Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah.
Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditimbulkan juga makin kuat. Blaamm! Grubragh..! Pintu yang garasi dibanting dengan kuar, lalu terdengar pula pintu lain yang ditutup dengan kasar. Aku keluar kamar,bermaksud ingin menyapa ayah dan ibuku. Namun aku menghentikan langkaku di mulut tangga dan cepat cepat berlindung di balik pilar. Aku mendengar ayah ibuku bertengkar dengan hebatnya. "Tidak bisa rupanya kau gadaikan tanah warisamu itu?", tanya ayahku dengan suara melingking. " Makanya jika tak punya modal besar tidak usah ikut ikutan pemilihan itu! Aku tidak berani spekulasi! Iya kalau menang? Kalau kalah? Bisa habis tanah warisanku itu!",pekik ibu tidak mau kalah. Di balik pilar, aku menangis mendengar pertengkaran kedua orang tuaku itu. Aku lebih setuju pendapat ibu, karena menurutku itu lebih masuk akal. "Kalau begitu, jual perhiasanmu hasil kau membabu di Arab itu!", teriak ayah lagi. Wah ayahku ternyata payah, ia telah menghina pekerjaan ibuku di masa lalu. " Tidak bisa! Itu untuk Shiren dan Lisa nanti!",ucap ibuku membantah suaminya. "Kan bisa diganti jika aku sudah duduk!", cicit ayahku mulai melunak. " Tidaaakk! Jika pun kau menang, uangmu pasti uang haram! Aku tak mau!" Mendengar jawaban ibuku, aku tersenyum, aku lebih setuju dengan ucapan ibuku yang masih berdiri di koridor agamanya. "Dasar istri sialan! Bukannya patuh dan mendukung suaminya,malah dari tadi melawan terus!Atau apa perlu aku menggamparmu?" Kalimat kasar dan penuh ancaman dari mulut ayahku,membuat tubuhku menggigil. Sedikit pun aku tidak pernah menduga ternyata ayahku yang penyayang itu memiliki sisi lain yang sangat buruk. "Ha ha ha...Bakhtiar, Bakhtiar, kau lupa jika laporanku tentang kdrt yang kau lakukan akan mampu membuat kau tersungkur, kalah sebelum bertanding!" Ke dengar ibuku tertawa sinis sambil mengejek ayahku. Sepi!Tak ada suara apa pun lagi! Namun aku salah, beberapa saat kemudian aku mendengar dua pintu dibanting oleh dua orang dewasa dengan keluatan yang sama. Bllaamm Blaamm Ayah dan.ibuku masing masing memasuki kamar yang berbeda, dengan dentuman suara pintu fibanting bersamaan. Aku menarik nafas panjang, dan melepaskannya dengan kuat melalui mulut. Aku sedih sekali, sejak ayahku ikut ikutan hal hal seperti itu, sikapnya jadi berubah, jadi serakah! Andai nanti ibuku terbujuk oleh rayuan gombal ayah dan ternyata ayah kalah, mau jadi apa keluarga kami? Yang pasti ayah stres, depresi atau bahkan bisa jafdi gila. Sedangkan kami tentu tidak bisa lagi hidup nyaman seperti semula. Minggu pagi di ruang makan, dari anak tangga pertama, cuma ibuku yang kulihat, tidak ada ayahku seperti biasanya. Satu persatu aku melompati anak tangga dengan berpura pura riang, agar ibuku mengira aku tidak mendengar pertengkaran mereka. "Pagi bu! Mana ayah?", tanyaku sambil mencomot paha ayam goreng dan langsung mengunyahnya. " Habis subuh tadi langsung pergi. Eh, kamu sudah sholat?", tanya ibuku dengan tersenyum,manis sekali. Matanya melengkung, tanda pemiliknya tersenyum, namun aku dapat melihat, ada bias kelabu di mata indah itu. "He he he, kebablasan bu!", sahutku terus terang. " Sholatlah nak! Jika terjaga sholatmu, maka Allah akan menjagamu! Setiap masalah yang kau hadapi nanti tentu diberi jalan keluarnya dengan mudah!" "Maaf bu, lain kali Shiren tidak lalai lagi", jawabku agar omelan ibuku tidak melebar kemana mana. Dari pada membuat ibuku melanjutkan ocehannya, aku lebih memilih meletakkan album lama yang kutemukan semalam di gudang. " Bu, kemarin Shiren ke gudang untuk mencari majalah bekas, untuk tugas dari sekolah, tapi Shiren juga menemukan ini!". Ku sodorkan album itu ke arah ibuku dengan ujung jariku dan mataku menatap wajah ibuku lekat lekat. Aku ingin melihat perubahan air muka ibuku. Benar! Ibuku nampak terkejut dengan wajah memucat pias, sekejap, hanya sekejap, beberapa detik kemudian wajah cantik ibuku kembali seperti semula. "Ternyata ibu pernah menjadi tki di Arab Saudi dulu ya bu? Anak laki laki yang ibu gendong itu anak majikan ibu ya? Tapi menurut Shiren mata dan bibirnya kok mirip ibu ya? Apa benar kata orang orang jika bayi yang kita asuh bisa mirip dengan kita ya bu?" Sebenarnya pertanyaanku biasa saja, wajar sekali, tidak ada yang aneh dengan itu semua, tapi mengapa wajah ibuku kembali memucat? Apa yang salah coba! "Mungkin saja!", sahut ibuku dengan suara bergetar.Aneh sekali. Tap tap tap, suara Lisa dianak tangga, lalu ia muncul dengan wajah bantalnya. " Mandi dulu sana! Jorok!",ucap ibuku sambil menghalangi Losa yang ingin duduk di kursi. "Ih, ibu, Lisakan lapar!Huuaaa...!" Bocah konyol itu menguap lebar tanpa menutup mulutnya. Aroma tak sedap mampir ke hidungku, membuat nafsu makanku langsung hilang. "Bau tahu! Bikin aku jadi tidak selerah!", omelku marah pada adikku itu. Aku melirik ibuku, beliau terlihat tersenyum lega, sepertinya kedatangan Lisa di ruang makan, mengalihkan perhatianku tentang bayi Arab yang digendongnya itu. " Sana!" Kali ini ibu mendorong tubuh Lisa sedikit keras sehingga hampir saja anak itu tersungkur. Aku mentertawai nasib Lisa yang malang. "Dasar anak manja!", ibu terdengar menggerutu. Bersamaan dengan naiknya Lisa ke kamarnya, aku kembali mengusik ibuku dengan membahas kembali foto yang di album itu. " Bu, cerita dong, tentang kisah ibu sewaktu jadi tki dulu!",bujukku. "Tak ada yang istimewa Shiren! Sama seperti orang orang lain yang bekerja di luar negeri", ucap ibuku mengelak, seolah ia malas untuk membahasnya. " Tapi bayi laki laki itu sudah dewasa ya bu? Apa ibu pernah berhubungan dengannya?" "Uhuk uhuk". Ibuku tersedak karena pertanyaanku. Sungguh aneh sekali. Ada apa sebenarnya yang terjadi dulu?"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras
"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki. Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rek
Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku. Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami m
"Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M