Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku.
Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami menjawab, ayah sudah nongol dan lantas bergabung bersama kami. "Masak apa hari ini bu?", tanya ayah basa basi. Tentunya ayah tahu, ibu masak apa, karena mata ayah sudah terarah ke atas meja. " Ayah mau langsung makan? Tunggu ibu ambilkan ya! Ayah duduk saja di situ!" Ayahku duduk di sebelah kiriku, ibu lalu memutari meja mendekati ayahku dan meletakkan piring yang sudah diisi penuh dengan makanan. Kemudian ibuku mengelus pundak ayahku dengan mesra dan membisikkan sesuatu ke telinga ayah dengan menempelkan bibirnya di telinga ayahku. "Ibu munafik!", ucapku di dalam hati sambil mendecih sinis. Dira menendang tulang keringku cukup keras sehingga membuat aku kesakitan dan meringis. Aku melotot kepada Dira dan memakinya dengan bahasa gerak bibir tanpa suara tapi aku yakin ia tahu apa yang ku katakan. " Ada apa dengan kalian? Dari tadi ribut terus?", tanya ibuku yang ternyata menyadari kelakuan kami. "Cemburu dia tante! Padahal aku cuma meminjam tante sebentar saja, bukan merampoknya dari dia!", ucap Dira konyol dan diakhir kalimatnya dia terkikik sendiri. Ayah dan ibuku saling berpandangan dengan mesra, kemudian kompak menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua. " Shiren, tidak boleh begitu nak! Dira hanya ingin dianggap anak oleh ibumu, bukan mengambilnya darimu! Kasihan dia, karena ibunya sudah tiada. Dan ibu pun dengan senang hati menyayanginya, bukan begitu ayah?", ujar ibuku sambil mengerling manja pada ayahku. "Dasar munafik! Di depan ayah saja bersikap manis, namun di belakang ayah ternyata ibu punya simpanan brondong ganteng yang lebih pantas jadi pacarku". Lagi lagi aku ngedumel di dalam hatiku. Rasanya saat itu juga aku membongkar kelakuan bejat ibuku di belakang ayahku. " Sayang, mau ibu buatkan kopi?", tanya ibu sambil mengelus bahu ayah. "Jika ibu tidak keberatan, ya monggo, ayah senang senang saja diladeni oleh istri ayah yang saleha ini", ucap ayahku mesra. Mendengar ucapan manis ayahku pada ibuku, mendadak mataku memanas. Sekuat mungkin aku menahannya agar aku tidak menangisi keluguan ayahku yang tertipu mentah mentah oleh istrinya, yaitu ibuku. Ayah yang dikhianati, tapi aku yang merasa sangat tersakiti. Ekor mataku melirik Dira dan aku tahu ia masih menatapku tajam, seakan memberi kode agar aku tetap bersikap sewajarnya saja. Ibuku kembali dari dapur dengan nampan di tangannya yang berisikan secangkir kopi dan dua gelas jus jeruk untuk aku dan Dira. Andai aku tidak melihat rekaman di ponsel Dira, sudah pasti aku bahagia sekali melihat ibuku melayani ayahku dan melayani kami. Namun sayangnya aku sudah melihat semua kelakuan busuk ibuku. Betapa memalukan, tidak sesuai kelakuan ibuku dengan hijab panjang yang selalu dikenakan. Setelah urusan makan dan minum selesai, Dira membereskan meja makan, membawa bekas makan yang kotor ke dapur lalu ia mencucinya sekalian. Anak itu memang pandai membawa diri, agar tuan rumah senang senang saja ketika ia datang. Ibuku selalu memuji muji Dira dan tidak segan membandingkan dengan diriku. "Bu, ayah ngantuk!" Ayah mendorong kursi yang ia dudukki ke belakangnya, lantas ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya. Ibuku mengikuti ayahku dan menggandeng lengan ayah. "Munafik!", aku mendesis sangat pelan, karena aku takut ibuku mendengarnya. " Jaga mulutmu Shiren! Kau belum tahu rasanya tidak punya ibu, sakit tahu!", sentak Dira marah. "Tapi ibuku selingkuh! Dengan pria yang lebih pantas jadi anaknya! Bukankah itu sangat menjijikkan? Di depan ayahku, ibu berlagak jadi istri yang mencintai suaminya, tapi di belakangnya tingkahnya tak lebih dari tante tante girang penggemar berondong!" Kali ini aku berkata sambil menangis. Air mata yang tadi kutahan tahan akhirnya jebol juga. Meluncur deras membasahi pipiku. Beruntung ayah dan ibuku sudah masuk ke kamar dan pintu tertutup sehingga mereka tidak mendengar omonganku. "Shiren, kita tadi sudah berjanjikan untuk tidak berlebihan dan sembarangan menuduh ibumu. Kita harus cari tahu dulu sehingga masalah ini terang benderang. Jika ibumu terbukti selingkuh, baru terserah mau kau apain saja! Kalau sekarang ini kitakan masih menduga duga saja! Makanya rem dulu praduga burukmu itu! Jangan sampai kau jadi anak durhaka!" Aku tidak mau meladeni Dira lagi dan membiarkan dia sendirian di ruang makan. Biasanya bocah itu akan menyapu dan mengepel ruang makan hingga ke dapur. "Untuk membayar makanan buat Dira", katanya selalu jika ditegur oleh ibuku. Di dalam kamar, aku membenamkan wajahku di atas bantal dengan air mata yang terus berurai. Rasanya, saat ini juga aku ingin berlari ke kamar orang tuaku, menggedor pintu dan mengadukan semua kelakuan ibuku di bandara itu. Dira masuk ke kamarku, lalu duduk di tepi kasur dan mengelus elus punggungku dengan lembut. " Sudahlah, jangan menyakiti dirimu sendiri dengan hal hal yang belum pasti. Besok kita cari tahu siapa pemuda itu", ucap Dira seenak udelnya saja. "Lantas dari mana kita memulainya? Sedangkan pemuda itu sangat asing bagiku, aku tidak mengenalnya", sahutku malas. " Bagaimana jika kita datangi nenekmu saat libur nanti?", tanya Dira. Aku menggaplok paha Dira dengan kuat. "Mengapa aku tidak berpikir srpertinitu ya?", ucapku senang. Baru saja aku selesai bicara terdengar suara pintu kamar diketuk. " Shiren, tutup pintu pagar, kami mau keluar!" Mendengar ucapan ibuku, aku dan Dira saling tukar pandang, lalu tersenyum. "Saatnya kita mulai!", seruku lalu meloncat dari ranjang dan keluar kamar untuk mengunci pintu pagar begitu mobil ayahku keluar halaman."Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M
Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim
"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras
"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti
"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki. Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rek