Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita.
Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu.
“Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah.
“Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain.
Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyongan begitu pasti sudah ngantuk.”
Semesta hanya menurut saja, padahal ia juga merasakan hal sama. Semesta sudah curiga kepada mamanya. Semesta akhirnya mengantarkan Humaira ke kamarnya di lantai atas agar mamanya tidak curiga.
“Merepotkan,” decaknya lalu menggandeng tangan Humaira agar tidak jatuh.
“Kenapa pusing sekali sih, Mas. Ini juga rasanya panas sekali.” Humaira mengibaskan tangannya ke wajahnya. Merasa tak puas ia juga menggunakan jilbabnya sebagai kipas.
Tiba di kamarnya, Semesta langsung melepaskan gandengan tangannya. Ini semua ia lakukan agar mamanya tidak curiga tentang pernikahannya.
“Mas, ini panas sekali.” Humaira langsung melepas jilbabnya di depan Semesta. Gejolak yang ada dalam dirinya membuat Humaira mendekati Semesta yang juga menahannya.
“Jangan mendekat!” Suara keras dari Semesta tak dihiraukannya. Humaira terus saja mendekat bahkan kini tangannya sudah melingkar di perut suaminya.
Semesta memejamkan matanya berusaha untuk tidak menyentuh Humaira. Lebih baik ia pergi dari kamarnya dan berendam di kolam renang saja. Namun, Humaira masih memeluknya erat, meski berulang kali Semesta menghempaskan tangannya.
“Aarrrggh,” teriak Semesta saat mendapati pintunya terkunci dari luar. “Mama, buka pintunya,” teriak Semesta lagi sambil terus saja menggedor pintu.
Ia tahu kamu ini semua ulah mamanya. Keringat mulai bercucuran di dahi Semesta meski AC kamarnya nyala.
Sedangkan di luar, Dewi tersenyum senang berhasil mengunci mereka di dalam kamar. Dewi berharap mereka melakukannya dan ingin segera mendapatkan cucu.
“Mas, tolong aku. Aku sudah tidak tahan.” Tangan Humaira masih bergelayut di leher Semesta. Gerakannya lembut. Namun, ada ketidakberdayaan yang terpancar dari matanya yang terlihat basah.
Humaira saat ini tampak seperti wanita yang menggoda lelaki, tetapi tidak salah karena Humaira adalah istri sah Semesta, dan pada saat ini, dia menginginkan Semesta.
Semesta yang saat itu juga terpengaruh obat sialan itu tak mampu lagi menahannya. Segera ia membawa Humaira ke ranjang size miliknya.
Malam itu dimana mereka melakukan untuk yang pertama kali secara tidak sadar karena pengaruh obat. Di bawah lampu yang temaram mereka bergulat dengan panas melepaskan pengaruh obat itu.
Keesokannya paginya, Humaira mengerjapkan mata saat sinar matahari menembus celah-celah kecil di jendela. Humaira duduk bersandar pada headboard ranjang karena masih merasa pusing.
“Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira saat mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai kain pun dan melihat Semesta berada di sampingnya masih tertidur.
Semesta kaget dan langsung terduduk. “Ada apa?”
“Kenapa aku … kita … aarrrggh.” Humaira tak bisa melanjutkan ucapannya karena keadaannya yang seperti ini. Ia tahu apa yang terjadi dengan mereka semalam.
Ingatan-ingatan tentang semalam terbayang dalam kepala mereka. Begitu juga dengan Semesta, ia mengepalkan kedua tangannya dan langsung menyambar pakaiannya menutupi bagian terpenting tersebut.
“Jangan kamu kira aku melakukannya dengan sadar dan cinta. Kita melakukannya tanpa sadar. Oh ya … bukankah semalam kamu duluan yang menggodaku?”
“Aku.” Tunjuk Humaira pada dirinya sendiri. “Aku juga tidak sadar Mas, aku nggak tahu apa yang terjadi pada diriku. Kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku panas.”
“Lupakan kejadian semalam, jangan harap aku akan menyentuhmu lagi setelah ini,” tegas Semesta lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi.
“Kalau aku hamil gimana, Mas?” seru Humaira dengan nada tinggi.
Langkah Semesta terhenti saat menyebut kata hamil. Dirinya juga merasa bersalah kepada kekasihnya karena ia menyentuh Humaira. Padahal Semesta dan kekasihnya belum pernah berhubungan sekalipun meski Alena terus memaksa Semesta. Semesta mengepalkan kedua tangannya erat lalu berbalik. “Bisa digugurkan kan? Aku tak sudi punya anak dari rahimmu wanita sialan.” Tunjuknya pada Humaira membuat Humaira berkaca-kaca.
Humaira menahan rasa sesak di dada mendengar kata itu keluar dari mulut suaminya. Tanpa terasa air matanya lolos membasahi pipi. Tangannya kuat mencengkram sprei di bawahnya.
Setelah Semesta masuk ke kamar mandi. Humaira segera mengenakan bajunya kembali dan menahan rasa sakit di bagian intinya. Dengan langkah tertatih ia berusaha keluar dari kamar suaminya dan berharap mama mertuanya sudah pulang.
Tiba di kamarnya sendiri, Humaira langsung ke kamar mandi menyalakan shower agar membasahi tubuhnya. Seharusnya kejadian semalam tidak terjadi karena Semesta memang tak pernah menginginkannya. Humaira menangis pilu di sana kenapa nasibnya harus seperti ini.
Semesta yang baru saja keluar kamar mandi terlihat lebih segar. Ia masih menahan kesal karena kejadian semalam. Ia duduk di tepi ranjang mengusap wajahnya dengan gusar. Tak sengaja melihat ke sprei ada bekas darah. Tentu saja ia tahu itu darah apa.
Semesta mengusap wajahnya kasar, ada rasa bersalah yang timbul karena mengkhianati Alena, tapi di sisi lain ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata bahwa dia sudah menggauli wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri dengan ikatan yang sah.
Semesta akan keluar hari ini berusaha mencari ketenangan. Baru saja kakinya melangkah keluar. Tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata Alex-sang asisten yang meneleponnya.
“Bos cepat ke kantor sekarang!”
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. “Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag
Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti. "Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira. "Iya, Bu. Restui kami ya.""Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya. Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya. Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak ist
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. “Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. “Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. “Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti. "Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira. "Iya, Bu. Restui kami ya.""Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya. Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya. Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak ist
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag