Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti.
"Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira.
"Iya, Bu. Restui kami ya."
"Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."
Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya.
Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya.
Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak istana.
“Mama yakin mau menikahkan aku dengan dia?”
“Tentu saja, dia gadis baik, soleha juga dan mama harap setelah menikah nanti kamu bisa berubah meninggalkan kebiasan kamu itu yang suka mabuk.”
“Ma, Aku sudah dewasa lagipula aku sudah menguranginya dan satu lagi aku tidak pernah lewat batas, Ma.”
“Diam, ikuti perintah Mama karena Mama yakin Humaira adalah gadis yang tepat untuk kamu.”
Dengan wajah kesal dan di tekuk, Semesta langsung diam dan mengikuti langkah mamanya masuk kedalam rumah Humaira. Ibu Humaira menyambut para calon besannya dengan baik, meski tak ada kerabat dekat, Humaira sudah mengundang beberapa tetangga dan juga pak RT untuk menjadi saksi acara lamaran mereka.
Tak lupa semua seserahan diletakkan diatas meja oleh orang suruhan Dewi. Seserahan yang begitu lengkap dan terlihat mewah membuat para tetangga kagum terhadap calon suami Humaira.
Humaira terlihat nampak cantik dengan riasan sederhananya, gamis putih dengan jilbab senada membuat kesan terlihat lebih cantik dan menawan. Meski hatinya tidak baik-baik saja saat ini.
“Baiklah, Bu Salamah, langsung saja. Kedatangan kami kemari bermaksud ingin melamar Humaira untuk anak saya Semesta. Dan saya sangat berharap Humaira dan Ibu berkenan menerimanya."
Salamah tersenyum simpul, ia tahu alasan Humaira ingin cepat menikah agar terhindar dari dosa tentunya. Memiliki hubungan halal lebih leluasa daripada harus terjerumus ke hal negatif.
“Untuk itu saya serahkan semua kepada Humaira, Bu. Karena Humaira lah yang akan menentukannya, saya selaku orang tua hanya bisa merestui hubungan mereka. Bagaimana Humaira?”
Humaira menunduk, menghela nafas panjangnya. “Saya menerimanya, Bu. Semoga ini adalah keputusan yang benar.”
Humaira mau tidak mau juga akan menerimanya mengingat ini adalah kesepakatannya dengan Dewi demi menyelamatkan sang ibu. Semua orang yang disana sangat senang dengan keputusan Humaira yang menerima lamaran Semesta.
“Baiklah, jika semua sudah setuju pernikahan mereka akan dilangsungkan seminggu kemudian. Biar semuanya saya yang persiapkan, Bu Salamah tidak usah repot-repot yang terpenting Bu Salamah menjaga kesehatan mengingat hari kebahagiaan anak kita,” ucap Dewi.
Bu Salamah mengangguk, dia tahu calon besannya orang kaya pasti semuanya akan mudah oleh uang. Semesta berpura-pura bahagia di hadapan semua orang padahal dalam hati ingin kabur saja dalam acara memuakkan itu.
“Bu, boleh saya bicara dengan Humaira?” tanya Semesta yang bersikap manis di depan calon mertuanya.
“Boleh, silahkan saja, tapi jangan diapa-apain ya Nak, belum halal," goda Salamah.
Sontak saja semua yang berada di sana tertawa, menertawakan Semesta yang mungkin dikira tidak sabar menanti hari pernikahannya.
Semesta jengah dengan semuanya, ia segera memberi isyarat kepada Humaira agar keluar dari rumah sempitnya karena Semesta sudah merasa engap berada di sana.
“Ada apa, Mas manggil saya?”
“Mas …?” beo Semesta memicingkan mata menatap Humaira.
“Lah terus harus panggil apa, Pak, Tuan atau—”
“Terserah.” Semesta berbalik membelakangi Humaira, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. “Saya cuma mau menegaskan kalau saya mau menikahi kamu karena mama saya dan jangan pernah berharap kalau saya akan menyukai kamu.”
Humaira mengepalkan tangannya, dia memberanikan diri berkata, “Saya juga sebenarnya tak sudi menikahi Anda, saya hanya menepati janji saya kepada Bu Dewi karena beliau telah membiayai operasi ibu saya sehingga ibu saya bisa hidup saat ini.”
Amarah di dada Humaira kian meledak, Humaira tidak mau Semesta salah sangka mau menikahinya karena mereka kaya.
“Baguslah kalau begitu.” Semesta dengan entengnya menjawab dan segera pergi meninggalkan Humaira.
Humaira masih bergeming di sana. ‘Kita lihat siapa yang akan jatuh cinta duluan, Semesta.’
***
Hari ini adalah hari pernikahan Semesta dan Humaira sesuai janji Dewi, acara resepsi dirayakan dengan sangat meriah dengan mengundang rekan-rekan bisnis agar semuanya tahu kalau Semesta pewaris Mahes Grup sudah menikah. Awak media pun turut menjadi saksi kebahagiaan mereka.
Semesta pura-pura bahagia saat dirinya dan Humaira tengah duduk di pelaminan. Begitu juga dengan Humaira.
“Selamat ya, Ta. Akhirnya kamu menikah juga,” ucap salah satu wanita cantik dengan rambut pirang dengan pakaian terbuka menghampiri mereka di pelaminan.
Semesta menoleh kemudian langsung memeluk wanita itu dan berbisik, “aku tidak akan mencintainya Hunny, hanya kamu wanita yang aku cintai.”
Humaira mendengar ucapan lelaki yang baru sepuluh menit itu menjadi suaminya. Humaira mencibir, tentu saja Humaira tahu kalau wanita itu adalah Alena model cantik yang tengah naik daun yang beberapa hari lalu dikabarkan hubungannya dengan Semesta telah kandas. Entah itu cuma alibi Semesta saja atau kenyataan agar nama Semesta tidak buruk di mata masyarakat.
“Selamat ya, semoga kamu betah jadi istrinya Semesta,” sindir Alena.
“Terimakasih ya Mbak, atas do'anya. Pasti betah dong, sama suami sendiri,” balas Humaira. Tanpa rasa takut Humaira menjawabnya, membuat Semesta mengeraskan rahangnya.
Tatapan Humaira bergantian menatap keduanya, meski Humaira kampungan tapi ia tak segan melawan siapa saja yang menghinanya. Humaira tak mau menjadi wanita lemah yang mau di tindas.
"Nanti aku telepon ya," bisik Alena tepat di telinga Semesta kemudian perlahan turun dari pelaminan.
Tanpa terasa acara sudah selesai, hanya tinggal beberapa orang dan rekan bisnis yang masih stay bersama kerabat dari Semesta.
“Ta, ajaklah istrimu pulang dahulu, kasihan pasti dia lelah seharian ini menghadapi tamu yang begitu banyak,” perintah Dewi.
“Baiklah, tapi aku tidak mengajaknya pulang ke rumah Mama, aku akan mengajaknya pulang ke rumahku sendiri.”
Humaira yang mendengarnya sempat kaget, itu berarti yang dikatakan Semesta waktu itu akan menjadi kenyataan.
Dewi melihat ke arah Humaira yang tampak gugup. “Kenapa Humaira? Kamu lelah?”
“Iya, Ma,” jawab Humaira dengan terbata.
Tanpa menunggu aba-aba dari mamanya, Semesta segera pamit mengajak Humaira menuju rumah Semesta sendiri. Semesta sudah merencanakan sebelumnya yang akan membuat neraka bagi Humaira.
Di dalam mobil hanya ada keheningan, tak ada obrolan bagi pengantin baru itu. Humaira masih canggung dan tak begitu mengenal lelaki tampan itu. Humaira hanya melirik sekilas Semesta yang sibuk dengan ponselnya kalau dilihat dari jarak sedekat itu memang tampan, apalagi sorot matanya yang tajam, hidung bangir dan juga kulitnya yang putih bersih.
Humaira segera memalingkan penglihatannya saat Semesta juga melirik ke arahnya. Humaira tak mau Semesta tahu kalau dirinya tengah mengagumi lelaki tampan di sampingnya.
Mobil tiba di sebuah rumah mewah milik Semesta. Rumah bercat putih dan bergaya eropa itu membuat Humaira tak berkedip melihatnya.
Semesta turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. “Dasar kampungan,” cibirnya saat melihat Humaira masih bergeming di tempat.
Dengan langkah kesalnya, Humaira menyeret kopernya sendiri tanpa bantuan Semesta. “Dasar cuek, laki nggak pengertian,” gerutunya.
Begitu masuk rumah, Humaira masih terkagum-kagum dengan rumah mewah milik Semesta, perabot serta barang-barangnya mungkin sangat mahal menurutnya.
“Kamar kamu di sana,” tunjuknya pada sebuah kamar. “Ingat, jangan sentuh barang-barang saya.”
Setelah mengatakan itu, Semesta langsung beranjak naik ke lantai atas meninggalkan Humaira sendiri. Malam ini seharusnya menjadi malam pengantin mereka, tapi tidak untuk pasangan ini yang baru resmi beberapa jam lalu.
Humaira yang sudah merasa lelah segera masuk ke kamar. Ingin rasanya ia mandi lalu tidur dengan nyaman setelah melewati hari ini.
“Kamarnya luas sekali, mungkin ini seukuran rumahku. Kamu pikir bisa seenaknya saja akan menindas ku, tidak semudah itu Semesta.” Humaira merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk dan nyaman dengan kakinya yang masih menjuntai ke lantai.
Semesta yang dari kamar mengambil berkas yang ia sudah buat sebelumnya segera menemui Humaira. Lama mengetuk pintu tapi tak ada jawaban, Semesta langsung membuka pintu yang tak terkunci tersebut.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?” seru Humaira.
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. “Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. “Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. “Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Humaira yang langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, sontak saja harus melihat pemandangan yang mungkin menyesakkan dada bagi para istri sungguhan. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya terkejut lantas menjauhkan diri. Semesta melihat siapa yang datang hanya bersikap acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Humaira melangkahkan kaki masuk dan meletakkan kotak bekal makanan di atas meja tidak memperdulikan keduanya melakukan apa. Alena berdecak sebal karena aktivitasnya terganggu. Ia segera memeluk lengan Semesta dengan manjanya. “Sayang, kayaknya aku mau ke salon nih, rambut aku udah kucel tapi uang yang kamu beri kemarin sudah habis.” Jari tangannya bermain di dada bidang Semesta, ia sengaja agar istrinya marah. Semesta menghela nafas berat, matanya menatap tajam ke arah Humaira yang kini menggenggam kartu debit itu erat-erat. Alena menoleh, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah. “Kembalikan Humaira,” ketus Semesta. “Enak saja, ini hak saya kenapa kamu memberi
Di dalam mobil suasana agak sedikit canggung, pasalnya Humaira tidak mengenal lelaki itu dan lelaki itu malah bersikap akrab dengannya. Mau tak mau Humaira harus berusaha bersikap baik. “Mas, Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah sakit.”“Mas,” cicit lelaki itu. Dia malah tersenyum tipis melirik ke arah Humaira. “Jangan panggil saya Mas, kita ini saudara Mbak. Pasti Mbak tidak mengenal saya kan?”Humaira lantas menggeleng. “Saudara? Maksud Mas, apa? Saya masih bingung.”“Saya ini sepupu dari suami Mbak, saya baru sampai ke Indonesia kemarin dan maaf ya Mbak, kemarin tidak bisa menghadiri pernikahan Mbak Humaira.”Humaira mangut-mangut, mendengar penjelasan lelaki di sebelahnya. Pikiran Humaira saat ini adalah ingin segera sampai ke rumah sakit melihat kondisi ibunya. Tapi di sisi lain, Humaira tengah bingung pasalnya ia tidak bisa menghubungi suaminya karena ponselnya kehabisan saya. “Mas, boleh pinjam ponsel sebentar, saya mau menghubungi suami saya?” tanya Humaira sedikit
Semesta tak menyangka akan mendapatkan cap tangan dari Humaira. Selama ini belum ada seorang pun yang berani menampar pipi mulusnya. Lelaki itu segera beranjak menuju ke sebuah bar mini yang ada di rumahnya. Di tempat itu Semesta bisa minum minuman beralkohol sesukanya. Tak heran jika Semesta banyak mengoleksi minuman beralkohol karena dia adalah peminum. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas dengan sekali teguk ia bisa habiskan. Tak habis pikir dengan perasaan yang ia rasakan. Tapi melihat istrinya bersama lelaki lain rasanya seperti tidak rela meski ia sendiri tidak mencintai Humaira. [Bang, istrimu cantik juga. Bolehlah kita berbagi kan kamu tidak mencintainya]Satu pesan dari Dimas membuat Semesta semakin murka. Ia meremas ponselnya erat. Dadanya penuh gemuruh membaca pesan itu. “Sialan kamu, Dimas. Awas saja jika kamu berani menyentuhnya sedikitpun,” gumamnya. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan minuman banyak di sana. Kepalanya sudah terasa berat ditambah lagi dengan pesan yan
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag
Semesta tak menyangka akan mendapatkan cap tangan dari Humaira. Selama ini belum ada seorang pun yang berani menampar pipi mulusnya. Lelaki itu segera beranjak menuju ke sebuah bar mini yang ada di rumahnya. Di tempat itu Semesta bisa minum minuman beralkohol sesukanya. Tak heran jika Semesta banyak mengoleksi minuman beralkohol karena dia adalah peminum. Dia menuangkan minuman ke dalam gelas dengan sekali teguk ia bisa habiskan. Tak habis pikir dengan perasaan yang ia rasakan. Tapi melihat istrinya bersama lelaki lain rasanya seperti tidak rela meski ia sendiri tidak mencintai Humaira. [Bang, istrimu cantik juga. Bolehlah kita berbagi kan kamu tidak mencintainya]Satu pesan dari Dimas membuat Semesta semakin murka. Ia meremas ponselnya erat. Dadanya penuh gemuruh membaca pesan itu. “Sialan kamu, Dimas. Awas saja jika kamu berani menyentuhnya sedikitpun,” gumamnya. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan minuman banyak di sana. Kepalanya sudah terasa berat ditambah lagi dengan pesan yan
Di dalam mobil suasana agak sedikit canggung, pasalnya Humaira tidak mengenal lelaki itu dan lelaki itu malah bersikap akrab dengannya. Mau tak mau Humaira harus berusaha bersikap baik. “Mas, Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah sakit.”“Mas,” cicit lelaki itu. Dia malah tersenyum tipis melirik ke arah Humaira. “Jangan panggil saya Mas, kita ini saudara Mbak. Pasti Mbak tidak mengenal saya kan?”Humaira lantas menggeleng. “Saudara? Maksud Mas, apa? Saya masih bingung.”“Saya ini sepupu dari suami Mbak, saya baru sampai ke Indonesia kemarin dan maaf ya Mbak, kemarin tidak bisa menghadiri pernikahan Mbak Humaira.”Humaira mangut-mangut, mendengar penjelasan lelaki di sebelahnya. Pikiran Humaira saat ini adalah ingin segera sampai ke rumah sakit melihat kondisi ibunya. Tapi di sisi lain, Humaira tengah bingung pasalnya ia tidak bisa menghubungi suaminya karena ponselnya kehabisan saya. “Mas, boleh pinjam ponsel sebentar, saya mau menghubungi suami saya?” tanya Humaira sedikit
Humaira yang langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, sontak saja harus melihat pemandangan yang mungkin menyesakkan dada bagi para istri sungguhan. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya terkejut lantas menjauhkan diri. Semesta melihat siapa yang datang hanya bersikap acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Humaira melangkahkan kaki masuk dan meletakkan kotak bekal makanan di atas meja tidak memperdulikan keduanya melakukan apa. Alena berdecak sebal karena aktivitasnya terganggu. Ia segera memeluk lengan Semesta dengan manjanya. “Sayang, kayaknya aku mau ke salon nih, rambut aku udah kucel tapi uang yang kamu beri kemarin sudah habis.” Jari tangannya bermain di dada bidang Semesta, ia sengaja agar istrinya marah. Semesta menghela nafas berat, matanya menatap tajam ke arah Humaira yang kini menggenggam kartu debit itu erat-erat. Alena menoleh, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah. “Kembalikan Humaira,” ketus Semesta. “Enak saja, ini hak saya kenapa kamu memberi
Semesta menekan pedal gas hingga mobil melaju kencang, memecah keramaian jalanan kota yang mulai padat. Detak jantungnya seolah berpacu dengan kecepatan roda yang berputar. Suara Alex masih terngiang di kepalanya “Alena ada di kantor, menunggumu.”Tiba di kantor, Semesta melangkahkan kaki lebarnya banyak tatapan dan sapaan dari karyawannya tidak di gubrisnya. Ia hanya ingin cepat ke ruangannya di lantai lima. Semesta segera menekan tombol lift yang memang khusus untuk para petinggi perusahaan. Lelaki tampan itu segera menuju ke ruangan setelah pintu lift terbuka. Pandangannya tertuju pada ruangan yang pintunya masih terbuka, terdengar suara orang berdebat di sana. “Nona, saya mohon Anda segera meninggalkan kantor ini karena sebentar lagi kami akan meeting terlebih Nyonya Dewi akan segera tiba.” Alex berusaha mengusir dengan lembut. Tak habis pikir dengan wanita itu padahal semua security sudah diperintahkan untuk tidak memberi akses untuknya masuk, tapi tetap saja wanita itu banyak
Humaira yang merasakan keanehan dalam dirinya, tiba-tiba tubuhnya merasa panas dan merasa pusing. Begitu juga dengan Semesta, ia tahu apa yang terjadi dengannya. Tentu saja itu adalah pengaruh obat laknat itu, sebagai seorang ceo yang menjadi incaran dari musuhnya ia belajar banyak tentang itu. Bahkan sudah berulang kali ia merasakan seperti itu beruntungnya ia tak mau melepaskannya kepada sembarang wanita. Dewi hanya mengulas senyum kala obat itu sudah bereaksi. Ini adalah rencana Dewi untuk menyatukan mereka agar Dewi segera mempunyai cucu. “Ma, aku ke kamar dulu ya,” kata Humairah lalu beranjak pergi. Humaira berjalan menuju kamarnya di lantai bawah. “Kamar kamu dimana, kok arahnya kesana?” tegur Dewi. Humaira hanya bisa melihat ke arah Semesta, ia harus minta persetujuan Semesta dahulu. Namun, sayangnya Sementara malah melihat ke arah lain. Dewi yang tahu akan hal itu, menatap Semesta. “Antarkan dia ke kamar, kamu juga harus istirahat. Kasihan istrimu jalannya sudah sempoyonga
Setelah mengatakan itu dengan santainya ia perlahan pergi meninggalkan Humaira dan memperhatikan wajahnya. Wanita berhijab itu mengepalkan kedua tangannya, suaminya sendiri yang mengatakan hal itu. Tatapan Humaira masih saja menatap Semesta sampai ia benar-benar tak terlihat. Humaira masih diam mematung di sana. Tak terasa air mata yang ia bendung lolos juga. Di dalam kamarnya, lelaki tampan itu tertawa puas setelah membuat Humaira marah. Sebenarnya ia tidak melakukan hal-hal yang di luar batasannya. Dia pria yang sangat menjaga dirinya walaupun ia suka mabuk juga. “Aku yakin kamu tidak akan bisa bertahan, Humaira,” gumamnya. Lelaki tampan itu masih saja tertawa melihat raut wajah istrinya yang terlihat menahan amarah tadi. Wanita cantik berhijab itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Dengan segera ia beranjak dari tempat itu menuju kamarnya. Bik Sumi yang sedari tadi melihatnya merasa iba kepada Humaira, seorang wanita baik yang disia-siakan oleh suaminya. Bik Sumi tak
Humaira yang baru selesai mandi hanya dengan memakai handuknya saja segera keluar dari kamar mandi bersamaan dengan itu Semesta yang juga membuka pintu kamarnya. Mata Semesta terbelalak melihat pemandangan di depan matanya. Beberapa detik, Semesta masih terpaku di depan pintu. Dia meneguk ludahnya kasar melihat Humaira. Ternyata di balik gamis yang selalu menutupi tubuhnya tersimpan tubuh indah, putih nan mulus di dalamnya. “Apa yang kamu lakukan, Mas?” teriak Humaira. Ia menyilangkan kedua tangannya berusaha melindungi tubuhnya agar tidak terlihat. Namun, begitu Semesta sudah melihat dengan jelas lekuk tubuh istrinya. Teriakan Humaira membuat Semesta tersadar dan segera berpaling. “Saya tunggu kamu di luar.” Semesta langsung berbalik dan menutup pintu kamar Humaira. Humaira mengusap wajahnya kasar, ia terus mondar-mandir di kamar, betapa malunya dia saat ini. Meski lelaki tampan itu adalah suaminya tapi Humaira belum ridho jika tubuhnya dilihat olehnya. **Di ruang tengah, Semes
Hari terus berlalu kini sudah seminggu dan ibu Humaira dinyatakan sudah membaik. Humaira mengatakan kepada ibunya kalau akan ada yang melamarnya nanti. "Kamu beneran mau menikah, Nak?" tanya Salamah-ibu Humaira. "Iya, Bu. Restui kami ya.""Tentu saja, Ibu akan selalu merestui jika itu yang membuat anaknya bahagia."Binar bahagia terpancar dari ibu Humaira karena ada juga yang mau menikahi putrinya terlebih dari keluarga kaya yang Humaira katakan tadi. Humaira tidak mengatakan apapun tentang biaya operasi ibunya, Humaira hanya mengatakan kalau uang itu ia pinjam dari calon suaminya. Waktu kian cepat berlalu, ya … hari ini adalah hari dimana Dewi akan melamar Humaira untuk Semesta. Tepat pukul tujuh malam, Dewi datang bersama Semesta dan beberapa orang dari keluarganya. Tiba di rumah Humaira, Semesta mencibir keadaan rumah Humaira yang baginya lebih mirip dengan kandang ayam. Rumah yang tampak sempit dan kumuh menurut Semesta, berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan luas bak ist
Suasana di taman rumah sakit begitu tenang dan sepi. Di situlah saat ini Humaira berada, meluapkan segala keluh kesahnya meski tidak akan ada yang mendengarnya. "Ya Allah, harus kemana lagi aku harus meminta pertolongan, aku gak mau kehilangan ibu. Darimana aku bisa mendapatkan biaya operasi sebesar itu." Humaira menangis dalam diam disana. Punggungnya bergetar, matanya sudah sembab dengan air mata yang terus mengalir. Dia sudah merasa putus asa sekarang. “Saya akan membiayai semua operasi ibu kamu, kalau kamu mau menikah dengan anak saya,” kata Dewi yang saat ini berdiri di hadapannya. Humaira segera mengusap air matanya, mendongak siapa gerangan yang berbicara kepadanya. Humaira berdiri kaget sekaligus tak percaya apa yang barusan ia dengar. Baru saja ia menumpahkan keluh kesahnya ada orang yang mau berbaik hati padanya.“Maksud Anda, apa Nyonya?” tanya Humaira dengan terbata. “Saya mendengar semua keluhan kamu, saya bisa bantu kamu asalkan kamu mau menikah dengan anak saya, bag