Happy Reading*****Setelah menutup percakapan dengan Risma. Riswan segera menghubungi sahabatnya. Begitu panggilannya terangkat, suami Risma itu langsung berkata dengan suara keras. "Ngapain kamu beliin makan siang istriku? Nggak usah sok perhatian sama Risma. Aku emang ngasih ijin dia kerja, tapi bukan berarti ngasih kebebasan buat lelaki lain deket-deket."Masih di ruangannya, Farel menahan tawa. Apa-apaan sahabatnya itu. Belum juga dia ngasih perhatian lebih sama Risma. Riswan sudah kebakaran jenggot karena cemburu. "Salah sendiri kenapa istri secantik dan sebaik Risma dianggurin gitu aja. Jiwa jombloku tergerak deketin jadinya," jawabnya enteng. Si dokter yakin bahwa di seberang sana, Riswan mengumpat dan semakin kesal. "Aku pernah ngomong, kalau emang nggak bisa ngasih jatah batin sama istrimu. Aku bersedia kok membantu.""Sialan. Bisa nggak mulutmu ngomong yang baik-baik aja. Temen macam apa kamu itu?" Suara Riswan terdengar makin keras dan sukses membuat Farel terpingkal-pingk
Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Risma langsung masuk kamar. Segala macam omongan dan alibi yang dikeluarkan suaminya tak digubris. Alasan sama yang akan selalu diberikan Riswan, sebatas teman, rasa kemanusiaan dan tidak enak hati.Terus saja begitu. Apa jika nanti Yustina atau perempuan lain meminta Riswan untuk menikahi mereka dia akan berdalih seperti itu juga? Entahlah, mungkin lingkar pergaulan Riswan hanya ada perempuan saja.Risma teringat kembali pada si dokter. Apa kabar luka yang diterimanya karena pukulan Riswan? Perempuan itu mengeluarkan ponsel. Memainkan jemarinya mengetikkan chat.[Gimana keadaannya, Dok? Maafkan Mas Riswan, ya. Dia pasti nggak berniat nyakiti Dokter.] tulis Risma.Bukannya menjawab chat yang dikirimkan Risma. Farel malah terlihat melakukan panggilan video. Jantung Risma berpacu, antara ingin mengetahui keadaan sang dokter dengan ketakutan akan kemarahan Riswan jika sampai tahu."Sayang, Mas sudah siapin makan. Cepetan ke sini!" Suara Riswan te
Happy Reading*****Tak terasa sudah seminggu Risma bekerja. Kedekatannya dengan Farel pun makin membuat Riswan kebakaran jenggot. Padahal yang mereka lakukan hanya sebatas dekat karena urusan pekerjaan. Hal yang paling membuat Riswan murka adalah ketika Farel mengantar pulang Risma dengan alasan ban motor si istri bocor.Setiap hari saat akan berangkat selalu diwarnai cekcok dan adu mulut dengan suaminya. Sikap Riswan makin posesif saja setelah kejadian Risma diantar pulang oleh sahabatnya. Perempuan itu dilarang membawa kendaraan sendiri. Pulang pergi selalu dijemput. Sampai urusan makan siang saja, Riswan rela mengantarkannya sendiri."Asyik, nih. Udah kayak perangko aja si Riswan. Nempel terus!" goda Farel ketika melihat Risma makan dengan bekal yang baru saja diantar oleh suaminya.Risma mengunyah makanannya sebentar dan menelannya. Setelah itu baru mengeluarkan suara. "Ish, Pak Dokter. Ngagetin aja, deh. Udah makan, Dok?"Farel tertawa lebar. Sedikit jahil, mencomot nuget di had
Happy Reading*****"Kok diem, Ma?""Apaan, sih. Aku pulang dulu, ya. Dara ngantuk kayaknya." Pipi Iklima memanas."Aku antar, ya.""Nggak ... nggak," ucap perempuan satu anak itu, "rumahku lho nggak jauh dari sini. Aneh aja kalau dianter apalagi sama lelaki. Akan timbul fitnah nantinya.""Ya sudah kalau nggak mau. Aku ke klinik saja." Farel menyerahkan Dara pada Iklima. Ibu satu anak itu sedikit terkejut, pasalnya walau klinik itu milik keluarga si lelaki, mengapa di hari libur juga tetap bekerja.Sambil berjalan pulang, Iklima berpikir tetang perkataan Farel tadi. Sebuah kisah masa lalu yang sudah dilupakan oleh Iklima. Ya, Farel memang pernah menyatakan rasa cintanya dulu. Namun, usia mereka baru belasan tahun saat itu dan Iklima tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan pacaran seperti teman-temannya yang lain. Oleh karenanya dia menolak ajakan Farel dan pernyataan cintanya. Iklima berpikir cinta itu, hanya cinta monyet yang mampir sebentar. Ternyata sekarang, si lelaki malah
Happy Reading*****"Diammu adalah jawaban iya. Tega kamu mengkhianati Risma, Wan." Iklima mengangkat putrinya dari kereta dorong. Dara terbangun ketika mendengar suara keras bundanya baru saja. "Laki-laki macam apa kamu? Bersedia menikah dengan perempuan pilihan orang tua, tetapi hatimu nggak sepenuhnya menerima. Kamu sama saja mempermainkan pernikahan.""Jangan berasumsi sendiri, Ma. Aku nggak pernah mencintai Yustina. Walaupun dulu, aku sempat ingin menerima cintanya. Semua itu aku lakukan karena kasihan melihat dia diejek teman-temannya karena cinta bertepuk sebelah tangan." Riswan diam kembali. Apa yang dilakukannya dulu memang murni karena kasihan.Namun, tak menyangka jika kelakuan Yustina sungguh menjijikkan. Riswan bergedik ngeri kala mengingat video itu. Bagaimana si lelaki dengan mudahnya menjamah setiap bagian tubuh kekasihnya. Lalu, Riswan teringat saat Yustina melakukan panggilan video di warung. Bagaimana dengan mudahnya perempuan itu mempertontonkan kemolekan tubuhnya
Happy Reading*****"Ris, kenapa diem?" tanya Zikri."Gimana aku jelasinnya, ya." Risma mulai berpikir keras. "Gini, lho, Zik. Aku sama Mas Riswan kan belum dikaruniai momongan. Jadi buat ngusir rasa jenuh, aku nyari kesibukan dengan bekerja." Akhirnya alasan itu yang terlontar.Namun, Risma tetap ketar-ketir jika Zikri akan menceritakan masalah ini pada orang tuanya. Terus terang walau sudah menjadi sarjana ekonomi, perempuan itu tidak diperkenankan bekerja. Kalaupun harus bekerja, Risma bisa mengelola usaha ayahnya sendiri.Rini sering berkata bahwa bekerja di suatu perusahaan atau instansi tetap membawa beban tersendiri. Risma tak akan kuat menanggungnya. Oleh karena itu juga menjadi sebab alasan orang tuanya lebih menyukai usaha sendiri walau kecil-kecilan.Zikri menatap sahabatnya, mengembuskan napas panjang. "Bukannya dengan bekerja kamu akan lebih lama dapat momongan. Beban pekerjaan dan capek yang diakibatkan akan membuatmu nggak maksimal melayani suamimu," nasihat bapak satu
Happy Reading*****"Mas kamu baik-baik saja, kan?" tanya Risma. Tak tahan melihat tingkah laku suaminya yang terbilang di luar kebiasaan."Sangat baik, Sayang." Tak disangka-sangka, Riswan menangkupkan tangannya di atas tangan Risma. Menelusupkan jemarinya, tersenyum begitu manis dan mengecup tangan itu sepenuh perasaan.Risma diam mematung. Bukannya bahagia, dia malah bingung. Menatap ke arah Farel, memainkan dagu dan mata. Seolah perempuan itu bertanya pada sang dokter, ada apa sebenarnya dengan suaminya.Farel mengedikkan bahu dan tersenyum. Lalu, berdeham keras. "Bisa kali, mesra-mesraannya di rumah atau di kamar saja. Ada jomblo lho di sini.""Makanya nikah," seloroh Riswan tak terima, "aku percaya kalian berdua nggak akan mengkhianatiku, jadi mulai sekarang aku nggak akan marah atau cemburu lagi.""Benarkah itu? Gimana kalau Risma malah memilihku karena kamu nggak kunjung memberikan hak sebagai istri sepenuhnya?" Farel menatap Risma. Perempuan itu sudah melotot terlebih dahulu.
Happy Reading*****Meluapkan emosi dan juga kesedihannya, menangis adalah salah satu cara Risma. Perempuan itu menelungkup di ranjang kamar dengan menggunakan daster batik. Baju baru itu sudah dia singkirkan ke dalam koper bersama tumpukan pakaian yang telah digunakan untuk menggoda suaminya, tetapi tidak berhasil. Biarlah semua pakaian itu menjadi saksi betapa selama ini usaha Risma selalu gagal. Bukan dia yang memiliki masalah, tetapi suaminya. Bahkan kejadian tadi sungguh sangat menyakiti harga diri sebagai istri. Riswan yang memintanya sendiri untuk berpakaian menarik, serta berdandan dan mendatanginya, tetapi mengapa lelaki itu juga yang menolak. Risma manatap tampilannya pada cermin. Sedikit mendongakkan kepala. Harus dengan cara apalagi dia mendekati suaminya. Apakah tampilannya benar-benar menjijikkan. "Aku nggak mungkin seperti ini terus. Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Mas Riswan." Risma bangkit dari pembaringan. Walau indera penglihatannya terasa bengk
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw