“Jangan bermain-main denganku, Camelia!” “Main-main? Kamu pikir aku anak kecil. Aku serius Rainer. Mari kita bercerai. Aku bebaskan kamu dari pernikahan ini, bukankah itu keinginanmu sejak setahun yang lalu? Aku kabulkan sekarang,” ujarku dengan tenang. “Tidak semudah itu, Camelia!” balas Rainer–suamiku. Suamiku selalu bersikap dingin dan tak pernah menganggap keberadaanku. Saat kekasihnya kembali hadir di antara kami, ku turuti kemauannya untuk bercerai. Namun, mengapa dia malah mempersulit proses perceraian?
View More“Katakan pada Rai, aku setuju untuk bercerai darinya,” ucap Camelia dari balik telepon genggamnya.
“Tapi kenapa tiba-tiba Bu Lia ingin bercerai dari Pak Rai?” tanya Asisten Rainer yang bernama Levi seraya melirik ke arah orang yang bersangkutan. Merasa namanya disebut Rainer pun memusatkan perhatian pada Levi serta menghentikan semua aktivitasnya. “Nanti aku sendiri yang akan menjelaskan pada Rai, kamu cukup sampaikan pesan dariku.” “Baik, Bu Lia.” Camelia tak akan mundur, cukup sudah perjuangannya selama dua tahun ini untuk menarik perhatian pria yang tak pernah sama sekali peduli padanya. Semua berakhir sia-sia dan percuma karena Rainer tak pernah sedikit pun tertarik padanya, ditambah lagi baru-baru ini mantan kekasih pria itu kembali. “Lebih baik kita akhiri semua ini, Rai. Aku tak ingin hidup konyol dan menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia, mulai sekarang aku akan hidup untuk diriku sendiri, untuk kebahagiaan dan masa depanku,” monolog Camelia. Wanita cantik dengan tinggi 165 cm itu meletakkan ponsel pintarnya di atas nakas lalu berjalan menuju walk in closet, mengambil koper dan menata barang-barang yang menurutnya penting. Demi menjaga kewarasan, Camelia memilih untuk meninggalkan rumah itu. Sementara itu, di kantornya, Rainer masih menunggu penjelasan dari Levi. “Apa yang wanita itu katakan?” “Bu Lia setuju untuk bercerai dari Anda, Pak.” Rainer tampak mengerutkan keningnya, lalu melonggarkan dasi yang membuat rongga pernapasannya seperti tertekan. “Cari tahu kenapa Camelia mendadak setuju untuk bercerai denganku,” titah Rainer. “Baik, Pak.” Rainer menyandarkan tubuh tegapnya di sandaran kursi. Otaknya berpikir keras, mengapa istri yang begitu keras menolak perceraian yang sudah dia inginkan sejak satu tahun yang lalu tiba-tiba saja setuju untuk bercerai. Seharusnya Rainer senang karena keinginannya sebentar lagi akan segera tercapai, terlepas dari belenggu pernikahan yang dibuat oleh kakeknya. Pernikahan atas asas perjodohan di masa lalu, konyol. Akan tetapi, pernyataan Camelia tadi justru membuat sudut hati Rainer terusik. “Ini pasti hanya trik tarik ulur saja, kamu pikir aku akan terjebak? Kamu pasti akan merengek seperti biasanya, agar kita tidak bercerai,” monolog Rainer. Pria itu segera mengembalikan konsentrasinya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Namun, gagal, Rainer akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah lebih awal. “Di mana wanita itu?” tanya Rainer pada Ella–asisten rumah tangga di rumahnya. “Mbak Lia ada di kamarnya, Mas.” Saat Rainer sampai di lantai dua bersamaan dengan Camelia yang sedang keluar dari kamar dengan membawa koper. Rainer memandang remeh pada Camelia. “Oh, baguslah kamu sudah pulang, Rai,” ujar Camelia dengan santai. “Levi sudah mengatakannya padamu? Itu sebabnya kamu buru-buru pulang?” tebak Camelia. “Jangan bermain-main denganku, Lia.” “Main-main? Kamu pikir aku anak kecil. Aku serius Rainer. Mari kita bercerai. Aku bebaskan kamu dari pernikahan ini, bukankah itu keinginanmu sejak setahun yang lalu? Aku kabulkan sekarang,” ujar Camelia dengan tenang. Wanita itu berjalan seraya menyeret kopernya. “Mau kemana?” tanya Rainer. Tangan pria itu reflek mencekal Camelia. “Tentu saja pergi dari rumah ini. Bukankah itu yang kamu inginkan sejak dulu? Bukankah rumah ini adalah rumah impianmu bersama kekasihmu itu,” jawab Camelia. “Kamu tidak bisa berbuat seenaknya seperti ini.” “Kenapa tidak bisa? Apa cuma kamu yang boleh berbuat seenaknya?” kesal Camelia. “Tidak semudah itu kita bercerai–” “Hah? Jangan membuat banyak alasan, Rai. Aku sudah setuju untuk bercerai, lalu apa lagi yang kamu inginkan?” Camelia menjeda kalimatnya untuk sekedar memasukkan oksigen ke rongga dada, “tidak membawa barang-barang pemberianmu? Tidak menuntut harta gono-gini? Tenang saja, aku tidak butuh semua itu.” Camelia memegang tangan Rainer dengan sebelah tangannya, perlahan melepaskan tangan itu dari tangannya, kemudian meraih koper dan berjalan meninggalkan pria itu. “Camelia!” pekik Rainer. Camelia menghentikan langkah, tetapi sama sekali tak menoleh. “Jika kamu pergi selangkah saja dari rumah ini, jangan pernah mencoba untuk kembali lagi, tak ada lagi tempat untukmu di rumah ini,” ancam Rainer. Camelia tersenyum sinis, lalu berkata, “Kamu tenang saja, tak perlu khawatir, aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di sini.” Camelia melangkah dengan pasti menuruni tangga. Rainer mengepalkan tangan, menyalurkan seluruh emosinya. “Aku tidak main-main, berhenti atau kamu tidak akan pernah bisa kembali ke rumah ini lagi.” Camelia tidak peduli, yang ada di tempurung kepalanya hanya bercerai dari Rainer dan pergi menjauh, masa depan sudah menunggunya. Di lantai bawah Ella terlihat cemas melihat kedua majikannya bertengkar, ini pertama kalinya hal itu terjadi, betapa sabarnya Camelia sebagai seorang istri. “Mbak, Mbak Lia mau ke mana?” tanya Ella. Wanita paruh baya itu melihat koper yang dibawa oleh Camelia. “Bibi, terima kasih selama ini Bibi sudah baik padaku. Aku sudah memutuskan untuk bercerai dari Rai. Jadi, aku akan pergi dari rumah ini,” jawab Camelia. “Bercerai? Mbak Lia yakin dengan keputusan itu?” tanya wanita paruh baya itu masih tak percaya. Wajar jika Ella bertanya seperti itu, dia adalah saksi hidup betapa Camelia mencintai Rainer dengan segala usahanya agar pria itu juga mencintainya. “Yakin sekali dan aku tak akan menyesali keputusanku. Aku pergi dulu ya, Bi.” Ella mengangguk pasrah. “Jangan biarkan wanita itu menginjakkan kaki di rumah ini,” titah Rainer pada Ella seraya menahan gejolak dalam dadanya. Dengan dada yang gemuruh Rainer masih menatap kepergian istrinya hingga menghilang dibalik pintu, kemudian masuk ke dalam kamar Camelia. Meski telah dua tahun menikah mereka tidur di kamar yang terpisah. Pria itu memeriksa lemari Camelia, tak banyak barang yang dibawa. Perhiasan darinya masih terletak rapi di tempatnya. Rainer tersenyum sinis, dia tahu Camelia sangat menyukai perhiasan-perhiasan yang dia berikan, tapi kenapa tidak dibawa? Tanpa sadar hal itu juga mengusik sudut hatinya. “Coba kita lihat siapa yang akan bertahan di permainan ini, Lia!” Kepercayaan diri Rainer begitu besar jika Camellia akan kembali dan memohon dengan sendirinya. Mengingat Camelia sangat menyukai dan tergila-gila hingga terus menarik perhatiannya. Rainer masuk ke dalam kamar pribadinya, di atas meja, pria itu menemukan dokumen yang pernah dia berikan pada Camelia, surat perceraian. Pria itu membuka setiap lembar dokumen, di bagian akhir sudah terdapat tanda tangan dan nama terang Camelia, tanda wanita itu setuju untuk bercerai. Dengan kesal Rainer membanting dokumen itu ke atas meja. “Apa-apaan wanita itu? Seenaknya saja berbuat sesuka hati seperti ini, dia pikir dia siapa!” kesal Rainer. Rainer mengambil ponsel pintarnya kemudian menghubungi seseorang. “Awasi dan laporkan kemana dan dengan siapa Camelia pergi,” titah Rainer lalu memutus panggilan telepon begitu saja. “Mari kita lihat, seberapa lama kamu akan bertahan dengan permainan konyolmu itu, Camelia,” monolog Rainer dengan geram.Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments