Nafkah 50 Ribu Rupiah

Nafkah 50 Ribu Rupiah

By:  Aksara Adeera  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
1 rating
15Chapters
649views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Usia pernikahanku dengan Mas Hasan terhitung sudah setahun. Selama ini, aku sangat percaya terhadapnya. Bahkan, apa pun ucapannya selalu aku turuti. Nafkah yang ia berikan hanya 50 ribu rupiah, tapi selalu aku cukupkan untuk kebutuhan sehari-hari. Sampai suatu hari, aku tahu tentang sebuah kebohongan besar yang dilakukan oleh Mas Hasan. Lantas, apakah aku harus diam saja dan pura-pura tidak mengetahui apa pun?

View More
Nafkah 50 Ribu Rupiah Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Aksara Adeera
Semoga banyak yang suka
2024-05-29 13:21:11
0
15 Chapters
1. Dusta
Gemercik air hujan mulai turun membasahi sekitaran rumah. Kilatan petir tampak berlarian ke sana kemari melewati awan, meninggalkan bunyi gemuruh yang menggelegar. Refleks, aku langsung menutup pintu rumah kontrakan, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu.Sekilas diri ini menatap ke arah jam dinding, sudah jam segini Mas Hasan belum juga pulang. Pekerjaan sebagai kurir paket membuatnya terkadang pulang larut malam lantaran mengejar setoran paket di hari tersebut. Sungguh, hati ini merasa cemas dibuatnya.Sejenak, aku mulai mondar-mandir di area ruang tamu sambil menggigit kuku jari tangan. Dalam hati terasa waswas, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada lelaki itu. Tidak henti-hentinya aku merapal doa dan meminta perlindungan untuk Mas Hasan.Tin! Tin!Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson motor dari arah luar. Bergegas aku mengintip dari celah gorden, tampak motor Mas Hasan terparkir di sana. Lekas aku membuka pintu, kemudian menghampiri lelaki itu samp
Read more
2. Bukti Transfer
Setelah makan seporsi bakso urat, perutku tidak lagi keroncongan. Bahkan, sepertinya malam ini aku akan tidur dengan pulas. Sesampai di rumah, langsung cuci kaki dan sedikit bersih-bersih, lalu pergi ke kamar.Lekas kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini tidak kunjung terpejam. Hanya saja, diriku masih asyik melamun sambil menatap langit-langit kamar. Masih teringat dalam benak perihal chat Mas Hasan dengan ibunya. Rasa penasaran semakin bergejolak, membuat diri makin gencar mengumpulkan niat untuk mengintai ponsel lelaki itu.Kali ini, otakku harus berpikir keras untuk menyusun strategi mengambil ponsel itu. Sebelumnya akan kupastikan Mas Hasan tidur lebih dulu. Jika tidak, ia akan mengetahui rencanaku lebih awal.“Kok, kamu belum tidur, Dek?” Mas Hasan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat.“Oh, iya, Mas. Ngantuk, sih, tapi belum bisa merem. Pengen dipeluk Mas, deh, kayaknya.”Sengaja aku menjawab demikian. Biasanya, Mas Hasan akan lebih cepat tidur dul
Read more
3. Fakta Baru
Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.Aku langsung mengirim pesan ke Whatsapp Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya.[Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?][Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?]Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet.[Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?][Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu
Read more
4. Di Antara Dua Pilihan
***Matahari berada tepat di atas kepala. Cuaca siang ini sangat terik, ditambah debu-debu jalanan beterbangan ke sana kemari. Tanpa sadar, keringat sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis.Baru setengah hari kerja, kiriman paket masih tersisa sekitar 40 alamat. Huft, hari ini jatah paketku lebih banyak dari biasanya. Lekas aku menancap gas motor dan bergegas mengirim paket ke alamat tertera. Tidak perlu menggunakan Google Maps lagi, sebab diriku sudah hafal betul seluk-beluk daerah sekitar sini.Drrtt! Drrttt!Sejenak terasa ponselku bergetar. Secepat kilat aku menepikan motor untuk melihat siapa yang menelepon barusan. Tertera nama Ibu di sana. Saking penasaran, langsung kupencet tombol hijau sekaligus ikon loudspeaker di layar ponsel.“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu?” tanyaku sambil melepas helm.“Waalaikumsalam. San, transfer Ibu 5 juta lagi, dong. Sekarang, ya. Ibu tunggu, penting!”“Ya Allah, Bu. Kan, semalam udah aku transfer 5 juta, Bu. Kok, masih minta lagi, sih?”“N
Read more
5. Kejujuran
“Jujur aja, Mas. Nggak apa-apa, kok.”Lagi, wanita itu berucap dengan setengah memaksa. Sorot matanya tampak tajam seolah hendak mencari suatu kebenaran dalam diriku. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa berbohong lagi.“Ya udah, Mas mau jujur, Dek. Janji, ya, kamu nggak akan marah sama Mas? Sebenarnya Mas udah capek bohong terus kayak gini. Mas juga terpaksa bohong sama kamu.” Aku menjeda ucapan sejenak, berusaha mengatur napas dan tempo nada saat berbicara.“Hmmm ….” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Silvi. Dari gelagatnya, sepertinya ia memang mengetahui sesuatu.“Sebenarnya, gaji harian Mas itu 200 ribu, Dek. Terus, kalau udah mencapai target, Mas dapat bonus 50 ribu.”“Iya, terus?”“T-tapi … Mas cuma kasih nafkah 50 ribu per hari, soalnya sisanya itu Mas pak–”“Mas pakai buat transfer ke Ibu, kan?” potong Silvi. Jujur, aku terperangah mendengar jawabannya barusan.“K-kamu tahu dari mana, Dek?”Sejenak wanita itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar.
Read more
6. Bukan ATM Berjalan
“Mas, lihat ini, deh! Ibu kayaknya lagi banyak duit sekarang.” Silvi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan status Whatsapp milik Ibu.Aku mengamati status yang diposting oleh Ibu beberapa menit lalu. Memperlihatkan sebuah gambar restoran mewah dengan bermacam-macam menu sajian yang terlihat mewah juga. Bahkan, di foto itu Ibu juga mengenakan perhiasan baru di pergelangan tangan kiri serta dua cincin emas yang melingkar apik di dua jarinya.“Hmm … Ibu nggak berubah ternyata.” Aku bergumam pelan sembari mengamati status Whatsapp itu terus-menerus.“Lihat sendiri, kan, Mas? Uang bulanan yang Mas kasih justru dibuat foya-foya oleh Ibu. Hedon sekali gayanya!” Silvi menanggapi ucapanku barusan. “Bukannya aku iri melihat Ibu pakai perhiasan banyak seperti itu, tapi aku nggak ikhlas kalau hasil jerih payah suamiku justru dibuat foya-foya seperti itu!”“Hm … Mas minta maaf, Dek.”Penyesalan selalu datang belakangan. Sesuatu yang tadinya selalu menjadi patokan sebagai tanda bakti, ternyata just
Read more
7. Tamu Tak Diundang
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu
Read more
8. Pindah?
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
Read more
9. Huru-hara
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
Read more
10. Iri Hati
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
Read more
DMCA.com Protection Status