"Uhuk..uhuk..uhuk..!"
Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras, kanker rahim stadium akhir. Nyonya Maryam, selalu bercerita tentang suaminya yang sangat ia cintai, pria tampan kaya raya yang sangat baik hati dan mencintai istrinya dengan tulus. Nyonya Maryam,sangat sedih karena tidak bisa hamil akibat penyakit yang dideritanya, padahal ia sangat ingin melahirkan anak untuk suaminya". Ibuku menghentikan ceritanya, ia menarik nafas dalam dalam dan air mukanya begitu sendu. Mata ibu berkaca kaca, terlihat sangat menyedihkan. Ibu seperti sangat menjiwai ceritanya, seakan ibu kembali berada di zaman itu. " Mengapa ibu sedih sekali?", tanyaku dengan rasa heran yang kuat. Ini hanya tentang kisah antara mantan majikan dan mantan pelayannya. Jadi menurutku tidak perlulah merasa terlalu sedih, dan terlihat lebay. "Ibu merindukan keluarga ibu, eh keluarga majikan ibu!" Mendengar jawaban ibu, aku menautkan alisku, aku semakin penasaran. "Sampa segitunya ya bu, ibu menyayangi mereka?", aku mengejar ibu dengan pertanyaanku. " Mereka orang baik Shiren! Mereka juga sangat memanusiakan ibu!" "Apakah meteka juga memberikan ibu harta yang banyak? Soalnya nenek dan kakek orang miskin. Tapi sekarang kehidupan ibukan lumayan kaya. Bahkan ayah pun sepertinya menumpang hidup pada ibu". " Shiren, tidak baik mengolok olok ayahmu!",sentak ibu terlihat marah. "Loh kan memang demikian adanya bu?", ucapku keras kepala. Ibu terdiam,lagi lagi ia menghirup oksigen dengan rakus, seolah olah ia takut tidak kebagian. " Jangan mengambil kesimpulan sesukamu seperti itu Shiren!",ucap ibu dengan tegas. Omongan ibu membuat aku tersenyum sinis, aku merasa ibuku sedang menutupi sesuatu tentang ayahku. "Begini ya bu! Aku sudah dewasa, sebentar lagi akan melanjutkan pendidikkan di universitas, jadi aku sudah bisa berpikir dan berasumsi sendiri. Kata ibu nenek dan kakek kami dari kedua belah pihak adalah orang miskin. Tapi ibu memiliki kebun sawit berhektar hektar yang ibu kelola sendiri tanpa sedikit pun dibantu ayah. Dan ayah seenaknya ikut organisasi sana sini, mencari dukungan massa, eh malah sekarang mau ikutan ajang pemilihan kepala daerah pula. Uangnya dari mana? Kalau tidak dari ibu! Dan uang ibu dari mana sehingga ibu bisa memiliki kebun sawit berhektar hektar dengan ribuan pekerja? Modalnya dari mana? Gaji ibu sebagai tki? Apa mungkin?", tanya ku dengan kritis. " Shiren..!!". Ibu membentakku dan matanya melotot lebar, tanda ia tidak suka dengan pertanyaanku. Aku sendiri pun jadi heran, mengapa pembahasan kami jadi melebar kemana mana? Padahal tadinya hanya membahas tentang masa lalu ibuku yang pernah menjadi tki dulu. Mungkin karena tadi malam aku mendengar pertengkaran ayah dan ibu. Aku marah karena sikap ayahku yang tidak tahu diri. Belagak sok.sokan ikut dalam ajang pencarian calon kepala daerah, pada hal.modalnya dari harta istrinya. "Bu, maafkan Shiren, bukan maksud Shiren untuk lancang dan ikut ikutan urusan orang tua. Tadi malam Shiren melihat dan mendengar ayah dan ibu bertengkar. Shiren tak suka ayah menekan ibu untuk menjual tanah ibu, agar ayah memiliki modal untuk kampanye. Nanti kalau kalah,nkita rugi bu! Kalau pun ayah menang, mengemblikan modalnya pastilah pakai uang abu abu bu!" "Kamu benar!", ucap ibu dengan suara lemah. Kali ini ibuku benar benar menangis. Aku jadi tidak enak hati karena sudah membuat ibuku menangis. " Maafkan aku bu! Bukan maksudku untuk menyakiti hati ibu!" Aku berdiri dan mendekati ibuku lalu memeluk leher ibuku dari belakang sambil ikutan nangis. "Hei, mengapa kalian saling bertangisan? Ha ha ha..!" Tanpa kami sadari, ternyata Lisa sudah turun dan dengan kurang ajarnya ia mentertawakan kami. Cepat cepat aku melepaskan pelukkanku, menghapus air mataku lalu menatap Lisa dengan garang. "Kalau tidak tahu ceritanya tidak usah norak begitu!", semburku marah. " Ha ha ha..ini pasti tentang ayah yang minta modal kepada ibukan? Gitu saja kok repot. Kalau keberatan meminjami ayah modal, ya tak usah dikasihlah.Semuanya kan tergantung ibu. Tanda tangan ibu sangat sakti, tanpan tanda tangan ibu ayah tak berkutik! Jangan kaget gitu! Tadi malam.aku juga mendengar pertengkaran ayah dan ibu", jawab Lisa dengan santainya. Ia mengambil nasi dan lauk.pauknya, lalu duduk di kursi dengan mengangkat satu kakinya. Dengan lahap Lisa memasukan suapan demi suapan hanya dengan tangan kanannya tanpa memakai sendok. Bocah satu ini memang tengil, suka selengekkan dan senaknya saja. Ibu melihat kepadaku karena omongan Lisa barusan. "Jadi kalian setuju ibu tidak memberikan modal untuk ayah?", tanya ibu. " Yess!", jawab Lisa sambil menekuk lengannya dan mengangkat sikunya lalu menjatuhkannya lagi. "Kalau aku ikutan ibu saja deh!", ucapku. " Dasar kau kak, tidak.punya pendirian!",olok Lisa lalu tersenyum mengejek. "Hei, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan si Dandy, anak saingan ayah itu?", tanya Lisa dengan tawa kecilnya, sangat menyebalkan. " Maksudmu apa sih?", tanyaku dengan malu, bisa dipastikan saat itu pipiku pasti sudah bersemu merah muda. "Alaaah pura pura! Bukan rahasia lagi jika sebenarnya kalian saling suka, namun cinta terganjal pilkada, ha ha ha..!" "Uhuk uhuk uhuuk!" Saking serunya Lisa mengejek dan mentertawakan aku, ia sampai tersedak. "Makanya, kalau makan, makan saja! Jangan berdebat dengan kakakmu!", kata ibu memarahi Lisa, namun tetap saja tangannya menyodorkan segelas air minum. Aku tidak bisa membantah ucapan Lisa, karena semua itu benar adanya. Aku dan Dandy, satu sekolah, hanya beda kelas walau sama sama kelas dua belas. Kami memang pernah jalan bareng, namun tak berlanjut karena ayah kami sama sama bertanding memperebutkan kursi yang sama. Dan ayah melarang keras aku dekat dekat dengan Dandy begitu juga dengan ayahnya Dandy. Sebagai kami menurut saja."Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
Mobil tuan Dhafir, berhenti di depan garasi, tidak masuk ke dalam. Sekali lagi Arumi kesulitan membuka sealt beltnya, dan sekali lagi tuan Dhafir membantunya. Sepasang mata melihat mereka dari ujung garasi mobil yang terhubung ke gudang makanan. "Dasar genit! Jalang! Murahan!", ucap mulut berbisa itu tak suka dan sorot mata sarat akan dengki. " Arumi sudah pulang belanja tuh! Ayo kita bantui menurunkan barang barang! Ntar disemprot tuan Dhafir baru tahu?" Serang rekan kerjanya mencolek perempuan dengki itu. "Sono buka matamu lebar lebar! Lihat!", bentaknya pada rekannya itu. Dari tempat mereka berdiri, tuan Dhafir terlihat seperti sedang mencium Arumi. " Sungguh tidak tahu diri! Di saat nyonya sedang sakit, bisa bisanya ia menggoda tuan!" Perempuan dengki itu ternyata bernama Surti, terus saja nyerocos persis mercon banting. "Jangan mengumpat!Jika tuan dengar, bisa habis kau!" Rekannya yang bernama Mala itu mendekati mobil, bermaksud membantu Arumi untuk membawa b
"Sah" Teriakkan bergema di ruangan yang luas ini, menandakan jika Arumi sudah menjadi istri tuan Dhafir yang sah, istri kedua dan madu untuk nyonya Maryam. Arumi menunduk, air matanya jatuh membasahi baju pengantinnya yang indah. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan, ia ingin.menikah dengan pria lajang yang ia cintai dan mencintainya. Dinikahkan oleh ayahnya sebagai wali dan ada sedikit kemeriahan perayaan pesta pernikahannya. "Arumi, mendekatlah sini!" Tuan Dhafir menepuk kasur di sebelahnya. Arumi menatap mantan majikannya itu dengan sendu. Ia tidak mungkin menolak perintah pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Penuh ragu ia mendekat, namun tidak berani merapat, ia duduk di sisi pria itu dengan memberi jarak. "Arumi, mengapa takut? Aku suamimu kini!" Tuan Dhafir menarik tubuh Arumi ke dalam pelukkannya. Arumi jadi begitu mungil saat tenggelam dalam pelukkan pria besar itu. Dengan rakus pria Arab itu menciumi wajah Arumi, menjilati bahkan menghis
Suara azan subuh menyusup ke liang pendengaran Arumi. Mula mula sangat jauh, mungkin karena lelah tubuhnya, akibat permainan panas tuan Dhafir tadi malam. Namun makin lama suara azan itu makin dekat dan.keras, memaksa Arumi membuka matanya. Tubuh Arumi benar benar remuk redam, seakan seluruh tulangnya patah patah. Dengan terseok seok, Arumi mengangkat bokongnya, menurunkan kakinya dari kasur ke lantai lalu berjalan ke kamar mandi. Saat membuka matanya, Arumi tidak.melihat keberadaan tuan Dhafir di sampingnya. Perempuan itu tidak peduli, ia cuma berpikir jika tuan Dhafir kembali ke istri pertamanya. Guyuran air yang memancar keras dari shower, membuat sekujur tubuh Arumi menjadi segar. Setelah selesai membersihkan diri, Arum.pun berwudhu untuk melakukan sholat subuh sendirian di kamarnya yang mewah. Dalam sujudnya, Arumi berlama lama, ia ingin banyak berdoa, namun tidak tahu lagu doa apa yang akan ia pinta pada Tuhannya. Kemudian Arumi berganti baju, ia ingin melayani
Arumi dengan manis melayani suaminya di meja makan di depan kakak.madunya. Tidak ada yang aneh bagi Arumi sebenarnya, ia melayani nyonya Maryam seperti biasa, namun melayani tuan Dhafir sudah seperti layaknya seorang istri.melayani suaminya. Mereka makan dengan tertib, tidak ada percakapan, masing masing larut dalam menikmati suapan demi suapan makanan mereka. Tapi nyonya Maryam terus berpikir dengan dada bergemuruh. "Harusnya aku yang melayani suamiku, bukan Arumi! Dasar penyakit sialan! Gara gara penyakit ini aku harus merelakan suamiku menikah lagi", bisik hati nyonya Maryam sarat cemburu. " Sayang!", ucap tuan Dhafir saat ia sudah selesai makan. Kedua iatrinya menoleh kepadanya, merasa dipanggil.oleh suami mereka. "Maryam..!" Ternyata sang suami memanggil istri pertamanya, aneh ada yang mencubit hati Arumi karena bukan dia yang dipanggil, sakit, tentu saja. "Minggu depan abi akan melakukan perjalanan bisnis ke Indonesia". Arumi terlonjak, jauh di dasar hatinya
Saat nyonya Maryam meratapi nasib pernikahannya, justru Arumi tengah menikmati indahnya dunia bareng suami tampan dan tajirnya. Suami pemberian dari perempuan lain yang dengan sukarela membaginya dengan Arumi. Menikmati penerbangan dari Jeddah ke Cengkareng, di kelas utama, sungguh Arumi disuguhi sebuah kemewahan yang maha dahsyat dan belum pernah ia rasakan. Tubuh mungilnya tenggelam dalam kursi mewah yang empuk dan besar, belum.lagi ia merasakan pelayanan premium yang paripurna. Belasan jam berada di atas, suami Arumi tak ingin sekalipun melepaskan pelukkannya pada istri mungilnya itu. Ruangan private, memungkinkan mereka terus memadu kasih tanpa gangguan dari siapa pun. Dan Arumi sangat bahagia, ia bahkan melupakan sepotong hati yang berdarah darah serta sedang menangisi kebahagiaan yang sedang direguk.oleh Arumi. Perjalanan belasan jam tidak membuat Arumi kelelahan hingga mereka tiba di Jakarta. Mereka istirahat dulu di hotel sebelum beranjak ke kegiatan berikutnya
Begitu menjejakkan kaki di Bandara kota tujuan, hati Arumi berbunga bunga. Ia akan segera bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah sangat dia rindukan. Cukup lama mereka berpisah, walau sering berhubungan lewat panggilan video, tetap saja rindu itu belum tuntas. Seorang pria awal.empat puluhan menyambut Arumi dan menyapa hangat perempuan cantik khas gadis Jawa itu. "Nyonya Arumi?", sapa pria itu, yang bernama pak.Sophian. " Bapak memanggil saya?", tanya Arumi kaget. "Benar Nya, saya utusan tuan Dhafir!" Arumi tak mau ambil pusing, ia percaya pada pria itu. "Dengan bapak?", tanya Arumi sambil menangkupkan telapak tangannya ke dada. " Panggil saya pak Pian! Saya yang akan melayani nyonya Arumi selama di sini!" Pria itu langsung mengambil koper Arumi dan membawanya ke mobil, Arumi hanya pasrah mengikuti langkah pak Pian menuju ke mobil. Dalam.perjalanan di dalam.mobil, ponsel Arumi bergetar, ternyata suaminya menghubunginya. Mereka berbicara dalam bahasa Arab,
Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru
Kehamilan Arumi membuat tuan Dhafir senang bukan kepalang. Hari hari yang ia lalu terasa begitu cepat karena hatinya terus gembira. Raut wajahnya juga selalu segar tidak keruh dan dingin seperti selama ini. "Wah tuan belakangan ini terlihat begitu ceria", sapa Omar, salah seorang pegawainya di kantor. Dhafir hanya terkekeh, tidak.menanggapi lebih gurauan Omar itu. Langlah kakinya yang lebar dan cepat bergerak dari lobi ke ruangannya yang kebetulan terletak di lantai satu di gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangannya, telah menumpuk tugas yang harus ia selesaikan hari ini. Pekerjaannya sebagai pemilik banyak perusahaan sangatlah padat, ia sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan kedua istrinya. Pergi pagi pagi, pulang nyaris tengah malam dengan membawa beban tubuhnya yang sangat meletihkannya. " Sayang, mengapa kamu begitu sibuk? Bukankan kau memiliki orang orang yang kau percaya yang bisa menghandel semua urusanmu?" Maryam menegur Dhafir yang baru saja masuk ke dala
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M