Happy Reading
*****Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima."Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima.
"Oke. Rumahnya no 25 kan?"
"Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni."
"Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka.
Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya.
Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan.
Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pagar. "Bismillah. Semoga ini yang terbaik."
"Dokter Farel ada?" tanya Riswan pada perempuan baya yang mengenakan daster batik.
"Ada. Sudah punya janji?" tanya balik si Ibu.
"Saya temannya dokter Iklima."
"Oh. Silakan masuk, Pak," pinta ibu itu yang Riswan perkirakan adalah asisten rumah tangga sang dokter. "Saya panggilkan Pak dokter dulu."
Tak lama berselang, keluarlah seorang lelaki bertebuh gempal dengan rambut bergelombang. Riswan menyipitkan mata, dia seperti mengenal. Namun, tak tahu di mana. Wajah itu tak asing rasanya.
"Lho!" kata si dokter terkejut, "bukannya kamu Riswan, putranya Om Fadil?"
Riswan menyipitkan mata, "Pak Dokter kenal dengan saya?"
Si Dokter yang bernama Farel itu merangkul Riswan ke dalam pelukannya. "Kamu lupa sama aku?"
"Eh."
"Dih, ya. Saking lamanya nggak ketemu, aku kamu lupain. Apa kabarmu, Wan?" tanya Farel tanpa menjelaskan siapa dia sebenarnya.
"Sorry, deh. Aku beneran lupa. Jadi, apa kamu salah satu temen sekolahku?"
Farel tertawa keras. "Ingatanmu payah, Wan," cibirnya, "aku itu anaknya Pak Mufid. Tetanggamu dulu sebelum bapakku pindah tugas."
Riswan menepuk kening. "Astagfirullah. Pantas wajahmu nggak asing, tapi bukannya dulu panggilanmu Malik?"
"Haist." Tangan Farel menunjuk kursi yang artinya menyuruh Riswan untuk duduk kembali. "Malik nama tengahku kalau kamu lupa."
Keduanya tertawa. Setelah sedikit bernostalgia tentang masa lalu mereka. Farel mulai menginterogasi sahabat masa kecilnya.
"So, apa yang membuatmu datang untuk berkonsultasi denganku. Apa ada masalah kesehatan denganmu?" Pertanyaan Farel mulai serius.
Menyapu pandangan ke sekeliling, Riswan terlihat ragu untuk bercerita.
*****
"Gila kamu, ya. Nggak tahu aku lagi kerja main maksa aja minta ditemeni." Zikri terengah-engah mendekati perempuan bergamis biru dongker yang tengah menikmati es krim di taman kota.
"Selow aja kali. Lagian kalau aku nggak ngancam gitu. Kamu nggak bakalan dateng. Punya temen nggak peka banget, sih."
Satu sentilan mendarat di kening Risma. "Kamu kira aku nggak punya kesibukan lain selain nemeni kegalauanmu, Ndut. Lagian hidup kok galau melulu. Ada apa, sih?"
Bagaimana nggak galau kalau status sang suami begitu bahagia bermain dengan putri dari mantannya. Padahal saat Risma meminta hak sebagai istri agar bisa memiliki momongan, Riswan malah tak memberikannya. Perempuan berjilbab itu mengembuskan napas panjang. Merogoh saku gamisnya, mengeluarkan benda pipih pintar.
"Lihat ini?" tunjuk Risma pada postingan video Riswan. "Lihat senyumnya? Segitu bahagianya dia, tapi saat bersamaku tak pernah sebahagia itu."
Zikri menikmati setiap gambar yang tersaji di video itu. "Anak siapa sih? Lucu banget tahu. Pantas senyum suamimu lebar banget. Anak itu gemesin banget."
"Anaknya emang lucu, tapi yang aneh suamiku. Katanya nggak suka anak-anak. Selalu bilang belum siap kalau udah bahas tentang anak. Aku capek, Zik. Kayaknya aku bakal gugat cerai dia." Risma berkata sangat lirih.
"Apa? Nggak salah dengar aku?" Zikri mengubah posisi duduknya. Menatap tajam pada si sahabat.
"Aku lelah menjalani pernikahan pura-pura ini."
"Ndut, kalau ngomong yang jelas, dong. Pernikahan pura-pura gimana maksudmu? Bukannya Riswan sangat baik. Ya, meskipun kadang cemburuan, tapi itu adalah bukti cintanya. Wajar, sih, menurutku."
Pandangan Risma entah ke mana. Dia memasukkan es krim ke mulut, mencoba mendinginkan hati dan pikiran. Walau bagaimanapun, tidak mungkin dia bercerita pada Zikri bahwa sampai saat ini dirinya dan Riswan belum pernah melakukan hak dan kewajiban sebagai suami istri.
"Kamu nggak akan ngerti meskipun aku jelaskan, Zik. Nyatanya, pernikahan kami itu, hanyalah untuk menyenangkan para orang tua." Hampir saja air itu meleleh di pipi. Risma mendongak dan membuang muka. "Traktir aku, dong, Zik. Lagi laper nih. Galau itu selalu membuat perutku perih."
"Huh, dasar. Ini, nih, isinya makanan melulu." Zikri menunjuk kepala Risma beberapa kali. "Jangan makan melulu, kalau badanmu tambah melar. Makin susah kamu hamilnya. Si rahim bakal ketutup lemak. Ngerti?"
"Dah kayak dokter aja, lho." Risma berdiri. Perutnya benar-benar minta diisi makanan berat. "Pelit, ya, pelit aja. Nggak usah bawa-bawa body."
"Sembarangan ngatain pelit. Gimana kalau kita taruhan. Kalau kamu bisa ngejar dan nangkap tuh burung gereja aku traktir makan sampai puas."
Risma melirik ke arah jari telunjuk Zikri. Ada burung gereja yang sedang mendarat di tanah. Sepertinya, tantangan yang sangat menarik. Si perempuan pun menganggukkan kepala. "Oke. Nggak boleh curang. Awas aja ingkar janji. Aku sunat lagi dirimu."
Risma tertawa lebar. Melupakan sebentar masalah yang tengah melandanya. Namun, semua itu berlangsung sebentar saja.
"Bagus. Lagi nggak sama suami malah ketawa lebar. Pantas aja nggak balik-balik ke rumah," kata Riswan yang tiba-tiba datang dan menghentikan perasaan gembira dua sahabat itu.
***** "Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir. "Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti." "Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat. "Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah." Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat." Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan. "Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja
"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan
Rini turun dari motor, berjalan mendekati menantunya. "Mas Riswan," panggilnya, "kalau mau bermesraan dengan perempuan lain selain istrimu sebaiknya jangan di depan rumah kayak gini. Akan banyak tetangga yang berpikir jelek nantinya."Si lelaki menoleh, tetapi masih tetap memegang tangan perempuan itu. "Ibu kapan datang?"Rini menatap tajam ke arah tangan keduanya. "Sudah dari tadi Ibu di sini. Besok sore tolong temuin Ibu sama Ayah di rumah. Jangan lupa bawa istrimu." Perempuan sepuh itu kembali ke motor setelah Riswan menyalaminya dan menyanggupi permintaan yang diucapkan tadi.Risma masih berdiri tenang di dekat gerbang. Seketika dia berpikir untuk menyiapkan segala jawaban yang akan dikeluarkan besok. Jika ibunya sudah berkata demikian, maka sesampainya di rumah pasti akan bercerita pada Lutfi.'Ya Allah. Apa Mas Riswan sudah kehilangan akal hingga membawa perempuan itu ke rumah.' Kata Risma dalam hati.Melihat motor Rini sudah melaju cukup jauh, Risma masuk tanpa peduli dengan ke
Happy Reading*****"Sayang Mas keluar, ya. Nggak usah nunggu, takutnya pulang udah larut. Mas bawa kunci serep aja." Riswan menyempatkan mencium kening istrinya, lalu pergi tanpa mengatakan ke mana tujuannya.Risma kembali fokus pada ponselnya, lalu mengetikkan beberapa kata pada kedua sahabatnya. Setelah mengirimkan pesan pada seseorang, dia berusaha memejamkan mata. Berharap semua akan baik-baik saja.*****Mentari sudah naik sepenggalah saat Risma membuka mata. Menoleh ke samping, tak ada sosok Riswan di sebelahnya. Dia berpikir mungkin suaminya menginap di tempat perempuan itu. Akhirnya dia turun dari pembaringan dan menuju dapur."Assalamualaikum. Pagi, Sayang," sapa Riswan yang sudah berkutat di dapur. "Nyenyak tidurnya? Mas tahu kamu masih halangan, makanya nggak dibangunin pas subuh tadi."Masih dengan muka berantakan, Risma tersenyum setelah menjawab salam suaminya. Sempat berpikir kalau lelaki itu tidak pulang karena sampai pukul dua dini hari, dia masih belum melihatnya ti
Happy Reading*****Hening beberapa menit hingga suara salam terdengar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Risma saat doanya dikabulkan. Dia membuang napas lega. Setidaknya dengan kedatangan seseorang yang mengucap salam tadi, ayah dan ibunya akan berhenti mengintimidasi.Namun, begitu pintu dibuka oleh ibunya, Risma mengucap istigfar. Bakalan panjang perbincangan mereka. Lutfi pasti telah mengundang sahabat karibnya yang tak lain sang mertua. Memejamkan mata sambil memijat pelipisnya, Risma berdesis."Santai, Yang. Aku yang bakal tanggung jawab kalau Ayah marah," bisik Riswan menenangkan."Aku nggak pernah lihat Ayah mertua marah, Mas. Jadi takut banget. Kenapa mesti nyari gara-gara, sih." Risma menjawab tak kalah lirih."Duduk, Dil. Kamu datang tepat waktu," kata Lutfi setelah bersalaman dengan sahabatnya."Jelaslah. Kamu tahu, aku paling anti dengan kata telat. Jadi, gimana?" tanya Fadil to the point."Gimana, Mas? Tolong kamu jawab pertanyaan ayahmu," perintah Lutfi.Kedua or
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw