Walaupun dijodohkan, Risma bersungguh-sungguh menjalani pernikahannya dengan Riswan. Dia berusaha melayani pria itu sebaik mungkin. Namun, sudah hampir setahun ini, Riswan belum juga mau menyentuh dirinya. Risma tak tenang meskipun sang suami selalu memperlakukannya dengan baik. Berbagai macam kecurigaan timbul di hati Risma. Apakah dia kurang menarik? Adakah kisah masa lalu yang belum terselesaikan? Atau ... lelaki itu memang tidak menginginkan kehadirannya?
View MoreHappy Reading
*****
Baju tipis berbahan dasar satin warna merah menyala dikenakan. Lipstik serta make up lainnya juga sudah dibubuhkan. Sentuhan terakhir adalah menyemprotkan parfum pada titik-titik tertentu sensitifnya. Risma tersenyum menatap tampilannya kali ini.
'Aku yakin kamu akan menyentuhku malam ini, Mas. Lelaki mana yang nggak akan tergoda saat melihat perempuan memakai pakaian seperti ini. Harusnya, aku gunakan lingeri ini dari dulu.'
Sudah lebih setahun perempuan bernama Risma Oktarini menikah dengan Riswan Rahardian. Biduk rumah tangga mereka memang dibangun bukan berdasar rasa cinta selayaknya pasangan kekasih lain. Semua terjadi karena janji yang terucap oleh kedua ayah mereka.
Suara pintu kamar mandi dibuka terdengar, Risma menoleh. Ada suaminya yang menatap intens dengan bola mata terbuka sempurna. Kesempatan itu tidak dibiarkan begitu saja olehnya.
Risma berjalan dengan sangat sensual mendekati Riswan. Sengaja menyentuh pipi dengan sangat pelan. Menempelkan bibir tepat di bawah jakun sang suami, lalu mengecup singkat. Hilang sudah rasa malu sebagai perempuan. Di pikirannya saat ini, hanyalah mencari tahu posisinya di hati sang suami.
Berdesir darah Riswan mendapat perlakuan seperti itu. Namun, reaksi selanjutnya sungguh menjengkelkan bagi Risma.
"Maaf, Dik. Aku harus ke tempat Ayah hari ini. Ada hal penting yang harus dibicarakan." Riswan menggeser posisi tubuh sang istri seolah-olah dia jijik.
Pandangan perempuan itu berubah marah. "Apa aku terlalu menjijikkan untuk kau sentuh, Mas? Hingga setahun pernikahan belum juga kau tunaikan hakku. Aku capek, Mas. Setiap kali ditanya Ibu atau Ayah kapan bisa ngasih cucu." Suara Risma meninggi. Dia menghapus lipstik serta riasan wajah. Segera naik ke ranjang dan menarik selimut tebal menutupi seluruh tubuh.
"Dik, aku perlu waktu menyiapkan semua." Riswan menyentuh bahu istrinya.
"Butuh waktu berapa lama lagi, Mas? Kita sudah menikah lebih dari setahun. Apa masih kurang?" Risma bangun dan menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. "Jujur saja, Mas. Apa kamu mencintai perempuan lain? Kalau seperti itu, mengapa kamu nggak nolak perjodohan kita?"
Lelaki berumur 27 tahun itu menatap ke depan. Pandangannya kosong, entah apa yang dipikirkan.
"Mas, jawab!" Risma mulai kehilangan kesabaran. Jika selama setahun dia masih bisa menahan semua, tetapi tidak kali ini. Semua harus jelas sebelum mereka melangkah terlalu jauh dan menyakiti hati seluruh keluarga.
"Aku belum siap punya anak. Masih banyak yang mau aku raih," ucap Riswan lirih seolah ada beban yang tersimpan.
"Mas, dengar. Kita sudah memiliki segalanya untuk menjadi orang tua. Dari segi umur dan ekonomi kita mampu. Lalu, kesiapan apa lagi yang dibutuhkan? Kita tinggal berproses mewujudkan keinginan orang tua, perkara hasil biarlah Allah yang menentukan." Risma mulai kehilangan kontrol. Sedikit berteriak agar keinginannya terpenuhi.
"Aku tahu, tapi aku belum siap punya anak!" Riswan juga mulai terpancing emosi. "Sudahlah. Aku capek dengan bahasan kita yang tiap hari seperti ini."
"Kalau kamu nggak siap punya anak. Kenapa menikah, Mas?" Tangis Risma pun pecah. Tak kuat menanggung beban mental dan desakan dari keluarga. Setiap kali menyinggung masalah anak, maka Risma yang selalu terlihat bersalah.
Ya, sebagian masyarakat masih memandang jika dalam pernikahan belum juga dikarunia anak. Maka, pihak perempuanlah yang akan selalu dicurigai tentang kesuburannya. Jarang mereka berasumsi seorang lelakilah yang mengalami gangguan.
"Aku ke rumah Ayah. Nggak usah nunggu." Riswan meninggalkan istrinya yang menangis.
"Jahat kamu, Mas." Risma kembali berteriak dan melempar bantal ke arah pintu. "Sudah sepenuh hati aku menerima perjodohan ini dengan ikhlas. Melayanimu dengan segenap jiwa raga bahkan aku merelakan studiku nggak lanjut." Mengeluh sendiri dalam kamar berikuran 5x7 m, Risma menumpahkan segala kesakitan hatinya.
Cepat perempuan itu mengganti pakaian. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh, Risma segera mengenakan kerudung dan keluar dari rumah. Sampai di garasi, dia melihat mobil sang suami yang terparkir dengan rapi.
Tumben naik motor. Bukannya kamu nggak suka, ya.
Mengembuskan napas panjang, Risma urung keluar. Mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. setelah berbincang sejenak dia masuk ke kamar. Mencoba memajamkan mata walau pikirannya berkelana entah ke mana.
*****
Sampai di rumah orang tuanya, Riswan langsung masuk kamar. Sapaan sang Bunda yang menanyakan keberadaan tak digubris. Lelaki itu malah mengunci pintu kamarnya. Duduk bersandar di tepian ranjang sambil memegang kepala.
'Maafkan aku, Dik. Aku nggak bisa menyentuhmu saat ini. Aku tahu hatimu terluka, tapi aku jauh lebih terluka lagi. Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini.'
Riswan menangis dalam diam. Perlahan tetesan air dari langit terdengar menghantam genteng, lelaki itu teringat pada istrinya yang sendirian di rumah. Mengusir rasa bersalah dalm hati, dia mengirimkan chat permintaan maaf.
ketukan pintu terdengar kembali. Suara bundanya terdengar. "Ris, boleh Bunda masuk?"
Riswan yang tengah asyik dengan lamunan dan angannya tersentak kaget. Cepat dia membuka pintu setelah membereskan semua. "Bunda mau ngomong apa?" kata si putra tunggal.
Perempuan berdaster batik khas ibu-ibu rumahan, duduk di kursi depan meja rias. "Duduk!" perintahnya. Tepat di hadapan perempuan itu ada ranjang. Sekarang posisi mereka sudah berhadap-hadapan. "Mas tengkar sama Risma?"
Tergagap, Riswan menjawab, "Nggak lho, Nda. Kenapa pertanyaannya gitu amat."
Perempuan pemilik nama Rofiqoh itu mengembuskan napas. "Wajar Bunda tanya seperti itu, Mas. Nggak biasa kamu pulang ke rumah sendirian. Bunda nyapa tadi kamu langsung masuk kamar." Dia menjeda ucapan. meneliti perubahan wajah putranya. "Kalau ada masalah selesaikan berdua terlebih dahulu. Jangan meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Pertengkaran dalam rumah tangga itu adalah hal wajar."
"Nda, Mas nggak lagi tengkar sama Risma. Niat ke sini tadi mau nemui Ayah terkait ruko yang akan kita sewa di dekat pasar."
"Lalu, kenapa kamu langsung masuk kamar? Kenapa nggak nyari Ayah padahal beliau ada di ruang tengah lagi nonton berita." Rofiqoh masih terus mendesak.
"Mas cuma kangen sama kamar ini, Nda. Biarkan Mas sendiri dulu di sini. Setelah itu baru menemui Ayah."
Melihat raut permohonan putranya, Rofiqoh akhirnya luluh. Dia keluar kamar dan membiarkan Riswan sendiri. Namun, dia masih merasakan kejanggalan dari kedatangan putranya. Biarlah dia akan mencari tahu lewat sang menantu. Ada masalah apa sebenarnya.
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments