“Katakan pada Rai, aku setuju untuk bercerai darinya,” ucap Camelia dari balik telepon genggamnya.
“Tapi kenapa tiba-tiba Bu Lia ingin bercerai dari Pak Rai?” tanya Asisten Rainer yang bernama Levi seraya melirik ke arah orang yang bersangkutan. Merasa namanya disebut Rainer pun memusatkan perhatian pada Levi serta menghentikan semua aktivitasnya. “Nanti aku sendiri yang akan menjelaskan pada Rai, kamu cukup sampaikan pesan dariku.” “Baik, Bu Lia.” Camelia tak akan mundur, cukup sudah perjuangannya selama dua tahun ini untuk menarik perhatian pria yang tak pernah sama sekali peduli padanya. Semua berakhir sia-sia dan percuma karena Rainer tak pernah sedikit pun tertarik padanya, ditambah lagi baru-baru ini mantan kekasih pria itu kembali. “Lebih baik kita akhiri semua ini, Rai. Aku tak ingin hidup konyol dan menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia, mulai sekarang aku akan hidup untuk diriku sendiri, untuk kebahagiaan dan masa depanku,” monolog Camelia. Wanita cantik dengan tinggi 165 cm itu meletakkan ponsel pintarnya di atas nakas lalu berjalan menuju walk in closet, mengambil koper dan menata barang-barang yang menurutnya penting. Demi menjaga kewarasan, Camelia memilih untuk meninggalkan rumah itu. Sementara itu, di kantornya, Rainer masih menunggu penjelasan dari Levi. “Apa yang wanita itu katakan?” “Bu Lia setuju untuk bercerai dari Anda, Pak.” Rainer tampak mengerutkan keningnya, lalu melonggarkan dasi yang membuat rongga pernapasannya seperti tertekan. “Cari tahu kenapa Camelia mendadak setuju untuk bercerai denganku,” titah Rainer. “Baik, Pak.” Rainer menyandarkan tubuh tegapnya di sandaran kursi. Otaknya berpikir keras, mengapa istri yang begitu keras menolak perceraian yang sudah dia inginkan sejak satu tahun yang lalu tiba-tiba saja setuju untuk bercerai. Seharusnya Rainer senang karena keinginannya sebentar lagi akan segera tercapai, terlepas dari belenggu pernikahan yang dibuat oleh kakeknya. Pernikahan atas asas perjodohan di masa lalu, konyol. Akan tetapi, pernyataan Camelia tadi justru membuat sudut hati Rainer terusik. “Ini pasti hanya trik tarik ulur saja, kamu pikir aku akan terjebak? Kamu pasti akan merengek seperti biasanya, agar kita tidak bercerai,” monolog Rainer. Pria itu segera mengembalikan konsentrasinya untuk kembali fokus pada pekerjaan. Namun, gagal, Rainer akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah lebih awal. “Di mana wanita itu?” tanya Rainer pada Ella–asisten rumah tangga di rumahnya. “Mbak Lia ada di kamarnya, Mas.” Saat Rainer sampai di lantai dua bersamaan dengan Camelia yang sedang keluar dari kamar dengan membawa koper. Rainer memandang remeh pada Camelia. “Oh, baguslah kamu sudah pulang, Rai,” ujar Camelia dengan santai. “Levi sudah mengatakannya padamu? Itu sebabnya kamu buru-buru pulang?” tebak Camelia. “Jangan bermain-main denganku, Lia.” “Main-main? Kamu pikir aku anak kecil. Aku serius Rainer. Mari kita bercerai. Aku bebaskan kamu dari pernikahan ini, bukankah itu keinginanmu sejak setahun yang lalu? Aku kabulkan sekarang,” ujar Camelia dengan tenang. Wanita itu berjalan seraya menyeret kopernya. “Mau kemana?” tanya Rainer. Tangan pria itu reflek mencekal Camelia. “Tentu saja pergi dari rumah ini. Bukankah itu yang kamu inginkan sejak dulu? Bukankah rumah ini adalah rumah impianmu bersama kekasihmu itu,” jawab Camelia. “Kamu tidak bisa berbuat seenaknya seperti ini.” “Kenapa tidak bisa? Apa cuma kamu yang boleh berbuat seenaknya?” kesal Camelia. “Tidak semudah itu kita bercerai–” “Hah? Jangan membuat banyak alasan, Rai. Aku sudah setuju untuk bercerai, lalu apa lagi yang kamu inginkan?” Camelia menjeda kalimatnya untuk sekedar memasukkan oksigen ke rongga dada, “tidak membawa barang-barang pemberianmu? Tidak menuntut harta gono-gini? Tenang saja, aku tidak butuh semua itu.” Camelia memegang tangan Rainer dengan sebelah tangannya, perlahan melepaskan tangan itu dari tangannya, kemudian meraih koper dan berjalan meninggalkan pria itu. “Camelia!” pekik Rainer. Camelia menghentikan langkah, tetapi sama sekali tak menoleh. “Jika kamu pergi selangkah saja dari rumah ini, jangan pernah mencoba untuk kembali lagi, tak ada lagi tempat untukmu di rumah ini,” ancam Rainer. Camelia tersenyum sinis, lalu berkata, “Kamu tenang saja, tak perlu khawatir, aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di sini.” Camelia melangkah dengan pasti menuruni tangga. Rainer mengepalkan tangan, menyalurkan seluruh emosinya. “Aku tidak main-main, berhenti atau kamu tidak akan pernah bisa kembali ke rumah ini lagi.” Camelia tidak peduli, yang ada di tempurung kepalanya hanya bercerai dari Rainer dan pergi menjauh, masa depan sudah menunggunya. Di lantai bawah Ella terlihat cemas melihat kedua majikannya bertengkar, ini pertama kalinya hal itu terjadi, betapa sabarnya Camelia sebagai seorang istri. “Mbak, Mbak Lia mau ke mana?” tanya Ella. Wanita paruh baya itu melihat koper yang dibawa oleh Camelia. “Bibi, terima kasih selama ini Bibi sudah baik padaku. Aku sudah memutuskan untuk bercerai dari Rai. Jadi, aku akan pergi dari rumah ini,” jawab Camelia. “Bercerai? Mbak Lia yakin dengan keputusan itu?” tanya wanita paruh baya itu masih tak percaya. Wajar jika Ella bertanya seperti itu, dia adalah saksi hidup betapa Camelia mencintai Rainer dengan segala usahanya agar pria itu juga mencintainya. “Yakin sekali dan aku tak akan menyesali keputusanku. Aku pergi dulu ya, Bi.” Ella mengangguk pasrah. “Jangan biarkan wanita itu menginjakkan kaki di rumah ini,” titah Rainer pada Ella seraya menahan gejolak dalam dadanya. Dengan dada yang gemuruh Rainer masih menatap kepergian istrinya hingga menghilang dibalik pintu, kemudian masuk ke dalam kamar Camelia. Meski telah dua tahun menikah mereka tidur di kamar yang terpisah. Pria itu memeriksa lemari Camelia, tak banyak barang yang dibawa. Perhiasan darinya masih terletak rapi di tempatnya. Rainer tersenyum sinis, dia tahu Camelia sangat menyukai perhiasan-perhiasan yang dia berikan, tapi kenapa tidak dibawa? Tanpa sadar hal itu juga mengusik sudut hatinya. “Coba kita lihat siapa yang akan bertahan di permainan ini, Lia!” Kepercayaan diri Rainer begitu besar jika Camellia akan kembali dan memohon dengan sendirinya. Mengingat Camelia sangat menyukai dan tergila-gila hingga terus menarik perhatiannya. Rainer masuk ke dalam kamar pribadinya, di atas meja, pria itu menemukan dokumen yang pernah dia berikan pada Camelia, surat perceraian. Pria itu membuka setiap lembar dokumen, di bagian akhir sudah terdapat tanda tangan dan nama terang Camelia, tanda wanita itu setuju untuk bercerai. Dengan kesal Rainer membanting dokumen itu ke atas meja. “Apa-apaan wanita itu? Seenaknya saja berbuat sesuka hati seperti ini, dia pikir dia siapa!” kesal Rainer. Rainer mengambil ponsel pintarnya kemudian menghubungi seseorang. “Awasi dan laporkan kemana dan dengan siapa Camelia pergi,” titah Rainer lalu memutus panggilan telepon begitu saja. “Mari kita lihat, seberapa lama kamu akan bertahan dengan permainan konyolmu itu, Camelia,” monolog Rainer dengan geram.Beberapa hari tanpa Camelia di hidupnya membuat Rainer merasa ada kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang, rutinitas yang dilakukan wanita itu biasanya terasa sangat menyebalkan. Namun, mengapa sekarang dia justru merasa kehilangan? Setiap pagi Camelia akan menyiapkan pakaian yang akan digunakannya ke kantor, tapi Rainer selalu menggunakan pakaian pilihannya sendiri. Setiap pagi juga Camelia akan membuatkan sarapan meski tak pernah disentuhnya. Tak menyerah, siang hari Camelia akan mengantar makan siang ke kantornya, walau makanan itu tak pernah dia makan. Suara ketukan di pintu kantornya membuyarkan lamunan Rainer. Levi menyembulkan kepala sebelum masuk ke ruangan tersebut. “Maaf Pak, mengganggu.” “Ada apa?” “Ini, Pak, diluar ada–” Dengan tidak sabaran, Rainer memotong kalimat asisten pribadinya itu dan berkata, “Apa wanita itu datang ke sini untuk mengantar makan siang? Jika iya, suruh dia masuk.” Kemudian Rainer tersenyum penuh kemenangan. Levi terlihat tidak enak hati
Camelia bukan tak bisa mengurus sendiri perceraiannya dengan Rainer. Tentu saja dia sudah mencoba mengurusnya sendiri tapi ditolak. Pengadilan mengatakan hanya Rainer yang bisa mengurus perceraian itu, aneh bukan?Camelia tidak mengerti apa mau Rainer, dulu pria itu begitu menggebu dan memaksanya untuk segera bercerai. Sekarang disaat dirinya sudah setuju, Rainer justru menutup semua akses.“Rai, lihatlah baju mahalku jadi kotor karena ulah wanita kampungan itu,” rengek Agnes. Rainer tak peduli dengan rengekan Agnes, tak peduli dengan bajunya yang juga kotor, tak peduli dengan dokumen dan mejanya yang ikut kotor. Rainer langsung mengejar istrinya.Harga dirinya sebagai seorang pria koyak mendapatkan perlakuan seperti itu dari Camelia, lebih tepatnya Rainer syok dengan tingkah laku istrinya. Camelia seperti menjelma menjadi orang yang berbeda.“Tutup akses keluar untuk wanita itu! Jangan biarkan dia keluar dari gedung ini barang satu langkahpun dan siapkan mobilku,” titah Rainer pada
Camelia mencebikkan bibir dan melirik Rainer dengan wajah kesal lalu turun dari mobil dan menutup pintu dengan kasar.“Dasar wanita itu, sengaja ingin menghancurkan mobilku,” lirih Rainer dengan kesal lalu menutup pintu mobil. Kelakuan Camelia membuat Rainer harus menekan emosinya agar tidak terpancing.Wanita itu mengekor mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam rumah. Di dalam benaknya Camelia merasa kesal mengapa Rainer justru membawanya kembali ke rumah ini. Bukankah pria itu tidak ingin dirinya kembali ke rumah ini.Tak ingin berangsur-angsur dalam kekesalan Camelia akhirnya bertanya, “Kenapa kamu malah membawaku kembali ke rumah ini?”Rainer berhenti tanpa aba-aba, Camelia berada tepat di belakangnya pun menabrak punggung kokoh itu tanpa sempat menghindar.“Ya ampun, main berhenti saja sih,” keluh Camelia seraya mengusap-usap kening dan mundur beberapa langkah menjauh.Rainer membalikkan badan, terlihat sekali jika dia sedang menahan kesal, lalu lepaskan dasi dan membuka jasny
Sementara itu di lantai satu, Rainer masih tidak habis pikir dengan tingkah laku istrinya.“Bisa-bisanya dia berbuat sesuka hatinya seperti ini!” kesal Rainer kemudian memijat pelipisnya.“Sejak kapan wanita itu menjadi begitu pemberontak?” gumam Rainer.Semejak Rainer mengajak Camelia bercerai satu tahun yang lalu dia memang jarang pulang, biasanya dia akan pulang ke apartemen pribadinya dan hanya sesekali datang ke rumah itu. Itu sebabnya dia tidak begitu memperhatikan perubahan Camelia.Rainer menendang dan memukul ke segala arah untuk menyalurkan emosi, lalu berteriak sekuat tenaga, “Camelia Agatha!”Ella yang terusik dengan teriakan Rainer berjalan tergopoh-gopoh menghampiri pria itu.“Ada apa, Mas?”Dada bidang pria itu masih terlihat naik turun karena luapan emosi yang memuncak, sayangnya dia tidak bisa melampiaskannya pada Camelia. Pantang bagi Rainer menyakiti fisik seorang wanita.Rainer menoleh ke arah Ella dengan tatapan tajam.“Cuci pakaian ini sampai bersih!” titah Raine
Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menjawab, “Itu bukan masakan Bibi, Mbak. Tadi itu Mas Rai yang masak.”Tidak ada angin tidak ada hujan seketika Camelia terbatuk mendengar ucapan Ella.“Rai?” tanya Camelia memastikan.“Iya, Mas Rai.”“Dia bisa masak?”“Tadi rasanya enak kan? Berarti tidak diragukan lagi, Mbak,” ucap Ella dengan mantap dan mengacungkan dua ibu jarinya sambil memainkan kedua alisnya.“Kesambet kali ya?” celetuk Camelia.“Sepertinya Mas Rai mulai peduli pada Mbak Lia. Mungkin menyesal sudah cuek sama Mbak Lia selama ini.”“Aah, Bibi bisa aja ngomongnya. Sudah terlambat, Bi. Kenapa nggak dari dulu?”“Belum terlambat, kan belum ketok palu,” ucap Ella menggoda.“Bibi ini, jangan mencoba membuatku berharap pada harapan semu. Sudah ah. Aku ke kamar dulu ya.” Camelia masih menampik semua fakta itu, kemudian berlalu kembali ke kamar.“Semua belum terlambat, Mbak. Coba kembali buka hatimu,” ucap Ella setengah berteriak. Camelia hanya mengibaskan tangannya tanda tidak mau.B
Dengan tampang tidak suka wanita itu bertanya, “Siapa wanita ini?” “Oma, Tante ini yang menyelamatkanku,” jawab anak kecil itu. Carmelia menoleh ke arah wanita paruh baya itu, tersenyum kemudian mengangguk hormat. Wanita paruh baya itu memandang Camelia dengan pandangan yang sulit diartikan. Wanita paruh baya itu bergegas mencari anak dan cucunya setelah mendapat kabar tentang Clay yang hampir mengalami kecelakaan, tapi dia justru menemukan ada seorang wanita di mobil anaknya. Dari sisi yang lain Danar memberi isyarat pada ibunya jika Camelia ingin keluar, dia pun mundur beberapa langkah memberi ruang pada Camelia untuk keluar dari mobil mewah itu. Danar ikut keluar dari sisi yang lain dan mendekat ke arah dua wanita berbeda generasi itu. “Selamat siang, Nyonya,” sapa Camelia dengan santun. “Mami, dia Camelia. Wanita yang sudah menyelamatkan Clay,” terang Danar. Seketika wajah wanita paruh baya itu berubah dan menyunggingkan senyum ramah. “Terima kasih banyak sudah menyelama
“Ayolah, Rai, kamu tak perlu membuat drama suami istri. Cukup kamu tanda tangani surat pengajuan cerai itu dan mengurusnya. Maka kita tidak perlu lagi mencampuri satu sama lain.” “Kooperatiflah sedikit, Camelia. Kondisi Kakekku sedang tidak baik-baik saja, tidak mungkin kita bercerai saat kondisi Kakek seperti itu,” ucap Rainer. Benar. Kondisi Kakek Wijaya memang sedang tidak baik beberapa waktu ini, Camelia bahkan sempat mengunjunginya sehari sebelum dia memutuskan untuk bercerai dari Rainer. Camelia nampak berpikir. Melihat istrinya yang seperti sedang memikirkan sesuatu, Rainer kembali berbicara, “Kakek juga meminta kita untuk menghadiri pesta ulang tahun Tuan dan Nyonya Adiwangsa bersama. Apa kamu masih ingin menolak permintaannya?” Karena kebohongannya pada Agnes Rainer justru mendapatkan ide. Camelia sangat menyayangi dan juga patuh pada Kakeknya. Rainer akan menggunakan Kakeknya untuk mengikat Camelia. “Kemasi barang-barangmu dan kita akan kembali ke rumah,” ujar Rainer s
Rainer menarik napas pelan lalu menghembuskan perlahan, mengumpulkan serpihan-serpihan kesabaran agar tidak berhamburan hingga terjadi sebuah ledakan yang membara di dalam jiwa.Camelia melirik ke arah Rainer yang hidungnya kembang-kempis seperti orang yang sedang meniup balon.“Kenapa malah diam? Yakin kamu ingin aku yang memilihkan? Aku tidak tahu makanan kesukaanmu lho,” tanya Camelia. Gadis cantik itu sengaja memancing Rainer, ingin tahu sebesar apa harga dirinya.“Coba kita lihat, apakah gengsimu akan sebesar gunung Everest, Rai,” batin Camelia.“Tidak perlu, aku pilih sendiri saja, bisa-bisa kamu memilihkan makanan yang membuatku alergi,” ucap Rainer kemudian meraih buku menu, melihat sekilas dan menyebutkan satu per satu makanan yang dia mau.Sedangkan Camelia duduk bersandar dan menatap sinis suaminya.“Memangnya kamu saja yang bisa berbuat seenaknya? Rasakan saja pembalasanku, akan kubuat kamu melepaskanku, Rai
"Di mana Agnes?" tanya orang itu tanpa basa basi seraya mengunci tubuh Rainer di tembok.Ya, orang itu adalah Steve, kakak kandung Agnes.Rainer menyeringai."Sudah lama sekali kita tidak bertemu, dan ini caramu memberi salam? Setidaknya kamu harus menanyakan kabarku lebih dulu, bukan langsung pada intinya?" balas Rainer.Steve mendengkus kesal, sorot matamya tajam. "Jangan pura-pura. Aku sudah cukup bersabar. Setahun lebih aku mencari adikku, dan satu-satunya orang yang mungkin tahu keberadaannya adalah kamu."Rainer mengangkat bahu. "Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak tahu di mana dia."Ketegangan di wajah Steve semakin nyata. Tatapan semakin tajam, penuh amarah yang siap meledak kapan saja. "Kamu pikir aku bodoh? Agnes menghilang begitu saja setelah terakhir kali bersamamu. Kamu benar-benar ingin aku percaya ini kebetulan?"Nada bicara Steve menekan, sarat dengan tuduhan.Rainer tetap tenang.
Camelia langsung melihat ke Levi, penasaran. "Kenapa tiba-tiba ingin cuti?" tanya Camelia.Levi melirik lewat kaca spion, menyeringai. "Mau kencan, tentu saja. Usiaku sudah matang, tapi jangankan menikah, berkencan saja aku tidak punya waktu."Ekspresi Camelia menjadi bersemangat. "Serius? Akhirnya kamu punya kekasih?"Rainer terkekeh. "Kekasih? Jangankan kekasih, dekat dengan wanita saja tidak. Pasti itu hanya alasan dia saja agar bisa cuti," sahut Rainer.Levi langsung memasang ekspresi pura-pura tersinggung. "Astaga, kamu benar-benar tidak percaya padaku? Padahal, karena siapa aku tidak pernah dekat dengan wanita."Rainer melipat tangan di dada. "Jadi kamu menyalahkanku? Bukankah itu komitmen yang sudah kamu ambil ketika memutuskan menjadi orang kepercayaanku."“Ya, ya, terserah kamu saja,” balas Levi.Camelia tertawa. "Kenapa kalian malah berdebat?”Camelia mencondongkan tu
Maura dan Daniel saling pandang. Wanita itu lalu memberikan sebuah undangan bernuansa emas berkilauan di bawah cahaya lampu.Camelia membulatkan mata sempurna, mulutnya menganga karena terkejut. Lalu, mengambil benda itu dari tangan Maura. Jari-jari meraba teksturnya yang elegan, sementara matanya membaca nama-nama yang tertulis di sana.Maura & Daniel.Ekspresi wajah Camelia semakin terkejut, lalu menatap.dua insan itu bergantian.“Jangan bilang kamu masih syok?” ujar Maura tawa kecil meluncur dari bibirnya. “Aku pikir kamu sudah bisa menebaknya sejak lama. Tidak mungkin ‘kan kami pacaran selamanya, kami juga ingin merajut masa depan bersama.”Camelia menggeleng, tetapi ekspresi wajahnya masih tercengang. Dia benar-benar tidak menduga hari itu akan tiba, mengingat mereka tidak benar-benar serius membahas pernikahan selama ini. Atau bisa saja banyak hal yang dia lupakan karena memang fokusnya pada diri sendiri dan kehidupan bersama Rainer
Tanpa sadar Danar menghela napas. Pandangan matanya tertuju ke arah lain, bagian dari restoran tempatnya menikmati makan malam hari ini. Kenapa dia harus bertemu dengan Camelia malam ini? Dari sekian banyak restoran kenapa harus berada di tempat yang sama? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Danar, membentuk sebuah penyesalan akan kebetulan yang baru saja terjadi.Sosok itu masih terlihat dari kejauhan. Senyumnya, caranya berbicara, bahkan gestur kecil yang selalu begitu familiar. Camelia tetap sama, hanya saja kali ini bukan dia yang berdiri di sampingnya.Danar menyesap minumannya perlahan, membiarkan cairan dingin itu melewati tenggorokannya, berharap sensasi itu bisa meredam sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Tetapi tidak.Bukan pahit dari kopi yang tersisa di lidahnya, melainkan rasa kehilangan yang sejak tadi berusaha dia abaikan.Dia memang sudah melepaskan Camelia, tetapi bukan berarti perasaannya lenyap beg
Pelayan membungkuk sopan, memastikan setiap detail di meja sudah tertata sempurna. Rainer menyusuri area restoran dengan tatapan teliti, sesekali mengangguk puas.Camelia berdiri di sampingnya, satu tangan menyentuh perutnya dengan lembut. "Semua sudah sesuai rencana," bisiknya dengan senyum tipis.Rainer melirik ke arah istrinya, sudut bibirnya terangkat. "Tentu saja. Aku sudah pastikan semuanya sempurna untuk malam ini. Kita harus memberi mereka kejutan yang tidak terlupakan."“Ayo, kita selesaikan sebelum mereka datang.”Langkah keduanya berhenti saat mereka berpapasan dengan beberapa orang. Sosok yang familiar berdiri tidak jauh dari mereka, bersama seorang wanita paruh baya dan seorang pria yang membawa anak kecil dalam gendongannya.Senyum Sofia merekah saat bertemu pandang dengan Camelia. "Camelia! Ya ampun, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?" sapa Sofia.Wanita paruh baya itu bahkan tidak segan mend
Pintu kamar mandi bergeser dengan kasar, tangan Camelia berpegangan erat pada wastafel, sementara rasa mual kembali menghantamnya tanpa ampun. Cairan asam meluncur keluar, meninggalkan sensasi terbakar di tenggorokannya.Punggungnya terasa hangat, dibelai dengan lembut. Rainer berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh kecemasan yang sulit dia sembunyikan.“Pelan-pelan, Sayang.” Suaranya nyaris berbisik, seakan takut mengganggu momen rapuh istrinya.Camelia menghela napas panjang setelah muntahnya mereda, lalu menyandarkan tubuh pada suaminya. “Ini nikmat sekali, Rai,” kata Camelia lemah.“Tunggu di sini, aku ambilkan air minum.”Belum sempat Rainer melangkah, Camelia menahan pergelangan tangannya. “Jangan pergi, temani aku sebentar lagi.”Rainer menatap istrinya sejenak, lalu tanpa ragu duduk di kursi yang ada di kamar mandi, membiarkan Camelia bersandar padanya. Kursi itu sengaja dia letakkan semenjak Camelia
Rainer duduk di sofa dengan satu tangan menopang dagu, sementara mata tajamnya tidak lepas dari sosok Camelia yang tengah sibuk membaca buku novel romansa. Senyum di wajahnya tidak kunjung memudar, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.Camelia, yang menyadari tatapan itu pun menutup buku, lalu ikut menopang dagu dan menatap Rainer. “Kenapa dari tadi kamu melihatku seperti itu?”Rainer menggeser duduknya lebih dekat, lalu tanpa peringatan mengecup pipi istrinya. “Karena aku masih tidak percaya.”Camelia tertawa lirih. “Tidak percaya apa?” tanyanya.“Tuhan benar-benar memberiku hadiah terbaik setelah semua yang kita lalui.” Rainer mengulurkan tangannya, mengusap perut Camelia yang masih rata. “Aku tidak pernah menyangka akan sebahagia ini.”Camelia tersenyum lembut, menumpangkan tangannya di atas tangan Rainer. “Aku juga. Rasanya seperti mimpi.”Rainer tertawa pelan, lalu menarik Camelia ke dalam pelu
Beberapa hari setelah Rainer kembali ke kediaman Wijaya, mau tidak mau dia harus segera muncul ke publik. Setelah memberitahu rencananya pada Levi, hari ini dia pun datang ke perusahaan. Diajaknya Camelia turut serta, agar semua orang tahu siapa wanita itu. Wanita yang beberapa waktu terakhir menggemparkan dunia bisnis dan berita terbaru tentang hengkangnya Camelia dari Adiwangsa grup. Ya wanita itu adalah istrinya.Mobil mewah itu berhenti di depan lobby. Rainer keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk istrinya.“Silakan, Nyonya Muda,” ujar Rainer setengah bergurau.“Terima kasih, Tuan Rainer WIjaya,” balas Camelia.Mereka melangkah berdampingan memasuki lobi utama Wijaya Grup. Sontak keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Levi menyambut kedatangan mereka seperti sudah lama menunggu.Bisikan pelan berubah menjadi dengungan di antara para karyawan yang melihat sepasang suami istri itu.Tatapan me
Tak ada yang lebih sulit dari melepaskan sesuatu yang begitu erat menggenggam hati. –Danar Adiwangsa.***Danar duduk di ruang rapat yang terasa lebih luas dari biasanya. Dokumen di hadapannya sudah tertata rapi, menunggu tanda tangan terakhir. Tangannya menggenggam pena, tetapi tak kunjung bergerak. Tatapannya jatuh pada sosok di seberangnya—Camelia Agatha, wanita yang selama ini selalu berdiri sejajar dengannya dalam dunia bisnis.Camelia duduk dengan punggung tegak, ekspresinya tenang seperti biasa. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam matanya. Seolah semua ini memang sudah menjadi bagian dari rencana yang matang.“Apa keputusanmu sudah final? Kamu tidak akan menyesali keputusan ini?” tanya Danar. Berharap wanita itu akan berubah pikiran.“Aku sudah mempertimbangkan semuanya,” balas Camelia, suaranya terdengar stabil, tanpa getaran. “Setelah ini, aku ingin fokus pada diriku sendiri, aku akan menikmati hari-hariku dengan santai dan menikmati hasil investasi yang kulakukan.”Walau ya