Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman.
Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya.
"Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik."
"Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu.
Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!"
"Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania."
Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan hari pernikahannya.
Saat itu Malik datang seorang diri melamar Rania, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Rania memiliki saudara kembar. Mereka juga terpaksa menikah di desa karena Bu Fatma menentang keras hubungan Malik dengan Rania.
"Apa kamu lapar?" tanya Malik mencoba mencairkan kecanggungan.
"Aku tidak lapar. Aku hanya cemas, takut jika ada yang mengenaliku kalau aku bukan Rania," jawab Tania jujur.
"Jangan khawatir! Aku rasa tidak akan ada yang menyadarinya. Wajah kalian seperti pinang dibelah dua, hanya aku yang benar-benar tahu mana Rania dan mana Tania."
"Iya, kamu benar. Kalian sudah lama menikah pasti sudah punya ikatan batin yang sangat kuat. Wajah kami memang mirip tapi sifat kami jauh berbeda, semoga kamu tidak terkejut saat melihatnya nanti," kekeh Tania.
Malik hanya menarik kedua alisnya sebagai jawaban. Memang benar apa yang dikatakan oleh Tania. Meskipun wajah mereka mirip tapi dari cara bicara dan sikap, mereka sangat berbeda. Rania cenderung pendiam sementara Tania luwes dan pandai bicara.
Tidak terasa mobil Malik sudah sampai di halaman depan rumahnya. Tania menarik napas lalu menghembuskannya sebelum turun dari mobil. Dia sudah menerima permintaan adiknya untuk menggantikan posisinya sebagai menantu dirumah itu.
"Ayo masuk." Malik membukakan pintu mobil untuk Tania.
Malik dan Tania berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Rumah sudah sepi karena keduanya tiba jam sepuluh malam. Sepertinya para penghuni rumah sudah tidur. Tania terus mengekori Malik hingga mereka berhenti di sebuah pintu.
Jantung Tania berdegup kencang saat Malik membuka pintu. Kakinya sedikit ragu untuk menginjak masuk ke dalam, membayangkan dia akan satu kamar dengan Malik. Mata Tania memperhatikan setiap sudut ruangan kamar tersebut.
"Kamu bisa tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa," ucap Malik paham. Apa yang dipikirkan Tania sama dengannya.
"Aku ingin mandi tapi lupa membawa baju."
"Kamu bisa memakai baju Rania. Bukankah ukuran baju kalian sama?"
Tania mengangguk pelan. Malik membuka sebuah pintu lemari yang ada di dekat meja rias. Tumpukan baju Rania tersusun rapih disana. Tania memberanikan diri mencari pakaian yang cocok untuknya. Pilihannya jatuh pada piyama tidur yang berbahan satin berlengan panjang.
Setelah mengambil baju ganti. Tania bergegas ke kamar mandi yang masih ada dalam kamar. Tania keluar setelah selesai mandi dan ganti baju. Giliran Malik yang masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Malik terus menghela napas panjang.
"Kamu tidak mandi dulu?" tanya Tania begitu keluar dari kamar mandi. Ia berjalan perlahan menuju sofa ternyata Melihat Malik sudah terlelap dengan wajah lelah.
Jantung Tania terus saja berdebar tidak karuan. Walau bagaimanapun, rasanya terlalu aneh dia harus satu kamar dengan adik ipar yang sekarang malah menjadi suaminya juga. Tania naik ke atas kasur lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Azan subuh berkumandang sahdu. Tania yang terbiasa bangun setelah azan membuka mata dan pergi ke kamar mandi. Ia berwudu kemudian menunaikan kewajibannya. Tania membangunkan Malik dengan sedikit menggoyangkan tubuhnya.
"Sayang, aku masih ngantuk," ucap Malik. Mengira jika yang membangunkannya adalah Rania. Dia menarik tangan Tania hingga jatuh tepat diatas tubuhnya.
"Aku bukan Rania."
Mendengar Tania bicara, Malik refleks membuka mata. Keduanya saling beradu pandang dengan jarak yang begitu dekat. Tania segera melepaskan diri dan bangun dari atas tubuh Malik. Wajahnya terasa panas dan jantungnya yang sudah normal kembali tidak beraturan.
"Maaf, aku …." Malik langsung terduduk menjadi salah tingkah.
"Apa yang biasa Rania lakukan dijam seperti ini?" tanya Tania mengalihkan topik permbicaraan.
"Biasanya dia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku."
"Memang kamu mau sarapan apa?"
"Tidak usah, biar Bi Asih yang melakukannya," larang Malik.
Tania keluar kamar tanpa bertanya lagi. Kepalanya celingukan kekiri dan kanan mencari letak dapur. Sebuah tangan menyentuh bahunya dari belakang. Rumah Malik begitu besar dan Tania belum hapal setiap bagian pada rumah itu.
"Non Rania kapan pulang? Non Rania gak sakit parah kan?" tanya Bi Asih yang senang sekaligus cemas.
"Sudah tadi malam," jawab Tania. Dia melihat ketulusan dari wanita paruh baya yang sedang bertanya padanya.
"Alhamdulilah kalo begitu. Bibi senang kalo Non Rania baik-baik saja dan tidak terlalu lama dirumah sakit. Non Rania butuh apa? Biar Bibi buatkan."
Tania hanya mengulas senyum. "Bi bisa saya minta tolong buatkan sarapan untuk Malik. Eh maksudnya Mas Malik." Tania sedikit gelagapan lidahnya masih belum terbiasa memanggil Malik dengan sebutan Mas.
"Kenapa harus Bi Asih yang buat? Kamu 'kan istrinya. Harusnya kamu yang menyiapkan sarapan untuk suami kamu," potong Bu Fatma yang tiba-tiba muncul dari belakang. Sebenarnya dia terkejut melihat Rania sudah pulang.
Bi Asih segera menundukkan wajah begitu mendengar suara sang nyonya. Sementara Tania malah menatap tajam wanita yang sudah menjadi ibu mertuanya juga. Bu Fatma melewati Bi Asih dan berdiri dihadapan Tania.
"Baiklah. Ada yang bisa aku buatkan untuk Mama?" tanya Tania basa basi. Dia tidak ingin berdebat dipagi hari tapi sebuah rencana telah tersusun rapih dikepalanya.
"Buatkan Mama teh manis dan juga roti bakar. Jangan lupa takarannya sesuaikan," titah Bu Fatma.
"Biar saya saja yang buatkan Nyonya. Kasian Non Rania baru pulang dari rumah sakit," tawar Bi Asih. Dia sangat kesal dengan sang majikan yang tidak punya hati nurani.
"Saya mau Rania yang menyiapkan makanan seperti biasa," sentak Bu Fatma seraya melangkah menuju meja makan lebih dulu.
"Ayo Bi. Kita ke dapur." Tania menyeret lengan Bi Asih yang hendak membuka suara lagi.
Setelah ada di dapur Bi Asih membantu Tania menyiapkan air panas dan membakar roti. Dia tidak tega membiarkan Rania yang masih sakit mengerjakannya seorang diri. Tania hanya tersenyum melihat semua orang mengira dia adalah Rania.
"Biar nanti roti bakarnya saya yang olesi selainya Bi. Mana tempat penyimpanan gulanya?"
"Ada tepat diatas kepala non Rania. Masa lupa?" tanya Bi Asih keheranan.
"Hanya bercanda Bi," kilah Tania. Matanya membaca setiap tulisan yang ada dalam toples. Tangannya meraih wadah garam dan memasukan dua sendok ke dalam gelas teh.
Tania berusaha menahan tawa." Selamat mencicipi teh asin."
Tania membawa cangkir teh dan roti bakar pesanan Bu Fatma. Melihat tingkah Bu Fatma yang angkuh membuat Tania semakin ingin mengerjainya habis-habisan. Dia tidak terima jika adiknya diperlakukan seperti seorang pembantu selama ini.
"Ini teh dan roti bakarnya." Tania meletakan baki di atas meja makan.
Bu Fatma memicingkan mata. Menatap Tania dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia semakin merasa heran karena wajahnya nampak sehat tidak seperti orang sakit. Bu Fatma mengambil cangkir teh manis lalu perlahan meminumnya.
Pyurrr! Bu Fatma menyemburkan air teh ke lantai.
"Rania, kenapa tehnya sangat asin?" Protes Bu Fatma. Tania berusaha menahan tawanya melihat ekepresi Bu Fatma.
"Masa sih Ma. Coba aku icip sedikit." Tania menyedokkan air teh dengan sudut sendok. "Maaf Ma. Sepertinya aku salah baca, mungkin karena aku masih sakit jadi belum bisa membaca dengan jelas," kilah Tania mencari alasan.
Wajah Bu Fatma menegang, mulutnya hendak terbuka kembali untuk mengomel namun urung. Malik keburu turun dan duduk dimeja makan. Bu Fatma memilih berlari ke wastafel untuk mencuci mulutnya.
"Sayang. Hari ini aku tidak bisa membuatkan kamu sarapan. Jadi aku minta Bi Asih yang menyediakannya. Kamu tidak keberatan kan?" Tania mulai bersandiwara seperti Rania. Sebelah matanya berkedip memberi kode pada Malik.
"Tidak masalah sayang. Kamu istirahat saja agar cepat sembuh," jawab Malik berusaha mengimbangi akting Tania.
"Baiklah, aku kembali ke kamar kalo begitu. Hati-hati di jalan." Tania mendaratkan sebuah kecupan di pipi Malik agar aktingnya terlihat natural. Dia bergegas naik ke lantai atas menuju kamar lagi.
"Bukankah Rania sakit? Tapi kenapa wajahnya terlihat sehat?" tanya Bu Fatma menyelidik.
"Mungkin hanya perasaan Mama saja. Rania masih lemas dan butuh istirahat, tolong Mama jangan menyuruhnya melakukan apapun! Aku pergi kerja dulu," pamit Malik yang tidak ingin berlama-lama duduk dengan ibunya.
"Bela saja terus istri kamu yang tidak berguna itu," desis Bu Fatma kesal. Tangannya meraih roti bakar yang sudah mulai dingin. Begitu roti masuk ke dalam mulutnya, bola mata Bu Fatma melotot sempurna.
"Rania!" teriak Bu Fatma dengan suara yang menggelegar.
Setiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis. Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir. "Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk. "Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …." "Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah
Saking syoknya, Bu Fatma sampai mundur kebelakang beberapa langkah. Darmi serta Bi Asih saling berpandangan satu sama lain. Mereka merasa bingung dengan ekspresi Bu Fatma. Wajahnya bukan menunjukan bahagia mendengar menantunya hamil. Akan tetapi, malah terlihat seperti orang yang bingung. Darmi segera mengambil sapu serta serokannya. Dia menyapukan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Kalian bercanda 'kan?" tanya Bu Fatma pada Bi Asih dan Darmi. "Kok bercanda, Bu. Ini seriusan. Mas Malik lagi bawa Non Rania ke dokter kandungan hari ini untuk periksa," ungkap Darmi. Bu Fatma meninggalkan dapur mencari ponselnya yang masih ada di dalam tasnya. Dia mengambil ponsel lalu menelpon Malik. Demi memastikan apa yang didengarnya dari kedua asisten rumah tangganya. Drttt! Drtt! Ponsel Malik bergetar dari saku celananya. Dia mengabaikannya. Mata dan fokusnya tertuju pada layar monitor USG. Tania meneteskan air mata haru melihat calon janin yang akan tumbuh di perutnya.
Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely. Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing. "Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah. "Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair. "Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania. Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ad
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang
Semua nampak panik manakala Tania terus memegang perutnya yang terasa sakit. Seorang pegawai klinik memberikan air hangat. Shela membantu meminumkannya. Setelah mendengar instruksi dari pegawai tadi agar menarik napas dan mencoba rileks, barulah Tania perlahan membaik. "Sudah baikan Mba?" tanya pegawai itu sambil memijit kaki Tania. "Sudah. Terima kasih," jawab Tania setelah kram perutnya benar-benar hilang. "Jangan bikin panik dong! Aku bisa mati digantung suami kamu nanti kalo ada apa-apa sama bayi kalian," omel Shela yang tadi panik setengah mati. "Iya Maaf. Mungkin karena tadi tegang. Makanya jadi kram perutnya. Anterin pulang yuk. Sekalian aku kenalin kamu sama ibu mertuaku biar tahu wajahnya," ajak Tania. Shela mengangguk setuju. Dia memang harus tahu seperti apa wajah mertua Tania yang zalim itu. Shela membantu membawa barang belanjaan Tania, mereka keluar dari klinik kecantikan dan meninggalkan mall. Bu Fatma yang merasa dongkol pun pamitan pada Sarah. Di
"Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma yang sejak awal tak menyukai Rania, kini berusaha untuk menggugurkan kandungan sang menantu. Dia tak ingin Tania yang dianggap Rania itu melahirkan penerus bagi keluarga yang akan menjadi satu-satunya pewaris harta Hadiguna, mengingat jika dirinya hanya ibu tiri bagi Malik. Setelah sempat menyuruh orang untuk mencari obat terkuat yang bisa menghilangan nyawa bayi dalam kandungan, Bu Fatma pun bergegas pergi ke sebuah taman yang sepi tak jauh dari kediamannya. Sosok itu melebarkan langkah mendekati sosok tinggi dengan setelan hitam serta topi senada. "Bagaimana? Sudah kau temukan obatnya?" tanya Bu Fatma begitu sampai di depan orang suruhannya. Matanya berkali-kali melirik sekitar, takut jika akan ada yang melihatnya. "Tenang saja, ini adalah obat terkuat yang bisa digunakan." Jemari itu terulur, memberikan sebuah botol kaca kecil berisi cairan kuning di dalamnya. "Dosisnya sangat kuat, bahkan satu tetes saja bisa melenyapkan nyawa sang bayi." Bu Fatma t
Malik terdiam mendengar pertanyaan Tania. Gadis cantik berambut panjang lurus itu membuang wajah ke luar jendela. Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya. "Mas minta maaf. Mas kira itu bukan hal penting memberi tahu soal alergi Mas," ucap Malik membuka suara. Dia hendak menggenggam tangab Tania. Namun, sang istri menepiskan tangannya. "Aku memang tidak sepenting Rania," lirih Tania kecewa. Malik mengusap kasar rambutnya. Dia tidak menyangka jika Tania akan membahas soal ucapan Rania mengenai alerginya. Malik memutar tubuhnya lalu memeluk Tania erat. Mungkin karena Tania tengah hamil, perasaanya menjadi lebih sensitif. "Mas minta maaf. Mas mulai hari ini tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua," ucap Malik menenangkan kegundahan Tania. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. "Maaf aku juga tidak tahu bisa se sensitif ini." "Mas mengerti. Kamu pasti merasa cemburu kan?" Tania menangguk sebagai jawaban. Memang dia sadar Malik mantan suami adi
"Tidak usah diangkat, biarkan saja, nanti siangan Mas telpon balik agar Mama tidak bawel. Mama pasti ingin memastikan kita ada dimana,” tegas Malik. Tania mengangguk patuh sekaligus bernafas lega dengan keputusan Malik, ia tak mendebat sedikitpun akan keputusan yang sudah dibuatnya karena sadar di balik itu Malik hanya ingin melindungi semuanya. “Ya sudah kalau begitu Mas yang terpenting nanti kau harus kasih kabar ke Mama mu supaya tak panik mencarimu,” sahut Tania sembari tersenyum tipis. “Iya,” ucap Malik. “Sekarang waktunya kita sarapan, Paman dan Rania sudah menunggu di ruang makan sana,” ajak Tania. Malik mengangguk, mereka pun bergegas dengan berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Rania yang mulai menyuguhkan kopi untuk Paman, netra Rania langsung tertuju pada Tania dan Malik yang berjalan ke arahnya. Terlihat senyum Rania begitu lebar hingga membuat kedua matanya jadi sipit. "Selebar apapun senyumanmu, aku tahu kamu sedang sakit m
Ayam berkokok tidak tidak lama setelah azan subuh berkumandang. Tania menggeliat membuka mata. Dia menggoyangkan tubuh Malik agar bangun dan menunaikan salat. Malik pun membuka san langsung beranjak dari tempat tidur. Kamar mandi di rumah Paman Burhan hanya satu. Keduanya harus antri karena ternyata ada Paman Burhan yang lebih dulu di kamar mandi. Tidak lama kemudian Paman Burhan keluar, Tania membiarkan Malik lebih dulu menggunakan kamar mandi. "Bilang pada Malik. Paman tunggu di luar. Kita salat di masjid berjamaah dengan warga," pesan Paman Burhan sebelum masuk ke dalam kamarnya. Tania segera menyampaikan pesan Paman Burhan begitu Malik selesai mandi dan berwudu. Tania langsung masuk ke kamar mandi. Dia tidak ingin Paman menunggu Malik yang kelamaan menanti dirinya di kamar. Tania lupa membawa sarung dan juga baju koko milik Malik. Hawa dingin dan sejuknya air yang berasal dari pegunungan membuat Malik gemetaran. "Ini koko dan sarungnya Mas. Maaf saking buru-burunya ak
Ada masalah apa, Mas?" tanya Tania yang tidak sengaja mendengar suara telpon dari sekretarisnya. Nama ibu mertuanya disebut oleh sekretaris Malik. Apalagi wajah Malik juga terlihat gusar setelah menerima telepon. "Mama datang, mengecek jadwal Mas. Mungkin memastikan Mas tidak bohong," gumam Malik. "Terus?" Tania mengerutkan dahi panik. "Sudah beres, Lita sudah mengurusnya. Ia juga memperlihatkan data palsu yang sudah Mas siapkan," jawab Malik. Tania dan Rania lega mendengarnya. Malik meminta sekretarisnya supaya menyelesaikan masalah kecil yang terjadi di kantornya. Ternyata mamanya datang hanya untuk mengecek jadwal Malik, untung saja Lita cukup sigap dan menyelesaikannya dengan baik sesuai perintah sang bos. "Maaf ya, gara-gara aku kalian harus berbohong," ucap Rania dengan lemah. "Tidak masalah, Rania. Lagi pula tidak ada salahnya aku bepergian kemanapun membawa Tania. Mama tidak punya hak untuk melarang," ucap Malik menenangkan gadis kesayangannya. Tania menghe
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su