"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?"
Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimintai tolong pada Ummi Salmah untuk membantunya mengajar les bahasa Arab. Jadi nanti Arumi telat pulang ya bu! Jangan ditunggu!" Arumi cepat cepat melesat dari hadapan ibunya, ia takut disuguhi raut sedih ibunya lagi yang bisa mengganggu konsentrasinya menghadapi ujian. Di balik kisah sedih keluarganya, Arumi masih bersyukur, ia bisa mengenal Ummi Salmah, guru agama di sekolahnya. Karena melihat Ummi Salmah lancar berbahasa Arab saat berbicara di ponselnya dengan seseorang, Arumi begitu takjub. Ia ingin belajar bahasa Arab, karena ia ingin menjadi tkw selepas tamat sekolah. Ummi Salmah menyambut baik keinginan Arumi, maka diajaknya Arumi mengikuti kelas bahasa Arab di luar jam.sekolah. Arumi les gratis di rumah Ummi Salmah sepulang sekolah. Karena otaknya yang cerdas, Arumi cepat menguasai pelajaran yang diberikan oleh Ummi Salmah. Setahun telah berlalu, Arumi sudah benar benar lancar berbahasa Arab dan kini malah diminta oleh Ummi Salmah untuk membantunya. Ummi Salmah perempuan baik hati, setiap akan pulang, beliau selalu menyisipkan uang lima puluh ribu ke saku tas Arumi. "Terimakasih Ummi!" Mata Arumi berbinar, hatinya begitu gembira karena uang itu akan ia berikan pada ibunya untuk membeli beras. Singkat cerita Arumi lulus dengan nilai yang cukup baik sekaligus sudah lancar berbahasa Arab. Sesuai dengan niat awalnya, ingin membantu perekonomian orang tuanya, Arumi mengajukan diri untuk menjadi tkw di Ara Saudi. Tiba di negara asing, Arumi ditempat di sebuah keluarga kaya yang ternyata istri majikannya sedang menderita sakit, kanker rahim yang sudah cukup serius. Tugas Arumi adalah mengurusi semua keperluan nyonya Maryam. Mulai dari memberi makan, menyuapi, memandikan, sampai sampai mengurusi buang air sekalian. Arumi melakukannya dengan tulus tanpa pernah menunjukkan rasa jijik, dan hal itu membuat sang majikannya juga sangat menyayanginya. Hubungan mereka terjalin begitu mesra, saling timbal balik dan saling menyayangi. Namun ternyata, sikap gadis cantik yang santun dan berbudi pekerti itu membuat sang majikan pria, tuan Dhafir jatuh cinta pada gadis muda itu. Ia ingin memiliki anak namun istrinya dengan keadaannya yang sedang sakit, tidak mungkin bisa digaulinya untuk menanam benih di rahim istrinya itu. Sebaliknya, nyonya Maryam, begitu mencintai suaminya dan ingin membahagiakan suaminya itu dengan memintanya menikah lagi, namun dengan syarat,nia harus menikahi Arumi. "Jsngan sayang! Arumi masih terlalu muda untukku! Berdoa sajalah, agar kamu cepat sembuh dan kita bisa mengadon anak!", tolak tuan Dhafir saat istrinya menyampikan maksudnya. " Tapi Arumi cantik sekali! Dia juga trampil, taat pada Tuhannya dan ia juga sangat sehat!",kata nyonya Maryam tak ingin dibantah. Sebagai pria dewasa yang sehat jasmani dan rohani tentu saja tuan Dhafir menyambut hangat usulan istrinya itu. Namun ia tidak boleh gegabah, ia harus menjaga kesehatan mental.istrinya. Ia tidak mau berbahagia dengan gadis yang masih sangat muda, di atas penderitaan istrinya yang sedang sakit parah. "Tunggulah beberapa tahun lagi sayang! Tunggu hingga kamu sehat lagi. Kontrak Arumi juga masih dangat panjang", kata Dhafir sebenarnya hanya berbasa basi saja. Karena suaminya seperti tifak setuju dengan usulnya, nyonya Maryam berganti strategi. Ia mendekati hati Arumi, dengan menunjukkan kadih sayangnya sebagai seorang kakak perempuan terhadap adiknya. " Arumi, saya sedang sakit, tidak berguna memakai perhiasan, jika kamu suka, ambillah semuanya untukmu". Nyonya Maryam menyodorkan sekotak penuh perhiasan. Terdiri dari kalung, gelang dan giwang. Tentu saja Arumi kaget setengah mati disodori hadiah begitu mewahnya. Pagi itu, mereka baru saja selesai sarapan bersama, di hadapan tuan Dhafir, Maryam memberi Arumi hadiah. "Maaf nyonya, saya tidak bisa menerimanya, ini terlalu berlebihan bagi saya!" Arumi mengembalikan kota perhiassn itu di pangkuan majikannya. "Ambillah Arumi, anggap saja sedekah dari istri saya!" Suara berat dan tegas milik tuan Dhafir terdengar penuh tekanan buat Arumi. "Nyonya, saya tak pantas memakainya! Saya pelayan hanya pelayan di rumah ini!", ucap Arumi sambil tertunduk. Ia sadar diri, ia hanya perempuan yang merantau jauh dari negaranya hanya untuk menjadi pembantu di rumah ini. " Jika kamu tidak mau menerimanya, besok saya kembalikan kamu ke yayasan! Saya akan ganti kamu dengan yang lainnya!",ucap nyonya Maryam mengancam Arumi. Tentu saja Arumi kaget setengah mati mendapat ancaman seperti itu. Ia segera menjatuhkan diri di hadapan nyonya Maryam dan segera berlutut. "Jangan nyonya! Jangan suruh saya pergi dari rumah ini! Saya sudah betah di sini dan saya sangat menyayangi nyonya!" Tanpa Arumi sadari, kedua pasangan suami istri itu saling berpandangan dan saling tersenyum. Tuan Dhafir tertawa lucu, ia senang karena sudah memiliki senjata untuk menjalankan rencana istrinya itu."Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
Mobil tuan Dhafir, berhenti di depan garasi, tidak masuk ke dalam. Sekali lagi Arumi kesulitan membuka sealt beltnya, dan sekali lagi tuan Dhafir membantunya. Sepasang mata melihat mereka dari ujung garasi mobil yang terhubung ke gudang makanan. "Dasar genit! Jalang! Murahan!", ucap mulut berbisa itu tak suka dan sorot mata sarat akan dengki. " Arumi sudah pulang belanja tuh! Ayo kita bantui menurunkan barang barang! Ntar disemprot tuan Dhafir baru tahu?" Serang rekan kerjanya mencolek perempuan dengki itu. "Sono buka matamu lebar lebar! Lihat!", bentaknya pada rekannya itu. Dari tempat mereka berdiri, tuan Dhafir terlihat seperti sedang mencium Arumi. " Sungguh tidak tahu diri! Di saat nyonya sedang sakit, bisa bisanya ia menggoda tuan!" Perempuan dengki itu ternyata bernama Surti, terus saja nyerocos persis mercon banting. "Jangan mengumpat!Jika tuan dengar, bisa habis kau!" Rekannya yang bernama Mala itu mendekati mobil, bermaksud membantu Arumi untuk membawa b
"Sah" Teriakkan bergema di ruangan yang luas ini, menandakan jika Arumi sudah menjadi istri tuan Dhafir yang sah, istri kedua dan madu untuk nyonya Maryam. Arumi menunduk, air matanya jatuh membasahi baju pengantinnya yang indah. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan, ia ingin.menikah dengan pria lajang yang ia cintai dan mencintainya. Dinikahkan oleh ayahnya sebagai wali dan ada sedikit kemeriahan perayaan pesta pernikahannya. "Arumi, mendekatlah sini!" Tuan Dhafir menepuk kasur di sebelahnya. Arumi menatap mantan majikannya itu dengan sendu. Ia tidak mungkin menolak perintah pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Penuh ragu ia mendekat, namun tidak berani merapat, ia duduk di sisi pria itu dengan memberi jarak. "Arumi, mengapa takut? Aku suamimu kini!" Tuan Dhafir menarik tubuh Arumi ke dalam pelukkannya. Arumi jadi begitu mungil saat tenggelam dalam pelukkan pria besar itu. Dengan rakus pria Arab itu menciumi wajah Arumi, menjilati bahkan menghis
Suara azan subuh menyusup ke liang pendengaran Arumi. Mula mula sangat jauh, mungkin karena lelah tubuhnya, akibat permainan panas tuan Dhafir tadi malam. Namun makin lama suara azan itu makin dekat dan.keras, memaksa Arumi membuka matanya. Tubuh Arumi benar benar remuk redam, seakan seluruh tulangnya patah patah. Dengan terseok seok, Arumi mengangkat bokongnya, menurunkan kakinya dari kasur ke lantai lalu berjalan ke kamar mandi. Saat membuka matanya, Arumi tidak.melihat keberadaan tuan Dhafir di sampingnya. Perempuan itu tidak peduli, ia cuma berpikir jika tuan Dhafir kembali ke istri pertamanya. Guyuran air yang memancar keras dari shower, membuat sekujur tubuh Arumi menjadi segar. Setelah selesai membersihkan diri, Arum.pun berwudhu untuk melakukan sholat subuh sendirian di kamarnya yang mewah. Dalam sujudnya, Arumi berlama lama, ia ingin banyak berdoa, namun tidak tahu lagu doa apa yang akan ia pinta pada Tuhannya. Kemudian Arumi berganti baju, ia ingin melayani
Arumi dengan manis melayani suaminya di meja makan di depan kakak.madunya. Tidak ada yang aneh bagi Arumi sebenarnya, ia melayani nyonya Maryam seperti biasa, namun melayani tuan Dhafir sudah seperti layaknya seorang istri.melayani suaminya. Mereka makan dengan tertib, tidak ada percakapan, masing masing larut dalam menikmati suapan demi suapan makanan mereka. Tapi nyonya Maryam terus berpikir dengan dada bergemuruh. "Harusnya aku yang melayani suamiku, bukan Arumi! Dasar penyakit sialan! Gara gara penyakit ini aku harus merelakan suamiku menikah lagi", bisik hati nyonya Maryam sarat cemburu. " Sayang!", ucap tuan Dhafir saat ia sudah selesai makan. Kedua iatrinya menoleh kepadanya, merasa dipanggil.oleh suami mereka. "Maryam..!" Ternyata sang suami memanggil istri pertamanya, aneh ada yang mencubit hati Arumi karena bukan dia yang dipanggil, sakit, tentu saja. "Minggu depan abi akan melakukan perjalanan bisnis ke Indonesia". Arumi terlonjak, jauh di dasar hatinya
Saat nyonya Maryam meratapi nasib pernikahannya, justru Arumi tengah menikmati indahnya dunia bareng suami tampan dan tajirnya. Suami pemberian dari perempuan lain yang dengan sukarela membaginya dengan Arumi. Menikmati penerbangan dari Jeddah ke Cengkareng, di kelas utama, sungguh Arumi disuguhi sebuah kemewahan yang maha dahsyat dan belum pernah ia rasakan. Tubuh mungilnya tenggelam dalam kursi mewah yang empuk dan besar, belum.lagi ia merasakan pelayanan premium yang paripurna. Belasan jam berada di atas, suami Arumi tak ingin sekalipun melepaskan pelukkannya pada istri mungilnya itu. Ruangan private, memungkinkan mereka terus memadu kasih tanpa gangguan dari siapa pun. Dan Arumi sangat bahagia, ia bahkan melupakan sepotong hati yang berdarah darah serta sedang menangisi kebahagiaan yang sedang direguk.oleh Arumi. Perjalanan belasan jam tidak membuat Arumi kelelahan hingga mereka tiba di Jakarta. Mereka istirahat dulu di hotel sebelum beranjak ke kegiatan berikutnya
Begitu menjejakkan kaki di Bandara kota tujuan, hati Arumi berbunga bunga. Ia akan segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah sangat dia rindukan. Cukup lama mereka berpisah, walau sering berhubungan lewat panggilan video, tetap saja rindu itu belum tuntas. Seorang pria awal.empat puluhan menyambut Arumi dan menyapa hangat perempuan cantik khas gadis Jawa itu. "Nyonya Arumi?", sapa pria itu, yang bernama pak.Sophian. " Bapak memanggil saya?", tanya Arumi kaget. "Benar Nya, saya utusan tuan Dhafir!" Arumi tak mau ambil pusing, ia percaya pada pria itu. "Dengan bapak?", tanya Arumi sambil menangkupkan telapak tangannya ke dada. " Panggil saya pak Pian! Saya yang akan melayani nyonya Arumi selama di sini!" Pria itu langsung mengambil koper Arumi dan membawanya ke mobil, Arumi hanya pasrah mengikuti langkah pak Pian menuju ke mobil. Dalam.perjalanan di dalam.mobil, ponsel Arumi bergetar, ternyata suaminya menghubunginya. Mereka berbicara dalam bahasa Arab,
Tuan Dhafir tidak main main demi Arumi, istri keduanya. Bagi laki laki itu, sosok Arumi begitu mengagumkan, memenuhi egonya sebagai seorang pria dewasa. Sebagai bentuk kasih sayangnya terhadap Arumi, tuan Dhafir rela menggelontorkan dana yang sangat besar untuk membangun kontrakan yang dipersembahkan kepada istrinya. Pagi.pagi sekitar pukul sepuluh, pak Pian datang ke rumah Arumi. "Ada apa pak?", tanya ibunya Arumi penasaran, ia berpikir Arumi sudah dijemput oleh majikannya untuk kembali.ke Arab Saudi. " Saya diperintahkan untuk.menjemput nona Arumi dan membawanya menemui seseorang!", jawab pak Pian. Sementara di.kamarnya, Arumi.sudah menerima pemberitahuan dari tuan Dhafir, jika pagi ini ia harus menemui notaris untuk menanda tangani dokumen yang diperlukan. "Sayang, ingat ya! Jangan katakan semua itu milikmu! Katakan saja pada mereka jika itu milik saya dan kamu hanya sebagai pemantau saja!" Tentu saja Arumi setuju, ia paham betul bagaimana watak orang orang di sekitar
Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru
Kehamilan Arumi membuat tuan Dhafir senang bukan kepalang. Hari hari yang ia lalu terasa begitu cepat karena hatinya terus gembira. Raut wajahnya juga selalu segar tidak keruh dan dingin seperti selama ini. "Wah tuan belakangan ini terlihat begitu ceria", sapa Omar, salah seorang pegawainya di kantor. Dhafir hanya terkekeh, tidak.menanggapi lebih gurauan Omar itu. Langlah kakinya yang lebar dan cepat bergerak dari lobi ke ruangannya yang kebetulan terletak di lantai satu di gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangannya, telah menumpuk tugas yang harus ia selesaikan hari ini. Pekerjaannya sebagai pemilik banyak perusahaan sangatlah padat, ia sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan kedua istrinya. Pergi pagi pagi, pulang nyaris tengah malam dengan membawa beban tubuhnya yang sangat meletihkannya. " Sayang, mengapa kamu begitu sibuk? Bukankan kau memiliki orang orang yang kau percaya yang bisa menghandel semua urusanmu?" Maryam menegur Dhafir yang baru saja masuk ke dala
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M