Perbuatan Rainer jelas terlihat di padangan mata Agnes yang sejak tadi mengawasi mereka berdua, hati wanita itu pun merasakan sakit dan kecewa. Bagaimana bisa orang yang tidak mencintai mencium seorang wanita dengan begitu lembut?“Rainer! Kamu–.” Agnes kehabisan kata-kata, dia memilih kembali masuk ke pesta untuk menenangkan diri dari gemuruhnya api cemburu.“Camelia. Kenapa kamu selalu saja menjadi penghalang dalam hidupku?” gumam Agnes dengan menahan amarah.Rainer melepas pagutan bibirnya, napas terengah pelan, entah mengapa bibir Camelia seakan menjadi candu baginya.“Dengarkan aku Camelia, kamu tidak akan mudah lepas dariku jika alasanmu bercerai adalah untuk pria lain,” bisik Rainer.“Coba saja jika kamu bisa kabur dariku, karena kamu pasti akan memohon untuk kembali padaku.”Buugghhh. Sebuah tinju mendarat di perut Rainer. Rainer yang terkejut sontak melepaskan kunciannya. Rupanya tinju yang dilayangk
Belum sempat Camelia mendengar jawaban Rainer, dia kembali tak sadarkan diri.“Lia, hei Camelia!”“Pak Lukman, cepat!” titah Rainer dengan panik.Hanya tinggal sedikit saja hingga mereka sampai di rumah sakit, tetapi Camelia sudah tak sadarkan diri. “Lia, Camelia!”Sesampainya di rumah sakit, Lukman segera berlari meminta bantuan. Camelia segera mendapatkan penanganan.“Tuan Muda, sebaiknya Anda berganti pakaian lebih dulu, saya yang akan menunggu Nyonya Muda. Jangan sampai Anda juga sakit karena harus merawat Nyonya Muda,” ujar Lukman setengah menggoda.Rainer hanya melirik sekilas, untung saja mereka datang ke rumah sakit menggunakan mobilnya, baju ganti dan segala macam selalu tersedia di sana.Saat kembali ke IGD, Camelia telah selesai ditangani, pakaiannya pun telah diganti. Sekarang hanya tinggal mengurus untuk keperluan rawat inap. Kondisi Camelia lemah, mungkin karena trauma yang dialaminya waktu kecil.
Camelia merasakan sesak di dada, denyut jantungnya tidak stabil. Namun, di otaknya hanya ada memikirkan Rainer. Camelia memang memiliki riwayat gangguan irama jantung akibat trauma yang dideritanya, akan kambuh dan parah jika mendapat tekanan atau teringat akan traumanya.“Camelia!” Daisy dengan panik membantu menantunya untuk kembali membaringkan diri. Sedangkan Yasa menekan tombol bantuan.“Jangan pikirkan Rainer, Lia, kamu harus sembuh.”Dokter yang menangani Camelia berjalan dengan tergesa menuju ke ruang rawat inap wanita itu setelah mendapat telepon dari perawat. Tidak sengaja dokter spesialis jantung itu berpapasan dengan Rainer dan hanya menyunggingkan senyum. Rainer hanya berwajah datar.Dokter itu memerintahkan perawat untuk membawa peralatan yang akan digunakan untuk menangani Camelia. Dokter segera memeriksa kondisi Camelia, karena iramanya begitu lambat wanita itu harus mendapatkan pacu jantung.Dokter akhirnya mera
Ucapan ibunya membuat hati Rainer seperti dipelintir, perih dan sakit, tetapi tak paham apa yang menjadi penyebabnya. Harusnya Rainer senang mendengar ucapan ibunya, orang yang terus memaksa dirinya untuk tetap bersama Camelia akhirnya menyerah. Namun, lagi-lagi hatinya terusik. Apa benar perceraian adalah hal yang benar-benar dia inginkan? Suami Camelia Agatha itu memilih keluar dari ruangan tersebut untuk mencari udara segar. Daisy hanya bisa pasrah dan membiarkan anak laki-lakinya berpikir dengan baik. “Bu, Ibu yakin bicara seperti itu pada Rai? Kalau dia benar-benar menceraikan Camelia bagaimana?” tanya Clara. Daisy menghela napas berat mendengar ucapan Clara. “Apa boleh buat, Ra. Ibu lebih memilih Camelia bebas dari belenggu ini, yang penting Ibu masih bisa melihat dia. Ibu ingin melihat dia hidup bahagia dengan pilihannya sendiri tanpa campur tangan kita lagi.”
Rainer memandang wajah Agnes yang masam karena kesal. “Semua tidak akan seindah yang kamu bayangkan, Agnes. Dan aku juga memikirkan perasaanmu.”“Maksudmu?” tanya Agnes.“Seluruh anggota keluargaku sangat menyayangi Camelia, aku tidak bisa menjamin kamu akan bisa mendapatkan kasih sayang yang sama dari mereka,” jujur Rainer.“Rai, aku tidak masalah, yang penting kita bersama,” balas Agnes.“Kamu yakin?” Agnes mengangguk dengan manatap dan berkata, “Bukankah dulu kamu bilang kalau kita cukup hidup berdua saja tanpa memikirkan pandangan mereka, lalu kenapa sekarang justru kamu terlihat ragu-ragu?”Rainer menghela napas pelan, kembali menyelami sudut hatinya yang paling dalam. Namun, semakin lama masuk ke dasar hatinya kemantapan yang sudah sempat tercipta kembali menjadi sebuah keraguan.Suara dering ponsel Rainer memecahkan ketegangan yang sempat tercipta, sebuah panggilan masuk dari Levi. Tanpa ragu, pria itu
Camelia mendengkus, tetapi memilih untuk tidak memperpanjang apalagi memperdebatkan hal itu.“Tidak sampai harus dibuang, Rai. Kamu bisa menyimpannya di dalam lemari pendingin atau diberikan pada perawat yang sedang berjaga. Maafkan aku, aku memang sedang menghindari makan makanan yang mengandung kopi,” tutur Camelia dengan lembut.Wanita itu membangunkan tubuhnya dan berusaha turun dari brankar, meraih kotak tiramisu itu dari tangan Rainer.“Karena kamu sudah membelinya, sepertinya tidak masalah kalau hanya satu potong. Mau makan bersama?” tanya Camelia lalu tersenyum.Wanita itu mengambil dua piring yang tadi disiapkan oleh Rainer. Mengambil dua potong tiramisu dan meletakkan di masing-masing piring tersebut.“Ini.” Camelia memberikan satu piring untuk Rainer yang masih berdiri dalam diam menatapnya.Camelia kembali naik ke atas ranjang, lalu meraih tiramisu miliknya.“Kenapa diam saja? Duduklah! Ayo kita makan bersama
Rainer berdiri, lalu berjalan mondar-mandir, sesekali menyentuh mulutnya karena gelisah. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tak terduga? Bagaimana jika Camelia keluar dari ruang operasi dengan keadaan yang tak baik-baik saja?Rainer kembali duduk di kursi tunggu.“Ya, Tuhan, kenapa lama sekali, tolong berikan keselamatan pada Camelia,” gumam Rainer.Kedua tangan menangkup di depan wajahnya, beberapa kali menghembuskan napas berat.Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan senyum di wajahnya. Rainer sontak berdiri dan menyambut dokter itu.“Bagaimana keadaan Camelia, Dok?”“Ablasinya berjalan dengan lancar hanya saja tadi ada sedikit kendala membuat prosesnya sedikit lama. Kondisi Nyonya Camelia baik-baik saja, hanya butuh istirahat. Namun, kami harus tetap mengobservasi selama 24 jam untuk memastikan dia boleh pulang kapan,” tutur Dokter Samudra.“Terima kasih banyak, Dokter.”
Melihat reaksi kekasihnya yang begitu tenang bahkan terkesan tidak peduli padanya membuat Agnes semakin jengkel.“Kenapa cuma diam saja? Benar sekarang kamu lebih memilih wanita itu ketimbang aku? Mana janjimu, Rai, mana?” geram Agnes."Agnes, Camelia baru saja menjalani serangkaian pengobatan dan baru pulang dari rumah sakit. Dia butuh aku sekarang. Ini bukan soal memilih, tolong mengertilah," jawabnya dengan suara rendah, mencoba menenangkan situasi. Namun, Agnes tampak tidak terima."Kamu selalu saja punya alasan! Selalu Camelia! Aku nggak bisa terus-terusan seperti ini, Rainer! Kamu janji akan menyelesaikan semuanya, tapi sampai sekarang tidak ada yang berubah, malahan kamu terlihat lebih perhatian padanya akhir-akhir ini, jangan katakan kamu telah jatuh cinta padanya." Agnes melanjutkan dengan kesal, emosinya semakin memuncak.Rainer menatap Agnes dengan tatapan lelah. Dia tahu situasi ini tidak mudah untuk diatasi. Selama ini, dia terjebak a
“Kekasih yang pada akhirnya tak bisa bersatu maksudmu? Kamu tahu kenapa sampai sekarang Rainer tidak juga menceraikanku dan menikahimu?” tanya Camelia penuh intimidasi.Agnes menatap Camelia dengan kekesalan yang menggunung.“Karena sebenarnya Rainer itu mencintai dan peduli padaku lebih dari yang dia rasakan, alias dia tidak sadar,” jawab Camelia dengan percaya diri. Dia sengaja memprovokasi Agnes.“Kamu hanya istri status, tidak lebih! Aku juga tahu Rainer belum pernah menyentuhmu, jangan sombong di depanku!” balas Agnes.Camelia menyeringai lalu berjalan mendekati Agnes dan berbisik di telinganya, “Kamu tidak tahu betapa dahsyatnya Reiner di atas ranjang.”Setelah mengatakan itu Camelia berjalan menjauh dari Agnes dengan senyum penuh kemenangan telah berhasil membuat kekasih suaminya itu kesal. Meskipun semua itu hanya sebuah kebohongan untuk menjatuhkan lawan.Agnes memandang punggung Camelia yang semakin membaur diantara kerumunan. Hatinya kesal.“Kamu pikir kamu sudah menang? Ka
Rainer hanya menatap datar pada Agnes dan Camelia bergantian.“Maaf, Nona. Tapi kami tidak ingin diganggu oleh siapapun, jadi kalian bisa menggunakan meja lain, di restoran ini masih banyak yang kosong,” sahut Danar.Dia bukan hanya ingin membantu Camelia tetapi juga tidak mau ada orang lain mengganggu sarapannya bersama wanita itu.“Kenapa begitu, aku hanya ingin mengobrol dengan Camelia, kami sudah lama tidak bertemu?” balas Agnes.Tentu saja itu bukan alasan yang sebenarnya, dia hanya ingin menunjukan kepemilikan atas Rainer.“Masih bertanya kenapa? Coba kalau tukar posisi, kalau jadi kami apa Anda juga akan setuju ada orang lain bergabung?” ucap Danar lagi, nada bicara sedikit meninggi.Camelia menyentuh tangan Danar dengan lembut dan berkata, “Kakak, tenangkan dirimu. Aku juga tidak mau ada ulat bulu duduk bersama kita, nanti aku gatal-gatal.”Rainer dan Agnes menatap kesal ke arah Camelia, tetapi berbeda kondisi. R
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Camelia, nada suaranya tetap santai meski ada sedikit kekhawatiran. “Aku sudah menghubungi beberapa orang untuk menyelidiki hal ini,” jawab Rainer. "Kamu berhati-hatilah. Jangan percaya siapa pun, bahkan Danar sekalipun,” imbuh Rainer. Kata-kata terakhir Rainer membuat Camelia tersentak. “Kamu masih menuduh Kak Danar? Rai, dia orang yang bisa aku percaya, dan aku tidak melihat alasan mengapa dia akan mengkhianatiku. Aku lihat selama ini kalian juga bersaing secara adil. Kalau begitu aku juga harus berhati-hati denganmu,” balas Camelia. Rainer mendengkus pelan, kesal mendengar istrinya membela Danar mati-matian, apalagi memanggil rivalnya itu dengan sebutan “Kak” sedangkan dengannya wanita itu hanya menyebut nama. “Lia, kamu harus sadar. Dunia ini tidak sehitam dan seputih itu. Orang-orang bisa berubah menjadi abu-abu. Bahkan mereka yang terlihat pa
Camelia tak menampik ucapan suaminya, meski ucapan pria itu tak sepenuhnya benar. “Menyebalkan!” batin Camelia. Meski hati Camelia dipenuhi keraguan, ada sesuatu dalam cara Rainer berbicara yang membuatnya sedikit goyah. Mata suaminya itu, meski sering kali penuh dengan perhitungan, kali ini tampak tulus dan khawatir. "Aku tahu ini sulit untukmu," Rainer melanjutkan, suaranya lebih lembut, "tapi aku hanya ingin kamu aman. Itulah sebabnya aku memastikan malam ini, Danar tidak bisa mengganggu kita." Camelia mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?" Rainer menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, dengan santai dia menjawab, "Tidak perlu khawatir aku hanya membuatnya sedikit sibuk dengan masalah pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia terlalu sibuk sekarang untuk memikirkan kita." "Jangan macam-macam kamu, Rai!"
Waktu menunjukkan pukul 19.00, Camelia sudah bersiap di lobi hotel, mengenakan gaun yang dikirim oleh Rainer. Rainer tiba tepat waktu, seperti yang dijanjikan. Saat pintu mobilnya terbuka, senyumnya yang penuh misteri menyambut Camelia."Senang kamu datang, Sayang. Ini akan menjadi malam yang tidak akan kamu lupakan," ucap Rainer.Camelia menatapnya tanpa ekspresi, mencoba menahan kegelisahan yang semakin dalam. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Rainer?"Rainer hanya tersenyum tipis, memberikan isyarat untuk masuk ke mobil. "Hai, harusnya kamu menanyakan kabarku lebih dulu, bukan menanyakan hal lain," protes Rainer. "Jangan bermain-main, Rai--"Tanpa diduga Rainer menyandarkan kepalanya di bahu Camelia."Tolong biarkan aku seperti ini, Camelia, aku lelah. Benar-benar lelah," ucap Rainer seraya menutup matanya. Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta. Camelia membiarkan suaminya tetap p
“Halo, Sayang, sepertinya dunia ini begitu sempit sampai kita bisa duduk berdampingan seperti ini,” ucap Rainer penuh kemenangan. Tidak sulit bagi Rainer untuk melakukan hal seperti itu, dengan uang dan koneksi dia bisa melakukan yang diinginkan.Camelia mengeraskan rahang seraya menatap kesal suaminya. Dengan sekuat tenaga dia menginjak kaki Rainer dengan ujung highheel-nya. Rainer menahan sakit di punggung kakinya, lalu menatap kesal istrinya.“Menyebalkan!” gumam Camelia. Dia menyilangkan tangan di dada dan fokus ke depan.Sesi pertemuan itu dimulai dengan presentasi dari berbagai pemimpin industri. Hingga tiba perusahaan Camelia melakukan presentasi, dia berusaha untuk tetap fokus, tetapi sulit untuk mengabaikan tatapan dingin Rainer yang terus mengawasinya. Wanita itu tahu Rainer sedang merencanakan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan segalanya jika dia tidak berhati-hati.Benar saja, baru saja seles
Setelah kejadian malam itu, Camelia benar-benar mengerahkan semua pikiran dan tenaganya agar bisa memberikan yang terbaik saat pertemuan global di Singapura nanti. Dia tidak boleh kalah dari Rainer Wijaya atau semuanya akan sia-sia.“Hei, Lia, sepertinya akhir-akhir ini kamu terlalu memforsir diri,” ucap Danar lalu menghembuskan napas pelan, “apa ada yang terjadi saat makan malam beberapa hari lalu?” “Tidak ada, Kak. Aku hanya harus menang dari Rainer atau dia akan semakin menginjak-injak harga diriku,” jawab Camelia masih fokus pada layar laptopnya. “Biarpun begitu, kamu tidak boleh seperti ini, lihatlah dirimu saat ini, sudah seperti mayat hidup. Jangan sampai di hari H nanti kamu malah sakit,” tutur Danar.Camelia menghela napas kasar dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Memejamkan mata sejenak seraya mengenyahkan segala gejolak dalam hatinya.“Aku tahu kamu harus menang dan aku akan selalu di sampingmu untuk mewujudkan itu.
Kakek Wijaya tersenyum miring lalu berkata, “Baguslah, kalau kamu paham apa yang aku maksud, kamu memang pintar, Camelia.”Camelia memaksakan senyum, untuk beberapa saat suasana di antara keduanya menjadi canggung, beruntung Daisy datang menghampiri mereka.“Ayah jangan terlalu menekan Camelia, sudah lama dia tidak datang ke rumah ini jangan sampai dia benar-benar pergi,” ucap Daisy seraya menepuk pelan pundak ayah mertuanya, mengisyaratkan menenangkan urat-urat syaraf yang menegang.“Ah, sudahlah, sudahlah. Lebih baik kalian ngerumpi saja di dapur, aku ingin bersantai.” Kakek Wijaya mengusir secara halus.Daisy tersenyum lalu mengajak Camelia meninggalkan kakek tua itu sendirian.“Kamu ‘kan baru pulang kerja, lebih baik segera membersihkan diri. Ibu sudah suruh asisten untuk membersihkan kamar kalian dan menyiapkan pakaian kalian. Sudah lama tidak pernah dipakai, semuanya apek, jadi ibu sudah mencucinya.”“Aku jadi merepotkan ib
Camelia berpikir sejenak, pilihan yang sulit. Danar masih menatap Camelia, menuntut sebuah jawaban atas pertanyaannya.Dengan ekspresi sedikit tidak enak Camelia menjawab, “Kalau malam ini aku tidak bisa, Kak. Aku ada acara keluarga.”Benar, keluarga Wijaya atau keluarga Rainer bukan hanya sekedar keluarga karena pernikahan, melainkan keluarga yang telah membesarkan, mengayomi dan melindunginya sejak kecil. Mana mungkin Camelia tega menghancurkan harapan orang tua yang ingin bertemu dengan anaknya, padahal itu hanya sekedar makan malam.Danar mengernyitkan keningnya, “Keluarga?”Camelia memaksakan senyum lalu menjawab, “Ibu memintaku untuk makan malam bersama, dia sudah tahu kabar tentangku. Aku tidak bisa mengecewakan orang tua yang ingin bertemu dengan anaknya.”“Ibu?” tanya Danar semakin bingung, yang dia tahu Camelia yatim piatu, seketika dia ingat siapa yang dimaksud.“Maksudmu, Nyonya Daisy, Ibu Rainer?”