Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”
Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima.
Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana.
“Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut.
Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak ide bisa mengelabui security. Sebelum Alex menemuinya tadi, ia menyempatkan untuk menelepon Semesta terlebih dahulu.
Dengan angkuh dan sombongnya Alena berkata, “kamu siapa berani-beraninya mengusirku dari sini. Andai Semesta tahu kamu akan dipecat saat ini juga.”
Alex selalu asisten Semesta memang serba salah disini. Kalau Semesta tahu, ia bisa dipecat tapi itu semua juga atas perintah Dewi selaku pemilik perusahaan yang melarang Alena masuk kantor. Dewi sedari dulu memang tidak menyukai Alena.
“Nona, saya mohon…”
Derap langkah terdengar dan berhenti tepat di depan pintu membuat keduanya menoleh ke arahnya. Alex menundukkan kepalanya sedangkan Alena langsung berhambur memeluk lelaki yang sedari tadi di tunggunya.
“Sayang, kenapa lama sekali? Lihat asisten kamu itu mending pecat saja. Dia berani melarangku ke sini tadi,” ujar Alena kemudian menatap sinis kepada Alex.
“Maaf, Pak, saya—”
Dengan isyarat tangan Semesta, Alex langsung memahami pesan itu. Tanpa kata, ia segera melangkahkan kaki keluar lalu menutupnya perlahan, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan. Sunyi kembali mengisi ruang itu, seolah memberi ruang bagi percakapan yang hanya dimengerti oleh mereka.
Alex adalah tangan kanan yang dipercayai oleh Semesta, tidak diragukan lagi kemampuannya. Selain teman baiknya, Alex yang selama ini setia menemani Semesta hingga bisa memimpin perusahaan.
“Sayang, kenapa nggak kamu pecat saja dia.” Alena masih bergelayut manja di lengan kokoh pria tampan itu.
Semesta menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa. “Tidak semudah itu, mencari asisten yang bisa dipercaya itu sulit sayang.”
Alena terpaksa mengalah, merasa kesal dengan semua pekerja yang berada di sekitar kekasihnya karena tidak mau mendengar perintahnya.
“Kenapa tidak menelepon saja dan menunggu di apartemen, hm?” Semesta menangkup kedua pipi kekasihnya yang baginya terlihat sempurna. “Jangan sampai awak media tahu kalau kamu masih berada di dekatku, kamu tahu kan itu semua bisa merusak nama baik kita nanti.”
“Tapi aku kangen sama kamu. Tadi pagi aku ke rumah tapi penjaga mengusirku.” Alena mengerucutkan bibirnya, kesal dengan perlakuan pekerja di rumah Semesta.
“Mereka berani tidak mengizinkanmu masuk?”
Alena mengangguk, meyakinkannya kekasihnya. Semesta mengepalkan tangan. “Ini pasti ulah Mama. Kamu sabar ya, kamu tahu kan kalau mamaku sangat keras jika aku tidak menurutinya bisa-bisanya nanti aku ditendang dari rumah.”
“Tapi sampai kapan?”
Semesta mengedikkan bahunya, tak bisa memberi kepastian. Dia sendiri juga muak harus selalu mengikuti perintah mamanya, tapi di sisi lain dia juga sangat menyayangi mamanya.
“Sayang bagaimana nanti malam kita berkencan, Jalan-jalan kemana gitu.”
“Tidak semudah itu, Al. Kita harus menghindari tempat umum," tolak Semesta.
Alena berbalik memunggungi Semesta, melipat tangan di depan dada dengan gerakan yang penuh penegasan. Wajahnya yang biasanya tenang kini menampilkan gurat kesal yang sulit disembunyikan.
"Kenapa selalu begini?" gumamnya pelan. Namun cukup keras untuk didengar Semesta. Ada nada kecewa dalam suara itu, lebih menusuk daripada kemarahan yang biasa.
Semesta mengernyit, tangannya menyentuh punggung kekasihnya. “Hei, jangan marah. Ini hanya sementara, okey. Setelah aku bisa menceraikan wanita kampung itu, aku akan segera menikahimu.” Kepala Semesta kini berada di pundak Alena dengan sesekali Semesta mengecupnya membuat Alena meremang.
Alena merubah posisi menghadap Semesta. “Kamu menginginkannya, hm?”
Sesekali Alena mengusap wajah kekasihnya. Ditatapnya dengan penuh kelembutan. Semesta hanya diam dan menikmati sentuhan tangan kekasihnya yang memainkan bibir kenyalnya.
Rasa bersalah pun menghantui Semesta yang semalam telah menyentuh istrinya padahal dia berjanji kepada Alena tidak akan menyentuhnya.
Perlahan-lahan, Alena mendekat, menatap Semesta dengan ragu. Bibirnya menyentuh lembut kulitnya, memberikan kecupan singkat yang penuh rasa. Tapi siapa sangka, Semesta justru menyusupkan tangan ke tengkuk Alena dan menahannya. Semesta semakin memperdalam menjelajahi setiap rongga mulut kekasihnya.
Klek..
Pintu terbuka membuat mereka terkejut.
"Apa yang kalian lakukan?"
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag
Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti. "Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira. "Iya, Bu. Restui kami ya.""Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya. Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya. Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak ist
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. “Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. “Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. “Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. “Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. “Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti. "Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira. "Iya, Bu. Restui kami ya.""Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya. Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya. Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak ist
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag