Ibuku, wanita shaliha, cantik jelita dan istri yang berbakti pada suaminya, ternyata memiliki simpanan pria muda. Awalnya aku tahu ketika salah seorang teman baikku, bertemu dengan ibuku di bandara. Dari rekaman ponsel temanku itu sepertinya kedua orang beda usia itu sedang beradegan perpisahan yang menyedihkan. Dengan linangan air mata, ibuku memeluk pria muda itu, mencium kedua pipinya dan melambaikan tangan saat pemuda itu akan menaiki pesawat. Kemudian ibuku meninggalkan bandara dengan wajah tertunduk dan pipi basah. Siapa sebenarnya pemuda tampan itu? Mengapa ibuku begitu sedih saat mereka berpisah. Haruskan aku mengadukan hal ini pada ayahku? Ayahku saat ini sedang mengikuti pertarungan untuk menjadi kepala daerah, jika aku mengadu tentu akan mengganggu konsentrasinya. Mengapa di saat seperti ini, ibuku justru tidak bisa menjaga sikapnya? Berduaan dengan seorang pria muda di tempat umum, bukankah hal tersebut bisa menjadi lawan ayahku untuk menjegal dan mengalahkan ayahku? Siapa sebenarnya pemuda itu? Dengan meminta bantuan temanku itu, aku diam diam menyelidiki ibuku. Dan fakta yang kutemukan ternyata sangat mengejutkan...
View More"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki.
Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rekaman ibuku bersama pria muda yang sangat tampan. Berwajah kearab araban dengan rambut ikal sedikit pirang. Melihat adegan demi adegan yang sebenarnya biasa saja, seolah seorang ibu yang sedang mengantarkan anaknya yang akan berpergian dengan pesawat, mataku membola dan mulutku terbuka lebar. Ibuku penggemar berondong? Langsung otakku berpikir negatif, dan tiba tiba saja hatiku mendidih, aku marah sekali. Karena emosiku yang langsung naik, aku tidak bisa mengontrol air mataku. Aku menangis tersedu sedu. "Ibuku mengkhianati ayahku! Hu hu hu..!", ucapku di tengah tengah isakkanku. Sebisa mungkin aku menahan suara tangisanku karena aku tidak ingin jadi pusat perhatian. "Diamlah Shiren!Jangan sampai wartawan melihatmu! Atau ada orang yang merekammu! Habislah ayahmu nanti digoreng! Bisa kalah ayahmu nanti!" Dira menutupi tubuhku yang sedang terguncang dengan tubuhnya. "Hapus air matamu cepat! Aku ikut pulang ke rumahmu!",: ucap Dira tegas. Beriringan kami berjalan menuju parkiran di mana mobil jemputanku berada. " Jaga sikapmu nanti jika melihat ibumu ya! Kita belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Bersikaplah seolah tidak ada apa apa, jangan menyerang tante Arumi!" Dira berulang kali mengingatkan aku dengan kata kata yang itu itu saja. Ia bicara berbisik bisik takut di dengar oleh mang Dono, sopir kami. Setengah jam berlalu, kami tiba di rumah. Kedatangan kami disambut oleh ibuku. Beliau merentangkan kedua tangannya dan membawaku dan Dira ke dalam pelukkannya berganti an. "Munafik!", bisikku dalam.hati atas perlakuan ramah ibuku itu. " Ayo.masuk! Setelah kalian mencuci tangan dan cepat ganti pakaian kalian lalu kita makan!", ucap ibuku manis sekali. Sedikit pun tidak terlihat jika ia sedang mengkhianati pernikahannya dengan ayahku. Tanpa banyak bicara, kami menaiki anak tangga menuju ke kamarku di lantai dua. "Lihatlah, betapa pintarnya ibuku berakting!", ucapku sinis pada Dira. " Hush! Tak baik.mencela ibumu! Kita tidak tahu alasan beliau untuk melakukan hal itu!", sentak Dira tak suka karena aku menjelek jelekkan ibuku sendiri. "Bukankah kau melihat betapa manisnya sikap ibuku tadi? Aku kok jadi jijik karena ibuku ternyata penggemar berondong!", ucapku dengan menaikkan nada bicaraku. " Shiren, sekali lagi jaga sikapmu! Aku sangat menghormati tante Arumi, dan aku tidak suka sikap kurang ajarmu itu!" Dira benar benar marah menghadapi sikap keras kepala dari sahabatnya itu. "Apa sih salahnya bersikap sewajarnya dulu! Kita selidiki setelah jelas siapa pemuda itu baru kita bisa bertindak! Awas jika sekali lagi mulutmu ngoceh ngoceh tak jelas seperti itu, aku pulang!" Kali ini Dira benar benar menunjukkan taringnya padaku, karena Dira tahu jika aku akan kelimpungan jika aku didiami oleh Dira. Sahabatku itu adalah sahabat sekaligus kerabat di dalam.keluarga kami. Ia bisa bebas dan sesukanya keluar masuk ke dalam rumahku, tanpa segan terhadap ayah apa lagi.ibuku. Sejak ibunya meninggal dunia, Dira lebih sering menghabiskan waktunya di rumahku. "Bisamu cuma mengancam! Lagi pula bukan kau yang aku marahi, tapi ibuku yang aku marahi, lantas mengapa kau tak suka? Urusannya apa denganmu?", sentakku kesal. " Terserah! Suka sukakulah!" Dira cepat cepat keluar setelah ia mengganti seragamnya dengan baju rumah milikku. Bocah itu jadi besar kepala di rumahku karena kedua orang tuaku sangat menyayanginya, sama seperti mereka menyayangi aku dan adikku, Melisa. Mau tak.mau aku mengikuti Dira, keluar dan menuruni tangga menuju ke arah ruang makan. Di situ, aku melihat pemandangan yang makin mengacaukan perasaanku. Betapa Dira bersikap manja pada ibuku, memeluk tubuh ibuku dari belakang dan merebahkan kepalanya di punggung ibuku. "Harum tubuh tante Arumi mirip harum ibuku!", ucapnya manja. Ibu berbalik, lalu mengambil tangan Dira dan mendudukkan gadis itu di kursi makan. " Mau pake lauk apa ?", tanya ibuku sambil menyendokkan nasi ke piring Dira. Lalu tanpa menunggu jawaban Dira, ibuku meletakkan paha ayam goreng tepung dan dua potong tempe goreng. Melihat itu aku cemburu, tanpa sadar aku mencebikkan bibirku dengan sinis. Di dalam hatiku, aku memaki maki Dira, aku tak suka sikapnya yang kolokkan pada ibuku itu seolah membiarkan dan menyetujui perselingkuhan ibuku. "Dasar bermuka dua!", aku memaki Dira, tentu saja di dalam hati.Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru
Kehamilan Arumi membuat tuan Dhafir senang bukan kepalang. Hari hari yang ia lalu terasa begitu cepat karena hatinya terus gembira. Raut wajahnya juga selalu segar tidak keruh dan dingin seperti selama ini. "Wah tuan belakangan ini terlihat begitu ceria", sapa Omar, salah seorang pegawainya di kantor. Dhafir hanya terkekeh, tidak.menanggapi lebih gurauan Omar itu. Langlah kakinya yang lebar dan cepat bergerak dari lobi ke ruangannya yang kebetulan terletak di lantai satu di gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangannya, telah menumpuk tugas yang harus ia selesaikan hari ini. Pekerjaannya sebagai pemilik banyak perusahaan sangatlah padat, ia sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan kedua istrinya. Pergi pagi pagi, pulang nyaris tengah malam dengan membawa beban tubuhnya yang sangat meletihkannya. " Sayang, mengapa kamu begitu sibuk? Bukankan kau memiliki orang orang yang kau percaya yang bisa menghandel semua urusanmu?" Maryam menegur Dhafir yang baru saja masuk ke dala
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments