***
Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
Gemercik air hujan mulai turun membasahi sekitaran rumah. Kilatan petir tampak berlarian ke sana kemari melewati awan, meninggalkan bunyi gemuruh yang menggelegar. Refleks, aku langsung menutup pintu rumah kontrakan, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu.Sekilas diri ini menatap ke arah jam dinding, sudah jam segini Mas Hasan belum juga pulang. Pekerjaan sebagai kurir paket membuatnya terkadang pulang larut malam lantaran mengejar setoran paket di hari tersebut. Sungguh, hati ini merasa cemas dibuatnya.Sejenak, aku mulai mondar-mandir di area ruang tamu sambil menggigit kuku jari tangan. Dalam hati terasa waswas, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada lelaki itu. Tidak henti-hentinya aku merapal doa dan meminta perlindungan untuk Mas Hasan.Tin! Tin!Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson motor dari arah luar. Bergegas aku mengintip dari celah gorden, tampak motor Mas Hasan terparkir di sana. Lekas aku membuka pintu, kemudian menghampiri lelaki itu samp
Setelah makan seporsi bakso urat, perutku tidak lagi keroncongan. Bahkan, sepertinya malam ini aku akan tidur dengan pulas. Sesampai di rumah, langsung cuci kaki dan sedikit bersih-bersih, lalu pergi ke kamar.Lekas kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini tidak kunjung terpejam. Hanya saja, diriku masih asyik melamun sambil menatap langit-langit kamar. Masih teringat dalam benak perihal chat Mas Hasan dengan ibunya. Rasa penasaran semakin bergejolak, membuat diri makin gencar mengumpulkan niat untuk mengintai ponsel lelaki itu.Kali ini, otakku harus berpikir keras untuk menyusun strategi mengambil ponsel itu. Sebelumnya akan kupastikan Mas Hasan tidur lebih dulu. Jika tidak, ia akan mengetahui rencanaku lebih awal.“Kok, kamu belum tidur, Dek?” Mas Hasan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat.“Oh, iya, Mas. Ngantuk, sih, tapi belum bisa merem. Pengen dipeluk Mas, deh, kayaknya.”Sengaja aku menjawab demikian. Biasanya, Mas Hasan akan lebih cepat tidur dul
Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.Aku langsung mengirim pesan ke Whatsapp Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya.[Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?][Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?]Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet.[Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?][Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu