"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?"
Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimintai tolong pada Ummi Salmah untuk membantunya mengajar les bahasa Arab. Jadi nanti Arumi telat pulang ya bu! Jangan ditunggu!" Arumi cepat cepat melesat dari hadapan ibunya, ia takut disuguhi raut sedih ibunya lagi yang bisa mengganggu konsentrasinya menghadapi ujian. Di balik kisah sedih keluarganya, Arumi masih bersyukur, ia bisa mengenal Ummi Salmah, guru agama di sekolahnya. Karena melihat Ummi Salmah lancar berbahasa Arab saat berbicara di ponselnya dengan seseorang, Arumi begitu takjub. Ia ingin belajar bahasa Arab, karena ia ingin menjadi tkw selepas tamat sekolah. Ummi Salmah menyambut baik keinginan Arumi, maka diajaknya Arumi mengikuti kelas bahasa Arab di luar jam.sekolah. Arumi les gratis di rumah Ummi Salmah sepulang sekolah. Karena otaknya yang cerdas, Arumi cepat menguasai pelajaran yang diberikan oleh Ummi Salmah. Setahun telah berlalu, Arumi sudah benar benar lancar berbahasa Arab dan kini malah diminta oleh Ummi Salmah untuk membantunya. Ummi Salmah perempuan baik hati, setiap akan pulang, beliau selalu menyisipkan uang lima puluh ribu ke saku tas Arumi. "Terimakasih Ummi!" Mata Arumi berbinar, hatinya begitu gembira karena uang itu akan ia berikan pada ibunya untuk membeli beras. Singkat cerita Arumi lulus dengan nilai yang cukup baik sekaligus sudah lancar berbahasa Arab. Sesuai dengan niat awalnya, ingin membantu perekonomian orang tuanya, Arumi mengajukan diri untuk menjadi tkw di Ara Saudi. Tiba di negara asing, Arumi ditempat di sebuah keluarga kaya yang ternyata istri majikannya sedang menderita sakit, kanker rahim yang sudah cukup serius. Tugas Arumi adalah mengurusi semua keperluan nyonya Maryam. Mulai dari memberi makan, menyuapi, memandikan, sampai sampai mengurusi buang air sekalian. Arumi melakukannya dengan tulus tanpa pernah menunjukkan rasa jijik, dan hal itu membuat sang majikannya juga sangat menyayanginya. Hubungan mereka terjalin begitu mesra, saling timbal balik dan saling menyayangi. Namun ternyata, sikap gadis cantik yang santun dan berbudi pekerti itu membuat sang majikan pria, tuan Dhafir jatuh cinta pada gadis muda itu. Ia ingin memiliki anak namun istrinya dengan keadaannya yang sedang sakit, tidak mungkin bisa digaulinya untuk menanam benih di rahim istrinya itu. Sebaliknya, nyonya Maryam, begitu mencintai suaminya dan ingin membahagiakan suaminya itu dengan memintanya menikah lagi, namun dengan syarat,nia harus menikahi Arumi. "Jsngan sayang! Arumi masih terlalu muda untukku! Berdoa sajalah, agar kamu cepat sembuh dan kita bisa mengadon anak!", tolak tuan Dhafir saat istrinya menyampikan maksudnya. " Tapi Arumi cantik sekali! Dia juga trampil, taat pada Tuhannya dan ia juga sangat sehat!",kata nyonya Maryam tak ingin dibantah. Sebagai pria dewasa yang sehat jasmani dan rohani tentu saja tuan Dhafir menyambut hangat usulan istrinya itu. Namun ia tidak boleh gegabah, ia harus menjaga kesehatan mental.istrinya. Ia tidak mau berbahagia dengan gadis yang masih sangat muda, di atas penderitaan istrinya yang sedang sakit parah. "Tunggulah beberapa tahun lagi sayang! Tunggu hingga kamu sehat lagi. Kontrak Arumi juga masih dangat panjang", kata Dhafir sebenarnya hanya berbasa basi saja. Karena suaminya seperti tifak setuju dengan usulnya, nyonya Maryam berganti strategi. Ia mendekati hati Arumi, dengan menunjukkan kadih sayangnya sebagai seorang kakak perempuan terhadap adiknya. " Arumi, saya sedang sakit, tidak berguna memakai perhiasan, jika kamu suka, ambillah semuanya untukmu". Nyonya Maryam menyodorkan sekotak penuh perhiasan. Terdiri dari kalung, gelang dan giwang. Tentu saja Arumi kaget setengah mati disodori hadiah begitu mewahnya. Pagi itu, mereka baru saja selesai sarapan bersama, di hadapan tuan Dhafir, Maryam memberi Arumi hadiah. "Maaf nyonya, saya tidak bisa menerimanya, ini terlalu berlebihan bagi saya!" Arumi mengembalikan kota perhiassn itu di pangkuan majikannya. "Ambillah Arumi, anggap saja sedekah dari istri saya!" Suara berat dan tegas milik tuan Dhafir terdengar penuh tekanan buat Arumi. "Nyonya, saya tak pantas memakainya! Saya pelayan hanya pelayan di rumah ini!", ucap Arumi sambil tertunduk. Ia sadar diri, ia hanya perempuan yang merantau jauh dari negaranya hanya untuk menjadi pembantu di rumah ini. " Jika kamu tidak mau menerimanya, besok saya kembalikan kamu ke yayasan! Saya akan ganti kamu dengan yang lainnya!",ucap nyonya Maryam mengancam Arumi. Tentu saja Arumi kaget setengah mati mendapat ancaman seperti itu. Ia segera menjatuhkan diri di hadapan nyonya Maryam dan segera berlutut. "Jangan nyonya! Jangan suruh saya pergi dari rumah ini! Saya sudah betah di sini dan saya sangat menyayangi nyonya!" Tanpa Arumi sadari, kedua pasangan suami istri itu saling berpandangan dan saling tersenyum. Tuan Dhafir tertawa lucu, ia senang karena sudah memiliki senjata untuk menjalankan rencana istrinya itu."Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki. Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rek
Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku. Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami m
"Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M
Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim
"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras