"Sayang, denger dulu," pinta Riswan mengiba.Setelah mendapat telepon dari perempuam bernama Yustina, Risma meminta suaminya untuk membatalkan rencana mereka. "Aku nggak mau denger, Mas. Pokoknya kita pulang sekarang atau aku akan loncat.""Ris, jangan gitu, dong," rayu lelaki dengan tinggi 170 cm itu. "Percayalah aku cuma berusaha menghibur dia. Kita sudah berteman lama, masak iya Mas nggak peduli dengan kesedihannya. Kalau Zikri dalam keadaan seperti itu, Mas, yakin kamu juga akan berusaha menghiburnya mati-matian. Bener, kan?""Mas, cukup. Sebaiknya kamu antar aku ke rumah Ibu. Jangan samakan kasusmu dengan sahabatku, Zikri nggak akan pernah meminta hal demikian. Sekarang antar aku ke rumah Ibu," pinta Risma. Pikirannya benar-benar kacau. Tega sekali suaminya berbuat hal semacam itu."Jangan, dong. Kamu mau Mas diinterogasi kayak tadi? Jangan buat keluarga makin cemas dengan pernikahan kita. Kita pulang ke rumah aja, ya?" rayu si lelaki.Risma memutar bola mata. "Kamu yang bikin ul
Happy Reading*****Bukannya terkejut dengan pertanyaan perempuan di depannya, Iklima malah tertawa. Bocah kecil di pangkuannya sampai ikut terkikik. Tak urung membuat malu Risma."Kamu serius cemburu sama aku, Ris," tanya Iklima memastikan."Wajar nggak sih, Mbak? Secara kalian berdua itu sangat deket apalagi dulu kalian terkenal dengan couple goals." Risma menunduk, menyembunyikan rasa malu.Tawa Iklima makin keras, beberapa orang yang ada di warung sampai melirik ke arahnya. Sadar tengah diperhatikan, dia menutup mulut, malu. "Kamu tuh pasti termakan gosip di sekolah dulu.""Bukan cuma di sekolah, kan? Dulu pas kuliah walau beda fakultas, nama kalian tetap terdengar sebagai pasangan romantis di kalangan anak BEM. Mbak Iklima dengan segala kecantikan, kepintarannya dan Mas Riswan dengan sikap cool serta ketampanannya. Siapa yang nggak kenal kalian di kampus." Risma mengungkap fakta yang didengarnya selama ini."Ah, kamu. Kayak nggak tahu gosip aja. Makin digosok makin sip, kan? Nah
Happy Reading*****"Kaget, kan? Semua itu benar, Mbak. Yustina telah bercerai dengan suaminya dan kemarin lelaki itu meninggal." Risma berkata dengan tegas. Menatap lawan bicaranya agar apa yang disampaikan dipercaya."Meninggal kenapa?" Oleh karena Dara menangis, Iklima tak menghiraukan perkataan Risma lagi. Fokusnya berpindah pada sang putri. Ternyata gadis kecil itu, bajunya terjepit kayu bangku sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.Tingkah lucu si bocah membuat Risma tersenyum. Membayangkan jika kelak dia memiliki seorang putri. Namun, ketika teringat akan perlakuan Riswan, dia menjadi sedih."Ris, gimana kalau kita lanjut ngobrol di rumahku saja. Biar lebih leluasa. Dara sudah kelihatan bosen kalau di suruh duduk terus," saran Iklima."Apa nggak masalah, Mbak?""Nggaklah. Aku hari ini dinas malam, jadi siang sampai sore free. Tadi tuh baru aja pulang. Makanya ngajak ketemuan sesuai permintaanmu tempo hari." Wajah Iklima tampak berbinar."Oke kalau gitu. Mbak, ke sini tadi nai
Happy Reading*****"Aku nggak melindungi kesalahan Riswan, Ris. Percaya sama suamimu. Bukankah itu kunci langgengnya suatu pernikahan?" Iklima benar-benar tidak mampu untuk mengatakan yang sejujurnya. Selisih beberapa rumah dari kediamannya, berarti tempat tinggal Farel.Perempuan itu tahu apa yang dilakukan Riswan di sana. Namun, Iklima tidak bisa menceritakan hal itu karena janji yang sudah terucap pada sahabatnya. Dia sendiri belum tahu pasti untuk apa lelaki itu berkonsultasi kesehatan, sedangkan keadaannya terlihat baik-baik saja. Riswan pernah memintanya untuk berjanji agar tak mengatakan pada siapa pun, termasuk Risma, istrinya."Rasanya aku nggak percaya, Mbak. Secara dia deket banget sama kamu bahkan melebihi kedekatan denganku sebagai istrinya.""Gini aja, deh. Kamu fokus sama rumah tangga kalian dan mendapatkan momongan karena aku sering dengar Tante Rini pengen banget punya cucu. Kayak waktu itu, beliau sempat meminta vitamin untuk kesuburan kalian." Iklima menutup mulut
Happy Reading***** Risma sengaja tak memanggil suaminya. Dia masih ingin mendengar percakapan Riswan lebih lanjut. Anehnya, lelaki itu tak menyadari kehadirannya. Mungkin saking asyiknya ngobrol dengan orang yang menelepon. Sedikit kesal menunggu, Risma berdeham keras yang membuat suaminya langsung mematikan sambungan telepon. Makin curiga saja si istri jika seperti itu. Aneh, Riswan tak berusaha menjelaskan apa pun. Malah mengajak Risma untuk segera makan. "Mas telponan sama siapa tadi?" tanya Risma. Tangannya sibuk mengisi piring dengan makanan baik untuk dirinya sendiri maupun sang suami. "Telpon tadi?" Lelaki di sebelahnya malah balik bertanya. "Iya. Kapan lagi, sih. Emang ada berapa orang yang telpon tadi." Sengaja, Risma melempar pertanyaan lagi. "Satu aja. Kamu mau tau apa mau tahu banget." Riswan malah melempar candaan. Belum tahu saja kalau seorang perempuan sedang kesal dan cemburu. Dia seperti sengaja membangunkan macan betina. "Terserahmu, Mas. Palingan juga kamu j
Happy Reading*****'Ya Allah, Mas. Kenapa begitu banyak perempuan di sekelilingmu?' Ucap Risma dalam hati.Dia masih mengamati dua orang berbeda jenis itu. Melihat bagaimana cara sang suami memperlakukan seorang wanita yang sangat jauh berbeda dengan perlakuannya pada Risma. Saling mencium pipi kanan-kiri layaknya dua pasang insan yang mengenal dekat satu sama lain.Risma menangis dalam hati. Berapa banyak lagi, kecewa dan rasa sedih yang harus diterima dari perbuatan Riswan yang seperti itu. Tak terasa air mata Risma mengalir deras. Semakin lama berada di taman uni tentu akan membuatnya semakin terluka."Pak tolong antar saya pulang sekarang," kata Risma ketika sudah berada dekat dengan tukang ojek yang dia sewa tadi."Mbak nggak papa, kan? Kok, nangis?" tanya si Mas ojek. Bukan ranahnya untuk menanyakan hal pribadi pada penumpang yang menyewa. Namun, rasa empatinya mengalahkan etika itu."Saya nggak papa, Pak. Tolong antar saya sekarang." Risma naik di belakang si Mas ojek.Sedikit
Happy Reading*****Lelah memikirkan siapa perempuan yang ditemui Riswan di taman kota tadi. Indera penglihatan Risma mulai meredup dan perlahan menutup sempurna.Sebuah pergerakan di atas ranjang berpegas menggangu tidur Risma. Bola matanya bergerak-gerak masih susah untuk di buka. Mencoba membuka mata, di sampingnya sudah ada Riswan.Risma sengaja mengerjap-ngerjapkan mata. Mencoba peruntungan dan berharap suaminya akan menjelaskan tentang pertemuannya tadi dengan perempuan lain di taman kota. Sampai beberapa menit, tidak ada tanda-tanda pertanyaan atau perkataan dari lelaki di sebelahnya. Malah terdengar dengkuran halus beberapa saat kemudian.Risma menaikkan tubuh dengan hati-hati. Setengah duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Melirik jam, ternyata sudah pukul dua dini hari. Tanpa sengaja, Risma menyenggol kepala Riswan. "Kok aneh? Apa Mas Riswan habis keramas? Jam segini rambutnya basah. Apa yang telah dia lakukan dengan perempuan tadi? Astagfirullah. Semoga pikiranku salah."
Happy reading*****Perempuan berjilbab pasmina itu segera menghampiri Riswan. Membuat hati Risma makin cemburu."Awas aja sampai ada adegan peluk-peluk kayak sama Yustina. Bakalan minggat aku," bisik Risma."Hust," bentak Riswan lirih. Lalu, dia membalas senyuman sang perempuan. "Sudah lama nunggu? Sorry, ya, telat.""Belum lima menit," jelas perempuan itu, "Istrimu, ya?"Riswan memberi isyarat berupa anggukan. "Sayang, kenalkan. Salah satu sahabat kecilku yang akan menjadi pemodal untuk usaha warung sate kita. Namanya, Fatiya.""Assalamualaikum. Aku Fatiya, salam kenal," kata si perempuan mengulurkan tangan pada Risma."Risma," jawab perempuan istri dari Riswan."Kenapa semalam nggak ikut ketemuan padahal aku sama suami dan anak-anak?" Fatiya terlihat begitu ramah dan cepat akrab sekalipun baru bertemu dengan Risma.'Apa bawa suami sama anak? Kok aku nggak tahu, sih. Apa memang aku ini terlalu suuzon sama Mas Riswan hingga semua kebaikannya tak terlihat sama sekali? Apa jangan-janga
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw