Share

Bab 5 Cerita tentang ibu

"Uhuk..uhuk..uhuk..!"

Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali.

"Ibu kenapa?", tanyaku cemas.

Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku.

" Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku.

"Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku.

" Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!"

Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku.

"Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu.

Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali.

Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras, kanker rahim stadium akhir.

Nyonya Maryam, selalu bercerita tentang suaminya yang sangat ia cintai, pria tampan kaya raya yang sangat baik hati dan mencintai istrinya dengan tulus.

Nyonya Maryam,sangat sedih karena tidak bisa hamil akibat penyakit yang dideritanya, padahal ia sangat ingin melahirkan anak untuk suaminya".

Ibuku menghentikan ceritanya, ia menarik nafas dalam dalam dan air mukanya begitu sendu.

Mata ibu berkaca kaca, terlihat sangat menyedihkan.

Ibu seperti sangat menjiwai ceritanya, seakan ibu kembali berada di zaman itu.

" Mengapa ibu sedih sekali?", tanyaku dengan rasa heran yang kuat.

Ini hanya tentang kisah antara mantan majikan dan mantan pelayannya. Jadi menurutku tidak perlulah merasa terlalu sedih, dan terlihat lebay.

"Ibu merindukan keluarga ibu, eh keluarga majikan ibu!"

Mendengar jawaban ibu, aku menautkan alisku, aku semakin penasaran.

"Sampa segitunya ya bu, ibu menyayangi mereka?", aku mengejar ibu dengan pertanyaanku.

" Mereka orang baik Shiren! Mereka juga sangat memanusiakan ibu!"

"Apakah meteka juga memberikan ibu harta yang banyak? Soalnya nenek dan kakek orang miskin. Tapi sekarang kehidupan ibukan lumayan kaya. Bahkan ayah pun sepertinya menumpang hidup pada ibu".

" Shiren, tidak baik mengolok olok ayahmu!",sentak ibu terlihat marah.

"Loh kan memang demikian adanya bu?", ucapku keras kepala.

Ibu terdiam,lagi lagi ia menghirup oksigen dengan rakus, seolah olah ia takut tidak kebagian.

" Jangan mengambil kesimpulan sesukamu seperti itu Shiren!",ucap ibu dengan tegas.

Omongan ibu membuat aku tersenyum sinis, aku merasa ibuku sedang menutupi sesuatu tentang ayahku.

"Begini ya bu! Aku sudah dewasa, sebentar lagi akan melanjutkan pendidikkan di universitas, jadi aku sudah bisa berpikir dan berasumsi sendiri.

Kata ibu nenek dan kakek kami dari kedua belah pihak adalah orang miskin.

Tapi ibu memiliki kebun sawit berhektar hektar yang ibu kelola sendiri tanpa sedikit pun dibantu ayah.

Dan ayah seenaknya ikut organisasi sana sini, mencari dukungan massa, eh malah sekarang mau ikutan ajang pemilihan kepala daerah pula. Uangnya dari mana? Kalau tidak dari ibu!

Dan uang ibu dari mana sehingga ibu bisa memiliki kebun sawit berhektar hektar dengan ribuan pekerja? Modalnya dari mana? Gaji ibu sebagai tki? Apa mungkin?", tanya ku dengan kritis.

" Shiren..!!".

Ibu membentakku dan matanya melotot lebar, tanda ia tidak suka dengan pertanyaanku.

Aku sendiri pun jadi heran, mengapa pembahasan kami jadi melebar kemana mana?

Padahal tadinya hanya membahas tentang masa lalu ibuku yang pernah menjadi tki dulu.

Mungkin karena tadi malam aku mendengar pertengkaran ayah dan ibu.

Aku marah karena sikap ayahku yang tidak tahu diri.

Belagak sok.sokan ikut dalam ajang pencarian calon kepala daerah, pada hal.modalnya dari harta istrinya.

"Bu, maafkan Shiren, bukan maksud Shiren untuk lancang dan ikut ikutan urusan orang tua.

Tadi malam Shiren melihat dan mendengar ayah dan ibu bertengkar.

Shiren tak suka ayah menekan ibu untuk menjual tanah ibu, agar ayah memiliki modal untuk kampanye.

Nanti kalau kalah,nkita rugi bu! Kalau pun ayah menang, mengemblikan modalnya pastilah pakai uang abu abu bu!"

"Kamu benar!", ucap ibu dengan suara lemah.

Kali ini ibuku benar benar menangis. Aku jadi tidak enak hati karena sudah membuat ibuku menangis.

" Maafkan aku bu! Bukan maksudku untuk menyakiti hati ibu!"

Aku berdiri dan mendekati ibuku lalu memeluk leher ibuku dari belakang sambil ikutan nangis.

"Hei, mengapa kalian saling bertangisan? Ha ha ha..!"

Tanpa kami sadari, ternyata Lisa sudah turun dan dengan kurang ajarnya ia mentertawakan kami.

Cepat cepat aku melepaskan pelukkanku, menghapus air mataku lalu menatap Lisa dengan garang.

"Kalau tidak tahu ceritanya tidak usah norak begitu!", semburku marah.

" Ha ha ha..ini pasti tentang ayah yang minta modal kepada ibukan? Gitu saja kok repot. Kalau keberatan meminjami ayah modal, ya tak usah dikasihlah.Semuanya kan tergantung ibu. Tanda tangan ibu sangat sakti, tanpan tanda tangan ibu ayah tak berkutik!

Jangan kaget gitu! Tadi malam.aku juga mendengar pertengkaran ayah dan ibu", jawab Lisa dengan santainya.

Ia mengambil nasi dan lauk.pauknya, lalu duduk di kursi dengan mengangkat satu kakinya. Dengan lahap Lisa memasukan suapan demi suapan hanya dengan tangan kanannya tanpa memakai sendok.

Bocah satu ini memang tengil, suka selengekkan dan senaknya saja.

Ibu melihat kepadaku karena omongan Lisa barusan.

"Jadi kalian setuju ibu tidak memberikan modal untuk ayah?", tanya ibu.

" Yess!", jawab Lisa sambil menekuk lengannya dan mengangkat sikunya lalu menjatuhkannya lagi.

"Kalau aku ikutan ibu saja deh!", ucapku.

" Dasar kau kak, tidak.punya pendirian!",olok Lisa lalu tersenyum mengejek.

"Hei, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan si Dandy, anak saingan ayah itu?", tanya Lisa dengan tawa kecilnya, sangat menyebalkan.

" Maksudmu apa sih?", tanyaku dengan malu, bisa dipastikan saat itu pipiku pasti sudah bersemu merah muda.

"Alaaah pura pura! Bukan rahasia lagi jika sebenarnya kalian saling suka, namun cinta terganjal pilkada, ha ha ha..!"

"Uhuk uhuk uhuuk!"

Saking serunya Lisa mengejek dan mentertawakan aku, ia sampai tersedak.

"Makanya, kalau makan, makan saja! Jangan berdebat dengan kakakmu!", kata ibu memarahi Lisa, namun tetap saja tangannya menyodorkan segelas air minum.

Aku tidak bisa membantah ucapan Lisa, karena semua itu benar adanya.

Aku dan Dandy, satu sekolah, hanya beda kelas walau sama sama kelas dua belas.

Kami memang pernah jalan bareng, namun tak berlanjut karena ayah kami sama sama bertanding memperebutkan kursi yang sama.

Dan ayah melarang keras aku dekat dekat dengan Dandy begitu juga dengan ayahnya Dandy.

Sebagai kami menurut saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status