Camelia berjalan keluar dari restoran dengan tergesa, muak rasanya melihat suami dan kekasihnya.
“Bu Lia mau kemana?” tanya Levi menghadang langkah wanita itu.“Pergi!” jawab Camelia tanpa mempedulikan Levi.Levi langsung mencekal tangan Camelia. Sontak wanita itu menghentikan langkah, melihat ke arah asisten pribadi suaminya dan juga tangan yang mencekal tangannya itu secara bergantian.“Maafkan saya, Bu.” Levi langsung melepas cekalan tangannya. Canggung.“Jangan halangi aku. Aku malas berurusan dengan Rai dan si ulat bulu,” ucap Camelia.Levi mengernyitkan keningnya, belum mengerti maksud perkataan Camelia.“Tapi, Bu–.” Camelia langsung mengibaskan tangan, tanda menyuruh Levi untuk tidak banyak bicara dan protes.Camelia berjalan menuju jalan raya dan Levi masih mengekor.“Kenapa mengikutiku?”Pria itu terlihat gugup, yang terpatri dalam otaknya hanya tidak boleh membiarkan Camelia kabur sDaniel adalah pengacara muda yang karirnya sedang menanjak, tempatnya bekerja pun tidak main-main. Firma hukum yang terkenal sering memenangkan kasus.“Di tempatku bekerja ada satu pengacara yang handal dalam urusan perceraian, besok akan aku pertemukan denganmu. Aku akan buatkan janji lebih dulu,” ujar Daniel.“Terima kasih, Daniel.” “Pastikan alasanmu bercerai masuk akal.”“Memang ada alasan bercerai tidak masuk akal? Sudah jelas-jelas suamiku itu memiliki simpanan, masih kurang jelas apa?” terang Camelia.“Akhirnya matamu terbuka juga,” sahut Maura.Camelia berdecak, tetapi tidak menampik. Dulu dirinya memang bodoh dan menutup mata tentang hal itu, yang ada dalam pikirannya hanya membuat Rainer jatuh cinta, maka semua akan beres.Setelah berbincang sebentar, Daniel memutuskan untuk kembali bekerja dan membiarkan dua wanita itu menikmati waktu bersama.Camelia menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya p
Camelia memandang pria keriput yang ada di depannya. Sungguh dirinya tidak suka mendapatkan pertanyaan seperti itu, sebab sulit sekali mencari jawaban yang tepat. Bisa saja dia langsung mengatakannya dengan gamblang, tetapi tidak ingin membuat luka di hati pria sepuh itu.“Kakek, apa aku boleh menyampaikan isi hatiku?” tanya Camelia.Dia pun memberanikan diri bertanya seperti itu, sebab keputusannya bercerai dari Rainer sudah bulat.“Tentu saja, memangnya untuk apa aku memanggilmu jika bukan untuk itu? Katakan saja apa yang ada di hatimu, tidak perlu khawatirkan aku. Aku tahu sebagai orang yang lebih muda kamu pasti lebih memilih untuk menjaga hatiku,” ucap Kakek Wijaya panjang lebar.Ini bukan kali pertama Camelia berbincang santai seperti ini dengan Kakek Wijaya, tetapi rasanya masih sulit jika membicarakan perceraian, mengingat kondisi pria itu akhir-akhir ini sedang tidak baik.“Kenapa malah diam?” Pertanyaan itu membuat Camelia ters
Hari yang dimaksud akhirnya tiba, sejak siang tadi Camelia sudah melakukan berbagai treatment untuk persiapan datang ke acara pesta ulang pernikahan pasangan Adiwangsa di sebuah salon terbaik. Kini wanita cantik itu sudah siap dengan gaun pesta dan riasan natural. Sungguh memesona. Sayangnya, pria yang bertanggung jawab mengajaknya tak kunjung datang.“Maaf, Bu Lia saya sedikit terlambat,” ujar Levi yang baru saja datang bersamaan dengan asisten pribadi Kakek Wijaya–Lukman.Pria berumur kurang lebih 40 tahun itu mengangguk hormat begitu pun dengan Camelia dan Levi.“Ada apa gerangan Pak Lukman sampai datang kemari?” tanya Camelia. Wanita itu bahkan tidak sempat membalas pernyataan Levi.“Saya diperintahkan oleh Tuan Besar Wijaya untuk menjemput dan mendampingi Anda di pesta ulang tahun pernikahan Adiwangsa, Nyonya Muda.”Camelia dan Levi saling pandang. “Rainer pasti pergi bersama wanita itu kan, Pak Levi? Itu sebabnya
Rainer segera turun dari panggung setelah menyelesaikan pembicaraan yang hanya sekedar basa-basi itu.“Rai, ayo kita cari minuman,” ajak Agnes.Keduanya pun kembali membaur bersama dengan tamu undangan yang lain.Tiba-tiba saja keriuhan terjadi, membuat pusat perhatian tertuju ke arah pintu masuk. Pandangan Rainer dan Agnes pun ikut tertuju pada keriuhan tersebut. Beberapa saat kemudian mata coklat gelap Rainer menangkap sosok yang sangat dia kenal. Camelia.Camelia cantik dan anggun itu seketika menjadi pusat perhatian. Untung saja semasa sekolah dan kuliah dia adalah orang yang aktif dalam berorganisasi serta menjadi pusat perhatian. Jadi untuk menghadapi hal seperti ini, Camelia tidak perlu gugup apalagi panik.Tak sedikit orang yang hadir di pesta tersebut bertanya-tanya siapa wanita yang datang bersama Lukman. Wajah Camelia memang asing di kalangan pergaulan para konglomerat.“Pak Lukman, alangkah baiknya jika kita menyapa p
Camelia baru saja turun dari panggung, tiba-tiba sebuah seruan riang memanggil namanya.“Tante Camelia!” Camelia melihat ke arah sumber suara, pria kecil dengan setelan tuxedo yang senada dengan Danar.“Halo, Clay!”Gadis itu berjongkok menyamakan tinggi dengan Clay.“Kenapa Tante bisa ada di sini? Apa Papi yang mengajak Tante?” tanya anak kecil itu.Camelia menoleh ke atas melihat Danar.“Oh, tidak Clay, Tante mewakili Kakek untuk menghadiri pesta ini,” jawab Camelia.“Oh, aku pikir Tante sudah lebih akrab dengan Papi,” ujar anak itu. Camelia hanya bisa tersenyum lalu kembali berdiri.Camelia tidak menyangka jika dua pria yang baru-baru ini dia temui ternyata menyandang nama Adiwangsa. Entah jalan apa yang sedang Tuhan tunjukan padanya, tetapi kebetulan ini sangat luar biasa.Pria kecil itu kemudian mengajak Camelia untuk menikmati hidangan pembuka yang sudah tersaji. Danar pun mengekori Camelia dan Clay di belakang.Entah apa magnet apa yang ada dalam tubuh Camelia hingga anak keci
Perbuatan Rainer jelas terlihat di padangan mata Agnes yang sejak tadi mengawasi mereka berdua, hati wanita itu pun merasakan sakit dan kecewa. Bagaimana bisa orang yang tidak mencintai mencium seorang wanita dengan begitu lembut?“Rainer! Kamu–.” Agnes kehabisan kata-kata, dia memilih kembali masuk ke pesta untuk menenangkan diri dari gemuruhnya api cemburu.“Camelia. Kenapa kamu selalu saja menjadi penghalang dalam hidupku?” gumam Agnes dengan menahan amarah.Rainer melepas pagutan bibirnya, napas terengah pelan, entah mengapa bibir Camelia seakan menjadi candu baginya.“Dengarkan aku Camelia, kamu tidak akan mudah lepas dariku jika alasanmu bercerai adalah untuk pria lain,” bisik Rainer.“Coba saja jika kamu bisa kabur dariku, karena kamu pasti akan memohon untuk kembali padaku.”Buugghhh. Sebuah tinju mendarat di perut Rainer. Rainer yang terkejut sontak melepaskan kunciannya. Rupanya tinju yang dilayangk
Belum sempat Camelia mendengar jawaban Rainer, dia kembali tak sadarkan diri.“Lia, hei Camelia!”“Pak Lukman, cepat!” titah Rainer dengan panik.Hanya tinggal sedikit saja hingga mereka sampai di rumah sakit, tetapi Camelia sudah tak sadarkan diri. “Lia, Camelia!”Sesampainya di rumah sakit, Lukman segera berlari meminta bantuan. Camelia segera mendapatkan penanganan.“Tuan Muda, sebaiknya Anda berganti pakaian lebih dulu, saya yang akan menunggu Nyonya Muda. Jangan sampai Anda juga sakit karena harus merawat Nyonya Muda,” ujar Lukman setengah menggoda.Rainer hanya melirik sekilas, untung saja mereka datang ke rumah sakit menggunakan mobilnya, baju ganti dan segala macam selalu tersedia di sana.Saat kembali ke IGD, Camelia telah selesai ditangani, pakaiannya pun telah diganti. Sekarang hanya tinggal mengurus untuk keperluan rawat inap. Kondisi Camelia lemah, mungkin karena trauma yang dialaminya waktu kecil.
Camelia merasakan sesak di dada, denyut jantungnya tidak stabil. Namun, di otaknya hanya ada memikirkan Rainer. Camelia memang memiliki riwayat gangguan irama jantung akibat trauma yang dideritanya, akan kambuh dan parah jika mendapat tekanan atau teringat akan traumanya.“Camelia!” Daisy dengan panik membantu menantunya untuk kembali membaringkan diri. Sedangkan Yasa menekan tombol bantuan.“Jangan pikirkan Rainer, Lia, kamu harus sembuh.”Dokter yang menangani Camelia berjalan dengan tergesa menuju ke ruang rawat inap wanita itu setelah mendapat telepon dari perawat. Tidak sengaja dokter spesialis jantung itu berpapasan dengan Rainer dan hanya menyunggingkan senyum. Rainer hanya berwajah datar.Dokter itu memerintahkan perawat untuk membawa peralatan yang akan digunakan untuk menangani Camelia. Dokter segera memeriksa kondisi Camelia, karena iramanya begitu lambat wanita itu harus mendapatkan pacu jantung.Dokter akhirnya mera
Dengan perasaan yang masih berkecamuk, Levi mengetuk pintu ruang kerja Yasa Wijaya–ayah Rainer dengan ragu. Seketika pintu terbuka, wajah Yasa yang biasanya tenang terlihat tegang. Levi menarik napas panjang sebelum melangkah masuk."Ada apa, Levi? Kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah datang ke sini?" tanya Yasa dengan suara yang terdengar berat. Semalaman dia mencoba menenangkan Daisy–istrinya yang terus gelisah tak menentu, membuatnya tak bisa menampik rasa yang sama. Levi mencoba berbicara setenang mungkin. "Tuan Yasa, saya perlu memberitahu sesuatu yang mendesak tentang Pak Rainer."Tatapan tajam Yasa menghantam Levi. "Apa maksudmu? Ada apa dengan Rainer?"Levi menelan ludah dengan susah payah. "Kami kehilangan kontak dengan Pak Rainer sejak kemarin sore. Jean telah melapor jika Pak Rainer mengalami kecelakaan yang cukup parah setelah di jalur yang biasa dilalui."Wajah Yasa berubah gelap, marah dan sedih bergumul menjadi satu.
Gelas yang ada dalam genggaman Camelia jatuh, menghantam lantai dengan suara pecahan yang menggema. Camelia menatap serpihan yang sudah berkeping-keping, pikirannya melayang jauh. Sebuah perasaan aneh menguasainya, seperti ada sesuatu yang salah. Dadanya terasa sesak, sementara tangannya gemetar tanpa sebab yang jelas.“Camelia, ada ap?” tanya Daisy seraya mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita itu ikut merasakan hawa berat yang menggantung di udara.Camelia menggeleng, mencoba tersenyum. "Aku tidak tahu, Bu. Perasaanku mendadak tidak enak," balas Camelia seraya menenangkan diri. Meskipun jelas nada suaranm wanita itu tidak meyakinkan siapa pun.Daisy jelas tahu kegelisahan menantunya itu, kegelisahan yang sama. "Kalau ada yang kamu rasakan, lebih baik ceritakan. Aku juga merasa ada yang aneh hari ini," ucap Daisy seperti orang yang dipenuhi beban.“Entahlah, Bu. Aku merasa Rai tidak dalam keadaan baik-baik saja,” balas Camelia.Daisy menghembuskan napas pelan. Sebagai se
"Makanlah, nanti makanannya keburu dingin,” ucap Danar pada anak semata wayangnya. Clay meraih sumpit dengan lincah, pipinya mengembang karena terlalu bersemangat menyantap udang tempura di piringnya. Matanya berbinar saat menatap Camelia yang sedang menuangkan teh hijau ke cangkirnya. "Apa kamu suka sausnya, Clay? Kalau kurang manis, bisa tambahkan ini." Camelia mengulurkan botol kecil berisi saus teriyaki dengan senyum hangat. Clay mengangguk antusias, mengoleskan lebih banyak saus di atas udang tempuranya. "Kenapa Tante tahu selera makanku?" tanya bocah itu dengan wajah polos polos, “seperti oma. Oma paling tahu seleraku." Lalu bocah itu terkekeh. Camelia melirik Danar sekilas, hanya kebetulan saja dia menyukai makanan seperti itu dengan memperbanyak saus teriyaki. Clay tidak berhenti bercerita, menceritakan permainan yang tadi dia coba di taman bermain bersama Amanda dan Ryo. Namun, dengan cepat bocah itu beralih membahas rencananya bersama sang ayah untuk akhir pekan
Setelah beberapa menit perjalanan Camelia dan Danar akhirnya sampai di sebuah restoran yang ada di sebuah mall.“Kita tunggu Clay sembari memesan makan dan minum lebih dulu,” ujar Danar.Keduanya berbincang ringan hingga akhirnya sosok kecil berlari ke arah mereka.“Nah, itu yang ditunggu sudah datang,” ucap Danar pada Camelia.“Papi!” seru Clay dari kejauhan.Camelia pun menoleh ke arah Clay yang sudah tersenyum riang.“Tante Camelia!” seru Clay lalu merentangkan tangannya. Camelia langsung mensejajarkan tubuh dengan Clay lalu memeluk bocah itu dengan senyuman.Danar hanya bisa menggeleng, karena anaknya itu langsung melupakan dirinya ketika melihat Camelia.Camelia bisa melihat dua sosok laki-laki dan perempuan yang berhenti tak jauh dari mereka. “Tante apa kabar? Tante sudah sembuh?” tanya Clay setelah melepas pelukannya dari Camelia.“Kabar baik, Tante juga sudah sehat. Clay apa kabar?”
Waktu berjalan begitu cepat, Camelia sudah mulai bekerja sejak seminggu yang lalu. Wanita bernama Anne selalu setia menemaninya, asisten pribadi dan juga bodyguard yang dipilih oleh Rainer secara khusus. Sudah tiga hari semenjak Rainer bertolak ke Singapura bersama orang-orang kepercayaannya. Namun, Camelia tak juga mendapatkan kabar tentang suaminya itu. Bertanya pada Levi pun percuma, pria yang ditugaskan untuk mengurus perusahaan itu seakan bungkam dengan kabar dan keadaan suaminya. “Pak Rainer baik-baik saja, Bu. Hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya hingga tuntas.” Itu yang selalu Levi ucapkan saat dirinya bertanya. “Lia! Camelia Agatha!” Suara yang cukup lantang itu menyadarkan Camelia dari lamunan. “Maafkan saya, Pak Danar,” balas Camelia dengan gugup dan sungkan. Saat ini mereka sedang mengadakan rapat bersama staff penting di kantor, tetapi dirinya malah terhanyut dalam lamunan.
Pintu perlahan terbuka, langkah Rainer terdengar berat ketika masuk ke dalam kamar. “Kamu sudah pulang, Rai.”Camelia menyapa suaminya dengan senyum hangat seperti biasa, tetapi senyumnya memudar saat melihat wajah suaminya yang terlihat tidak bersahabat.“Ada apa? Apa ada masalah serius?” tanya Camelia mencoba memahami apa yang terjadi pada suaminya.“Bukankah kamu bilang hanya ingin bertemu dengan Maura?” tanya Rainer lebih pada menyindir, tatapan matanya begitu tajam dan terlihat menuduh.Camelia tersenyum dan menghela napas pelan.“Maksudmu pertemuanku dengan Kak Danar? Itu hanya sebuah kebetulan, Rai.” “Kebetulan? Kebetulan, tapi kamu bisa ikut rapat bersama.” Rainer melipat tangan di dada, ekspresinya keras dan kaku.“Itu diluar dugaan, Rai. Ternyata tadi Pak Indra yang rapat dengan Kak Danar, dia adalah salah satu klien kami yang royal, dia mengajakku ikut rapat tanpa aku bisa menolak.” Camelia mencoba menjelaskan, tetapi Rainer tidak menunjukkan tanda-tanda melunak.“Tidak b
“Camelia!” Seorang pria memanggil nama Camelia. Membuat wanita itu menoleh ke sumber suara.“Kak Danar,” bisik Camelia kemudian tersenyum.Danar membalas senyuman itu dengan ramah. Pria itu tidak menyangka akan bertemu Camelia di tempat ini. Tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan saat melihat senyum manis wanita itu.“Bagaimana kabarmu?” tanya Danar seraya memindai wajah ayu Camelia. Semenjak mengunjungi wanita itu di Singapura bersama Clay mereka belum bertemu lagi secara langsung.“Kabar baik, Kak. Maafkan aku belum sempat menyapamu.”“Tidak masalah. Ada acara apa?”Camelia memandang Maura, lalu menjawab, “Aku baru saja makan siang bersama sahabatku, Maura.”Kemudian Camelia memperkenalkan Maura pada Danar dan sebaliknya.“Kak Danar sendiri ada acara apa di sini?”“Biasa, klien. Kamu ingat Pak Indra?” Camelia mengangguk, tentu saja dia ingat. Pak Indra adalah klien yang sangat royal.“Baikl
Camelia tersenyum saat melihat nama di layar ponselnya, Maura.“Camelia, apa kabar?” Suara riang Maura terdengar dari seberang sana. Dari suaranya terdengar penuh rasa rindu membuat wajah Camelia berseri.“Maura! Lama tak jumpa. Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?” balas Camelia.Keduanya berbincang sejenak, terkadang suara tawa mengisi sela-sela obrolan itu, membawa Camelia kembali pada momen hangat bersama sahabatnya yang penuh nostalgia. Di akhir pembicaraan, Maura mengusulkan untuk bertemu di restoran favorit mereka.“Boleh, nanti aku kabari lagi, Maura.”“Ok, deh. Aku tunggu ya, semoga suami dinginmu itu tidak banyak tingkah.”Camelia terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu.Malam ini, Camelia dan Rainer menghabiskan waktu bersama di balkon kamar setelah menikmati makan malam bersama.“Apa kamu nyaman tinggal di sini?” tanya Rainer.“Tentu saja, di sini cukup ramai, aku tak perlu khawatir kesep
“Baiklah, Kek. Kalau begitu jangan menahan istriku lebih lama lagi untuk menemanimu di sini,” ucap Rainer kepada sang kakek, kemudian mengajak Camelia untuk segera meninggalkan kakek Wijaya.“Tidak denganmu, Rai. Biarkan Lia kembali ke kamar sendiri, kamu tetap di sini, ada hal yang ingin aku bicarakan.” Kakek Wijaya menahan langkah Rainer.Suami Camelia Agatha itu berdecak, namun Camelia langsung menggenggam tangannya dan mengangguk. Tidak ingin Rainer membantah perintah sang kakek.“Baiklah,” ujar Rainer dengan malas.Camelia tersenyum lalu berjalan keluar dari tempat itu, meninggalkan dua lelaki berbeda usia itu untuk saling bicara.Bayangan tubuh Rainer berjalan tegak masuk dari balik pintu besar dengan ukiran kayu mewah, seperti biasa, wajahnya terlihat datar meski tak lagi dingin seperti dulu.Setelah berbicara singkat dengan kakeknya, Rainer kembali ke kamar, setelah melihat Camelia sedang menatapnya, dia pun tersenyum, senyuman yang sudah lama tak pernah muncul, senyuman yang