Humaira, seorang wanita yang rela menerima tawaran menikah dengan lelaki yang tak dikenalnya. Di rela melakukannya karena membutuhkan biaya yang besar untuk ibunya yang akan melakukan operasi. Tak disangka ter yata calon suaminya adalah seorang CEO yang terkenal dan sudah memiliki kekasih seorang model. Akankah Humaira mampu menghadapi suaminya.
View More"Sebentar saja," potong Semesta, tanpa memedulikan keberadaan Raka.Humaira menghela napas dalam. Ia tahu nada suara Semesta kali ini bukan sesuatu yang bisa ditolak. Dengan berat hati, ia memandang Raka yang masih berdiri di depan ruang guru. "Maaf ya, Pak Raka. Aku harus pergi sebentar," katanya singkat sebelum melangkah mengikuti Semesta.Raka hanya mengangguk, meski jelas ada kebingungan di wajahnya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa lagi.Semesta berjalan cepat menuju sisi gedung sekolah yang sepi, sementara Humaira harus mempercepat langkahnya agar bisa mengimbanginya. Ketika akhirnya Semesta berhenti, Humaira langsung menatapnya dengan tatapan tidak sabar."Mas, apa sebenarnya yang mau Mas bicarakan?" tanyanya, mencoba menahan nada kesalnya. Semesta tidak langsung menjawab. Ia menatap Humaira cukup lama, seolah sedang menyusun kata-kata di kepalanya. Namun, alih-alih menjelaskan, ia justru bertanya, "Kamu selalu dekat sama dia?"Humaira mengerutkan kening. "Mas maksud siapa?
"Kenapa nggak kamu angkat, Mas?" suara Humaira memecah keheningan di ruang tamu kecil itu. Suaranya datar, tetapi ada nada yang tak bisa disembunyikan. Tegang, mungkin. Semesta menunduk sejenak, menatap layar ponselnya yang masih bergetar di atas meja."Ini urusanku," jawab Semesta dingin tanpa menoleh. Ia membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja, lalu menghembuskan napas panjang. Tangannya yang besar meraih ponsel itu dan mematikannya tanpa basa-basi.Humaira menghela napas. Ia mencoba tetap tenang, meski pikirannya sudah penuh tanda tanya. Alena lagi. Nama itu terus muncul di antara mereka seperti duri yang tak bisa dicabut. Ia sudah lelah membicarakan ini, tetapi setiap kali Alena muncul, tak bisa dimungkiri, hatinya tetap terusik.“Mas, aku cuma tanya. Kenapa harus marah?” Suara Humaira terdengar pelan, hampir seperti berbisik. Ia tahu, jika ia menaikkan nada suaranya sedikit saja, percakapan ini akan berubah menjadi perang dingin yang lebih besar.Semesta akhirnya menatapnya
“Kamu yakin bisa hidup tanpa aku?” Humaira terdiam, menatap Semesta tanpa ekspresi. Pertanyaannya menggantung di udara, seperti menunggu jawaban yang tidak pernah ingin benar-benar didengar. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara klakson motor dari luar memecah kesunyian.“Aku berangkat dulu, Mas.” Humaira akhirnya berkata, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Tanpa menunggu balasan, ia mengambil tasnya lalu berjalan keluar.Semesta hanya berdiri mematung, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, tetapi ia tidak tahu apa. Ia meneguk ludah, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.“Kenapa dia makin aneh?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Hubungan semakin dinginHari-hari berikutnya terasa semakin hampa di rumah itu. Humaira dan Semesta hampir tidak pernah berbicara. Jika mereka kebetulan berada di ruangan yang sama, suasananya selalu sunyi.Semesta sering pulang larut malam, dan ketika ia pulang, Humaira sudah berada di kamar. Tidak ada sapa
“Apa, Mas?” Humaira menatap Semesta dengan sorot mata yang sulit ditebak. Di hadapannya, pria itu tampak tidak seperti biasanya. Semesta, yang biasanya begitu tegas dan tak ragu bicara, kini terlihat ragu-ragu. Tangannya menyentuh meja makan, mengetuk-ngetuk permukaannya dengan ujung jari. “Kenapa kamu jadi berubah, Mai?” Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi ada nada tajam yang terselip di sana. Humaira mengangkat alis, tidak langsung menjawab. Ia menghela napas, mencoba meredam rasa kesal yang mendesak ingin keluar. Di hadapannya, Semesta menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. “Berubah? Apa maksud Mas?” Humaira menjawab dengan suara tenang, meski hatinya bergejolak. “Kamu... beda,” kata Semesta lagi, kali ini mencoba terdengar lebih tegas. “Kamu nggak seperti dulu lagi. Biasanya kamu selalu ceria, selalu cerewet. Tapi sekarang?” Humaira tersenyum tipis, senyuman yang tidak sampai ke matanya. “Oh, jadi itu masalahnya? Mas nggak suka aku berubah?” Semesta mende
“Mas….” Suara gemetar itu lolos begitu saja dari bibir Humaira yang kering. Kepalanya masih terasa berat, pandangannya sedikit mengabur ketika ia membuka mata sepenuhnya. Ia berusaha duduk, tetapi tubuhnya terasa lemah. Namun, suara itu—suara berat Semesta yang barusan ia dengar—terus terngiang dalam benaknya. “Perceraian ini yang terbaik untuk kita.” Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Humaira menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. Ia mengedarkan pandangannya perlahan, mendapati Semesta berdiri tak jauh darinya, dengan ekspresi datar seperti biasa. “Mas… apa maksud Mas tadi?” tanyanya pelan, suaranya serak, hampir tak terdengar. Semesta tak segera menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamar, menghindari tatapan Humaira. Hening di antara mereka terasa begitu menusuk hingga hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruangan itu. “Aku nggak mau bahas ini sekarang. Kamu istirahat dulu
Humaira menghampiri suaminya yang duduk di sofa. “Mas, tadi ibu cerita apa saja ke kamu?”“Banyak, tapi nggak penting juga buatku. Jadi sampai kapanpun aku tidak akan pernah tertarik kepadamu.” Semesta tersenyum sinis melihat ekspresi Humaira. Ia hanya tersenyum kecut mendengar pernyataan suaminya. Humaira melihat ekspresi suaminya yang nampak tenang dan sibuk dengan ponselnya. “Sepuluh menit lagi aku pergi,”Humaira mendongak. “Iya, Mas. Kita sholat jamaah dahulu seperti permintaan ibu. Mungkin lima menit lagi sudah masuk waktu dhuhur.”Semesta tak menjawab, ia melirik jam tangannya. Benar apa yang dikatakan Humaira, baru saja ia melihat jam, adzan sudah berkumandang. “Aku mau bangunin ibu dulu ya, Mas. Mas bisa siap-siap sekarang.” Perlahan Humaira mendekati sang ibu. Humaira mengelus tangan Salamah, mencoba membangunkannya. “Bu, kita sholat dulu yuk.”Setelah Ibunya bangun, Humaira segera membantu ibunya untuk bertayamum lalu memakaikan mukena. Senyum manis terbit di wajah Humair
Mobil Semesta memasuki parkiran rumah sakit. Sedari tadi Humaira meremas tangannya, ia gugup karena memberikan pilihan kepada suaminya. Humaira hanya takut pria itu meminta yang aneh-aneh. Semesta melirik ke arah Humaira yang merasa cemas, ia tersenyum sinis. “Nggak usah tegang, rileks. Tenang saja aku nggak akan minta yang aneh-aneh.”“I-iya, Mas.” Meski ucapan suaminya lembut tapi Humaira tetap saja merasakan firasat yang tidak enak. Humaira segera melepas safety beltnya lalu keluar mengikuti Semesta. “Terima kasih, Mas. Sudah mau menjenguk ibu.”Semesta tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar lalu berjalan mendahului Humaira. Tiba di depan mendadak Semesta bingung karena ia tidak mengetahui di kamar berapa mertuanya di rawat. “Kenapa, Mas?” tanya Humaira setelah dekat dengannya. Ia tahu alasan Semesta berhenti tapi ia pura-pura. “Kamu duluan.”Humaira mengulum senyum. ‘Dasar sok tahu,’ batinnya. Tentu saja ia hanya bisa bergumam dalam hati. Tak menunggu waktu lama, Humaira seger
Semesta memijat pelipisnya yang terasa pusing, kebingungan melanda pikirannya. Haruskah ia menemui Alena atau pergi ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya yang dikabarkan pingsan? Waktu terus berjalan, kurang dari satu jam lagi ia harus menjemput Alena sesuai permintaannya. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan Humaira. Jika mamanya tahu, bisa-bisa dia dicoret dari daftar ahli waris.Dengan berat hati, Semesta memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia berpikir hanya akan sebentar saja, lalu segera mengajak Humaira pulang. Lelaki itu hanya ingin memastikan satu hal saja. Perasaannya sudah tidak menentu, ia hanya takut Humaira hamil. Mengingat ia tak memakai pengaman saat melakukannya. Setibanya di rumah sakit, Semesta langsung menuju ruang perawatan Humaira. Di depan ruangan, ia melihat rekan Humaira, seorang wanita sesama guru yang tadi memberi kabar.Wanita itu berdiri dan menyapanya. “Maaf, Pak. Humaira masih diperiksa dokter.”“Apa yang terjadi?” tanya Semesta dengan nada dingin.
Semesta membeku diam di tempat karena tiba-tiba saja Humaira memeluknya. “Terima kasih ya, Mas. Akhirnya aku punya motor baru dan gak akan mogok lagi,” ucapnya dengan senang. Pria itu hanya berdehem saja tetap menjaga wibawanya di hadapan para karyawan showroom. Mereka hanya mengulas senyum saja, ternyata Semesta tetap bersikap dingin kepada istrinya. “Bisa lepaskan saya,” bisiknya. Humaira tersadar, karena terlalu senang. Humaira membeku dan perlahan-lahan ia melepaskan tangannya, wajahnya sudah memerah karena menahan malu. “Ma-maaf, Mas.”Semesta keluar meninggalkan showroom setelah transaksi selesai. Ia segera naik ke kursi penumpang di susul dengan Humaira yang ikutan naik. Semesta mengernyit saat melihat wanita berhijab itu duduk di sampingnya. “Kau mau apalagi?”“Ikut nebenglah. Memang mau apa Mas, punya istri kok disuruh berangkat sendiri. Gak kasihan apa sudah cantik begini disuruh naik angkot,” gumamnya sebal. Semesta hanya diam saja malas menanggapi ucapan Humaira. Rasa
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments