Tania membantu Rania bangun dari sujudnya setelah melihat Paman Burhan. Wajahnya merah menandakan jika dia sedang marah besar. Mereka yakin, Paman Burhan pasti sudah salah paham terhadap Tania.
Rania menyeka air matanya lalu menghampiri pamannya tersebut. Dia mencium punggung tangan Paman Burhan lalu memeluknya erat. Tania mengambil barang bawaan Paman Burhan dan menaruhnya di dapur.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa bersujud dikaki kakakmu?" tanya Paman Burhan setelah Rania mengajaknya duduk di sofa.
"Paman salah paham. Semua bukan karena kak Tania. Tapi karena …. " Rania menyeka air matanya yang kembali turun.
Tania kembali dari dapur dengan membawa air untuk Paman Burhan. Dia sengaja duduk disamping Rania yang sedang menangis. Paman Burhan melihat wajah bingung begitu tercetak jelas dari raut Tania.
Dia meneguk habis air yang disuguhkan Tania. Setelah merasa emosinya reda, Paman Burhan kembali bertanya pada Tania dan Rania secara bergantian. Kali ini Tania yang menceritakan maksud kedatangan Rania.
"Ya Allah. Malang sekali nasib kamu, Rania," ucap Paman Burhan sendu. "Lalu apa keputusan kamu sekarang, Tania?" Paman Burhan menengok ke arah Tania yang juga terlihat sedih.
"Tania bingung Paman. Bagaimana mungkin Tania menikah dengan adik ipar Tania sendiri? Lagipula Tania yakin, Malik pasti tidak akan setuju dengan ide Rania," jawab Tania.
Kring! Kring!
Ponsel Rania berdering disaat suasana hening. Ternyata Malik menelpon Rania, mencari keberadaannya yang hilang tiba-tiba. Rania menghela napas panjang lalu menjawab telepon Malik.
Terdengar nada cemas dan frustasi Malik dari sebrang telepon. Rania meminta Malik agar segera menyusulnya ke desa sekarang juga. Tania memijit keningnya yang terasa berdenyut pusing. Dia begitu dilema mendengar permintaan adiknya tersebut.
"Jadi Tania harus bagaimana Paman?" tanya Tania meminta masukan dari Paman Burhan.
"Kamu harus menolong Rania! Kamu tahu dia sedang sakit. Paman takut, kondisi Rania semakin drop jika terus memikirkan masalah pernikahan dan mertuanya," saran Paman Burhan.
"Lalu bagaimana jika Malik menolak?" tanya Tania lagi.
"Masalah Malik biar aku yang urus. Asalkan kakak setuju. Itu sudah cukup bagiku." Rania membaringkan kepalanya dipangkuan Tania.
"Aku lelah, Kak. Biarkan aku sejenak tidur dipangkuanmu," pinta Rania.
Hati Tania mencelos sakit mendegar ucapan adiknya. Kenapa takdir begitu kejam padanya? Rania memiliki mertua yang kejam dan sekarang Allah juga mengujinya dengan penyakit yang berbahaya.
Rania tertidur diatas paha Tania. Tangan kakaknya yang lembut membuatnya begitu merasa aman dan nyaman. Rania pun tertidur dipangkuan kakak kembarnya. Setelah Satu jam lebih menunggu, akhirnya Malik datang dengan wajah cemas dan panik.
"Mas Malik!" panggil Rania pelan saat melihat Malik sudah berada didepan matanya.
Malik langsung merengkuh Rania Kedalam pelukannya. "Kenapa kamu pergi meninggalkan rumah sakit begitu saja? Kamu tahu, Mas begitu panik saat melihat ruangan kosong dan ceceran darah di lantai."
"Maaf Mas, sudah membuat kamu cemas," jawab Rania. "Mas ada hal yang ingin aku minta padamu."
"Sebaiknya aku pergi ke belakang dulu." Pamit Tania. Tidak ingin mengganggu pasangan suami istri itu bicara serius. Meskipun dalam hatinya, Tania juga penasaran dengan keputusan Malik nanti.
"Apa itu sayang?" tanya Malik dengan nada bicara yang begitu lembut begitu Tania sudah meninggalkan mereka.
"Mas mau 'kan menikah dengan Kak Tania? Aku tidak rela Mas menikah dengan wanita lain," ujar Rania. Membuat Malik langsung syok.
"Kenapa kamu tiba-tiba meminta hal yang tidak masuk akal itu?" Malik balik bertanya dengan nada sedikit geram.
Rania memberitahu Malik, jika Bu Fatma meminta Rania pergi meninggalkanya. Dia sudah mencarikan wanita lain sebagai pengganti dirinya. Malik semakin terkejut mendengar semua ucapan Rania. Tubuhnya seketika merosot ke belakang sofa sambil mengusap kasar wajahnya.
Malik tidak menyangka jika ibunya tega melakukan hal tersebut padanya. Ditambah lagi kondisi Rania yang tengah sakit dan harus menjalani operasi secepat mungkin. Malik terduduk di sofa dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
"Kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak mungkin menikah dengan wanita lain. Aku sangat mencintai kamu, sayang," ucap Malik.
"Aku tahu Mas. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk mempertahankan rumah tangga kita. Wajah kak Tania sangat mirip denganku. Aku yakin, mama tidak akan mencurigainya," terang Rania berusaha meyakinkan suaminya.
"Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Tania? Bertemu saja kami baru dua kali," tolak Malik.
"Mas, aku tahu hidupku tidak akan lama lagi. Walaupun demikian, aku tidak rela jika kamu menikah dengan wanita lain. Aku yakin, Kak Tania adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrimu. Dia wanita sehat dan bisa memberimu keturunan."
Rania bersujud dibawah kaki Malik, meminta sang suami untuk mau menerima permintaannya. Mali semakin tertekan dengan keadaan yang diluar dugaannya. Rumah tangga mereka yang selama ini bahagia, harus mengalami hal yang begitu menyedihkan.
Tania dan Paman Burhan ikut meneteskan airmata melihat kesungguhan Rania. Tania baru sadar jika tubuh adiknya begitu kurus. Tangannya mengepal kuat, Tania berjanji dalam hati akan membalas semua perbuatan Bu Fatma.
"Beri aku waktu untuk berpikir." Malik menghela napas, dia pergi keluar untuk menenangkan diri sejenak.
Setengah jam kemudian. MMalik kembali masuk dan menemui Rania yang sedang menunggu keputusannya. Paman Burhan dan Tania juga sudah duduk mendampingi Rania. Malik menatap wajah Rani dan Tania satu persatu. Mereka memang berwajah mirip tapi tetap saja rasanya jauh berbeda.
Jantung Malik bahagia saat melihat wajah Rania. Namun, dia merasa biasa saja saat melihat wajah Tania. Paman Burhan menepuk bahu Malik yang begitu tegang.
"Bagaimana Malik? Apa sudah kamu pikirkan baik-baik? Kamu tahu kan apa syaratnya sebelum pernikahan terjadi? Kamu harus menalak Rania lebih dulu," jelas Paman Burhan.
"Sudah Paman. Saya menerima permintaan Rania untuk menikah dengan Tania. Tapi dengan catatan, kami akan bercerai setelah Tania berhasil hamil dan Rani sembuh," tawar Malik memberi sarat. Rania dan Tania sama-sama melongo mendengar sarat yang Malik ajukan.
"Aku setuju dengan saratnya," jawab Tania tegas. Dia hanya ingin menyelamatkan pernikahan adiknya.
"Tapi Kak …." Rania jelas keberatan. Bukan itu yang ada dalam pikirannya. Dia tidak ingin ada yang terluka suatu hari nanti.
"Kakak yakin kamu pasti sembuh. Kakak akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
"Baiklah jika kalian sudah sepakat. Tapi kamu tahu kan Malik. Syarat yang harus kamu lakukan sebelum pernikahan itu bisa di laksanakan. Kamu harus memberi talak Rania," jelas Paman Burhna.
"Rania Binti Larasati binti almarhum Zulvikar hari ini kamu saya talak satu," ucap Malik dengan nada suara berat dan mata berkaca-kaca. Rania menangis dipelukan Tania.
Setelah berunding cukup lama. Akhirnya mereka sepakat melangsungkan pernikahan sore itu juga. Rania membantu Tania bersiap dengan sedikit memberi riasan. Sementara Paman Burhan menghubungi salah satu anggota keluarga mereka yang berprofesi sebagai penghulu.
Rania mendandani Tania dengan sangat cantik. Sebisa mungkin menahan airmatanya untuk tidak jatuh. Sedangkan Tania terus menghela napas panjang dan berat. Pengorbanannya tidak seberapa dibanding beban yang Rania pikul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Tania Mahewari binti almarhum Zulvikar dengan mas kawin tersebut tunai." Malik membaca kabul dengan sekali helaan napas.
"Bagaimana saksi sah?" tanya Penghulu kepada saksi.
"Sah," jawab para saksi kompak.
Rania melepaskan cincin nikah dari jarinya lalu menyerahkannya pada Malik. Tanpa bicara Malik bisa menebak isi pikiran istrinya itu. Tania menahan tangisnya agar tidak turun. Dia sangat yakin, jika hati Rania pasti sedang menangis pilu.
Malik meminta Tania mengulurkan tangan. Tangan Tania gemetar saat menerima cincin pernikahan milik adiknya. Matanya menatap sendu Rania, Rania menganggukkan kepala seraya mengulas senyum padanya.
"Tania, kamu boleh mencium tangan pria yang sudah sah menjadi suami kamu," pinta pak penghulu.
Tania mengangkat tangan Malik dengan ragu-ragu kemudian menciummya. Bola mata Malik terus melihat kearah Rania penuh permohonan. Rania tersenyum pada Malik menandakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sungguh pemandangan dramatis bagi Paman Burhan. Dia harus menjadi wali nikah kedua kalinya untuk kedua keponakannya namun dengan lelaki yang sama. Setelah acara pernikahan selesai mereka mengadakan acara syukuran.
"Kak, mulai hari ini aku titipkan Malik padamu," pinta Rania.
"Maksudnya?"
"Aku akan tinggal bersama paman disini. Kakak harus pulang bersama Malik agar ibu mertuaku tidak curiga. Suasana desa sangat cocok untukku menenangkan diri."
"Tapi kamu harus menjalani operasi," potong Malik mengingatkan.
"Beri aku waktu untuk berpikir Mas. Aku ingin menenangkan hati dan pikiranku dulu," tawar Rania.
Ketiganya duduk dengan wajah muram dan sedih. Mereka larut dalam perasaan dan pikiran yang berkecamuk. Sebagai seorang wanita normal, hati Rania tetap saja tergores melihat suaminya menikah lagi walaupun semua atas permintaannya.
Malamnya Malik dan Tania sudah bersiap untuk kembali ke kota. Tania terus memeluk erat Rania. Keduanya saling terisak dibalik tubuh yang mereka peluk. Paman Burhan memberi sedikit wejangan pada Malik agar bisa memperlakukan Tania sebagaimana mestinya. Malik merengkuh Rania kedalam pelukannya sebelum pergi.
"Aku tunggu di mobil," ucap Tania. Paham jika Malik dan Rania butuh waktu berdua sebentar.
"Jaga diri kamu baik! Telepon Mas setiap hari," ucap Malik pada Rania.
"Iya Mas, aku tahu," jawab Rania. Suaranya berat dan bergetar.
Malik melambaikan tangan sebelum masuk kedalam mobil. Rania dan Paman Burhan melambaikan tangan pada Malik. Tubuh Rania merosot kebelakang setelah mobil melaju pergi.
"Ya Allah, Rania." Paman Burhan berteriak panik karena tubuh Rania jatuh ke tanah
Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman. Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya. "Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik." "Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu. Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!" "Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania." Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan ha
Setiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis. Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir. "Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk. "Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …." "Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah
Saking syoknya, Bu Fatma sampai mundur kebelakang beberapa langkah. Darmi serta Bi Asih saling berpandangan satu sama lain. Mereka merasa bingung dengan ekspresi Bu Fatma. Wajahnya bukan menunjukan bahagia mendengar menantunya hamil. Akan tetapi, malah terlihat seperti orang yang bingung. Darmi segera mengambil sapu serta serokannya. Dia menyapukan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Kalian bercanda 'kan?" tanya Bu Fatma pada Bi Asih dan Darmi. "Kok bercanda, Bu. Ini seriusan. Mas Malik lagi bawa Non Rania ke dokter kandungan hari ini untuk periksa," ungkap Darmi. Bu Fatma meninggalkan dapur mencari ponselnya yang masih ada di dalam tasnya. Dia mengambil ponsel lalu menelpon Malik. Demi memastikan apa yang didengarnya dari kedua asisten rumah tangganya. Drttt! Drtt! Ponsel Malik bergetar dari saku celananya. Dia mengabaikannya. Mata dan fokusnya tertuju pada layar monitor USG. Tania meneteskan air mata haru melihat calon janin yang akan tumbuh di perutnya.
Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely. Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing. "Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah. "Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair. "Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania. Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ad
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang
"Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma yang sejak awal tak menyukai Rania, kini berusaha untuk menggugurkan kandungan sang menantu. Dia tak ingin Tania yang dianggap Rania itu melahirkan penerus bagi keluarga yang akan menjadi satu-satunya pewaris harta Hadiguna, mengingat jika dirinya hanya ibu tiri bagi Malik. Setelah sempat menyuruh orang untuk mencari obat terkuat yang bisa menghilangan nyawa bayi dalam kandungan, Bu Fatma pun bergegas pergi ke sebuah taman yang sepi tak jauh dari kediamannya. Sosok itu melebarkan langkah mendekati sosok tinggi dengan setelan hitam serta topi senada. "Bagaimana? Sudah kau temukan obatnya?" tanya Bu Fatma begitu sampai di depan orang suruhannya. Matanya berkali-kali melirik sekitar, takut jika akan ada yang melihatnya. "Tenang saja, ini adalah obat terkuat yang bisa digunakan." Jemari itu terulur, memberikan sebuah botol kaca kecil berisi cairan kuning di dalamnya. "Dosisnya sangat kuat, bahkan satu tetes saja bisa melenyapkan nyawa sang bayi." Bu Fatma t
Malik terdiam mendengar pertanyaan Tania. Gadis cantik berambut panjang lurus itu membuang wajah ke luar jendela. Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya. "Mas minta maaf. Mas kira itu bukan hal penting memberi tahu soal alergi Mas," ucap Malik membuka suara. Dia hendak menggenggam tangab Tania. Namun, sang istri menepiskan tangannya. "Aku memang tidak sepenting Rania," lirih Tania kecewa. Malik mengusap kasar rambutnya. Dia tidak menyangka jika Tania akan membahas soal ucapan Rania mengenai alerginya. Malik memutar tubuhnya lalu memeluk Tania erat. Mungkin karena Tania tengah hamil, perasaanya menjadi lebih sensitif. "Mas minta maaf. Mas mulai hari ini tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua," ucap Malik menenangkan kegundahan Tania. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. "Maaf aku juga tidak tahu bisa se sensitif ini." "Mas mengerti. Kamu pasti merasa cemburu kan?" Tania menangguk sebagai jawaban. Memang dia sadar Malik mantan suami adi
"Tidak usah diangkat, biarkan saja, nanti siangan Mas telpon balik agar Mama tidak bawel. Mama pasti ingin memastikan kita ada dimana,” tegas Malik. Tania mengangguk patuh sekaligus bernafas lega dengan keputusan Malik, ia tak mendebat sedikitpun akan keputusan yang sudah dibuatnya karena sadar di balik itu Malik hanya ingin melindungi semuanya. “Ya sudah kalau begitu Mas yang terpenting nanti kau harus kasih kabar ke Mama mu supaya tak panik mencarimu,” sahut Tania sembari tersenyum tipis. “Iya,” ucap Malik. “Sekarang waktunya kita sarapan, Paman dan Rania sudah menunggu di ruang makan sana,” ajak Tania. Malik mengangguk, mereka pun bergegas dengan berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Rania yang mulai menyuguhkan kopi untuk Paman, netra Rania langsung tertuju pada Tania dan Malik yang berjalan ke arahnya. Terlihat senyum Rania begitu lebar hingga membuat kedua matanya jadi sipit. "Selebar apapun senyumanmu, aku tahu kamu sedang sakit m
Ayam berkokok tidak tidak lama setelah azan subuh berkumandang. Tania menggeliat membuka mata. Dia menggoyangkan tubuh Malik agar bangun dan menunaikan salat. Malik pun membuka san langsung beranjak dari tempat tidur. Kamar mandi di rumah Paman Burhan hanya satu. Keduanya harus antri karena ternyata ada Paman Burhan yang lebih dulu di kamar mandi. Tidak lama kemudian Paman Burhan keluar, Tania membiarkan Malik lebih dulu menggunakan kamar mandi. "Bilang pada Malik. Paman tunggu di luar. Kita salat di masjid berjamaah dengan warga," pesan Paman Burhan sebelum masuk ke dalam kamarnya. Tania segera menyampaikan pesan Paman Burhan begitu Malik selesai mandi dan berwudu. Tania langsung masuk ke kamar mandi. Dia tidak ingin Paman menunggu Malik yang kelamaan menanti dirinya di kamar. Tania lupa membawa sarung dan juga baju koko milik Malik. Hawa dingin dan sejuknya air yang berasal dari pegunungan membuat Malik gemetaran. "Ini koko dan sarungnya Mas. Maaf saking buru-burunya ak
Ada masalah apa, Mas?" tanya Tania yang tidak sengaja mendengar suara telpon dari sekretarisnya. Nama ibu mertuanya disebut oleh sekretaris Malik. Apalagi wajah Malik juga terlihat gusar setelah menerima telepon. "Mama datang, mengecek jadwal Mas. Mungkin memastikan Mas tidak bohong," gumam Malik. "Terus?" Tania mengerutkan dahi panik. "Sudah beres, Lita sudah mengurusnya. Ia juga memperlihatkan data palsu yang sudah Mas siapkan," jawab Malik. Tania dan Rania lega mendengarnya. Malik meminta sekretarisnya supaya menyelesaikan masalah kecil yang terjadi di kantornya. Ternyata mamanya datang hanya untuk mengecek jadwal Malik, untung saja Lita cukup sigap dan menyelesaikannya dengan baik sesuai perintah sang bos. "Maaf ya, gara-gara aku kalian harus berbohong," ucap Rania dengan lemah. "Tidak masalah, Rania. Lagi pula tidak ada salahnya aku bepergian kemanapun membawa Tania. Mama tidak punya hak untuk melarang," ucap Malik menenangkan gadis kesayangannya. Tania menghe
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su