Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku.
Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami menjawab, ayah sudah nongol dan lantas bergabung bersama kami. "Masak apa hari ini bu?", tanya ayah basa basi. Tentunya ayah tahu, ibu masak apa, karena mata ayah sudah terarah ke atas meja. " Ayah mau langsung makan? Tunggu ibu ambilkan ya! Ayah duduk saja di situ!" Ayahku duduk di sebelah kiriku, ibu lalu memutari meja mendekati ayahku dan meletakkan piring yang sudah diisi penuh dengan makanan. Kemudian ibuku mengelus pundak ayahku dengan mesra dan membisikkan sesuatu ke telinga ayah dengan menempelkan bibirnya di telinga ayahku. "Ibu munafik!", ucapku di dalam hati sambil mendecih sinis. Dira menendang tulang keringku cukup keras sehingga membuat aku kesakitan dan meringis. Aku melotot kepada Dira dan memakinya dengan bahasa gerak bibir tanpa suara tapi aku yakin ia tahu apa yang ku katakan. " Ada apa dengan kalian? Dari tadi ribut terus?", tanya ibuku yang ternyata menyadari kelakuan kami. "Cemburu dia tante! Padahal aku cuma meminjam tante sebentar saja, bukan merampoknya dari dia!", ucap Dira konyol dan diakhir kalimatnya dia terkikik sendiri. Ayah dan ibuku saling berpandangan dengan mesra, kemudian kompak menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua. " Shiren, tidak boleh begitu nak! Dira hanya ingin dianggap anak oleh ibumu, bukan mengambilnya darimu! Kasihan dia, karena ibunya sudah tiada. Dan ibu pun dengan senang hati menyayanginya, bukan begitu ayah?", ujar ibuku sambil mengerling manja pada ayahku. "Dasar munafik! Di depan ayah saja bersikap manis, namun di belakang ayah ternyata ibu punya simpanan brondong ganteng yang lebih pantas jadi pacarku". Lagi lagi aku ngedumel di dalam hatiku. Rasanya saat itu juga aku membongkar kelakuan bejat ibuku di belakang ayahku. " Sayang, mau ibu buatkan kopi?", tanya ibu sambil mengelus bahu ayah. "Jika ibu tidak keberatan, ya monggo, ayah senang senang saja diladeni oleh istri ayah yang saleha ini", ucap ayahku mesra. Mendengar ucapan manis ayahku pada ibuku, mendadak mataku memanas. Sekuat mungkin aku menahannya agar aku tidak menangisi keluguan ayahku yang tertipu mentah mentah oleh istrinya, yaitu ibuku. Ayah yang dikhianati, tapi aku yang merasa sangat tersakiti. Ekor mataku melirik Dira dan aku tahu ia masih menatapku tajam, seakan memberi kode agar aku tetap bersikap sewajarnya saja. Ibuku kembali dari dapur dengan nampan di tangannya yang berisikan secangkir kopi dan dua gelas jus jeruk untuk aku dan Dira. Andai aku tidak melihat rekaman di ponsel Dira, sudah pasti aku bahagia sekali melihat ibuku melayani ayahku dan melayani kami. Namun sayangnya aku sudah melihat semua kelakuan busuk ibuku. Betapa memalukan, tidak sesuai kelakuan ibuku dengan hijab panjang yang selalu dikenakan. Setelah urusan makan dan minum selesai, Dira membereskan meja makan, membawa bekas makan yang kotor ke dapur lalu ia mencucinya sekalian. Anak itu memang pandai membawa diri, agar tuan rumah senang senang saja ketika ia datang. Ibuku selalu memuji muji Dira dan tidak segan membandingkan dengan diriku. "Bu, ayah ngantuk!" Ayah mendorong kursi yang ia dudukki ke belakangnya, lantas ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya. Ibuku mengikuti ayahku dan menggandeng lengan ayah. "Munafik!", aku mendesis sangat pelan, karena aku takut ibuku mendengarnya. " Jaga mulutmu Shiren! Kau belum tahu rasanya tidak punya ibu, sakit tahu!", sentak Dira marah. "Tapi ibuku selingkuh! Dengan pria yang lebih pantas jadi anaknya! Bukankah itu sangat menjijikkan? Di depan ayahku, ibu berlagak jadi istri yang mencintai suaminya, tapi di belakangnya tingkahnya tak lebih dari tante tante girang penggemar berondong!" Kali ini aku berkata sambil menangis. Air mata yang tadi kutahan tahan akhirnya jebol juga. Meluncur deras membasahi pipiku. Beruntung ayah dan ibuku sudah masuk ke kamar dan pintu tertutup sehingga mereka tidak mendengar omonganku. "Shiren, kita tadi sudah berjanjikan untuk tidak berlebihan dan sembarangan menuduh ibumu. Kita harus cari tahu dulu sehingga masalah ini terang benderang. Jika ibumu terbukti selingkuh, baru terserah mau kau apain saja! Kalau sekarang ini kitakan masih menduga duga saja! Makanya rem dulu praduga burukmu itu! Jangan sampai kau jadi anak durhaka!" Aku tidak mau meladeni Dira lagi dan membiarkan dia sendirian di ruang makan. Biasanya bocah itu akan menyapu dan mengepel ruang makan hingga ke dapur. "Untuk membayar makanan buat Dira", katanya selalu jika ditegur oleh ibuku. Di dalam kamar, aku membenamkan wajahku di atas bantal dengan air mata yang terus berurai. Rasanya, saat ini juga aku ingin berlari ke kamar orang tuaku, menggedor pintu dan mengadukan semua kelakuan ibuku di bandara itu. Dira masuk ke kamarku, lalu duduk di tepi kasur dan mengelus elus punggungku dengan lembut. " Sudahlah, jangan menyakiti dirimu sendiri dengan hal hal yang belum pasti. Besok kita cari tahu siapa pemuda itu", ucap Dira seenak udelnya saja. "Lantas dari mana kita memulainya? Sedangkan pemuda itu sangat asing bagiku, aku tidak mengenalnya", sahutku malas. " Bagaimana jika kita datangi nenekmu saat libur nanti?", tanya Dira. Aku menggaplok paha Dira dengan kuat. "Mengapa aku tidak berpikir srpertinitu ya?", ucapku senang. Baru saja aku selesai bicara terdengar suara pintu kamar diketuk. " Shiren, tutup pintu pagar, kami mau keluar!" Mendengar ucapan ibuku, aku dan Dira saling tukar pandang, lalu tersenyum. "Saatnya kita mulai!", seruku lalu meloncat dari ranjang dan keluar kamar untuk mengunci pintu pagar begitu mobil ayahku keluar halaman."Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M
Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim
"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras
"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
Mobil tuan Dhafir, berhenti di depan garasi, tidak masuk ke dalam. Sekali lagi Arumi kesulitan membuka sealt beltnya, dan sekali lagi tuan Dhafir membantunya. Sepasang mata melihat mereka dari ujung garasi mobil yang terhubung ke gudang makanan. "Dasar genit! Jalang! Murahan!", ucap mulut berbisa itu tak suka dan sorot mata sarat akan dengki. " Arumi sudah pulang belanja tuh! Ayo kita bantui menurunkan barang barang! Ntar disemprot tuan Dhafir baru tahu?" Serang rekan kerjanya mencolek perempuan dengki itu. "Sono buka matamu lebar lebar! Lihat!", bentaknya pada rekannya itu. Dari tempat mereka berdiri, tuan Dhafir terlihat seperti sedang mencium Arumi. " Sungguh tidak tahu diri! Di saat nyonya sedang sakit, bisa bisanya ia menggoda tuan!" Perempuan dengki itu ternyata bernama Surti, terus saja nyerocos persis mercon banting. "Jangan mengumpat!Jika tuan dengar, bisa habis kau!" Rekannya yang bernama Mala itu mendekati mobil, bermaksud membantu Arumi untuk membawa b
"Sah" Teriakkan bergema di ruangan yang luas ini, menandakan jika Arumi sudah menjadi istri tuan Dhafir yang sah, istri kedua dan madu untuk nyonya Maryam. Arumi menunduk, air matanya jatuh membasahi baju pengantinnya yang indah. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan, ia ingin.menikah dengan pria lajang yang ia cintai dan mencintainya. Dinikahkan oleh ayahnya sebagai wali dan ada sedikit kemeriahan perayaan pesta pernikahannya. "Arumi, mendekatlah sini!" Tuan Dhafir menepuk kasur di sebelahnya. Arumi menatap mantan majikannya itu dengan sendu. Ia tidak mungkin menolak perintah pria yang kini telah menjadi suaminya itu. Penuh ragu ia mendekat, namun tidak berani merapat, ia duduk di sisi pria itu dengan memberi jarak. "Arumi, mengapa takut? Aku suamimu kini!" Tuan Dhafir menarik tubuh Arumi ke dalam pelukkannya. Arumi jadi begitu mungil saat tenggelam dalam pelukkan pria besar itu. Dengan rakus pria Arab itu menciumi wajah Arumi, menjilati bahkan menghis
Suara azan subuh menyusup ke liang pendengaran Arumi. Mula mula sangat jauh, mungkin karena lelah tubuhnya, akibat permainan panas tuan Dhafir tadi malam. Namun makin lama suara azan itu makin dekat dan.keras, memaksa Arumi membuka matanya. Tubuh Arumi benar benar remuk redam, seakan seluruh tulangnya patah patah. Dengan terseok seok, Arumi mengangkat bokongnya, menurunkan kakinya dari kasur ke lantai lalu berjalan ke kamar mandi. Saat membuka matanya, Arumi tidak.melihat keberadaan tuan Dhafir di sampingnya. Perempuan itu tidak peduli, ia cuma berpikir jika tuan Dhafir kembali ke istri pertamanya. Guyuran air yang memancar keras dari shower, membuat sekujur tubuh Arumi menjadi segar. Setelah selesai membersihkan diri, Arum.pun berwudhu untuk melakukan sholat subuh sendirian di kamarnya yang mewah. Dalam sujudnya, Arumi berlama lama, ia ingin banyak berdoa, namun tidak tahu lagu doa apa yang akan ia pinta pada Tuhannya. Kemudian Arumi berganti baju, ia ingin melayani
Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru
Kehamilan Arumi membuat tuan Dhafir senang bukan kepalang. Hari hari yang ia lalu terasa begitu cepat karena hatinya terus gembira. Raut wajahnya juga selalu segar tidak keruh dan dingin seperti selama ini. "Wah tuan belakangan ini terlihat begitu ceria", sapa Omar, salah seorang pegawainya di kantor. Dhafir hanya terkekeh, tidak.menanggapi lebih gurauan Omar itu. Langlah kakinya yang lebar dan cepat bergerak dari lobi ke ruangannya yang kebetulan terletak di lantai satu di gedung pencakar langit itu. Di dalam ruangannya, telah menumpuk tugas yang harus ia selesaikan hari ini. Pekerjaannya sebagai pemilik banyak perusahaan sangatlah padat, ia sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan kedua istrinya. Pergi pagi pagi, pulang nyaris tengah malam dengan membawa beban tubuhnya yang sangat meletihkannya. " Sayang, mengapa kamu begitu sibuk? Bukankan kau memiliki orang orang yang kau percaya yang bisa menghandel semua urusanmu?" Maryam menegur Dhafir yang baru saja masuk ke dala
"Hoeek..hoeek..!" Perut Arumi mual, begitu ia mencium bau masakkan yang sedang mengepulkan asap dari wadahnya. Tak tahan karena rasa mual itu makin mengaduk aduk perutnya, hingga mendorong cairan dari lambung ke tenggorokannya, Arumi berlari ke kamar mandi di bawah tangga, sedikit jauh dari ruang makan. Tuan Dhafir yang kala itu juga sedang makan, memandang punggung Arumi hingga masuk.ke dalam.kamar mandi. "Ada apa dengan Arumi?" Ia bertanya sambil menoleh ke istri pertamanya yang duduk di sisi kanan. "Ngidam.kali! Hamil!" Bibir tuan Dhafir melengkung ke atas, ia lalu tersenyum.lebar. "Kita akan segera punya bayi Maryam!", serunya sambil memegang telapak tangan istrinya. Hati pria itu benar benar bersorak riang tanpa beban, sedangkan istri pertamanya itu tersenyum masam. Hatinya lagi lagi tercabik, ia tidak.menyangka, keinginannya agar suaminya memiliki keturunan dari rahim perempuan lain, sangat menyakitinya. " Tapi itu tak akan lama lagi! Setelah bayi itu lahir,
Luka di hati Maryam makin berdarah, sikap suaminya begitu dinginbpadanya.Padahal mereka baru bertemu, tentu rindu itu seharusnya bertumpuk, bukan sikap beku seperti ini. Sadar dirinya diacuhkan, Maryam menggeser tubuhnya menjauhi suaminya. Tertatih tatih ia menuju ke kursi rodanya, dan.menekan tombol untuk menggerakkan benda itu. Suara dengkur suaminya makin membuat luka di hatinya makin parah. Apa lagi ia tadi sempat melihat tanda cinta Arumi di sekujur tubuh Dhafir. Warna merah kebiruan itu sangat kontras dengan kulit tuan Dhafir yang putih. "Ya Tuhan, mengapa rasanya sesakit ini?" Di balkon, Maryam meratapi.nasibnya yang malang. Ia menyalakan ponselnya dan menggulirkan ke aplikasi yang terhubung dengan cctv di kamar Arumi. "Dasar jalang sialan! Aku cuma ingin kau hamil anak suamiku, bukan merampok cintanya! Lihat saja, jika bayi itu telah hadir aku akan.mengusirmu dari rumah ini! Dan ku meminnta Dhafir mentalak kamu!" Sambil mengamati Arumi yang sedang tertidur, M