"Shiren, lihat ini! Bukankah ini ibumu? Tapi siapa pria muda itu? Setahuku kau tidak punya abang atau pun adik laki laki.
Satu satunya adikmu itu cuma si centil Melisa", ucap Dira padaku. Dira berlari lari menyusulku yang sedang berjalan di lorong sekolah, nafasnya ngos ngosan karena mengejarku. Jam pelajaran baru saja usai, jadi aku bermaksud langsung pulang sesuai peraturan dari ayahku. " Jangan keluyuran kemana mana di saat ayah sedang bertarung. Jika kalian, keluarga inti ayah tidak bisa menjaga sikap, maka pihak lawan akan memiliki senjata untuk.melumpuhkan ayah". Sebagai anak yang berbakti pada ayahnya tentu aku harus patuh pada perintah ayahku. "Shireeen!", pekik Dira karena aku tidak menanggapinya. Dengan kasar ia menyeret tanganku, menghindari teman teman kami yang juga sedang berjalan di.lorong itu. Dira mengajak aku duduk di bangku beton di sudut taman sekolah. " Lihat ini!",cetusnya, lalu menyodorkan ponselnya yang sedang menyala dan memperlihatkan rekaman ibuku bersama pria muda yang sangat tampan. Berwajah kearab araban dengan rambut ikal sedikit pirang. Melihat adegan demi adegan yang sebenarnya biasa saja, seolah seorang ibu yang sedang mengantarkan anaknya yang akan berpergian dengan pesawat, mataku membola dan mulutku terbuka lebar. Ibuku penggemar berondong? Langsung otakku berpikir negatif, dan tiba tiba saja hatiku mendidih, aku marah sekali. Karena emosiku yang langsung naik, aku tidak bisa mengontrol air mataku. Aku menangis tersedu sedu. "Ibuku mengkhianati ayahku! Hu hu hu..!", ucapku di tengah tengah isakkanku. Sebisa mungkin aku menahan suara tangisanku karena aku tidak ingin jadi pusat perhatian. "Diamlah Shiren!Jangan sampai wartawan melihatmu! Atau ada orang yang merekammu! Habislah ayahmu nanti digoreng! Bisa kalah ayahmu nanti!" Dira menutupi tubuhku yang sedang terguncang dengan tubuhnya. "Hapus air matamu cepat! Aku ikut pulang ke rumahmu!",: ucap Dira tegas. Beriringan kami berjalan menuju parkiran di mana mobil jemputanku berada. " Jaga sikapmu nanti jika melihat ibumu ya! Kita belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Bersikaplah seolah tidak ada apa apa, jangan menyerang tante Arumi!" Dira berulang kali mengingatkan aku dengan kata kata yang itu itu saja. Ia bicara berbisik bisik takut di dengar oleh mang Dono, sopir kami. Setengah jam berlalu, kami tiba di rumah. Kedatangan kami disambut oleh ibuku. Beliau merentangkan kedua tangannya dan membawaku dan Dira ke dalam pelukkannya berganti an. "Munafik!", bisikku dalam.hati atas perlakuan ramah ibuku itu. " Ayo.masuk! Setelah kalian mencuci tangan dan cepat ganti pakaian kalian lalu kita makan!", ucap ibuku manis sekali. Sedikit pun tidak terlihat jika ia sedang mengkhianati pernikahannya dengan ayahku. Tanpa banyak bicara, kami menaiki anak tangga menuju ke kamarku di lantai dua. "Lihatlah, betapa pintarnya ibuku berakting!", ucapku sinis pada Dira. " Hush! Tak baik.mencela ibumu! Kita tidak tahu alasan beliau untuk melakukan hal itu!", sentak Dira tak suka karena aku menjelek jelekkan ibuku sendiri. "Bukankah kau melihat betapa manisnya sikap ibuku tadi? Aku kok jadi jijik karena ibuku ternyata penggemar berondong!", ucapku dengan menaikkan nada bicaraku. " Shiren, sekali lagi jaga sikapmu! Aku sangat menghormati tante Arumi, dan aku tidak suka sikap kurang ajarmu itu!" Dira benar benar marah menghadapi sikap keras kepala dari sahabatnya itu. "Apa sih salahnya bersikap sewajarnya dulu! Kita selidiki setelah jelas siapa pemuda itu baru kita bisa bertindak! Awas jika sekali lagi mulutmu ngoceh ngoceh tak jelas seperti itu, aku pulang!" Kali ini Dira benar benar menunjukkan taringnya padaku, karena Dira tahu jika aku akan kelimpungan jika aku didiami oleh Dira. Sahabatku itu adalah sahabat sekaligus kerabat di dalam.keluarga kami. Ia bisa bebas dan sesukanya keluar masuk ke dalam rumahku, tanpa segan terhadap ayah apa lagi.ibuku. Sejak ibunya meninggal dunia, Dira lebih sering menghabiskan waktunya di rumahku. "Bisamu cuma mengancam! Lagi pula bukan kau yang aku marahi, tapi ibuku yang aku marahi, lantas mengapa kau tak suka? Urusannya apa denganmu?", sentakku kesal. " Terserah! Suka sukakulah!" Dira cepat cepat keluar setelah ia mengganti seragamnya dengan baju rumah milikku. Bocah itu jadi besar kepala di rumahku karena kedua orang tuaku sangat menyayanginya, sama seperti mereka menyayangi aku dan adikku, Melisa. Mau tak.mau aku mengikuti Dira, keluar dan menuruni tangga menuju ke arah ruang makan. Di situ, aku melihat pemandangan yang makin mengacaukan perasaanku. Betapa Dira bersikap manja pada ibuku, memeluk tubuh ibuku dari belakang dan merebahkan kepalanya di punggung ibuku. "Harum tubuh tante Arumi mirip harum ibuku!", ucapnya manja. Ibu berbalik, lalu mengambil tangan Dira dan mendudukkan gadis itu di kursi makan. " Mau pake lauk apa ?", tanya ibuku sambil menyendokkan nasi ke piring Dira. Lalu tanpa menunggu jawaban Dira, ibuku meletakkan paha ayam goreng tepung dan dua potong tempe goreng. Melihat itu aku cemburu, tanpa sadar aku mencebikkan bibirku dengan sinis. Di dalam hatiku, aku memaki maki Dira, aku tak suka sikapnya yang kolokkan pada ibuku itu seolah membiarkan dan menyetujui perselingkuhan ibuku. "Dasar bermuka dua!", aku memaki Dira, tentu saja di dalam hati.Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku. Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka. "Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku. Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku. " Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri. Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira. Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku. "Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?" "Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan. " Assalamualaikum..!" Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu, Belum sempat kami m
"Nadira!", panggilku pada temanku itu dengan nama lengkap. " Apa?",tanyanya tanpa mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. "Melisa mana?", aku menanyakan adikku pada Nadira, soalnya tadi selesai makan ia masih bertahan di meja makan sedangkan aku langsung kabur ke kamar. " Sudah masuk ke kamarnya! Tadi ia membawa makanannya ke kamar!",sahut Dira masih dengan posisi awal. "Ayo kita ke kamar ibuku! Mencari apa pun itu yang bisa dijadikan bukti atas perselingkuhan ibuku dengan berondongnya itu", ajakku. " Aku mau ikut denganmu tapi berjanjilah untuk tidak menuduh tante Arumi sekejam itu! Aku tersinggung",ucap Nadira ketus. "Busyet lu, aku yang punya ibu kok kamu yang sakit hati". Gantian aku yang memarahinya. " Kalau begitu urus saja sendiri! Aku tetap pada pendirianku, jika tante Arumi tidak bersalah". Aku menyerah, akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauan temanku tapi rasa musuh itu. Kami berdua segera menuju ke kamar orang tuaku, sambil celingak celinguk takut M
Dira sudah pulang dari tadi, Melisa tidak keluar kamar sejak pulang sekolah, ayah dan ibu juga belum pulang ke rumah padahal sudah pukul sebelas malam. Aku bete sendirian di rumah. Kegiatan ayah semakin hari semakin padat, sejak memutuskan untuk ikut kompetisi pemilihan kepala daerah membuatnya sering keluar rumah. Aku heran melihat sikap ayahku belakangan ini, kehidupan ekonomi kami sangat baik,walau tidak seperti kehidupan para sultan di luaran sana. Menurut aku, ayah tidak perlulah mengikuti pertandingan seperti itu, karena membutuhkan dana yang sangat besar dan belum tentu menang. Lampu kamar kumatikan, aku menuju ke balkon yang lampunya juga mati. Duduk memandangi langit malam yang cerah sambil menunggu orang tuaku pulang. Tak lama aku duduk, ku lihat sorot lampu mobil mengarah ke pintu pagar. Lalu suara pintu dibuka dan didorong sehingga menimbulkan gesekan roda besi dan relnya. Mobil ayah melaju masuk, pagar ditutup kembali dengan cepat sehingga suara yang ditim
"Uhuk..uhuk..uhuk..!" Mendengar pertanyaanku, ibu tersedak oleh salivanya sendiri, karena saat itu ibu tidak sedang makan atau minum apa pun. Aneh sekali. "Ibu kenapa?", tanyaku cemas. Aku lantas berdiri dan mendekati ibu lalu memijit mijit tengkuk ibu, seakan akan bisa memberi ketenangan pada ibuku. " Ibu tidak apa apa. Cuma kaget saja karena tiba tiba kamu bertanya tentang masa lalu ibu saat bekerja menjadi tki", ucap ibuku. "Mengapa ibu harus kaget? Wajar toh seorang anak bertanya tentang masa lalu ibunya, karena ceritanya pasti sangat menarik", ucapku. " Hem, baiklah, dan dengarkan baik baik!" Aku kembali duduk di kursiku tadi dan melanjutkan mengunyah makananku. "Dulu, kakek dan nenekmu sangat miskin, sebagai anak tunggal tentu ibu ingin membahagiakan orang tua ibu. Begitu tamat sma, ibu diajak untuk menjadi tki, singkat cerita ibu bekerja di Arab dan Alhamdulillah majikan ibu baik sekali. Pekerjaan ibu adalah mengurus majikan perempuan yang sedang sakit keras
"Pak e, beras kita habis, gas juga, bagaimana ibu masak sarapan untuk Arumi dan bekal bapak kerja?" Dari balik dinding papan yang keropos dimakan rayap,di kamarnya, Arumi mendengar ucapan ibunya dengan nelangsa. Pagi itu ia akan berangkat ke sekolah,untuk mengikuti ujian terakhir kelulusannya. Arumi menangisi kemiskinan orang tuanya sekaligus menangisi ketidakberdayaannya untuk membahagiakan orang tuanya di usianya yang menjelang delapan belas tahun. Setelah merapikan penampilannya, termasuk menghapus sisa air matanya dan membedaki kembali pipinya, Arumi keluar kamar. Dia menampilkan senyum terbaiknya untuk kedua orang tuanya. "Pak,bu, Rumi berangkat ya! Sudah kesiangan takut telat!", pamit Arumi dengan suaranya yang renyah. Tak sedikit pun ia menunjukkan kepedihan hatinya pada bapak dan ibunya. " Tapi kamu belum makan nak!", ucap ibunya dengan sorot matanya yang sayu, kentara sekali terlihat oleh Arumi, bias sedih di mata ibunya. "Tidak apa bu! Hari ini Arumi dimint
"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!" Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau ti