"Uhuk..uhuk..uhuk..!"
Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras, kanker rahim stadium akhir. Nyonya Maryam, selalu bercerita tentang suaminya yang sangat ia cintai, pria tampan kaya raya yang sangat baik hati dan mencintai istrinya dengan tulus. Nyonya Maryam,sangat sedih karena tidak bisa hamil akibat penyakit yang dideritanya, padahal ia sangat ingin melahirkan anak untuk suaminya". Ibuku menghentikan ceritanya, ia menarik nafas dalam dalam dan air mukanya begitu sendu. Mata ibu berkaca kaca, terlihat sangat menyedihkan. Ibu seperti sangat menjiwai ceritanya, seakan ibu kembali berada di zaman itu. " Mengapa ibu sedih sekali?", tanyaku dengan rasa heran yang kuat. Ini hanya tentang kisah antara mantan majikan dan mantan pelayannya. Jadi menurutku tidak perlulah merasa terlalu sedih, dan terlihat lebay. "Ibu merindukan keluarga ibu, eh keluarga majikan ibu!" Mendengar jawaban ibu, aku menautkan alisku, aku semakin penasaran. "Sampa segitunya ya bu, ibu menyayangi mereka?", aku mengejar ibu dengan pertanyaanku. " Mereka orang baik Shiren! Mereka juga sangat memanusiakan ibu!" "Apakah meteka juga memberikan ibu harta yang banyak? Soalnya nenek dan kakek orang miskin. Tapi sekarang kehidupan ibukan lumayan kaya. Bahkan ayah pun sepertinya menumpang hidup pada ibu". " Shiren, tidak baik mengolok olok ayahmu!",sentak ibu terlihat marah. "Loh kan memang demikian adanya bu?", ucapku keras kepala. Ibu terdiam,lagi lagi ia menghirup oksigen dengan rakus, seolah olah ia takut tidak kebagian. " Jangan mengambil kesimpulan sesukamu seperti itu Shiren!",ucap ibu dengan tegas. Omongan ibu membuat aku tersenyum sinis, aku merasa ibuku sedang menutupi sesuatu tentang ayahku. "Begini ya bu! Aku sudah dewasa, sebentar lagi akan melanjutkan pendidikkan di universitas, jadi aku sudah bisa berpikir dan berasumsi sendiri. Kata ibu nenek dan kakek kami dari kedua belah pihak adalah orang miskin. Tapi ibu memiliki kebun sawit berhektar hektar yang ibu kelola sendiri tanpa sedikit pun dibantu ayah. Dan ayah seenaknya ikut organisasi sana sini, mencari dukungan massa, eh malah sekarang mau ikutan ajang pemilihan kepala daerah pula. Uangnya dari mana? Kalau tidak dari ibu! Dan uang ibu dari mana sehingga ibu bisa memiliki kebun sawit berhektar hektar dengan ribuan pekerja? Modalnya dari mana? Gaji ibu sebagai tki? Apa mungkin?", tanya ku dengan kritis. " Shiren..!!". Ibu membentakku dan matanya melotot lebar, tanda ia tidak suka dengan pertanyaanku. Aku sendiri pun jadi heran, mengapa pembahasan kami jadi melebar kemana mana? Padahal tadinya hanya membahas tentang masa lalu ibuku yang pernah menjadi tki dulu. Mungkin karena tadi malam aku mendengar pertengkaran ayah dan ibu. Aku marah karena sikap ayahku yang tidak tahu diri. Belagak sok.sokan ikut dalam ajang pencarian calon kepala daerah, pada hal.modalnya dari harta istrinya. "Bu, maafkan Shiren, bukan maksud Shiren untuk lancang dan ikut ikutan urusan orang tua. Tadi malam Shiren melihat dan mendengar ayah dan ibu bertengkar. Shiren tak suka ayah menekan ibu untuk menjual tanah ibu, agar ayah memiliki modal untuk kampanye. Nanti kalau kalah,nkita rugi bu! Kalau pun ayah menang, mengemblikan modalnya pastilah pakai uang abu abu bu!" "Kamu benar!", ucap ibu dengan suara lemah. Kali ini ibuku benar benar menangis. Aku jadi tidak enak hati karena sudah membuat ibuku menangis. " Maafkan aku bu! Bukan maksudku untuk menyakiti hati ibu!" Aku berdiri dan mendekati ibuku lalu memeluk leher ibuku dari belakang sambil ikutan nangis. "Hei, mengapa kalian saling bertangisan? Ha ha ha..!" Tanpa kami sadari, ternyata Lisa sudah turun dan dengan kurang ajarnya ia mentertawakan kami. Cepat cepat aku melepaskan pelukkanku, menghapus air mataku lalu menatap Lisa dengan garang. "Kalau tidak tahu ceritanya tidak usah norak begitu!", semburku marah. " Ha ha ha..ini pasti tentang ayah yang minta modal kepada ibukan? Gitu saja kok repot. Kalau keberatan meminjami ayah modal, ya tak usah dikasihlah.Semuanya kan tergantung ibu. Tanda tangan ibu sangat sakti, tanpan tanda tangan ibu ayah tak berkutik! Jangan kaget gitu! Tadi malam.aku juga mendengar pertengkaran ayah dan ibu", jawab Lisa dengan santainya. Ia mengambil nasi dan lauk.pauknya, lalu duduk di kursi dengan mengangkat satu kakinya. Dengan lahap Lisa memasukan suapan demi suapan hanya dengan tangan kanannya tanpa memakai sendok. Bocah satu ini memang tengil, suka selengekkan dan senaknya saja. Ibu melihat kepadaku karena omongan Lisa barusan. "Jadi kalian setuju ibu tidak memberikan modal untuk ayah?", tanya ibu. " Yess!", jawab Lisa sambil menekuk lengannya dan mengangkat sikunya lalu menjatuhkannya lagi. "Kalau aku ikutan ibu saja deh!", ucapku. " Dasar kau kak, tidak.punya pendirian!",olok Lisa lalu tersenyum mengejek. "Hei, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan si Dandy, anak saingan ayah itu?", tanya Lisa dengan tawa kecilnya, sangat menyebalkan. " Maksudmu apa sih?", tanyaku dengan malu, bisa dipastikan saat itu pipiku pasti sudah bersemu merah muda. "Alaaah pura pura! Bukan rahasia lagi jika sebenarnya kalian saling suka, namun cinta terganjal pilkada, ha ha ha..!" "Uhuk uhuk uhuuk!" Saking serunya Lisa mengejek dan mentertawakan aku, ia sampai tersedak. "Makanya, kalau makan, makan saja! Jangan berdebat dengan kakakmu!", kata ibu memarahi Lisa, namun tetap saja tangannya menyodorkan segelas air minum. Aku tidak bisa membantah ucapan Lisa, karena semua itu benar adanya. Aku dan Dandy, satu sekolah, hanya beda kelas walau sama sama kelas dua belas. Kami memang pernah jalan bareng, namun tak berlanjut karena ayah kami sama sama bertanding memperebutkan kursi yang sama. Dan ayah melarang keras aku dekat dekat dengan Dandy begitu juga dengan ayahnya Dandy. Sebagai kami menurut saja."Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki. Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rek
Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku. Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami m
"Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M
Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim