Tania dan Rania adalah sepasang kembar identik yang hidup terpisah oleh keadaan. Tania tinggal di desa bersama pamannya sedangkan Rania tinggal di kota bersama suaminya. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui jika mereka kembar karena wajah mereka yang begitu mirip. Demi memiliki keturunan dan suaminya, Malik bahagia. Rania meminta Tania untuk menikah dengan suaminya. Suatu hal yang tidak berikan, yaitu melahirkan anak dan dan menjadi ibu yang sempurna. Akankah Tania menerima permintaan saudara kembarnya tersebut. Bisakah Malik menerima Tania sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari hidupnya?
View MoreDi sebuah rumah besar dan megah. Terdengar suara rintihan wanita yang berasal dari salah satu kamar yang berada di sana. Suaranya begitu terasa memilukan seakan dia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
"Angkat mas," ucapnya penuh harap. Menunggu telponnya tersambung dengan nomer yang sedang di panggilnya. Lama menunggu yang di teleponnya tak kunjung juga mengangkat telpon. Rania, nama wanita tersebut. Melemparkan ponselnya ke atas kasur kemudian kembali menahan perutnya yang terasa sakit. Ia mencengkram sprei hingga tidak berbentuk lagi untuk menyalurkan rasa sakit yang sedang di alaminya. "Rania!" panggil seorang wanita paruh baya dari arah dapur. Wajahnya terlihat mengkerut menandakan ia sedang kesal. "Rania!" panggilnya lagi. Kali ini dengan setengah berteriak. "Non Rania di kamarnya, Bu," jawab seorang wanita yang memakai seragam pekerja. Ia menarik napas pelan, sebab merasa kasihan pada gadis yang terus di panggil oleh majikannya. Wanita paruh baya tersebut bernama, Bu Fatma. Nyonya sekaligus mertua Rania. Dia menatap tajam kepada asisten rumah tangganya. Bu Fatma tahu jika semua orang di rumahnya begit menyayangi Rania. "Sudah jam berapa ini? Dasar menantu pemalas," gerutu Bu Fatma kepada Bi Asih. "Biar saya saja yang masak. Emang Ibu mau saya masakin apa?" tanya Bi Asih mengajukan diri. Tak ingin suasana rumah yang damai harus di awali dengan omelan majikannya terhadap menantunya. Rania sering kali mendapat omelan dari ibu mertuanya. Dia selalu di perlakukan seperti pembantu pada umumnya meskipun statusnya seorang menantu di rumah itu. Rania menikah dengan Malik, anak semata wayang Bu Fatma. Bu Fatma memang tidak menyetujui Malik menikah dengan Rania selain karena Rania hanya gadis biasa. Gadis itu juga bukan tipe menantu ideal bagi Bu Fatma. Oleh sebab itu, Bu Fatma kerap kali memperlakukan Rania dengan buruk. "Coba panggil Rania, Bi. Saya mau dia yang memasak," titah Bu Fatma kepada Bi Asih. "Baik, Nyonya." Bi Asih menaruh kembali pisau yang hendak di gunakan untuk memotong sayuran. Perintah Bu Fatma adalah sebuah keharusan yang segera di laksanakan. Bu Fatma membantingkan bokongnya di kursi makan yang ada di belakangnya. Bibirnya terus cemberut serta deru napas yang turun naik. Dia memaikan jarinya jemarinya di atas meja makan, menahan kesal. Bi Asih menaiki anak tangga setengah berlari. Dia menarik napas berkali-kali karena usianya sudah tidak semuda dulu. Tulang pinggangnya terasa mau lepas. Tok! Tok! "Non Rania, di panggil ibu," ujar Bi Asih sambil terus mengetuk pintu kamar. Bi Asih menunggu sejenak, berharap yang di panggil segera membuka pintu kamar dan menjawab panggilannya. Akan tetapi, setelah menunggu pintu kamar tetap masih tertutup dan belum ada pergerakan. Bi Asih kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil Rania. Dari dalam kamar, Rania berusaha untuk bangun dan berjalan ke arah pintu. Tangannya terus menahan perutnya yang terasa begitu sakit. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Hal itu membuat tubuhnya lemas tak bertenaga. "Bi Asih!" panggil Rania pelan karena sudah tidak kuat lagi menahan sakit. Pandangannya mulai kabur begitu kakinya menginjak lantai. Brukk! Terdengar bunyi sesuatu jatuh dari dalam kamar. Bi Asih terkejut karena suaranya seperti orang terjatuh. Ia kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil Rania berkali-kali. "Non Rania. Non ga apa-apa?" tanya Bi Asih mulai cemas. Pikirannya mulai kalut karena Rania terus diam membisu. Bi Asih refleks membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci. Mata Bi Asih melotot melihat Rania sudah tergeletak di lantai. "Ya Allah, Non Rania," pekik Bi Asih. Ia berlari menghampiri tubuh Rania yang tak sadarkan diri.Bi Asih mengguncang tubuh Rania pelan. Namun, Rania masih terpejam. "Nyonya, Tolong!" Bi Asih berteriak memanggil Bu Fatma yang berada di lantai bawah. Tangannya mengelus pipi Rania berusaha membangunkan sebisanya. Bi Asih semakin panik karena tubuh Rania terasa dingin serta wajahnya pucat pasi. "Nyonya, Tolong." Bu Fatma yang mendengar teriakan Bi Asih. Bangkit dari tempat duduknya dan bergegas naik ke lantai dua. Dia sempat menggurutu sebelum melihat Bi Asih dan Rania di lantai. "Rania kenapa, Bi?" tanya Bu Fatma Panik. "Saya gak tau, Bu. Saya hanya mendengar bunyi jatuh dari dalam kamar, makanya saya nekat masuk." Bi Asih menundukan wajah saat menjawab pertanyaan Bu Fatma. "Dasar menantu merepotkan." Bu Fatma berjongkok di samping tubuh Rania, ia menekan leher dan nadi pada pergelangan tangan. Taka lama wajahnya yang masam berubah menjadi panik. "Cepat panggil ambulance!" titah Bu Fatma kepada Bi Asih. Bi Asih bergegas keluar menuju telpon yang berada di luar kamar. Kebetulan Malik yang kembali pulang karena ada beberapa file yang tertinggal. Handphonenya juga mati sebab lupa di carger. Malik masuk kedalam rumah dan berlari ke arah tangga. Malik mengerutkan kening melihat Bi Asih berdiri memegang telpon dengan wajah panik. Ia belum sempat bertanya karena mendengar Bu Fatma berteriak memanggil Bi Asih. Merasa ada yang tidak beres, Malik masuk ke dalam kamar. "Ya Allah, Rania." Malik terkejut melihat Rania berada di pangkuan ibunya. Bu Fatma sedikit gelisah, takut Malik menyalahkannya. "Rania kenapa, Ma?" tanya Malik sambil memeluk tubuh Rania. "Mama juga tidak tahu. Dia sudah seperti ini saat Mama masuk ke dalam," terang Bu Fatma tidak mau di salahkan. Malik segera menggendong tubuh Rania dan berlari ke bawah melewati Bi Asih. Dia tidak mau menunggu ambulance datang yang pasti akan memakan waktu lama. Malik membaringkan tubuh Rania di dalam mobil. Tanpa menunggu Bu Fatma. Malik melajukan mobil secepat mungkin menuju rumah sakit. Jalan yang lenggang membuat mobil sampai lebih cepat di rumah sakit. Malik meminta tolong dokter dan perawat yang berjaga di UGD. "Tolong istri saya!" pinta Malik kepada dokter sambil membantu mendorong brankar. Rania langsung mendapat tindakan dari para tenaga medis. Perawat memasang infusan karena tubuh Rania lemah sedangkan dokter memeriksa Rania dengan teliti. Perhatian dokter tertuju pada perut Rania yang bengkak dan juga membiru. Dokter menyibak tirai lalu mendekati Malik yang terduduk di kursi. Malik yang melihat wajah dokter begitu tegang, langsung merasa semakin cemas dan panik. Ia menelan salivanya untuk menetralisir rasa cemas. "Apa istri Tuan sering mengeluh sakit pada bagian perut?" tanya dokter dengan nada serius. Malik menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dok. Memangnya kenapa?" "Sebaiknya istri Anda menjalani berbagai tes untuk lebih pasti," jawab dokter membuat Malik semakin bingung dan penasaran. "Memang istri saya sakit apa, Dok?" desak Malik kepada dokter agar bicara lebih jelas. Dokter menarik napas panjang dan berat. Ia menaruh tangannya di atas pundak Malik, menguatkan. "Saya curiga pasien mengalami penyakit tertentu pada bagian perutnya." Deg! Jantung Malik terasa di hantam benda besar setelah mendengar ucapan dokter. Malik menyetujui saran dari dokter. Ia menanda tangani berbagai berkas persetujuan. Rania langsung menjalani berbagai tes yang di anjurkan. Dokter melarang Rania pulang sebelum hasil tesnya keluar. "Istri saya sakit apa, Dok?" tanya Malik yang begitu penasaran dengan hasil tes pemeriksaan istrinya. Rania bisa melihat perubahan raut wajah dokter begitu selesai membaca hasil tesnya. Seketika rasa takut menyelimuti hati Rania. Ia memegang erat lengan Malik, Malik berusaha tersenyum ke arah Rania menutupi rasa takutnya."Berdasarkan hasil tes. Istri Anda mengalami kanker rahim, sel kankernya sudah menjalar cukup parah dan …." Dokter menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan apa, Dok?" Rania memberanikan diri bertanya karena penasaran. "Rahim Anda terpaksa harus di angkat secepat mungkin." "Tidak mungkin, Dok. Jika rahim saya di angkat itu tandanya saya …." Rania menangis kencang. Malik spontan menarik Rania dalam pelukannya. Ia bisa merasakan kesedihan dan juga ketakutan istrinya. Malik mengecup rambut Rania, memberikan ketenangan dan tempat ternyaman untuk istrinya. Sejujurnya hati Malik juga ikut hancur menerima kabar buruk tersebut. "Aku tidak bisa hamil, Mas. Aku tidak bisa punya anak," ucap Rania di sela isak tangisnya. Ia merasa dunianya sudah hancur karena tidak bisa menjadi seorang ibu. Mimpinya untuk memiliki banyak anak harus ia kubur dalam-dalam. "Jadi kamu mandul, Rania?" tanya Bu Fatma tiba-tiba."Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma yang sejak awal tak menyukai Rania, kini berusaha untuk menggugurkan kandungan sang menantu. Dia tak ingin Tania yang dianggap Rania itu melahirkan penerus bagi keluarga yang akan menjadi satu-satunya pewaris harta Hadiguna, mengingat jika dirinya hanya ibu tiri bagi Malik. Setelah sempat menyuruh orang untuk mencari obat terkuat yang bisa menghilangan nyawa bayi dalam kandungan, Bu Fatma pun bergegas pergi ke sebuah taman yang sepi tak jauh dari kediamannya. Sosok itu melebarkan langkah mendekati sosok tinggi dengan setelan hitam serta topi senada. "Bagaimana? Sudah kau temukan obatnya?" tanya Bu Fatma begitu sampai di depan orang suruhannya. Matanya berkali-kali melirik sekitar, takut jika akan ada yang melihatnya. "Tenang saja, ini adalah obat terkuat yang bisa digunakan." Jemari itu terulur, memberikan sebuah botol kaca kecil berisi cairan kuning di dalamnya. "Dosisnya sangat kuat, bahkan satu tetes saja bisa melenyapkan nyawa sang bayi." Bu Fatma t
Malik terdiam mendengar pertanyaan Tania. Gadis cantik berambut panjang lurus itu membuang wajah ke luar jendela. Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya. "Mas minta maaf. Mas kira itu bukan hal penting memberi tahu soal alergi Mas," ucap Malik membuka suara. Dia hendak menggenggam tangab Tania. Namun, sang istri menepiskan tangannya. "Aku memang tidak sepenting Rania," lirih Tania kecewa. Malik mengusap kasar rambutnya. Dia tidak menyangka jika Tania akan membahas soal ucapan Rania mengenai alerginya. Malik memutar tubuhnya lalu memeluk Tania erat. Mungkin karena Tania tengah hamil, perasaanya menjadi lebih sensitif. "Mas minta maaf. Mas mulai hari ini tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua," ucap Malik menenangkan kegundahan Tania. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. "Maaf aku juga tidak tahu bisa se sensitif ini." "Mas mengerti. Kamu pasti merasa cemburu kan?" Tania menangguk sebagai jawaban. Memang dia sadar Malik mantan suami adi
"Tidak usah diangkat, biarkan saja, nanti siangan Mas telpon balik agar Mama tidak bawel. Mama pasti ingin memastikan kita ada dimana,” tegas Malik. Tania mengangguk patuh sekaligus bernafas lega dengan keputusan Malik, ia tak mendebat sedikitpun akan keputusan yang sudah dibuatnya karena sadar di balik itu Malik hanya ingin melindungi semuanya. “Ya sudah kalau begitu Mas yang terpenting nanti kau harus kasih kabar ke Mama mu supaya tak panik mencarimu,” sahut Tania sembari tersenyum tipis. “Iya,” ucap Malik. “Sekarang waktunya kita sarapan, Paman dan Rania sudah menunggu di ruang makan sana,” ajak Tania. Malik mengangguk, mereka pun bergegas dengan berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Rania yang mulai menyuguhkan kopi untuk Paman, netra Rania langsung tertuju pada Tania dan Malik yang berjalan ke arahnya. Terlihat senyum Rania begitu lebar hingga membuat kedua matanya jadi sipit. "Selebar apapun senyumanmu, aku tahu kamu sedang sakit m
Ayam berkokok tidak tidak lama setelah azan subuh berkumandang. Tania menggeliat membuka mata. Dia menggoyangkan tubuh Malik agar bangun dan menunaikan salat. Malik pun membuka san langsung beranjak dari tempat tidur. Kamar mandi di rumah Paman Burhan hanya satu. Keduanya harus antri karena ternyata ada Paman Burhan yang lebih dulu di kamar mandi. Tidak lama kemudian Paman Burhan keluar, Tania membiarkan Malik lebih dulu menggunakan kamar mandi. "Bilang pada Malik. Paman tunggu di luar. Kita salat di masjid berjamaah dengan warga," pesan Paman Burhan sebelum masuk ke dalam kamarnya. Tania segera menyampaikan pesan Paman Burhan begitu Malik selesai mandi dan berwudu. Tania langsung masuk ke kamar mandi. Dia tidak ingin Paman menunggu Malik yang kelamaan menanti dirinya di kamar. Tania lupa membawa sarung dan juga baju koko milik Malik. Hawa dingin dan sejuknya air yang berasal dari pegunungan membuat Malik gemetaran. "Ini koko dan sarungnya Mas. Maaf saking buru-burunya ak
Ada masalah apa, Mas?" tanya Tania yang tidak sengaja mendengar suara telpon dari sekretarisnya. Nama ibu mertuanya disebut oleh sekretaris Malik. Apalagi wajah Malik juga terlihat gusar setelah menerima telepon. "Mama datang, mengecek jadwal Mas. Mungkin memastikan Mas tidak bohong," gumam Malik. "Terus?" Tania mengerutkan dahi panik. "Sudah beres, Lita sudah mengurusnya. Ia juga memperlihatkan data palsu yang sudah Mas siapkan," jawab Malik. Tania dan Rania lega mendengarnya. Malik meminta sekretarisnya supaya menyelesaikan masalah kecil yang terjadi di kantornya. Ternyata mamanya datang hanya untuk mengecek jadwal Malik, untung saja Lita cukup sigap dan menyelesaikannya dengan baik sesuai perintah sang bos. "Maaf ya, gara-gara aku kalian harus berbohong," ucap Rania dengan lemah. "Tidak masalah, Rania. Lagi pula tidak ada salahnya aku bepergian kemanapun membawa Tania. Mama tidak punya hak untuk melarang," ucap Malik menenangkan gadis kesayangannya. Tania menghe
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments