Dengan tampang tidak suka wanita itu bertanya, “Siapa wanita ini?”
“Oma, Tante ini yang menyelamatkanku,” jawab anak kecil itu. Carmelia menoleh ke arah wanita paruh baya itu, tersenyum kemudian mengangguk hormat. Wanita paruh baya itu memandang Camelia dengan pandangan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu bergegas mencari anak dan cucunya setelah mendapat kabar tentang Clay yang hampir mengalami kecelakaan, tapi dia justru menemukan ada seorang wanita di mobil anaknya. Dari sisi yang lain Danar memberi isyarat pada ibunya jika Camelia ingin keluar, dia pun mundur beberapa langkah memberi ruang pada Camelia untuk keluar dari mobil mewah itu. Danar ikut keluar dari sisi yang lain dan mendekat ke arah dua wanita berbeda generasi itu. “Selamat siang, Nyonya,” sapa Camelia dengan santun. “Mami, dia Camelia. Wanita yang sudah menyelamatkan Clay,” terang Danar. Seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dan menyunggingkan senyum ramah. “Terima kasih banyak sudah menyelamatkan cucu saya, Nona Camelia.” “Sama-sama, Nyonya–,” Camelia menjeda kalimatnya karena tidak tahu nama wanita itu. “Saya Sofia, ibu Danar dan juga neneknya Clay.” “Nyonya Sofia,” ucap Camelia melengkapi ucapannya tadi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya.” “Sekali lagi terima kasih, Nona Camelia.” Setelah mengangguk hormat Camelia melenggang dengan kaki sedikit terpincang, lututnya masih terasa perih. Masih terdengar di pendengaran Camelia jika wanita yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu memarahi Danar yang tidak becus menjaga Clay. Rainer meletakkan ponselnya di atas meja dengan sedikit tenaga hingga membuat suara yang menggema ke seluruh ruangan. Pria itu kesal setelah mendapat laporan jika Camelia pergi meninggalkan rumah. “Beraninya dia bersikap seenaknya, kabur lagi dari rumah? Dia pikir dia siapa?” kesal Rainer. Levi mengetuk pintu dan masuk ke kantor Rainer dengan wajah cemas. “Ada apa?” “Mbak Lia hampir kecelakaan karena menyelamatkan seorang anak kecil, Pak.” Rainer langsung berdiri dan bertanya, “Di mana dia sekarang?” “Dia sudah kembali ke apartemen temannya, Pak. Kondisinya baik-baik saja, Bapak tidak perlu khawatir,” ucap Levi menenangkan Rainer. Rainer kembali duduk dan memasang wajah tak acuh. “Memangnya apa peduliku? Biarkan saja dia,” balas Rainer lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Levi menggeleng dan tersenyum tipis melihat kelakuan atasannya itu. Dia pun keluar dari ruangan tersebut. Rainer pun segera menyelesaikan semua pekerjaannya. Rasa-rasanya hari ini tenaganya terkuras habis karena Camelia. “Rai!” Seruan manja itu terdengar begitu merdu, mengusik pendengaran Rainer, dia pun menghentikan langkah dan mengalihkan perhatian ke sumber suara. Rupanya sejak tadi Agnes duduk bersama Rossa, dengan sabar menunggu kekasihnya pulang. “Ada apa?” tanya Rainer dengan wajah datar. “Bukankah malam ini kita akan mencari kado ulang tahun untuk Tuan dan Nyonya Adiwangsa? Jangan bilang kamu lupa.” Rainer melirik tajam ke arah Levi. Dia sudah memerintahkan pada pria itu untuk mengatakan pada Agnes jika malam ini mereka tidak jadi pergi bersama. Yang dilirik pun merasa tidak enak, padahal dia benar-benar sudah menyampaikan pesan tersebut. “Bukankah Levi sudah bilang kalau kita tidak jadi pergi bersama?” Agnes langsung mendekat dan meraih lengan Rainer, seperti biasanya bergelayut dengan manja. “Sudah sih, tapi aku sudah terlanjur menolak segala acara untuk malam ini dan malam ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa demi bisa menemanimu ke acara itu,” jawab Agnes dengan lembut. Rainer melepas tangan Agnes dari lengannya dan sedikit bergeser untuk memberi jarak. Jelas saja wanita itu terkejut, Rainer tak pernah sekalipun menolaknya, tetapi kali ini berbeda. “Malam ini dan saat acara ulang tahun pernikahan itu aku akan pergi bersama Camelia.” “Rai! Kenapa malah pergi sama dia sih? Bukankah kita sudah berjanji akan pergi bersama, aku juga sudah menolak semua undangan demi menemanimu,” protes Agnes. “Ini permintaan Kakek, aku tidak bisa menolaknya. Semua demi perusahaan,” jawab Rainer. Tentu saja itu hanya sebuah kebohongan dan alasan agar Agnes tak lagi merengek. “Kakek lagi, Kakek lagi. Kenapa kamu selalu patuh dengan perintahnya? Kapan kamu bisa memperjuangkanku? Ayolah, Rai, kamu sudah dewasa kenapa masih menurut dengan dikte Kakekmu itu?” kesal Agnes. Entah mengapa ucapan Agnes kali ini membuatnya sedikit gerah, terdengar mengesalkan. “Jangan membuat drama di sini, Agnes. Jika Kakek tahu kamu ada di sini dan membuat masalah, kamu tidak akan bisa lagi masuk ke gedung ini. Jadi bersikaplah sewajarnya jika berada di lingkungan kantor.” Rainer kembali berjalan menuju lift lalu menekan tombol arah turun. “Rainer!” Agnes mengejar pria itu. Dia masih tidak habis pikir kenapa sikap kekasihnya itu berubah 180 derajat, dingin dan tak tersentuh. “Ini semua pasti gara-gara wanita itu,” gumam Agnes. “Maaf, Mbak Agnes,” ucap Levi seraya menghalangi langkah Agnes yang ingin masuk ke dalam lift. Dengan kesal Agnes menghentakkan kakinya ke lantai, kedua tangannya mengepal erat. Bisa-bisanya Rainer melakukan hal seperti itu padanya. “Lihat saja Camelia, aku tidak akan tinggal diam, Rai itu milikku dan akan selalu menjadi milikku, kamu memilih lawan yang salah.” “Kamu cari mati, Ca. Bisa-bisanya kamu kembali kesini setelah Rainer membawamu pulang ke rumah itu,” oceh Maura–sahabat Camelia setelah melihat sahabatnya kembali ke apartemennya. “Biar saja, aku sudah lelah. Untuk apa dia berubah ketika aku ingin berpisah, ini sudah sangat terlambat, Maura.” “Kamu memang keras kepala, Camelia. Dulu kamu begitu keras ingin berjuang meraih hati Rainer, sekarang kamu sama kerasnya, tetapi ingin berpisah dari pria itu.” Camelia merengut tapi tidak menampik ucapan sahabatnya itu. “Lalu itu,” Maura menunjuk lutut Camelia, “kenapa kamu pulang-pulang dengan lutut babak belur seperti itu?” “Oh, ini pendek ceritanya.” Camelia menceritakan kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke apartemen. “Camelia, Camelia. Untung tidak terjadi apa-apa dengan kalian berdua.” “Iya, untung saja. Ya, sudah aku mau membersihkan diri lebih dulu.” “Kamu mau makan apa malam ini?” tanya Maura. “Apa sajalah, aku kan tinggal makan,” balas Camelia seraya nyengir kuda. “Kalau begitu aku akan pergi ke supermarket sebentar, banyak bahan makanan yang sudah habis.” “Baiklah, hati-hati di jalan.” Sebelum mandi Camelia memeriksa ponselnya, tidak ada pesan maupun panggilan dari Rainer. Ada sedikit kekecewaan dan juga kelegaan di dalam hati Camelia. Kecewa karena ternyata Rainer tetap tidak peduli padanya, padahal dia yakin suaminya itu sudah mendapat kabar dari anak buahnya. Lega karena Rainer tidak akan mengganggu hidupnya. Camelia mengisi daya sebelum akhirnya mandi. Usai membersihkan diri Camelia segera mengeringkan rambut yang basah karena keramas. Indera pendengarannya menangkap suara bel yang berbunyi dengan keras. Camelia bergegas menuju pintu apartemen itu. Mungkin saja kekasih Maura yang datang, pikir Camelia. Namun, setelah membuka pintu realita tak seperti ekspektasinya.Rainer berada di depan pintu apartemen dan menatapnya tajam!
“Untuk apa datang kemari?” tanya Camelia.
“Memang untuk apalagi? Jelas aku ingin menjemput istriku yang kabur dari rumah,” jawab Rainer sembari menipiskan jarak keduanya.
“Ayolah, Rai, kamu tak perlu membuat drama suami istri. Cukup kamu tanda tangani surat pengajuan cerai itu dan mengurusnya. Maka kita tidak perlu lagi mencampuri satu sama lain.” “Kooperatiflah sedikit, Camelia. Kondisi Kakekku sedang tidak baik-baik saja, tidak mungkin kita bercerai saat kondisi Kakek seperti itu,” ucap Rainer. Benar. Kondisi Kakek Wijaya memang sedang tidak baik beberapa waktu ini, Camelia bahkan sempat mengunjunginya sehari sebelum dia memutuskan untuk bercerai dari Rainer. Camelia nampak berpikir. Melihat istrinya yang seperti sedang memikirkan sesuatu, Rainer kembali berbicara, “Kakek juga meminta kita untuk menghadiri pesta ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa bersama. Apa kamu masih ingin menolak permintaannya?” Karena kebohongannya pada Agnes Rainer justru mendapatkan ide. Camelia sangat menyayangi dan juga patuh pada Kakeknya. Rainer akan menggunakan Kakeknya untuk mengikat Camelia. “Kemasi barang-barangmu dan kita akan kembali ke rumah,” ujar Rainer s
Rainer menarik napas pelan lalu menghembuskan perlahan, mengumpulkan serpihan-serpihan kesabaran agar tidak berhamburan hingga terjadi sebuah ledakan yang membara di dalam jiwa.Camelia melirik ke arah Rainer yang hidungnya kembang-kempis seperti orang yang sedang meniup balon.“Kenapa malah diam? Yakin kamu ingin aku yang memilihkan? Aku tidak tahu makanan kesukaanmu lho,” tanya Camelia. Gadis cantik itu sengaja memancing Rainer, ingin tahu sebesar apa harga dirinya.“Coba kita lihat, apakah gengsimu akan sebesar gunung Everest, Rai,” batin Camelia.“Tidak perlu, aku pilih sendiri saja, bisa-bisa kamu memilihkan makanan yang membuatku alergi,” ucap Rainer kemudian meraih buku menu, melihat sekilas dan menyebutkan satu per satu makanan yang dia mau.Sedangkan Camelia duduk bersandar dan menatap sinis suaminya.“Memangnya kamu saja yang bisa berbuat seenaknya? Rasakan saja pembalasanku, akan kubuat kamu melepaskanku, Rai
“Pelakor? Maksudmu aku pelakor?” tanya Camelia seraya menunjuk dirinya sendiri.“Memangnya ada orang lain di sini?” balas Wulan.“Asal kamu tahu, hanya Nona Agnes yang pantas bersanding dengan Tuan Rainer! Wanita yang hanya mengincar hartanya seperti kamu benar-benar menjijikan,” ejek Wulan.“Mulutmu benar-benar tak tahu sopan santun,” balas Camelia.Brak!!!Pintu ruang ganti itu dibuka dengan kasar hingga menimbulkan suara yang memekakan telinga dan mengundang banyak perhatian, termasuk manajer butik. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Rainer.Wulan langsung tertunduk karena pria itu menatapnya dengan tajam. Sedangkan Camelia bersikap biasa saja tidak terpengaruh dengan kedatangan Rainer.Pegawai yang lain berkumpul dan mulai saling berbisik sambil menatap aneh ke arah ruang ganti itu. Manajer butik pun bergegas melihat apa yang sebenarnya terjadi.“Siapa kamu, berani sekali berkata seperti itu pada istriku?” ben
Langkah Camelia terhenti lalu kembali melihat ke arah Rainer dengan kesal.“Benar kamu memang masih suamiku, tetapi–.”Ucapan Camelia terhenti karena Rainer langsung mengangkat tubuh wanita itu seperti karung beras.“Rai!” pekik Camelia.Rainer membawa Camelia dan mengambil koper yang ada di tangan Ella, masuk ke dalam kamar, menutup pintu, terakhir menguncinya.Melihat kedua majikannya, Ella pun tersenyum semringah dan bergumam, “Sepertinya Kakek Wijaya akan segera mendapatkan cicit yang sudah lama ditunggu.”“Rai! Turunkan aku! Kenapa kamu suka berbuat seenaknya?” teriak Camelia seraya memukuli punggung suaminya.“Diamlah!” bentak Rainer. Dia hanya tidak ingin istrinya terjatuh jika terus meronta.Camelia terus memukul dan berteriak meminta Rainer untuk menurunkannya.Rainer menjatuhkan Camelia di atas ranjang berukuran king size miliknya sampai terdengar deritan.Belum sempat Camelia mengger
Camelia membangunkan tubuhnya dan mendesis kesal, dia mulai mendengar suaminya menghitung.“Ya ampun, kenapa dia begitu keras kepala?” Dengan terus menggerutu Camelia bangkit dari ranjang. Benar saja Rainer mulai mendobrak pintu itu.“Dia pikir mudah mendobrak pintu? Coba saja, sampai tulangmu patah, kamu tidak akan bisa membuka pintu ini kecuali membawa pasukan,” cemooh Camelia. Pada kenyataannya Rainer tidak mendobrak pintu kamar Camelia. Pria itu hanya menendang agar menimbulkan suara yang bising untuk memancing Camelia keluar. Tiba-tiba saja pintu terbuka tanpa Rainer mendengar suara kunci yang diputar, padahal posisi Rainer sudah siap menendang ke arah pintu.“Aaaaa,” teriak Camelia.Rainer mencoba mengendalikan tubuhnya agar tidak menendang sang istri, tetapi justru membuat tubuh oleng dan menerjang Camelia hingga mereka terjatuh di lantai.Brruugghhh!Rainer masih sempat menukar posisi sebelum
“Ada apa?” tanya Camelia seraya berjalan ke arah pintu ruangan lemari raksasa itu. Rainer terlihat sedang melihat rak dasi miliknya.“Apa kamu lihat dasiku?”“Dasi yang mana? Dasimu terlalu banyak, aku tidak mungkin menghafalnya satu per satu,” balas Camelia.“Dasi berwarna marun yang bercorak garis-garis hitam,” jawab Rainer dengan wajah serius.Camelia terdiam sejenak, dasi yang dimaksud suaminya adalah dasi dari pemberian darinya di awal pernikahan mereka. Benda yang sama sekali tak pernah Rainer sentuh bahkan dipakai barang satu kali pun lalu untuk apa sekarang ditanyakan? “Oh, dasi itu? Aku sudah membuangnya,” jawab Camelia tanpa rasa bersalah. “Kenapa dibuang? Siapa yang menyuruhmu membuangnya?” tanya Rainer. Ada nada kekecewaan dari ucapan Rainer.“Dari awal aku memberikannya kepadamu, kamu tidak pernah mau menyentuh apalagi memakainya. Jadi lebih baik aku buang saja,” jawab Camelia dengan enteng.Wanit
“Apa kamu senang selalu bersama Rainer?” ucap seorang wanita yang sejak tadi sudah menunggu Camelia keluar dari bilik toilet.Camelia berjalan menuju wastafel lalu mencuci tangan sebelum menanggapi wanita itu.“Selalu katanya? Aku baru 24 jam bersama Rainer dia bilang selalu, apa dia sengaja mengejekku? Dasar wanita ulat bulu,” monolog Camelia dalam hati seraya melirik Agnes yang berdiri tak jauh darinya melalui cermin besar yang ada di atas wastafel.Merasa diacuhkan oleh Camelia, wanita itu kembali berkata, “Jangan senang dulu, karena Rainer pasti akan segera menceraikanmu. Jadi aku akan sedikit membiarkanmu dekat dengannya, baik sekali bukan?”“Baguslah kalau memang seperti itu. Aku sangat menantikannya perceraian ini, syukur-syukur kamu bisa membantuku untuk segera bercerai dari Rai, tetapi sepertinya dia tidak ingin cerai dariku tuh,” balas Camelia dengan setengah mengejek Agnes lalu membuang tisu ke tong sampah dan berjalan melewati wanita i
Camelia berjalan keluar dari restoran dengan tergesa, muak rasanya melihat suami dan kekasihnya.“Bu Lia mau kemana?” tanya Levi menghadang langkah wanita itu.“Pergi!” jawab Camelia tanpa mempedulikan Levi.Levi langsung mencekal tangan Camelia. Sontak wanita itu menghentikan langkah, melihat ke arah asisten pribadi suaminya dan juga tangan yang mencekal tangannya itu secara bergantian.“Maafkan saya, Bu.” Levi langsung melepas cekalan tangannya. Canggung.“Jangan halangi aku. Aku malas berurusan dengan Rai dan si ulat bulu,” ucap Camelia.Levi mengernyitkan keningnya, belum mengerti maksud perkataan Camelia.“Tapi, Bu–.” Camelia langsung mengibaskan tangan, tanda menyuruh Levi untuk tidak banyak bicara dan protes.Camelia berjalan menuju jalan raya dan Levi masih mengekor. “Kenapa mengikutiku?” Pria itu terlihat gugup, yang terpatri dalam otaknya hanya tidak boleh membiarkan Camelia kabur s
Perbuatan Rainer jelas terlihat di padangan mata Agnes yang sejak tadi mengawasi mereka berdua, hati wanita itu pun merasakan sakit dan kecewa. Bagaimana bisa orang yang tidak mencintai mencium seorang wanita dengan begitu lembut?“Rainer! Kamu–.” Agnes kehabisan kata-kata, dia memilih kembali masuk ke pesta untuk menenangkan diri dari gemuruhnya api cemburu.“Camelia. Kenapa kamu selalu saja menjadi penghalang dalam hidupku?” gumam Agnes dengan menahan amarah.Rainer melepas pagutan bibirnya, napas terengah pelan, entah mengapa bibir Camelia seakan menjadi candu baginya.“Dengarkan aku Camelia, kamu tidak akan mudah lepas dariku jika alasanmu bercerai adalah untuk pria lain,” bisik Rainer.“Coba saja jika kamu bisa kabur dariku, karena kamu pasti akan memohon untuk kembali padaku.”Buugghhh. Sebuah tinju mendarat di perut Rainer. Rainer yang terkejut sontak melepaskan kunciannya. Rupanya tinju yang dilayangk
Camelia baru saja turun dari panggung, tiba-tiba sebuah seruan riang memanggil namanya.“Tante Camelia!” Camelia melihat ke arah sumber suara, pria kecil dengan setelan tuxedo yang senada dengan Danar.“Halo, Clay!”Gadis itu berjongkok menyamakan tinggi dengan Clay.“Kenapa Tante bisa ada di sini? Apa Papi yang mengajak Tante?” tanya anak kecil itu.Camelia menoleh ke atas melihat Danar.“Oh, tidak Clay, Tante mewakili Kakek untuk menghadiri pesta ini,” jawab Camelia.“Oh, aku pikir Tante sudah lebih akrab dengan Papi,” ujar anak itu. Camelia hanya bisa tersenyum lalu kembali berdiri.Camelia tidak menyangka jika dua pria yang baru-baru ini dia temui ternyata menyandang nama Adiwangsa. Entah jalan apa yang sedang Tuhan tunjukan padanya, tetapi kebetulan ini sangat luar biasa.Pria kecil itu kemudian mengajak Camelia untuk menikmati hidangan pembuka yang sudah tersaji. Danar pun mengekori Camelia dan Clay di belakang.Entah apa magnet apa yang ada dalam tubuh Camelia hingga anak keci
Rainer segera turun dari panggung setelah menyelesaikan pembicaraan yang hanya sekedar basa-basi itu.“Rai, ayo kita cari minuman,” ajak Agnes.Keduanya pun kembali membaur bersama dengan tamu undangan yang lain.Tiba-tiba saja keriuhan terjadi, membuat pusat perhatian tertuju ke arah pintu masuk. Pandangan Rainer dan Agnes pun ikut tertuju pada keriuhan tersebut. Beberapa saat kemudian mata coklat gelap Rainer menangkap sosok yang sangat dia kenal. Camelia.Camelia cantik dan anggun itu seketika menjadi pusat perhatian. Untung saja semasa sekolah dan kuliah dia adalah orang yang aktif dalam berorganisasi serta menjadi pusat perhatian. Jadi untuk menghadapi hal seperti ini, Camelia tidak perlu gugup apalagi panik.Tak sedikit orang yang hadir di pesta tersebut bertanya-tanya siapa wanita yang datang bersama Lukman. Wajah Camelia memang asing di kalangan pergaulan para konglomerat.“Pak Lukman, alangkah baiknya jika kita menyapa p
Hari yang dimaksud akhirnya tiba, sejak siang tadi Camelia sudah melakukan berbagai treatment untuk persiapan datang ke acara pesta ulang pernikahan pasangan Adiwangsa di sebuah salon terbaik. Kini wanita cantik itu sudah siap dengan gaun pesta dan riasan natural. Sungguh memesona. Sayangnya, pria yang bertanggung jawab mengajaknya tak kunjung datang.“Maaf, Bu Lia saya sedikit terlambat,” ujar Levi yang baru saja datang bersamaan dengan asisten pribadi Kakek Wijaya–Lukman.Pria berumur kurang lebih 40 tahun itu mengangguk hormat begitu pun dengan Camelia dan Levi.“Ada apa gerangan Pak Lukman sampai datang kemari?” tanya Camelia. Wanita itu bahkan tidak sempat membalas pernyataan Levi.“Saya diperintahkan oleh Tuan Besar Wijaya untuk menjemput dan mendampingi Anda di pesta ulang tahun pernikahan Adiwangsa, Nyonya Muda.”Camelia dan Levi saling pandang. “Rainer pasti pergi bersama wanita itu kan, Pak Levi? Itu sebabnya
Camelia memandang pria keriput yang ada di depannya. Sungguh dirinya tidak suka mendapatkan pertanyaan seperti itu, sebab sulit sekali mencari jawaban yang tepat. Bisa saja dia langsung mengatakannya dengan gamblang, tetapi tidak ingin membuat luka di hati pria sepuh itu.“Kakek, apa aku boleh menyampaikan isi hatiku?” tanya Camelia.Dia pun memberanikan diri bertanya seperti itu, sebab keputusannya bercerai dari Rainer sudah bulat.“Tentu saja, memangnya untuk apa aku memanggilmu jika bukan untuk itu? Katakan saja apa yang ada di hatimu, tidak perlu khawatirkan aku. Aku tahu sebagai orang yang lebih muda kamu pasti lebih memilih untuk menjaga hatiku,” ucap Kakek Wijaya panjang lebar.Ini bukan kali pertama Camelia berbincang santai seperti ini dengan Kakek Wijaya, tetapi rasanya masih sulit jika membicarakan perceraian, mengingat kondisi pria itu akhir-akhir ini sedang tidak baik.“Kenapa malah diam?” Pertanyaan itu membuat Camelia ters
Daniel adalah pengacara muda yang karirnya sedang menanjak, tempatnya bekerja pun tidak main-main. Firma hukum yang terkenal sering memenangkan kasus.“Di tempatku bekerja ada satu pengacara yang handal dalam urusan perceraian, besok akan aku pertemukan denganmu. Aku akan buatkan janji lebih dulu,” ujar Daniel.“Terima kasih, Daniel.” “Pastikan alasanmu bercerai masuk akal.”“Memang ada alasan bercerai tidak masuk akal? Sudah jelas-jelas suamiku itu memiliki simpanan, masih kurang jelas apa?” terang Camelia.“Akhirnya matamu terbuka juga,” sahut Maura.Camelia berdecak, tetapi tidak menampik. Dulu dirinya memang bodoh dan menutup mata tentang hal itu, yang ada dalam pikirannya hanya membuat Rainer jatuh cinta, maka semua akan beres.Setelah berbincang sebentar, Daniel memutuskan untuk kembali bekerja dan membiarkan dua wanita itu menikmati waktu bersama.Camelia menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya p
Camelia berjalan keluar dari restoran dengan tergesa, muak rasanya melihat suami dan kekasihnya.“Bu Lia mau kemana?” tanya Levi menghadang langkah wanita itu.“Pergi!” jawab Camelia tanpa mempedulikan Levi.Levi langsung mencekal tangan Camelia. Sontak wanita itu menghentikan langkah, melihat ke arah asisten pribadi suaminya dan juga tangan yang mencekal tangannya itu secara bergantian.“Maafkan saya, Bu.” Levi langsung melepas cekalan tangannya. Canggung.“Jangan halangi aku. Aku malas berurusan dengan Rai dan si ulat bulu,” ucap Camelia.Levi mengernyitkan keningnya, belum mengerti maksud perkataan Camelia.“Tapi, Bu–.” Camelia langsung mengibaskan tangan, tanda menyuruh Levi untuk tidak banyak bicara dan protes.Camelia berjalan menuju jalan raya dan Levi masih mengekor. “Kenapa mengikutiku?” Pria itu terlihat gugup, yang terpatri dalam otaknya hanya tidak boleh membiarkan Camelia kabur s
“Apa kamu senang selalu bersama Rainer?” ucap seorang wanita yang sejak tadi sudah menunggu Camelia keluar dari bilik toilet.Camelia berjalan menuju wastafel lalu mencuci tangan sebelum menanggapi wanita itu.“Selalu katanya? Aku baru 24 jam bersama Rainer dia bilang selalu, apa dia sengaja mengejekku? Dasar wanita ulat bulu,” monolog Camelia dalam hati seraya melirik Agnes yang berdiri tak jauh darinya melalui cermin besar yang ada di atas wastafel.Merasa diacuhkan oleh Camelia, wanita itu kembali berkata, “Jangan senang dulu, karena Rainer pasti akan segera menceraikanmu. Jadi aku akan sedikit membiarkanmu dekat dengannya, baik sekali bukan?”“Baguslah kalau memang seperti itu. Aku sangat menantikannya perceraian ini, syukur-syukur kamu bisa membantuku untuk segera bercerai dari Rai, tetapi sepertinya dia tidak ingin cerai dariku tuh,” balas Camelia dengan setengah mengejek Agnes lalu membuang tisu ke tong sampah dan berjalan melewati wanita i
“Ada apa?” tanya Camelia seraya berjalan ke arah pintu ruangan lemari raksasa itu. Rainer terlihat sedang melihat rak dasi miliknya.“Apa kamu lihat dasiku?”“Dasi yang mana? Dasimu terlalu banyak, aku tidak mungkin menghafalnya satu per satu,” balas Camelia.“Dasi berwarna marun yang bercorak garis-garis hitam,” jawab Rainer dengan wajah serius.Camelia terdiam sejenak, dasi yang dimaksud suaminya adalah dasi dari pemberian darinya di awal pernikahan mereka. Benda yang sama sekali tak pernah Rainer sentuh bahkan dipakai barang satu kali pun lalu untuk apa sekarang ditanyakan? “Oh, dasi itu? Aku sudah membuangnya,” jawab Camelia tanpa rasa bersalah. “Kenapa dibuang? Siapa yang menyuruhmu membuangnya?” tanya Rainer. Ada nada kekecewaan dari ucapan Rainer.“Dari awal aku memberikannya kepadamu, kamu tidak pernah mau menyentuh apalagi memakainya. Jadi lebih baik aku buang saja,” jawab Camelia dengan enteng.Wanit