Pa? Kenapa Mama nggak pulang-pulang?"Kenapa diam kamu? Katanya mau pergi. Katanya nggak suka hidup denganku!" sergah Erik keras mencemooh Lavanya yang membisu bagai patung."Aku nggak mungkin pergi tanpa Belia. Aku nggak akan meninggalkan anakku bersamamu dan keluargamu, Mas. Aku nggak mau anakku terus terzalimi," jawab Lavanya yang kembali menatap Erik."Berhenti menjelek-jelekkan keluargaku. Tahu diri sedikit! Kam
Lavanya yang sejak tadi duduk canggung di sebelah Danish menjadi semakin tegang. Jantungnya berdetak kencang melihat tatapan tajam Erik ke arah mobil."Itu suami kamu?" tanya Danish yang kini memandang ke arah beranda."Iya," jawab Lavanya pelan. "Saya turun dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya," sambungnya tanpa berniat menawarkan Danish untuk mampir."Sama-sama."Lavanya langsung membuka pintu setelah mendengar jawaban Danish. Namun sebelum ia benar-benar turun Lavanya masih mendengar ucapan lelaki itu."Hati-hati, Nya. Jaga diri kamu baik-baik."Lavanya tertegun sesaat. Ucapan Danish begitu sederhana, tapi entah mengapa sangat membekas di hatinya. Tapi ia tidak membiarkan pikirannya lama-lama mencerna hal itu. Dari arah beranda Erik masih memandang padanya.Akhirnya yang Lavanya ucapkan adalah, "Terima kasih, Pak, saya baik-baik saja."Setelahnya, tanpa menunggu Danish bicara lagi Lavanya langsung turun dari mobil. Sementara Danish masih tetap di sana. Ia menunggu sejenak.
Rumah orangtua Danish berdiri dengan megah di sebuah kawasan elit yang berada di Jakarta Selatan. Arsitekturnya bergaya klasik modern dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar dan halaman yang begitu luas. Di sisi kanan terdapat taman beraneka bunga dengan lampu taman yang bercahaya terang. Di samping taman itu ada sebuah kolam renang berbentuk persegi dengan air berwarna biru yang menyejukkan mata.Gerbang hitam setinggi tiga meter otomatis terbuka, memberi jalan untuk taksi yang keduanya tumpangi. Lavanya meremas tali tasnya. Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Ada perasaan asing menjalari dirinya. Semacam rasa tidak pantas berada di tempat itu. Bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya membuat nyalinya sedikit ciut."Ayo kita turun," ajak Danish ketika taksi berhenti tepat di halaman rumah.Lavanya menghela napas, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang di dalam istana besar itu.Rumah itu terlihat sunyi. Mungkin para penghuninya sudah bera
Lavanya tersentak kaget kala mendengar dering suara ponsel. Bukan miliknya, tapi berasal dari pria di seberang mejanya. Seluruh lamunannya mengenai masa lalu buyar saat itu juga.Danish mengambil handphonenya dan melihat nama 'Mami' di layar. Ternyata ibunya yang menelepon."Boleh aku terima telepon dulu?" katanya meminta izin pada Lavanya.Danish tidak berubah. Dari zaman mereka berpacaran dulu selalu sama. Setiap kali mereka bersama dan ada telepon masuk ia akan selalu meminta izin terlebih dahulu pada Lavanya sebelum menjawabnya. Hanya saja yang berubah saat ini adalah status hubungan mereka."Silakan, Pak," jawab Lavanya sopan. "Saya mau ke toilet dulu." Ia pikir Danish butuh privasi untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana."Kamu nggak perlu pergi, Nya. Itu telepon dari Mami, nggak ada yang rahasia," cegah Danish seolah tahu apa yang saat ini mengisi kepala Lavanya.Lavanya urung melaksanakan niatnya. Ia tetap duduk di tempat. Lantaran tidak ingin dianggap menguping, Lav
Lavanya menundukkan kepala, memutus pertemuan mata yang intens di antara mereka. Beruntung pelayan restoran datang mengantar pesanan keduanya.Dua piring hidangan disajikan untuk mereka. Roasted chicken wing with garlic herb butter untuk Lavanya, serta tenderloin steak untuk Danish. Sedangkan untuk minumannya iced lychee tea favorit Lavanya dan juice apple kesukaan Danish.Baru melihatnya saja Lavanya sudah merasakan kesegaran mengaliri tenggorokannya. "Silakan dimakan, Nya," suruh Danish.Lavanya mengangguk lalu menyuap sayap ayamnya. Setiap potongan yang ia telan seakan sedang memanggil kenangan masa lalu ke permukaan. Kenangan indah yang sayangnya sangat menyesakkan dada. Rasa garlic butter yang gurih membawanya ke kamar tidur rumah kontrakannya beberapa tahun yang silam.Lavanya ingat betul kejadiannya. Saat itu Lavanya sedang sakit. Perubahan cuaca yang tiba-tiba dan sukar diprediksi berhasil melumpuhkannya. Semalam ia pulang kehujanan. Kebetulan di saat itu daya tahan tubuhnya
Setelah meeting selesai Danish membawa Lavanya ke hotel tempat mereka akan menginap selama dua hari ini.Sebenarnya Danish bisa saja menginap di rumah orangtuanya, tapi ia memilih menginap di hotel dengan Lavanya. Alasannya sederhana, agar ia bisa mendampingi Lavanya jika sewaktu-waktu perempuan itu membutuhkan.Sepanjang perjalanan menuju hotel yang terletak tidak jauh dari kantor Serenity Group, Lavanya tidak mengatakan apa pun. Momen manis saat meeting tadi membuatnya merasa canggung pada Danish. Apalagi ia tahu persis seluruh peserta rapat memerhatikan mereka.Mobil yang membawa keduanya berbelok memasuki halaman sebuah hotel bintang lima dan menurunkan mereka tepat di depan lobi. Seorang petugas hotel dengan sigap membawakan koper Lavanya dan Danish. Setelah check in, sepasang mantan kekasih itu naik ke kamar yang berada di lantai atas yang letaknya bersebelahan."Mau makan dulu atau istirahat?" tanya Danish setelah tiba di depan pintu kamar Lavanya."Istirahat dulu, Pak. Dan ka
Puluhan menit kemudian guncangan ringan dari helikopter yang menyesuaikan ketinggian membuat Lavanya terbangun. Seiring dengan kelopak matanya yang terbuka, ia merasakan tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Meski begitu sakit di perutnya tidak kunjung hilang. Sedetik setelahnya ia menyadari sesuatu yang berbeda. Ternyata kepalanya berada di pundak Danish. Entah sejak kapan. Lavanya yang terkejut seketika mengangkatnya. Pipinya bersemu karena malu."Maaf, Pak, saya nggak nyadar, tadi ketiduran," ucapnya tanpa berani memandang pada lelaki di sampingnya.Lelaki itu menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Ia terlihat santai. "Kamu terlalu banyak meminta maaf, Nya. Kamu nggak salah apa-apa padahal."Walau Danish menganggap sebagai hal yang wajar, tetapi tertidur di pundak atasan sekaligus mantan kekasih, tidaklah lazim menurut Lavanya.Kepalanya tertunduk semakin dalam, mengimbangi rasa malu yang kian menyebar. Berbagai perasaan melingkupi hatinya. Antara malu, terharu dan juga nyaman. Ke
Pagi itu gerimis kecil baru saja membasahi kota A. Lavanya tiba di kantor dengan menggunakan taksi. Setelah berterima kasih, ia menjinjing koper kecilnya ke dalam kantor. Erik masih tidur saat ia tinggalkan tadi. Meskipun suaminya itu tidak mengizinkan, Lavanya tetap pergi. Kemarin malam Lavanya juga menelepon Nadia, meminta bantuannya untuk mengantar jemput Belia ke sekolah selama dirinya tidak berada di Jakarta, jika Erik melalaikan tugasnya."Kamu sudah siap, Nya?" tanya Danish begitu melihat Lavanya muncul.Lavanya mengangguk dan mengatakan, "Sudah, Pak.""Kita berangkat sekarang. Kita nggak naik pesawat komersial. Kemarin Bu Ratna nggak jadi mengatur penerbangan untuk kita karena kantor pusat mengirim helikopter untuk berangkat," jelas Danish di sela-sela langkah menuju mobil yang standby di depan lobi.Lavanya menelan saliva. Apa katanya? Berangkat dengan helikopter? Itu artinya selain ada pilot, ia hanya berdua dengan Danish, 'kan?Entah kenapa tiba-tiba saja detak jantung L
Terbangun pagi ini, sekujur tubuh Lavanya terasa sakit-sakitan, terutama bagian perut bawahnya. Andai saja bisa Lavanya ingin beristirahat di rumah. Namun lantaran sudah mengambil cuti waktu Belia sakit, Lavanya tidak enak jika harus absen lagi. Ia memaksakan diri untuk berangkat ke kantor."Lemas banget, Nya, mukamu pucat," kata Nadia ketika melihat Lavanya muncul. "Lagi sakit?""Masa?" Lavanya memegang pipinya.Nadia mengangguk."Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak." Lavanya berdalih menyembunyikan keadaannya.Nadia tidak sepenuhnya percaya namun tidak memperpanjangnya. "Gimana Mas Erik? Ada tanda-tanda mencurigakan?" tanyanya dengan suara separuh berbisik."Ya gitu.""Ya gitu gimana?"Lavanya menghela napas. Tidak tahu dari mana harus memulai. Yang akhirnya ia katakan adalah, "Aku nggak pernah membahas mengenai foto itu.""Ih, gimana sih? Dia selingkuh lho! Dia check in di hotel!" kata Nadia geregetan. Jika ia menjadi Lavanya, ia pasti sudah bertengkar hebat dengan suaminya. Ba
"Biar kandungan kamu kuat, Lavanya. Ibu masih ingat, dulu beberapa kali kamu hampir keguguran waktu mengandung Belia," jawab Neli membeberkan alasannya. Lavanya mengerutkan dahi. Perubahan sikap Neli yang begitu drastis hanya dalam waktu satu malam menimbulkan kecurigaan tak berkesudahan di hatinya. "Kenapa tiba-tiba Ibu berubah sikap? Bukankah kemarin Ibu ngotot maksa aku buat menggugurkannya?" "Kemarin Ibu memang berpikiran begitu. Tapi ibu merenung dan menyadari kalau Ibu salah. Bagaimana mungkin Ibu menyuruh kamu meminta menggugurkan cucu sendiri. Anak kamu adalah cucu Ibu juga. Walau bagaimanapun dia adalah daging Erik. Ibu minta maaf soal kemarin." Lavanya terdiam. Neli tampak bersungguh-sungguh, membuat Lavanya berada di ambang keraguan. "Ayo! Tunggu apa lagi? Kasihan Bu Yati. Dia udah nunggu kamu pulang dari tadi." Suara Neli terdengar mendesak dan penuh tuntutan. Lavanya melirik ke arah Erik, meminta bantuan agar mendukungnya. Namun suaminya itu hanya diam. Ia duduk
Saat jam makan siang Lavanya benar-benar pergi dengan Danish. Yang orang-orang kantor tahu adalah keduanya pergi bersama mengantar dokumen penawaran tender. Tidak terlalu lama, mereka akhirnya tiba di komplek perumahan yang dituju. Perumahan tersebut masih baru dan terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota. Jalan yang membentang di sana juga sudah diaspal licin. Setelah melalui gerbang perumahan, Danish menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berwarna krem. Rumah tipe 36 itu memang sederhana, tapi begitu manis dengan bunga-bunga yang tumbuh di halaman kecil di depannya."Ini salah satu unit yang siap huni. Letaknya strategis, nggak terlalu jauh dari gerbang. Tapi kalau kamu kurang sreg, kita bisa mencari unit lain," jelas Danish sembari turun dari mobil dan menunjuk rumah di hadapan mereka.Lavanya mengamati rumah tersebut dengan saksama. Ada jendela-jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari masuk dengan leluasa. Pintunya yang mengilat, baru selesai dipernis dan berwarna