Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga.
Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga.
āAku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,ā gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi.
Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya.
Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak tinggal diam, ia segera ke kamar menghubungi seseorang.
āHalo, Nyonya, ada kabar buruk dengan Den Semesta dan istrinya.ā
āKabar apa, Bik?ā tanya Dewi dari seberang telepon dengan panik.
āDen Semesta bertengkar sama Humaira karena Den Semesta membawa kekasihnya ke rumah.ā
āApaā¦.ā Dewi merasa terkejut dengan ulah anaknya padahal sedari tadi sikapnya sangat manis seolah pasangan yang bahagia.
Dewi memikirkan cara agar anaknya dan juga Humaira bisa bersatu seperti pasangan lainnya. Tak lama kemudian Dewi segera bertandang menuju ke rumah Semesta setelah menelpon seseorang.
***
Humaira memandangi makanan yang masih utuh dan tidak tersentuh sedikitpun. Dia mendengus kesal, sayang juga kalau di buang lebih baik ia memakannya meski sudah tidak mood untuk makan.
Karena tidak ingin makan sendirian akhirnya Humaira memanggil Bik Sumi untuk menemaninya makan.
āTapi, Nonāā
āNggak apa Bik, kan mubazir juga kalau nggak ada yang makan.ā Humaira mulai menyendokkan nasi ke dalam piringnya dan juga piring Bik Sumi.
āJadi ini istri sholehah dari mama, makan tanpa menunggu suaminya?ā Semesta menatap tajam ke arah Humaira membuat Bik Sumi takut. Semesta dengan tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
āSaya ijin ke belakang, Non.ā
Humaira hanya mengangguk dan melihat ke arah suaminya. āKamu mau makan, Mas?ā
āMenurutmu ā¦.ā
āAku kira sudah kenyang tadi habis ketemu sama pacar,ā sindir Humaira membuat Semesta melotot tajam ke arahnya.
āKamuāā
āSsttt, sudah Mas, nggak baik berdebat di depan makanan.ā Humaira bersikap tenang dan tidak takut sedikitpun meski sedari tadi Semesta terus menatapnya dengan tajam.
Meski kesal, Semesta menerima makanan yang sudah disiapkan untuknya. Sekali dia menyendokkan makanan, rasanya memang beda dari yang ia makan sebelumnya meski sama-sama masakan dari udang. Bahkan Semesta menyendok beberapa kali makanannya hingga tak sadar kalau di piringnya sudah habis.
Humaira hanya tersenyum tipis melihat suaminya begitu menikmati masakannya.
āGimana Mas, enak ākan?ā
Semesta tampak malas untuk menjawabnya dan terus melahap makanan yang ada di piringnya, sesekali ia mengambil udang goreng tepung yang tersaji di meja.
āMas suka, itu semua aku yang memasaknya lho.ā
Mendengar wanita itu yang memasak, Semesta langsung tersedak, meski masakannya enak tapi gengsi bagi Semesta untuk mengakuinya. Humaira dengan segera mengambil air dan menyerahkan kepada suaminya.
āPelan-pelan, Mas. Nggak ada yang minta.ā
Suara lembut Humaira membuat Semesta merasakan sesuatu. Apalagi istrinya kini membantu mengusap punggungnya membuat hal aneh dalam diri Semesta. Hal yang tak biasa ia rasakan saat dekat dengan kekasihnya.
Semesta segera meneguk minumannya hingga habis. āKamu sengaja membuat saya celaka?ā
āApaan sih, Mas. Celaka bagaimana coba, salah sendiri makan tidak pelan-pelan, rakus begitu.ā
āKamu bilang aku rakus, akuāā
Humaira langsung menyahut, āapa kalau bukan rakus, tuh satu piring udang bahkan kamu habiskan.ā Tunjuk Humaira dengan dagunya.
Brak..
Semesta memukul meja membuat Humaira berjingkat kaget. Semesta tak terima jika ada yang melawan dirinya terlebih wanita kampung yang ada di depannya.
āDengar ya wanita kampung, jangan pernah melawanku atau ā¦.ā
āAtau apa Mas, saya tidak melawan suamiku yang tampan, saya hanya bilang kalau Anda itu rakus. Kenapa marah?
Keduanya kini saling berdiri menatap nyalang masing-masing. Humaira sosok pembangkang, ia akan melawan siapa pun jika dirinya tidak bersalah. Hingga keduanya lama beradu tatap.
āEhem.ā Suara deheman Dewi membuyarkan keduanya.
āMama,ā ucap keduanya terkejut saat Dewi berada di rumah mereka.
Semesta dan Humaira saling tatap lagi. Semesta berpikir kalau Humaira yang telah mengundang mamanya kemari. Humaira menghentikan bahunya seolah tahu apa yang Semesta maksud.
āAda apa? Nggak senang ya kalau Mama main kesini?ā ucap Dewi dengan nada sedih. āBaiklah, kalau begitu Mama pulang ya.ā
āBu-bukan seperti itu, Ma. Aku senang kalau Mama main kesini,ā bohong Semesta. Dia hanya berpura-pura agar mamanya tidak curiga dengan rumah tangga mereka.
āI-iya, Ma. Kita sedang makan, Mama mau ikut makan juga?ā
āTerima kasih ya Humaira. Mama sudah kenyang, Mama hanya ingin main kesini habis di rumah sepi. Kenapa kalian nggak tinggal di rumah Mama saja sih, kan Mama bisa ada temennya.ā
āKapan-kapan saja ya, Ma. Aku dan Humaira pasti akan menginap di rumah Mama. Sekarang Mama ke depan dulu ya, kita selesaikan makan dulu,ā kata Semesta membuat Dewi menurut begitu saja perintah anaknya.
āKamu yang menyuruh Mama datang?ā
Humaira menggeleng. āNggak.ā
āAwas saja kalau kamu ngadu ke Mama,ā ancam Semesta kepada Humaira lalu meninggalkan sendirian.
Humaira mengelus dadanya. āYa, Allah berilah hambamu kesabaran untuk menghadapi suami macam dia ya Allah.ā
Humaira menarik nafasnya dalam-dalam, setelah agak tenang ia memutuskan menemui Mama mertuanya di ruang tengah.
āHumaira, sini.ā Dewi menepuk sofa agar Humaira duduk di sebelahnya.
Humaira pun menurut dengan perintah mertuanya. Gadis berhijab itu menunduk saat Semesta menatap tajam ke arahnya. Tak habis pikir mamanya begitu baik kepada gadis kampung itu.
āKalian sudah menikah, jika ada masalah diselesaikan dengan baik. Meski kalian menikah dadakan tetap saja kalian sudah berstatus suami istri dan kamu Ata, kamu sebagai suami harus bisa mendidik istri kamu bukannya malah terbalik.ā
Nasehat Dewi panjang lebar yang membuat Semesta hanya diam memperhatikan keduanya, ia yakin jika Humaira telah mengadu kepada mamanya.
āSekarang kalian minum teh ini agar rileks, Mama sengaja membuatnya untuk kalian,ā perintah Dewi lagi.
Tanpa curiga keduanya langsung minum teh buatan Dewi, mereka tak mau membuat mamanya tersinggung. Dewi hanya tersenyum tipis melihat keduanya meminum sampai habis.
āAkan Mama pastikan kalian akan menjadi pasangan suami istri sesungguhnya.ā
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. āMa, aku ke kamar dulu ya,ā kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. āKamar kamu dimana, kok arahnya kesana?ā tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. āAntarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya āAlena ada di kantor, menunggumu.āTiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. āNona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.ā Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Humaira yang langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, sontak saja harus melihat pemandangan yang mungkin menyesakkan dada bagi para istri sungguhan. āApa yang kalian lakukan?āKeduanya terkejut lantas menjauhkan diri. Semesta melihat siapa yang datang hanya bersikap acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Humaira melangkahkan kaki masuk dan meletakkan kotak bekal makanan di atas meja tidak memperdulikan keduanya melakukan apa. Alena berdecak sebal karena aktivitasnya terganggu. Ia segera memeluk lengan Semesta dengan manjanya. āSayang, kayaknya aku mau ke salon nih, rambut aku udah kucel tapi uang yang kamu beri kemarin sudah habis.ā Jari tangannya bermain di dada bidang Semesta, ia sengaja agar istrinya marah. Semesta menghela nafas berat, matanya menatap tajam ke arah Humaira yang kini menggenggam kartu debit itu erat-erat. Alena menoleh, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah. āKembalikan Humaira,ā ketus Semesta. āEnak saja, ini hak saya kenapa kamu memberi
Di dalam mobil suasana agak sedikit canggung, pasalnya Humaira tidak mengenal lelaki itu dan lelaki itu malah bersikap akrab dengannya. Mau tak mau Humaira harus berusaha bersikap baik. āMas, Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah sakit.āāMas,ā cicit lelaki itu. Dia malah tersenyum tipis melirik ke arah Humaira. āJangan panggil saya Mas, kita ini saudara Mbak. Pasti Mbak tidak mengenal saya kan?āHumaira lantas menggeleng. āSaudara? Maksud Mas, apa? Saya masih bingung.āāSaya ini sepupu dari suami Mbak, saya baru sampai ke Indonesia kemarin dan maaf ya Mbak, kemarin tidak bisa menghadiri pernikahan Mbak Humaira.āHumaira mangut-mangut, mendengar penjelasan lelaki di sebelahnya. Pikiran Humaira saat ini adalah ingin segera sampai ke rumah sakit melihat kondisi ibunya. Tapi di sisi lain, Humaira tengah bingung pasalnya ia tidak bisa menghubungi suaminya karena ponselnya kehabisan saya. āMas, boleh pinjam ponsel sebentar, saya mau menghubungi suami saya?ā tanya Humaira sedikit
Semesta tak menyangka akan mendapatkan cap tangan dari Humaira. Selama ini belum ada seorang pun yang berani menampar pipi mulusnya. Lelaki itu segera beranjak menuju ke sebuah bar mini yang ada di rumahnya. Di tempat itu Semesta bisa minum minuman beralkohol sesukanya. Tak heran jika Semesta banyak mengoleksi minuman beralkohol karena dia adalah peminum. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas dengan sekali teguk ia bisa habiskan. Tak habis pikir dengan perasaan yang ia rasakan. Tapi melihat istrinya bersama lelaki lain rasanya seperti tidak rela meski ia sendiri tidak mencintai Humaira. [Bang, istrimu cantik juga. Bolehlah kita berbagi kan kamu tidak mencintainya]Satu pesan dari Dimas membuat Semesta semakin murka. Ia meremas ponselnya erat. Dadanya penuh gemuruh membaca pesan itu. āSialan kamu, Dimas. Awas saja jika kamu berani menyentuhnya sedikitpun,ā gumamnya. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan minuman banyak di sana. Kepalanya sudah terasa berat ditambah lagi dengan pesan yan
Semesta membeku diam di tempat karena tiba-tiba saja Humaira memeluknya. āTerima kasih ya, Mas. Akhirnya aku punya motor baru dan gak akan mogok lagi,ā ucapnya dengan senang. Pria itu hanya berdehem saja tetap menjaga wibawanya di hadapan para karyawan showroom. Mereka hanya mengulas senyum saja, ternyata Semesta tetap bersikap dingin kepada istrinya. āBisa lepaskan saya,ā bisiknya. Humaira tersadar, karena terlalu senang. Humaira membeku dan perlahan-lahan ia melepaskan tangannya, wajahnya sudah memerah karena menahan malu. āMa-maaf, Mas.āSemesta keluar meninggalkan showroom setelah transaksi selesai. Ia segera naik ke kursi penumpang di susul dengan Humaira yang ikutan naik. Semesta mengernyit saat melihat wanita berhijab itu duduk di sampingnya. āKau mau apalagi?āāIkut nebenglah. Memang mau apa Mas, punya istri kok disuruh berangkat sendiri. Gak kasihan apa sudah cantik begini disuruh naik angkot,ā gumamnya sebal. Semesta hanya diam saja malas menanggapi ucapan Humaira. Rasa
Semesta memijat pelipisnya yang terasa pusing, kebingungan melanda pikirannya. Haruskah ia menemui Alena atau pergi ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya yang dikabarkan pingsan? Waktu terus berjalan, kurang dari satu jam lagi ia harus menjemput Alena sesuai permintaannya. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan Humaira. Jika mamanya tahu, bisa-bisa dia dicoret dari daftar ahli waris.Dengan berat hati, Semesta memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia berpikir hanya akan sebentar saja, lalu segera mengajak Humaira pulang. Lelaki itu hanya ingin memastikan satu hal saja. Perasaannya sudah tidak menentu, ia hanya takut Humaira hamil. Mengingat ia tak memakai pengaman saat melakukannya. Setibanya di rumah sakit, Semesta langsung menuju ruang perawatan Humaira. Di depan ruangan, ia melihat rekan Humaira, seorang wanita sesama guru yang tadi memberi kabar.Wanita itu berdiri dan menyapanya. āMaaf, Pak. Humaira masih diperiksa dokter.āāApa yang terjadi?ā tanya Semesta dengan nada dingin.
Mobil Semesta memasuki parkiran rumah sakit. Sedari tadi Humaira meremas tangannya, ia gugup karena memberikan pilihan kepada suaminya. Humaira hanya takut pria itu meminta yang aneh-aneh. Semesta melirik ke arah Humaira yang merasa cemas, ia tersenyum sinis. āNggak usah tegang, rileks. Tenang saja aku nggak akan minta yang aneh-aneh.āāI-iya, Mas.ā Meski ucapan suaminya lembut tapi Humaira tetap saja merasakan firasat yang tidak enak. Humaira segera melepas safety beltnya lalu keluar mengikuti Semesta. āTerima kasih, Mas. Sudah mau menjenguk ibu.āSemesta tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar lalu berjalan mendahului Humaira. Tiba di depan mendadak Semesta bingung karena ia tidak mengetahui di kamar berapa mertuanya di rawat. āKenapa, Mas?ā tanya Humaira setelah dekat dengannya. Ia tahu alasan Semesta berhenti tapi ia pura-pura. āKamu duluan.āHumaira mengulum senyum. āDasar sok tahu,ā batinnya. Tentu saja ia hanya bisa bergumam dalam hati. Tak menunggu waktu lama, Humaira seger
[Kamu pikir masalah ini selesai? Aku akan pastikan semuanya hancur] Humaira merasakan darahnya berdesir. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan bingung. āMasalah apa lagi ini?ā bisiknya pelan. Ia menggigit bibirnya, jari-jarinya gemetar saat ia menekan tombol untuk membaca lebih lanjut pesan tersebut. Tapi tidak ada apa-apa. Itu hanya satu pesan singkat, tetapi cukup untuk membuatnya merasa seolah-olah udara di sekitarnya menjadi lebih berat. Gagang pintu kamarnya berdecit pelan. Humaira langsung mendongak. Semesta berdiri di ambang pintu, alisnya bertaut melihat ekspresi Humaira yang tampak panik. āAda apa, Mai?ā tanyanya, suaranya dingin seperti biasa, tetapi ada nada curiga yang tidak bisa disembunyikan. Humaira buru-buru mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. āNggak ada apa-apa, Mas.ā Semesta berjalan mendekat, tatapannya tajam. Ia menyilangkan tangan di dada. āKamu nggak bisa bohong sama aku. Wajahm
āSiapa ini?ā tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya mengetik balasan. Humaira: Maaf, ini siapa? Balasan datang dengan cepat. Pengirim: Kamu akan tahu segera. Pastikan kamu siap. Jantung Humaira berdegup kencang. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat pikirannya kacau. Ia mencoba menebak-nebak siapa yang mengirimkan pesan itu. Apakah ini ada hubungannya dengan Semesta? Atau mungkin Alena? Pikirannya terus berputar, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas lagi. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membaca buku, tetapi tetap saja pikirannya terganggu. Ketika malam semakin larut, ia berdoa agar siapapun pengirim pesan itu tidak membawa masalah besar ke dalam hidupnya. Ia sudah cukup lelah dengan semua drama yang terjadi akhir-akhir ini. Keesokan harinya, Humaira sedang merapikan ruang kelasnya ketika seseorang mengetuk pintu. Ia menoleh dan mendapati Semesta berdiri di sana, mengenakan kemeja biru polos. āMas?ā tanya
āMas, apa yang sebenarnya Mas inginkan?ā suara Humaira terdengar pelan, tetapi tegas. Matanya menatap Semesta dengan penuh perhatian, menunggu jawaban yang mungkin akan menentukan arah hubungan mereka. Semesta terdiam sejenak, ponselnya masih bergetar di saku. Ia tahu siapa yang menelepon. Alena. Tapi kali ini, suara Humaira lebih penting daripada apa pun yang ada di dunia ini. āAkuā¦ā kata-katanya menggantung di udara. Matanya tak lepas dari wajah Humaira. Ia bisa melihat rasa lelah yang terpendam, tetapi juga ada kekuatan besar di baliknya. Humaira tak seperti wanita lain yang pernah ia kenal. Ia tahu, perempuan ini tidak bisa dengan mudah ditundukkan oleh kata-kata manis atau janji kosong. āMas, kalau hanya ingin mempermainkan aku, lebih baik kita sudahi saja semuanya sekarang,ā ujar Humaira lagi, dengan nada yang sedikit bergetar. Ia mencoba terlihat tegar, tetapi hatinya terasa seperti dihujam ribuan jarum. Semesta menghela napas panjang. āAku nggak mau mempermainkan kamu,
"Sebentar saja," potong Semesta, tanpa memedulikan keberadaan Raka.Humaira menghela napas dalam. Ia tahu nada suara Semesta kali ini bukan sesuatu yang bisa ditolak. Dengan berat hati, ia memandang Raka yang masih berdiri di depan ruang guru. "Maaf ya, Pak Raka. Aku harus pergi sebentar," katanya singkat sebelum melangkah mengikuti Semesta.Raka hanya mengangguk, meski jelas ada kebingungan di wajahnya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa lagi.Semesta berjalan cepat menuju sisi gedung sekolah yang sepi, sementara Humaira harus mempercepat langkahnya agar bisa mengimbanginya. Ketika akhirnya Semesta berhenti, Humaira langsung menatapnya dengan tatapan tidak sabar."Mas, apa sebenarnya yang mau Mas bicarakan?" tanyanya, mencoba menahan nada kesalnya. Semesta tidak langsung menjawab. Ia menatap Humaira cukup lama, seolah sedang menyusun kata-kata di kepalanya. Namun, alih-alih menjelaskan, ia justru bertanya, "Kamu selalu dekat sama dia?"Humaira mengerutkan kening. "Mas maksud siapa?
"Kenapa nggak kamu angkat, Mas?" suara Humaira memecah keheningan di ruang tamu kecil itu. Suaranya datar, tetapi ada nada yang tak bisa disembunyikan. Tegang, mungkin. Semesta menunduk sejenak, menatap layar ponselnya yang masih bergetar di atas meja."Ini urusanku," jawab Semesta dingin tanpa menoleh. Ia membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja, lalu menghembuskan napas panjang. Tangannya yang besar meraih ponsel itu dan mematikannya tanpa basa-basi.Humaira menghela napas. Ia mencoba tetap tenang, meski pikirannya sudah penuh tanda tanya. Alena lagi. Nama itu terus muncul di antara mereka seperti duri yang tak bisa dicabut. Ia sudah lelah membicarakan ini, tetapi setiap kali Alena muncul, tak bisa dimungkiri, hatinya tetap terusik.āMas, aku cuma tanya. Kenapa harus marah?ā Suara Humaira terdengar pelan, hampir seperti berbisik. Ia tahu, jika ia menaikkan nada suaranya sedikit saja, percakapan ini akan berubah menjadi perang dingin yang lebih besar.Semesta akhirnya menatapnya
āKamu yakin bisa hidup tanpa aku?ā Humaira terdiam, menatap Semesta tanpa ekspresi. Pertanyaannya menggantung di udara, seperti menunggu jawaban yang tidak pernah ingin benar-benar didengar. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara klakson motor dari luar memecah kesunyian.āAku berangkat dulu, Mas.ā Humaira akhirnya berkata, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Tanpa menunggu balasan, ia mengambil tasnya lalu berjalan keluar.Semesta hanya berdiri mematung, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, tetapi ia tidak tahu apa. Ia meneguk ludah, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.āKenapa dia makin aneh?ā gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Hubungan semakin dinginHari-hari berikutnya terasa semakin hampa di rumah itu. Humaira dan Semesta hampir tidak pernah berbicara. Jika mereka kebetulan berada di ruangan yang sama, suasananya selalu sunyi.Semesta sering pulang larut malam, dan ketika ia pulang, Humaira sudah berada di kamar. Tidak ada sapa
āApa, Mas?ā Humaira menatap Semesta dengan sorot mata yang sulit ditebak. Di hadapannya, pria itu tampak tidak seperti biasanya. Semesta, yang biasanya begitu tegas dan tak ragu bicara, kini terlihat ragu-ragu. Tangannya menyentuh meja makan, mengetuk-ngetuk permukaannya dengan ujung jari. āKenapa kamu jadi berubah, Mai?ā Suaranya rendah, hampir berbisik, tetapi ada nada tajam yang terselip di sana. Humaira mengangkat alis, tidak langsung menjawab. Ia menghela napas, mencoba meredam rasa kesal yang mendesak ingin keluar. Di hadapannya, Semesta menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. āBerubah? Apa maksud Mas?ā Humaira menjawab dengan suara tenang, meski hatinya bergejolak. āKamu... beda,ā kata Semesta lagi, kali ini mencoba terdengar lebih tegas. āKamu nggak seperti dulu lagi. Biasanya kamu selalu ceria, selalu cerewet. Tapi sekarang?ā Humaira tersenyum tipis, senyuman yang tidak sampai ke matanya. āOh, jadi itu masalahnya? Mas nggak suka aku berubah?ā Semesta mende
āMasā¦.ā Suara gemetar itu lolos begitu saja dari bibir Humaira yang kering. Kepalanya masih terasa berat, pandangannya sedikit mengabur ketika ia membuka mata sepenuhnya. Ia berusaha duduk, tetapi tubuhnya terasa lemah. Namun, suara ituāsuara berat Semesta yang barusan ia dengarāterus terngiang dalam benaknya. āPerceraian ini yang terbaik untuk kita.ā Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Humaira menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. Ia mengedarkan pandangannya perlahan, mendapati Semesta berdiri tak jauh darinya, dengan ekspresi datar seperti biasa. āMasā¦ apa maksud Mas tadi?ā tanyanya pelan, suaranya serak, hampir tak terdengar. Semesta tak segera menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamar, menghindari tatapan Humaira. Hening di antara mereka terasa begitu menusuk hingga hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruangan itu. āAku nggak mau bahas ini sekarang. Kamu istirahat dulu
Humaira menghampiri suaminya yang duduk di sofa. āMas, tadi ibu cerita apa saja ke kamu?āāBanyak, tapi nggak penting juga buatku. Jadi sampai kapanpun aku tidak akan pernah tertarik kepadamu.ā Semesta tersenyum sinis melihat ekspresi Humaira. Ia hanya tersenyum kecut mendengar pernyataan suaminya. Humaira melihat ekspresi suaminya yang nampak tenang dan sibuk dengan ponselnya. āSepuluh menit lagi aku pergi,āHumaira mendongak. āIya, Mas. Kita sholat jamaah dahulu seperti permintaan ibu. Mungkin lima menit lagi sudah masuk waktu dhuhur.āSemesta tak menjawab, ia melirik jam tangannya. Benar apa yang dikatakan Humaira, baru saja ia melihat jam, adzan sudah berkumandang. āAku mau bangunin ibu dulu ya, Mas. Mas bisa siap-siap sekarang.ā Perlahan Humaira mendekati sang ibu. Humaira mengelus tangan Salamah, mencoba membangunkannya. āBu, kita sholat dulu yuk.āSetelah Ibunya bangun, Humaira segera membantu ibunya untuk bertayamum lalu memakaikan mukena. Senyum manis terbit di wajah Humair