Happy Reading***** Risma berlari sekuat tenaga. Melewati sahabat suaminya yang berteriak memanggil namanya. Menjauh sejauh-jauhnya dari warung. Bukan terkejut melihat wajah perempuan tadi, tetapi mengapa dua orang berlainan jenis itu harus melakukan panggilan video seintim itu. Pakaian Yustina sungguh sangat minim dan mengapa Riswan tidak merasa risih saat melihatnya. Sementara ketika Risma yang memakai pakaian seperti itu, sang lelaki malah memalingkan wajah. Apakah Riswan memang mencintai Yustina? Terus berjalan sambil memikirkan suaminya. Risma sampai di depan rumah sang mertua. Ternyata terlampau jauh dia berlari tadi. Jarak yang biasa ditempuh dengan motor kurang lebih 5 menit bisa dicapai dengan berlari. "Lho, Ris. Kenapa berdiri di sana?" tanya Rofikoh. Perempuan sepuh itu baru saja membuang sampah dan melihat menantunya terengah-engah sambil memegangi lutut berdiri di depan pagar. Risma sedikit terkejut. Memutar otak dengan cepat, lalu menjawab pertanyaan bundanya. "Tadi
Happy Reading***** Jempol Risma cepat membuka aplikasi ojek online. Sebelum mertuanya mengetahui air mata yang mengalir tanpa diperintah, dia berniat pulang ke rumahnya sendiri. Pantas Riswan tak mengejarnya tadi. Ternyata itulah alasannya. Siapakah gerangan perempuan yang sedang hamil dan dibelikan susu olehnya. "Ris, kayaknya kue kita udah mateng, deh," kata Rofikoh yang baru keluar dari kamar. Wajahnya terlihat segar dan berseri. Jauh berbeda dengan menantunya. "Bun, Risma mau pulang. Tadi Mas Riswan telpon mau ngajak keluar dan aku disuruh siap-siap." Perempuan berbaju daster batik itu menautkan alis. "Kenapa masmu nggak jemput aja ke sini? Jarak rumah kalian sama rumah bunda lebih deket dari warung, kan?" "Mas Riswan masih sama temennya yang bakalan gabung dalam waralaba kita," alibi Risma. Jangan tanyakan betapa gugupnya dia. Demi menutupi semua kesedihannya, perempuan itu terpaksa berbohong pada sang mertua. "Dasar Riswan, selalu saja aneh kemauannya." Rofikoh kecewa, te
Happy Reading*****"Ris, apa kamu masih di sana? Kenapa diem? Aku ke rumahmu sekarang, ya? Nggak tega, deh, lihat kamu terus dizolimi sama Mas Riswan. Eh, kelihatannya aja pendiem, tapi kok kelakuan kayak gitu, sih. Makin sebel sama suamimu itu." Suara Intan sarat kejengkelan. Sekalipun tak sekeras tadi, tetapi sesekali isakannya masih terdengar oleh Risma."Iya. Aku masih di sini. Kamu tenang aja, deh. Aku baik-baik saja. Nggak perlu kamu ke rumahku. Ini udah sore banget. Kata orang tua jaman dulu. Perempuan hamil dilarang keluar pas waktu pergantian hari apalagi mau magrib kayak gini," alibi Risma.Perempuan itu perlu waktu untuk menenangkan diri. Menyiapkan mental menghadapi suaminya ketika pulang nanti. Memainkan peran sebagai istri yang baik. Tidak akan bertanya apa pun atau berniat mengkonfirmasi semua yang dilakukan Riswan hari ini.Jika memang ada itikad baik dari Riswan, maka Risma sudah siap dengan segala kabar buruk itu. Perempuan itu turun dari pembaringannya, melangkah k
Happy Reading*****Semalaman Risma tak dapat memejamkan mata. Setelah tragedi di meja makan yang membuatnya begitu marah pada Riswan, lelaki itu malah tidak tidur di kamar mereka. Satu masalah belum mampu diselesaikan, si lelaki malah menambah masalah lagi dengan membiarkan istrinya bertanya-tanya. Namun begitu, Risma tetap melaksanakan semua tugasnya sebagai seorang istri.Selesai salat subuh, Risma memasak untuk sarapan. Mencuci baju dan segala pekerjaan lainnya sebagai ibu rumah tangga biasa. Dia sendiri tak berniat sama sekali mencari keberadaan suaminya. Pukul enam pagi semua pekerjaan Risma beres. Tinggal mengepel dan menyapu halaman depan. Setelah itu, dia free sampai nanti jam makan siang.Pagi ini, Risma bertekat mewujudkan keinginannya untuk bekerja. Semalam sudah sempat menguhubungi beberapa teman kuliah. Bertanya apakah ada lowongan di kantor mereka.Risma melirik kamar di sebelah ruang tamu yang biasa digunakan Riswan untuk bekerja. Terkadang lelaki itupun tidur di sana.
Happy Reading*****"Maksud dokter apa, ya?" Tak kuat menyembunyikan rasa penasaran, Risma melontarkan pertanyaan itu."Boleh duduk di sini?" tanya Farel menunjuk kursi kosong di sebelah Risma. "Beberapa waktu lalu, suamimu sempat berkonsultasi agar cepat mendapat momongan. Kayaknya berhasil, nih. Buktinya kamu sekarang lagi kontrol ke dokter kandungan."Risma tersenyum miris, antara bahagia dan juga sedih. Bahagia karena sang suami juga tengah berusaha mewujudkan keinginannya dan juga harapan para orang tua. Sedih, karena sampai saat ini sikap Riswan belum berubah. Haruskah dia menceritakan yang sebenarnya?"Lah, malah ngelamun? Jadi, sudah berapa bulan nih kandungannya?" Sang dokter sampai memiringkan kepala agar pertanyaannya tak diabaikan."Alhamdulillah belum, Dok. Ke sini cuma nganter temen, kebetulan suaminya lagi sibuk kerja, jadi nggak ada yang nemeni."Ada ekspresi aneh dari wajah Farel yang ditangkap indera Risma. Belum bisa diartikan antara terkejut atau kecewa. Risma memb
Happy Reading*****"Duduk, dulu. Nggak perlu kaget gitu. Nggak nyangka kamu yang melamar kerja jadi admin. Apa Riswan mengijinkanmu kerja?" tanya lelaki yang kini duduk di depan Risma. Ya, dia adalah Farel. Seorang dokter yang bersahabat dengan Riswan."Dunia ini sempit sekali ternyata. Tadi di rumah sakit ketemu. Eh, sekarang ketemu lagi." Untuk menetralisir rasa terkejutnya, Risma sedikit memberikan gurauan. "Saya sudah ijin suami, kok, Dok. Jadi, nggak perlu kuatir bakalan dimarah sama Mas Riswan.""Oke. Kalau gitu, besok kamu boleh langsung kerja. Masalah sif, nanti diatur bergantian sama Septi. Selamat bergabung, semoga betah kerja di klinik kecil ini." Farel mengulurkan tangan hendak menjabat, tetapi Risma malah menangkupkan kedua tangan."Saya permisi, Dok." Tak ingin berlama-lama berada di ruangan Farel, Risma berpamitan.Dokter muda itu tersenyum penuh arti. Berkata dalam hati, 'gila kamu, Wan. Ngebiarin perempuan sebaik Risma sampai setahun. Aku tikung baru tahu rasa, kamu.
Happy Reading*****"Siapa yang kamu maksud dokter Farel? Apa doktet Farel Hardiyan, sahabatku yang waktu itu datang di pembukaan warung sate?" Suara Riswan terdengar mengintimidasi."Iya. Kenapa memangnya, Mas? Bukannya lebih baik bekerja pada atasan yang sudah mengenal latar belakang kita?" Risma sudah menyelesaikan acara cuci cangkir dan peralatan lainnya. "Aku mau salat dulu udah azan magrib."Risma meninggalkan suaminya yang berdiri di dekat wastafel. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu. Dia sudah tak mau ambil pusing.*****Mengawali hari penuh semangat. Risma sudah bersiap berangkat kerja setelah menyelesaikan semua urusan rumah tangganya. Janjinya semalam pada sang suami tak akan mengabaikan kewajiban sebagai istri telah dijalankan dengan baik.Risma tetap melayani segala kebutuhan Riswan. Tak kurang sedikit pun meski harus bangun lebih pagi menyiapkan semuanya."Mas antar kamu kerja sekalian pengen tahu kamu beneran kerja di klinik Farel atau tidak." Tatapan mata Risw
Happy Reading*****Setelah menutup percakapan dengan Risma. Riswan segera menghubungi sahabatnya. Begitu panggilannya terangkat, suami Risma itu langsung berkata dengan suara keras. "Ngapain kamu beliin makan siang istriku? Nggak usah sok perhatian sama Risma. Aku emang ngasih ijin dia kerja, tapi bukan berarti ngasih kebebasan buat lelaki lain deket-deket."Masih di ruangannya, Farel menahan tawa. Apa-apaan sahabatnya itu. Belum juga dia ngasih perhatian lebih sama Risma. Riswan sudah kebakaran jenggot karena cemburu. "Salah sendiri kenapa istri secantik dan sebaik Risma dianggurin gitu aja. Jiwa jombloku tergerak deketin jadinya," jawabnya enteng. Si dokter yakin bahwa di seberang sana, Riswan mengumpat dan semakin kesal. "Aku pernah ngomong, kalau emang nggak bisa ngasih jatah batin sama istrimu. Aku bersedia kok membantu.""Sialan. Bisa nggak mulutmu ngomong yang baik-baik aja. Temen macam apa kamu itu?" Suara Riswan terdengar makin keras dan sukses membuat Farel terpingkal-pingk
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw