Share

Bab 2 Ibuku munafik

Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku.

Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka.

"Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku.

Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku.

" Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri.

Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira.

Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku.

"Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?"

"Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan.

" Assalamualaikum..!"

Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu,

Belum sempat kami menjawab, ayah sudah nongol dan lantas bergabung bersama kami.

"Masak apa hari ini bu?", tanya ayah basa basi.

Tentunya ayah tahu, ibu masak apa, karena mata ayah sudah terarah ke atas meja.

" Ayah mau langsung makan? Tunggu ibu ambilkan ya! Ayah duduk saja di situ!"

Ayahku duduk di sebelah kiriku, ibu lalu memutari meja mendekati ayahku dan meletakkan piring yang sudah diisi penuh dengan makanan.

Kemudian ibuku mengelus pundak ayahku dengan mesra dan membisikkan sesuatu ke telinga ayah dengan menempelkan bibirnya di telinga ayahku.

"Ibu munafik!", ucapku di dalam hati sambil mendecih sinis.

Dira menendang tulang keringku cukup keras sehingga membuat aku kesakitan dan meringis.

Aku melotot kepada Dira dan memakinya dengan bahasa gerak bibir tanpa suara tapi aku yakin ia tahu apa yang ku katakan.

" Ada apa dengan kalian? Dari tadi ribut terus?", tanya ibuku yang ternyata menyadari kelakuan kami.

"Cemburu dia tante! Padahal aku cuma meminjam tante sebentar saja, bukan merampoknya dari dia!", ucap Dira konyol dan diakhir kalimatnya dia terkikik sendiri.

Ayah dan ibuku saling berpandangan dengan mesra, kemudian kompak menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua.

" Shiren, tidak boleh begitu nak! Dira hanya ingin dianggap anak oleh ibumu, bukan mengambilnya darimu! Kasihan dia, karena ibunya sudah tiada.

Dan ibu pun dengan senang hati menyayanginya, bukan begitu ayah?", ujar ibuku sambil mengerling manja pada ayahku.

"Dasar munafik! Di depan ayah saja bersikap manis, namun di belakang ayah ternyata ibu punya simpanan brondong ganteng yang lebih pantas jadi pacarku".

Lagi lagi aku ngedumel di dalam hatiku. Rasanya saat itu juga aku membongkar kelakuan bejat ibuku di belakang ayahku.

" Sayang, mau ibu buatkan kopi?", tanya ibu sambil mengelus bahu ayah.

"Jika ibu tidak keberatan, ya monggo, ayah senang senang saja diladeni oleh istri ayah yang saleha ini", ucap ayahku mesra.

Mendengar ucapan manis ayahku pada ibuku, mendadak mataku memanas.

Sekuat mungkin aku menahannya agar aku tidak menangisi keluguan ayahku yang tertipu mentah mentah oleh istrinya, yaitu ibuku.

Ayah yang dikhianati, tapi aku yang merasa sangat tersakiti.

Ekor mataku melirik Dira dan aku tahu ia masih menatapku tajam, seakan memberi kode agar aku tetap bersikap sewajarnya saja.

Ibuku kembali dari dapur dengan nampan di tangannya yang berisikan secangkir kopi dan dua gelas jus jeruk untuk aku dan Dira.

Andai aku tidak melihat rekaman di ponsel Dira, sudah pasti aku bahagia sekali melihat ibuku melayani ayahku dan melayani kami.

Namun sayangnya aku sudah melihat semua kelakuan busuk ibuku. Betapa memalukan, tidak sesuai kelakuan ibuku dengan hijab panjang yang selalu dikenakan.

Setelah urusan makan dan minum selesai, Dira membereskan meja makan, membawa bekas makan yang kotor ke dapur lalu ia mencucinya sekalian.

Anak itu memang pandai membawa diri, agar tuan rumah senang senang saja ketika ia datang.

Ibuku selalu memuji muji Dira dan tidak segan membandingkan dengan diriku.

"Bu, ayah ngantuk!"

Ayah mendorong kursi yang ia dudukki ke belakangnya, lantas ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya.

Ibuku mengikuti ayahku dan menggandeng lengan ayah.

"Munafik!", aku mendesis sangat pelan, karena aku takut ibuku mendengarnya.

" Jaga mulutmu Shiren! Kau belum tahu rasanya tidak punya ibu, sakit tahu!", sentak Dira marah.

"Tapi ibuku selingkuh! Dengan pria yang lebih pantas jadi anaknya! Bukankah itu sangat menjijikkan?

Di depan ayahku, ibu berlagak jadi istri yang mencintai suaminya, tapi di belakangnya tingkahnya tak lebih dari tante tante girang penggemar berondong!"

Kali ini aku berkata sambil menangis. Air mata yang tadi kutahan tahan akhirnya jebol juga.

Meluncur deras membasahi pipiku.

Beruntung ayah dan ibuku sudah masuk ke kamar dan pintu tertutup sehingga mereka tidak mendengar omonganku.

"Shiren, kita tadi sudah berjanjikan untuk tidak berlebihan dan sembarangan menuduh ibumu. Kita harus cari tahu dulu sehingga masalah ini terang benderang.

Jika ibumu terbukti selingkuh, baru terserah mau kau apain saja!

Kalau sekarang ini kitakan masih menduga duga saja! Makanya rem dulu praduga burukmu itu!

Jangan sampai kau jadi anak durhaka!"

Aku tidak mau meladeni Dira lagi dan membiarkan dia sendirian di ruang makan.

Biasanya bocah itu akan menyapu dan mengepel ruang makan hingga ke dapur.

"Untuk membayar makanan buat Dira", katanya selalu jika ditegur oleh ibuku.

Di dalam kamar, aku membenamkan wajahku di atas bantal dengan air mata yang terus berurai.

Rasanya, saat ini juga aku ingin berlari ke kamar orang tuaku, menggedor pintu dan mengadukan semua kelakuan ibuku di bandara itu.

Dira masuk ke kamarku, lalu duduk di tepi kasur dan mengelus elus punggungku dengan lembut.

" Sudahlah, jangan menyakiti dirimu sendiri dengan hal hal yang belum pasti.

Besok kita cari tahu siapa pemuda itu", ucap Dira seenak udelnya saja.

"Lantas dari mana kita memulainya? Sedangkan pemuda itu sangat asing bagiku, aku tidak mengenalnya", sahutku malas.

" Bagaimana jika kita datangi nenekmu saat libur nanti?", tanya Dira.

Aku menggaplok paha Dira dengan kuat.

"Mengapa aku tidak berpikir srpertinitu ya?", ucapku senang.

Baru saja aku selesai bicara terdengar suara pintu kamar diketuk.

" Shiren, tutup pintu pagar, kami mau keluar!"

Mendengar ucapan ibuku, aku dan Dira saling tukar pandang, lalu tersenyum.

"Saatnya kita mulai!", seruku lalu meloncat dari ranjang dan keluar kamar untuk mengunci pintu pagar begitu mobil ayahku keluar halaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status