Arumi dengan manis melayani suaminya di meja makan di depan kakak.madunya. Tidak ada yang aneh bagi Arumi sebenarnya, ia melayani nyonya Maryam seperti biasa, namun melayani tuan Dhafir sudah seperti layaknya seorang istri.melayani suaminya. Mereka makan dengan tertib, tidak ada percakapan, masing masing larut dalam menikmati suapan demi suapan makanan mereka. Tapi nyonya Maryam terus berpikir dengan dada bergemuruh. "Harusnya aku yang melayani suamiku, bukan Arumi! Dasar penyakit sialan! Gara gara penyakit ini aku harus merelakan suamiku menikah lagi", bisik hati nyonya Maryam sarat cemburu. " Sayang!", ucap tuan Dhafir saat ia sudah selesai makan. Kedua iatrinya menoleh kepadanya, merasa dipanggil.oleh suami mereka. "Maryam..!" Ternyata sang suami memanggil istri pertamanya, aneh ada yang mencubit hati Arumi karena bukan dia yang dipanggil, sakit, tentu saja. "Minggu depan abi akan melakukan perjalanan bisnis ke Indonesia". Arumi terlonjak, jauh di dasar hatinya
Saat nyonya Maryam meratapi nasib pernikahannya, justru Arumi tengah menikmati indahnya dunia bareng suami tampan dan tajirnya. Suami pemberian dari perempuan lain yang dengan sukarela membaginya dengan Arumi. Menikmati penerbangan dari Jeddah ke Cengkareng, di kelas utama, sungguh Arumi disuguhi sebuah kemewahan yang maha dahsyat dan belum pernah ia rasakan. Tubuh mungilnya tenggelam dalam kursi mewah yang empuk dan besar, belum.lagi ia merasakan pelayanan premium yang paripurna. Belasan jam berada di atas, suami Arumi tak ingin sekalipun melepaskan pelukkannya pada istri mungilnya itu. Ruangan private, memungkinkan mereka terus memadu kasih tanpa gangguan dari siapa pun. Dan Arumi sangat bahagia, ia bahkan melupakan sepotong hati yang berdarah darah serta sedang menangisi kebahagiaan yang sedang direguk.oleh Arumi. Perjalanan belasan jam tidak membuat Arumi kelelahan hingga mereka tiba di Jakarta. Mereka istirahat dulu di hotel sebelum beranjak ke kegiatan berikutnya
Begitu menjejakkan kaki di Bandara kota tujuan, hati Arumi berbunga bunga. Ia akan segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah sangat dia rindukan. Cukup lama mereka berpisah, walau sering berhubungan lewat panggilan video, tetap saja rindu itu belum tuntas. Seorang pria awal.empat puluhan menyambut Arumi dan menyapa hangat perempuan cantik khas gadis Jawa itu. "Nyonya Arumi?", sapa pria itu, yang bernama pak.Sophian. " Bapak memanggil saya?", tanya Arumi kaget. "Benar Nya, saya utusan tuan Dhafir!" Arumi tak mau ambil pusing, ia percaya pada pria itu. "Dengan bapak?", tanya Arumi sambil menangkupkan telapak tangannya ke dada. " Panggil saya pak Pian! Saya yang akan melayani nyonya Arumi selama di sini!" Pria itu langsung mengambil koper Arumi dan membawanya ke mobil, Arumi hanya pasrah mengikuti langkah pak Pian menuju ke mobil. Dalam.perjalanan di dalam.mobil, ponsel Arumi bergetar, ternyata suaminya menghubunginya. Mereka berbicara dalam bahasa Arab,
Tuan Dhafir tidak main main demi Arumi, istri keduanya. Bagi laki laki itu, sosok Arumi begitu mengagumkan, memenuhi egonya sebagai seorang pria dewasa. Sebagai bentuk kasih sayangnya terhadap Arumi, tuan Dhafir rela menggelontorkan dana yang sangat besar untuk membangun kontrakan yang dipersembahkan kepada istrinya. Pagi.pagi sekitar pukul sepuluh, pak Pian datang ke rumah Arumi. "Ada apa pak?", tanya ibunya Arumi penasaran, ia berpikir Arumi sudah dijemput oleh majikannya untuk kembali.ke Arab Saudi. " Saya diperintahkan untuk.menjemput nona Arumi dan membawanya menemui seseorang!", jawab pak Pian. Sementara di.kamarnya, Arumi.sudah menerima pemberitahuan dari tuan Dhafir, jika pagi ini ia harus menemui notaris untuk menanda tangani dokumen yang diperlukan. "Sayang, ingat ya! Jangan katakan semua itu milikmu! Katakan saja pada mereka jika itu milik saya dan kamu hanya sebagai pemantau saja!" Tentu saja Arumi setuju, ia paham betul bagaimana watak orang orang di sekitar
"Hebat kamu Bakhtiar! Baru juga kerja sudah diangkat jadi mandor! Memang siapa sih perempuan cantik itu?", tanya Mamad penuh kekaguman. Ia benar benar heran, perempuan cantik itu mu gkin menyukai Bakhtiar sehingga begitu mudahnya menggeser pekerjaan Bakhtiar. Dari seorang kenek, kuli, menjadi seorang pengawas atau mandor. " Dia mantan adik.kelasku dulu. Dan dulu ia juga naksir aku! Proyek ini milik majikannya, dan dia yang bertugas meninjaunya, sebelum minggu depan ia kembali ke Arab Saudi". Tentu saja omongan Bakhtiar berdusta, ia sengaja mengarang agar Mamad semakin kagum padanya. Kepala Bakhtiar serasa membesar, cupibg hisungnya kembang kempis menandakan ia sedang menahankan sesaknya di dada akan bangganya karena mendapat mandat yang luar biasa dari wanita ayu itu. "Hebat kau Bakti! Pepetterus perempyan cantik itu!", saran Mamad mengompori. " Sayangnya ia akan kembali bekerja jadi tkw di Arab sono! Sedangkan aku kan masih menjalin hubungan dengan Winda. Bagaimana dong!"
Setelah hampir tiga jam terbang, Arumi sudah berada di dalam pelukkan tuan Dhafir, di dalam hotel di dekat bandara Cengkareng. "Aku merindukan kamu, istriku!" Ucapan bernada lembut dari mulut suaminya itu sangan membuai relung hati Arumi. Perempuan itu juga langsung menyusupkan tubuhnya ke dalam tubuh kekar berbulu milik suaminya. "Aku juga sayang!" Dengan brutal Arumi menghirupi wangi maskulin yang berebut masuk ke indera penciumannya. Saking rindunya ia pada suaminya, hingga ia tidak sadar jika ia telah membangkitkan macan buas yang selama ini sedang menahan lapar akan syahwatnya. Mendapat serangan di titik mematikan di tubuhnya, tuan Dhafir tersenggal senggal, ia membalas serangan brutal Arumi tak kalah ganas. Tubuh Arumi yang mungil habis digulung dan diserang dengan buas, sehingga Arumi keteteran menghadapinya. "Ampun sayang, aku nyerah!" Nafas Arumi begitu memburu, apa lagi saat tuan Dhafir bergerak naik turun di atas tubuhnya tanpa ampun. Menit demi menit be
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru
Kehamilan Arumi membuat tuan Dhafir senang bukan kepalang. Hari hari yang ia lalu terasa begitu cepat karena hatinya terus gembira. Raut wajahnya juga selalu segar tidak keruh dan dingin seperti selama ini. "Wah tuan belakangan ini terlihat begitu ceria", sapa Omar, salah seorang pegawainya di kantor. Dhafir hanya terkekeh, tidak.menanggapi lebih gurauan Omar itu. Langlah kakinya yang lebar dan cepat bergerak dari lobi ke ruangannya yang kebetulan terletak di lantai satu di gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangannya, telah menumpuk tugas yang harus ia selesaikan hari ini. Pekerjaannya sebagai pemilik banyak perusahaan sangatlah padat, ia sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan kedua istrinya. Pergi pagi pagi, pulang nyaris tengah malam dengan membawa beban tubuhnya yang sangat meletihkannya. " Sayang, mengapa kamu begitu sibuk? Bukankan kau memiliki orang orang yang kau percaya yang bisa menghandel semua urusanmu?" Maryam menegur Dhafir yang baru saja masuk ke dala
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M