"Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap.
" Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut Melisa keluar dan memergoki kelakuan kami. Ceklek! Aku menarik pegangan kunci dan mendorong pintunya sekalian. Berdua kami masuk, lalu cepat cepat mengunci pintunya. Berjaga jaga, siapa tahu Melisa nyasar ke kamar ibuku. Kamar orang tuaku cukup luas, dengan ukuran kamar lima kali empat meter,jadi sangat lega karena tidak banyak perabotannya. Di dalam kamar, kami berdua kebingungan, untuk memulainya dari mana. Akhirnya ku putuskan untuk membuka lemari bagian atas yang aku tahu berisi beberapa dokumen. Setelah selesai menggeledah, tak ada satu pun benda yang mencurigakan. Hanya berisi berkas berkas biasa saja, seperti ijazah dan surat surat tak penting lainnya. Jika di lemari bawah, hanya ada tumpukkan baju baju ayah dan gantungan baju ibu., serta lipatan kain dan handuk. "Tak ada yang mencurigakan!", sahutku lemas. Maksud hati ingin mencari bukti, apa daya kami tidak menemukan apa pun juga. Aku duduk berselonjoran di lantai, yang kemudian diikuti oleh Nadira. " Tak ada apa pun di sini! Jadi sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?", tanya Nadira. Aku tidak menjawab, karena mataku tertuju pada lemari besi yang terletak di sudut. "Jangan gila kau! Jika kau buka itu dengan menekan tombol yang salah orang tuamu tentu akan tahu!", sentak Nadira seolah tahu niatku dalam hati. " Jika ibumu berselingkuh, dan menyembunyikan barang bukti di kamar ini tentu ayahmu akan tahu! Itu sungguh mustahi! Karena aku yakin, tante Arumi tidak sebodoh kau, Shiren!",cetus Dira dengan leher menegang. "Santai bro! Tak usah nyolot begitu!", kataku gantian marah padanya. Kami keluar tanpa mendapatkan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Nadira masuk ke kamarku dan langsung memenamkan dirinya di kasukku yang empuk. Aku tak peduli dengan kelakuan Nadira, karena kesal tidak dapatbapa pun untuk membuktikan jika ibuku sudah mengkhianati ayahku. Aku menjaga betul marwah ayahku dengan tidak melakukan hal hal yang bisa menjatuhkan nama baik ayahku. Ayahku akan maju mengikuti pilkada, sudah pasti lawan lawannya akan mencari segala aspek kelemahan ayahku. Di saat seperti ini, ibuku malah bertingkah tak tau diri, dengan memeluk seorang pria muda, di Bandara. " Ya Tuhan, apa sebenarnya yang sedang disembunyikan oleh ibuku?", tanyaku dengan pikiran yang benar benar buntu. Tiba tiba terbersit dalam benakku, gudang! Ya aku harus memeriksa gudang karena biasanya tempat itu menyimpan benda benda lama yang sudah tidak terpakai lagi. Udara pengap dan berdebu langsung menyerbu hidungku begitu aku masuk ke dalam gudang. Ku buka jendela dan pintubselebar lebarnya untuk memberi suasana lega di tempat itu. Lagi lagi aku kebingungan melihat tumpukkan barang yang begitu banyak. Aku harus memulainya dari mana? Bukannya langsung bekerja, aku malah masuk lebih dalam.lagi, mengamati foto foto lama yang saling bertumpuk dan tidak rapi sama sekali di salah satu sudut. Satu persatu gambar lama berdebu itu aku amati. Hanya ada foto foto keluarga besar ibuku dan beberapa foto orang yang tidak aku kenal. Rumah yang kami tempati ini adalah rumah warisan ibuku, maka tak heran foto foto itu dan semua benda yang bertumpuk tumpuk itu milik nenek dan kakekku. Hingga mataku menangkap satu album dan menarik perhatianku. Tanganku meraih benda usang itu dan membukanya lembarannya satu persatu. Hingga tatapan mataku berhenti pada lembaran terakhir, agak lama aku mengamati seseorang di dalam foto itu. Ada gambar satu keluarga, terdiri daribsepasang suami istri saling berpelukkan, dua orang kakek nenek saling berdekatan dan seorang gadis muda mirip ibuku yang sedang menggendong seorang bayi laki laki bertampang Arab, sama seperti gambar orang orang itu. Perempuan mirip ibuku itu tertawa bahagia dengan matanya menatap kamera. Ada tulisan di bawah foto itu.(Kenangan saat menjadi Tki, di Arab Saudi, bersama Abi dan Ummi) "Oh, ternyata ibuku dulu mantan tki, mungkin bayinlaki laki ini yang bersama dengan ibu di Bandara kala itu" ucapku dengan rasa lega yang luar biasa. Lega karena ibuku tidak mengkhianati ayahku, dan berondong itubadalah bayi di foto, anak majikan ibu, akan kembali ke negaranya setelah liburan di sini. Kemarin itu,nibu hanya mengantarkan saja". Aku sibuk berasumsi sendiri. Ku ambil album itu dan bermaksud menyimpannya sendiri. Aku tidak akan memberi tahu Dira, karena pasti habis kepalaku dijitaknya, karena aku sempat berpikir buruk tentang ibuku.Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim
"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras
"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki. Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rek
Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku. Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami m