Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menjawab, “Itu bukan masakan Bibi, Mbak. Tadi itu Mas Rai yang masak.”
Tidak ada angin tidak ada hujan seketika Camelia terbatuk mendengar ucapan Ella. “Rai?” tanya Camelia memastikan. “Iya, Mas Rai.” “Dia bisa masak?” “Tadi rasanya enak kan? Berarti tidak diragukan lagi, Mbak,” ucap Ella dengan mantap dan mengacungkan dua ibu jarinya sambil memainkan kedua alisnya. “Kesambet kali ya?” celetuk Camelia. “Sepertinya Mas Rai mulai peduli pada Mbak Lia. Mungkin menyesal sudah cuek sama Mbak Lia selama ini.” “Aah, Bibi bisa aja ngomongnya. Sudah terlambat, Bi. Kenapa nggak dari dulu?” “Belum terlambat, kan belum ketok palu,” ucap Ella menggoda. “Bibi ini, jangan mencoba membuatku berharap pada harapan semu. Sudah ah. Aku ke kamar dulu ya.” Camelia masih menampik semua fakta itu, kemudian berlalu kembali ke kamar. “Semua belum terlambat, Mbak. Coba kembali buka hatimu,” ucap Ella setengah berteriak. Camelia hanya mengibaskan tangannya tanda tidak mau. Beberapa menit kemudian Camelia kembali turun dengan membawa tasnya. “Mau kemana, Mbak?” tanya Ella. “Tentu saja kembali ke tempatku, untuk apa aku tetap berada di sini? Aku sudah memutuskan untuk bercerai, tak ada gunanya lagi tetap tinggal di sini.” “Tapi, Mbak, kata Mas Rai, Mbak Lia tidak boleh pergi dari rumah ini, kecuali mau mengambil barang-barang yang ada di tempat tinggal Mbak Lia yang sekarang.” Camelia dibuat melongo oleh ucapan Ella. “Iya, Mbak. Mas Rai juga siapkan supir untuk mengantar Mbak Lia mengambil barang-barang itu,” terang Ella karena paham dengan ekspresi Camelia. Camelia mengedipkan mata beberapa kali masih mencerna perkataan Ella. “Sepertinya majikanmu itu sudah nggak waras, Bi,” ucap Camelia kemudian melenggang keluar dari rumah itu. Benar saja di depan, supir yang tadi mengantar mereka masih menunggu. Rupanya, Rainer kembali ke kantor dijemput oleh Levi. “Tidak perlu mengantarku, aku akan pergi sendiri,” ucap Camelia pada si supir sebelum pria itu sempat berkata-kata. “Ta-tapi, Bu–” “Tidak apa-apa, bilang saja pada Rai kalau itu kemauanku,” sahut Camelia. Camelia kembali melangkah menuju gerbang, kemudian menghadang taksi yang sedang melintas. Gadis cantik itu memutuskan untuk mampir ke sebuah mall di dekat apartemen, ada sesuatu yang ingin dibelinya. Dia pun turun di area drop zone di dekat lobi. Camelia berjalan menuju ke pintu utama, tiba-tiba seorang anak kecil berlari melewatinya. Camelia melihat ke sekeliling di drop zone ramai kendaraan berlalu lalang keluar masuk. Netranya menangkap sebuah mobil SUV yang hendak menuju ke drop zone. Reflek tubuh ramping itu berlari mengejar bocah yang kira-kira berumur 4 sampai 5 tahun itu. “Awas!” teriak Camelia seraya meraih anak itu. Dia khawatir anak sekecil itu akan masuk ke blind spot pengendara yang sedang melajukan kendaraannya. Nyaris saja anak kecil terserempet oleh mobil, beruntung Camelia berhasil meraih dan memeluknya meski mereka akhirnya terjatuh bersama, dia berhasil menyelamatkannya. Kejadian itu sontak menyita perhatian, beberapa orang langsung menghampiri Camelia dan membantunya berdiri, sebagian lagi menyayangkan karena orang tua si anak yang lalai. “Kamu tidak apa-apa, Mbak?” tanya salah seorang yang menolong Camelia. Sebelum menjawab Camelia merengkuh anak kecil yang sudah menangis itu ke dalam pelukannya. “Aku tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah menolongku,” jawab Camelia. “Eh, Mbak, sepertinya lututmu terluka, itu berdarah,” ucap salah seorang lainnya. “Ah, iya kah. Tidak apa-apa yang penting anak ini selamat,” ucap Camelia masih dalam kondisi menenangkan anak kecil itu. “Tenang ya, tidak apa-apa. Kamu pasti kaget, maafkan Tante,” ucap Camelia pada anak kecil itu. “Clay!” seru seorang pria seraya membelah kerumunan. “Nah, ini bapaknya.” “Yang benar dong jaga anak!” “Untung ada yang menyelamatkan!” Suara-suara itu bersahutan menyalahkan dan mencemooh pria itu. “Clay.” Anak kecil yang dipanggil Clay itu menoleh ke arah pria dewasa berwajah tegas, dengan jambang tipis, dilihat dari pakaiannya sudah dapat dipastikan pria itu adalah konglomerat. “Papi!” seru Clay lalu melepaskan pelukannya dari Camelia. Pria itu langsung mengangkat Clay dalam gendongannya. Tidak ada sepatah kata pun dari pria itu, dia hanya mengusap air mata Clay. “Lain kali jaga anaknya dengan baik, Tuan. Untung saja ada Mbak-nya yang menyelamatkannya.” Pria itu memindai Camelia dari atas sampai bawah kemudian berkata, “Terima kasih, Nona. Mari ikut saya ke klinik. Lutut Anda terluka.” Sekarang barulah Camelia melihat lutut yang mulai terasa perih. “Ya, ampun,” gumam Camelia seraya sedikit meringis. “Ah, sepertinya tidak harus sampai ke klinik, Tuan. Cukup diobati saja.” “Anda yakin?” Camelia mengangguk mantap. “Kalau begitu mari ke mobil saya, ada kotak P3K di sana.” Camelia kembali mengangguk. “Apa Anda bisa berjalan dengan baik?” “Ya, tentu saja,” jawab Camelia. Camelia mengikuti langkah pria itu menuju mobil yang baru saja berhenti di dekat mereka. “Mari masuk.” Camelia masuk ke dalam mobil mengikuti pria itu. Pria tampan dengan tinggi kurang lebih 175 cm itu mengambil sebuah kotak bertanda plus dari belakang joknya. Pria itu menyuruh Camelia sedikit bergeser dan menghadap ke arahnya. “Maaf, bisa tolong Anda naikkan sedikit roknya, saya akan mulai membersihkan lukanya,” ucap pria itu dengan tidak enak hati. “Biarkan saya sendiri yang mengobatinya, Tuan,” ucap Camelia dengan ekspresi wajah canggung. “Tidak akan bersih jika Anda sendiri yang melakukannya. Saya akan membantu Anda.” Dengan tidak enak hati Camelia menaikkan sedikit gaunnya. Dia sedikit menyesal mengapa tadi dia tidak berganti pakaian saat di rumah Rainer. “Tahan sedikit, sepertinya akan sakit,” ujar pria itu kemudian menuangkan alkohol ke sebuah kapas dan mengusapkannya di lutut Camelia. Camelia meringis menahan sakit, perih sekali, tetapi tidak seperih hatinya yang menjadi istri tak dianggap selama dua tahun. “Apa sakit sekali? Saya akan lebih pelan-pelan.” Clay memandangi sepasang pria wanita itu dari jok depan. Terakhir pria itu memasang plester luka di lutut Camelia. “Sudah.” “Terima kasih, Tuan.” “Saya yang berterima kasih padamu, Nona. Siapa namamu?” “Saya Camelia. Camelia Agatha.” “Hai, Tante Camelia, namaku Clay dan ini Papiku namanya Danar. Terima kasih sudah menolongku,” sahut Clay dari jok depan. “Hai, Clay. Lain kali hati-hati ya jangan membuat Papimu panik.” “Siap, Tante.” Sejak tadi Danar memang hanya diam, terkesan membiarkan kesalahan Clay, tetapi dia hanya menunggu waktu, tidak mungkin memarahi anak itu di tempat umum. “Ka-kalau begitu saya keluar dulu, Tuan Da-danar.” “Sebantar.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jasnya. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu denganmu, Nona Camelia.” Camelia menerima kartu nama itu dan membaca nama yang tertera dalam kertas berwarna hitam itu. “Danar Andrian,” ucap Camelia dalam hati. Belum sempat Camelia keluar dari mobil itu, seorang wanita membuka pintu dengan kasar.Dengan tampang tidak suka wanita itu bertanya, “Siapa wanita ini?” “Oma, Tante ini yang menyelamatkanku,” jawab anak kecil itu. Carmelia menoleh ke arah wanita paruh baya itu, tersenyum kemudian mengangguk hormat. Wanita paruh baya itu memandang Camelia dengan pandangan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu bergegas mencari anak dan cucunya setelah mendapat kabar tentang Clay yang hampir mengalami kecelakaan, tapi dia justru menemukan ada seorang wanita di mobil anaknya. Dari sisi yang lain Danar memberi isyarat pada ibunya jika Camelia ingin keluar, dia pun mundur beberapa langkah memberi ruang pada Camelia untuk keluar dari mobil mewah itu. Danar ikut keluar dari sisi yang lain dan mendekat ke arah dua wanita berbeda generasi itu. “Selamat siang, Nyonya,” sapa Camelia dengan santun. “Mami, dia Camelia. Wanita yang sudah menyelamatkan Clay,” terang Danar. Seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dan menyunggingkan senyum ramah. “Terima kasih banyak sudah menyelama
“Ayolah, Rai, kamu tak perlu membuat drama suami istri. Cukup kamu tanda tangani surat pengajuan cerai itu dan mengurusnya. Maka kita tidak perlu lagi mencampuri satu sama lain.” “Kooperatiflah sedikit, Camelia. Kondisi Kakekku sedang tidak baik-baik saja, tidak mungkin kita bercerai saat kondisi Kakek seperti itu,” ucap Rainer. Benar. Kondisi Kakek Wijaya memang sedang tidak baik beberapa waktu ini, Camelia bahkan sempat mengunjunginya sehari sebelum dia memutuskan untuk bercerai dari Rainer. Camelia nampak berpikir. Melihat istrinya yang seperti sedang memikirkan sesuatu, Rainer kembali berbicara, “Kakek juga meminta kita untuk menghadiri pesta ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa bersama. Apa kamu masih ingin menolak permintaannya?” Karena kebohongannya pada Agnes Rainer justru mendapatkan ide. Camelia sangat menyayangi dan juga patuh pada Kakeknya. Rainer akan menggunakan Kakeknya untuk mengikat Camelia. “Kemasi barang-barangmu dan kita akan kembali ke rumah,” ujar Rainer s
Rainer menarik napas pelan lalu menghembuskan perlahan, mengumpulkan serpihan-serpihan kesabaran agar tidak berhamburan hingga terjadi sebuah ledakan yang membara di dalam jiwa.Camelia melirik ke arah Rainer yang hidungnya kembang-kempis seperti orang yang sedang meniup balon.“Kenapa malah diam? Yakin kamu ingin aku yang memilihkan? Aku tidak tahu makanan kesukaanmu lho,” tanya Camelia. Gadis cantik itu sengaja memancing Rainer, ingin tahu sebesar apa harga dirinya.“Coba kita lihat, apakah gengsimu akan sebesar gunung Everest, Rai,” batin Camelia.“Tidak perlu, aku pilih sendiri saja, bisa-bisa kamu memilihkan makanan yang membuatku alergi,” ucap Rainer kemudian meraih buku menu, melihat sekilas dan menyebutkan satu per satu makanan yang dia mau.Sedangkan Camelia duduk bersandar dan menatap sinis suaminya.“Memangnya kamu saja yang bisa berbuat seenaknya? Rasakan saja pembalasanku, akan kubuat kamu melepaskanku, Rai
“Pelakor? Maksudmu aku pelakor?” tanya Camelia seraya menunjuk dirinya sendiri.“Memangnya ada orang lain di sini?” balas Wulan.“Asal kamu tahu, hanya Nona Agnes yang pantas bersanding dengan Tuan Rainer! Wanita yang hanya mengincar hartanya seperti kamu benar-benar menjijikan,” ejek Wulan.“Mulutmu benar-benar tak tahu sopan santun,” balas Camelia.Brak!!!Pintu ruang ganti itu dibuka dengan kasar hingga menimbulkan suara yang memekakan telinga dan mengundang banyak perhatian, termasuk manajer butik. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Rainer.Wulan langsung tertunduk karena pria itu menatapnya dengan tajam. Sedangkan Camelia bersikap biasa saja tidak terpengaruh dengan kedatangan Rainer.Pegawai yang lain berkumpul dan mulai saling berbisik sambil menatap aneh ke arah ruang ganti itu. Manajer butik pun bergegas melihat apa yang sebenarnya terjadi.“Siapa kamu, berani sekali berkata seperti itu pada istriku?” ben
Langkah Camelia terhenti lalu kembali melihat ke arah Rainer dengan kesal.“Benar kamu memang masih suamiku, tetapi–.”Ucapan Camelia terhenti karena Rainer langsung mengangkat tubuh wanita itu seperti karung beras.“Rai!” pekik Camelia.Rainer membawa Camelia dan mengambil koper yang ada di tangan Ella, masuk ke dalam kamar, menutup pintu, terakhir menguncinya.Melihat kedua majikannya, Ella pun tersenyum semringah dan bergumam, “Sepertinya Kakek Wijaya akan segera mendapatkan cicit yang sudah lama ditunggu.”“Rai! Turunkan aku! Kenapa kamu suka berbuat seenaknya?” teriak Camelia seraya memukuli punggung suaminya.“Diamlah!” bentak Rainer. Dia hanya tidak ingin istrinya terjatuh jika terus meronta.Camelia terus memukul dan berteriak meminta Rainer untuk menurunkannya.Rainer menjatuhkan Camelia di atas ranjang berukuran king size miliknya sampai terdengar deritan.Belum sempat Camelia mengger
Camelia membangunkan tubuhnya dan mendesis kesal, dia mulai mendengar suaminya menghitung.“Ya ampun, kenapa dia begitu keras kepala?” Dengan terus menggerutu Camelia bangkit dari ranjang. Benar saja Rainer mulai mendobrak pintu itu.“Dia pikir mudah mendobrak pintu? Coba saja, sampai tulangmu patah, kamu tidak akan bisa membuka pintu ini kecuali membawa pasukan,” cemooh Camelia. Pada kenyataannya Rainer tidak mendobrak pintu kamar Camelia. Pria itu hanya menendang agar menimbulkan suara yang bising untuk memancing Camelia keluar. Tiba-tiba saja pintu terbuka tanpa Rainer mendengar suara kunci yang diputar, padahal posisi Rainer sudah siap menendang ke arah pintu.“Aaaaa,” teriak Camelia.Rainer mencoba mengendalikan tubuhnya agar tidak menendang sang istri, tetapi justru membuat tubuh oleng dan menerjang Camelia hingga mereka terjatuh di lantai.Brruugghhh!Rainer masih sempat menukar posisi sebelum
“Ada apa?” tanya Camelia seraya berjalan ke arah pintu ruangan lemari raksasa itu. Rainer terlihat sedang melihat rak dasi miliknya.“Apa kamu lihat dasiku?”“Dasi yang mana? Dasimu terlalu banyak, aku tidak mungkin menghafalnya satu per satu,” balas Camelia.“Dasi berwarna marun yang bercorak garis-garis hitam,” jawab Rainer dengan wajah serius.Camelia terdiam sejenak, dasi yang dimaksud suaminya adalah dasi dari pemberian darinya di awal pernikahan mereka. Benda yang sama sekali tak pernah Rainer sentuh bahkan dipakai barang satu kali pun lalu untuk apa sekarang ditanyakan? “Oh, dasi itu? Aku sudah membuangnya,” jawab Camelia tanpa rasa bersalah. “Kenapa dibuang? Siapa yang menyuruhmu membuangnya?” tanya Rainer. Ada nada kekecewaan dari ucapan Rainer.“Dari awal aku memberikannya kepadamu, kamu tidak pernah mau menyentuh apalagi memakainya. Jadi lebih baik aku buang saja,” jawab Camelia dengan enteng.Wanit
“Apa kamu senang selalu bersama Rainer?” ucap seorang wanita yang sejak tadi sudah menunggu Camelia keluar dari bilik toilet.Camelia berjalan menuju wastafel lalu mencuci tangan sebelum menanggapi wanita itu.“Selalu katanya? Aku baru 24 jam bersama Rainer dia bilang selalu, apa dia sengaja mengejekku? Dasar wanita ulat bulu,” monolog Camelia dalam hati seraya melirik Agnes yang berdiri tak jauh darinya melalui cermin besar yang ada di atas wastafel.Merasa diacuhkan oleh Camelia, wanita itu kembali berkata, “Jangan senang dulu, karena Rainer pasti akan segera menceraikanmu. Jadi aku akan sedikit membiarkanmu dekat dengannya, baik sekali bukan?”“Baguslah kalau memang seperti itu. Aku sangat menantikannya perceraian ini, syukur-syukur kamu bisa membantuku untuk segera bercerai dari Rai, tetapi sepertinya dia tidak ingin cerai dariku tuh,” balas Camelia dengan setengah mengejek Agnes lalu membuang tisu ke tong sampah dan berjalan melewati wanita i
Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar
Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam
Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya
Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.
Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan
Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Selamat malam, Nyonya-nyonya.” Suara berat itu menyusup di antara obrolan, membuat Camelia dan Vanessa menoleh. Danar berdiri dengan setelan abu-abu yang rapi. Ekspresinya santai, tapi sorot mata itu tidak bisa menyembunyikan perasaan yang bergulat di dalam dada. Danar dan Camelia bertemu pandang, wanita itu menyunggingkan senyum yang celakanya masih membuat hati Danar berdesir. "Kamu benar-benar sulit ditemui sekarang,” ujar Danar. "Wajar, dia sekarang lebih sibuk dengan keluarga kecilnya," kata Vanessa menimpali sambil tersenyum. Tatapan Danar turun ke perut Camelia yang mulai membuncit. Ada kebahagiaan yang dia rasakan karena itu sebuah tanda jika hidup wanita itu lebih baik dan yang pasti, bahagia. Tetapi juga sesuatu yang tertahan di balik senyum tipisnya. Sejenak, hatinya terasa kosong. Camelia menangkap tatapan itu, tetapi memilih untuk bersikap biasa saja. “Apa kabar, Pak Danar?” Ada sesuatu di hati Danar, Camelia bahkan sudah tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi.
“Halo, dengan Tuan Rainer Wijaya, kami dari rumah sakit, ingin memberi tahu jika Nyonya Camelia pingsan dan dibawa ke rumah sakit.” Jantungnya berdegup lebih cepat. “Ada apa, Rai?” “Camelia dibawa ke rumah sakit, Lev.” Tidak menunggu waktu yang lama Rainer langsung bergegas menuju rumah sakit. Tangan Rainer mencengkram kemudi dengan erat, buku-buku jarinya memutih. Napas memburu, tubuh terasa panas, tapi bukan karena udara di dalam mobil—melainkan ketakutan yang perlahan-lahan merayap naik. Camelia pingsan. Rumah sakit. Mungkin aritmianya kambuh? Tiga hal itu terus berputar di kepalanya, memukul saraf-saraf kewaspadaan hingga jantungnya berdegup tak karuan. Steve. Itu pasti karena pria itu. Jika dia tahu pertemuan sialan itu akan membawa dampak sebesar ini, dia tak akan membiarkan Camelia keluar rumah. Sial. Harusnya dia lebih waspada. Harusnya dia tidak meremehkan dampaknya. Mobil berhenti dengan hentakan kasar di depan pintu gawat darurat. Rainer keluar tanpa