Share

Nafkah 50 Ribu Rupiah
Nafkah 50 Ribu Rupiah
Author: Aksara Adeera

1. Dusta

Gemercik air hujan mulai turun membasahi sekitaran rumah. Kilatan petir tampak berlarian ke sana kemari melewati awan, meninggalkan bunyi gemuruh yang menggelegar. Refleks, aku langsung menutup pintu rumah kontrakan, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu.

Sekilas diri ini menatap ke arah jam dinding, sudah jam segini Mas Hasan belum juga pulang. Pekerjaan sebagai kurir paket membuatnya terkadang pulang larut malam lantaran mengejar setoran paket di hari tersebut. Sungguh, hati ini merasa cemas dibuatnya.

Sejenak, aku mulai mondar-mandir di area ruang tamu sambil menggigit kuku jari tangan. Dalam hati terasa waswas, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada lelaki itu. Tidak henti-hentinya aku merapal doa dan meminta perlindungan untuk Mas Hasan.

Tin! Tin!

Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson motor dari arah luar. Bergegas aku mengintip dari celah gorden, tampak motor Mas Hasan terparkir di sana. Lekas aku membuka pintu, kemudian menghampiri lelaki itu sampai teras rumah.

Lelaki itu pulang dengan mengenakan jas hujan kelelawar miliknya. Dari kejauhan, bibir Mas Hasan tampak memucat. Aku sempat khawatir, lekas mengambil alih helm yang sedari tadi dipegang olehnya, lalu menaruhnya di tempat penyimpanan helm yang ada di beranda rumah.

“Bawa sini jas hujannya, Mas. Biar aku gantung. Kamu langsung ke belakang aja, cuci kaki sama bersih-bersih.”

Setelah menaruh helm, kuraih jas hujan yang langsung disodorkan oleh sang empunya. Lekas mengambil sebuah hanger yang sengaja aku taruh di beranda rumah, kemudian menggantung jas hujan tersebut di depan pintu. Sembari menunggu Mas Hasan cuci muka, diriku bergegas ke dapur untuk merebus air hangat.

“Nanti tunggu dulu di depan, Mas. Aku masih rebus air hangat untuk mandi.”

“Iya.” Terdengar sahutan Mas Hasan dari dalam kamar mandi.

Tidak berapa lama, Mas Hasan keluar dari kamar mandi. Detik berikutnya, lelaki itu menyodorkan selembar uang kertas berwarna biru. Aku langsung menerimanya, kemudian memasukkan uang tersebut ke dalam kantong daster.

“Maaf, ya, Dek. Gaji Mas hari ini cuma segini.”

“Iya, nggak apa-apa, kok, Mas. Disyukuri aja, ya?” jawabku sambil tersenyum. “Ya udah, Mas. Buruan mandi, sana. Tuh, airnya udah matang.”

Mas Hasan mengangguk, kemudian mengambil lap kain untuk mengambil panci berisi air panas tersebut. Selanjutnya, ia langsung menuang air rebusan itu ke dalam ember yang ada di kamar mandi.

Sambil menunggu lelaki itu mandi, aku langsung berjalan ke luar, mengepel lantai yang masih basah saat Mas Hasan masuk tadi. Sekitar lima menit setelahnya, lantai rumah sudah bersih. Kini, saatnya diriku beristirahat sejenak. Duduk di sofa seraya menunggu suamiku selesai mandi.

Drrttt! Drrttt!

Layar ponsel yang menyala sejak beberapa detik lalu sukses menyita perhatianku. Lekas kuambil ponsel Mas Hasan tanpa pikir panjang. Setelah berhasil membuka password-nya, langsung terlihat pesan yang dikirim oleh Bu Sarah, ibu mertuaku.

[San, transfer Ibu lima juta, ya. Ibu butuh banget, nih. Belum bayar arisan. Ibu tunggu sekarang, thanks!]

Aku terperangah saat membaca chat tersebut. Bagaimana bisa mertuaku itu dengan entengnya meminta uang lima juta pada Mas Hasan? Padahal, selama ini yang kutahu gaji Mas Hasan sebagai kurir paket hanya 50 ribu rupiah per hari. Itu pun dia harus lembur sampai malam untuk mengejar target.

Saking penasarannya, aku langsung men-scroll percakapan Mas Hasan dengan ibunya. Alangkah kaget dibuatnya ketika tahu bahwa Mas Hasan minggu lalu mentransfer uang sebesar dua juta rupiah ke rekening sang ibu. Tak mau kehilangan bukti, aku langsung mengirim screenshot bukti transfer itu ke nomorku. Setelahnya, langsung menghapus pesan tersebut dari ponsel Mas Hasan agar dirinya tidak curiga. 

Sungguh di luar nalar, bagaimana bisa suamiku memiliki uang sebanyak itu? Bahkan, dengan entengnya lelaki itu langsung mengirim sejumlah uang berapa pun yang diminta oleh ibunya. Sementara itu, aku di sini berjuang mati-matian untuk mencukupkan nafkah pas-pasan yang diberikan olehnya. Bukan pas-pasan lagi, melainkan sangat minim untuk sepasang suami istri. Belum lagi, saat dirinya meminta kembali uang nafkah yang telah diberikan padaku dengan alasan untuk membeli bensin.

“Uuhhh, segerrr!” Terdengar suara Mas Hasan yang baru keluar dari kamar mandi. Cepat-cepat aku mengembalikan ponsel itu di tempat semula, kemudian pura-pura tidak tahu kalau ada chat masuk dari Bu Sarah.

“Udah mandinya, Mas?” tanyaku basa-basi.

“Udah, Dek. Alhamdulillah, seger. Brrr!”

“Kamu belum makan, kan? Ayo kita makan di luar, Mas!”

Mas Hasan mengernyit heran mendengar ucapanku barusan. “Makan di luar?”

Aku mengangguk mantap. “Iya, dong. Sesekali makan di luar, kan, boleh.”

“Terus, uangnya gimana?”

Tanganku merogoh saku daster, lekas mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribuan yang diberikan oleh Mas Hasan tadi. Lelaki itu masih terdiam, tampaknya masih belum mengerti apa yang aku maksud.

“Kok, bengong? Pakai uang ini, Mas. Iya, uang yang tadi kamu kasih.”

“Loh, mana bisa gitu, Dek? Kan, itu uang jatah buat besok, Dek. Kalau sekarang kita makan di luar, besok kamu belanja pakai uang apa coba?”

“Ya pakai uang kamu, Mas. Kan, tadi aku bilang sesekali boleh, dong? Udah, ayo! Aku mau siap-siap dulu.”

Mas Hasan masih bergeming menatap kepergianku barusan. Mungkin, dia sedikit kaget melihat sikap istrinya berubah drastis. Benar, ini bukanlah karakterku yang sebenarnya. Saat ini, aku hanya ingin menguji kejujuran lelaki itu. Sampai kapan dia bisa bertahan untuk terus-menerus membohongi istrinya seperti ini?

***

Tidak memiliki pilihan lain, lelaki itu harus menuruti keinginanku malam ini. Sedari tadi kulihat raut mukanya tampak kusut seperti baju yang belum disetrika.

“Kenapa wajah Mas kusut begitu? Oh, aku tahu, deh, kayaknya. Mas nggak ikhlas ngajak aku makan di luar, kan?” tuduhku asal.

“Nggak gitu, Dek. Mas cuma mikirin besok kamu belanjanya pakai uang apa? Kan, Mas udah nggak punya uang lagi, Dek.” Mas Hasan menjawab dengan ekspresi sedikit memelas.

Aku tersenyum miring, apa dia pikir diriku sebodoh itu? Oh, tentu tidak! Sudah cukup aku dibohongi selama ini. Sejak pernikahan kami setahun lalu, aku sepenuhnya berganti status menjadi ibu rumah tangga. Ya, itu semua karena Mas Hasan melarang istrinya untuk bekerja. Bahkan, ia yakin bisa menafkahiku dengan layak. Nyatanya, hal itu berbanding terbalik. Mas Hasan justru memberi jatah sebesar 50 ribu rupiah per hari. Apa itu yang disebut layak?

Antara polos dan bodoh, waktu itu aku percaya sepenuhnya dan menuruti permintaan lelaki itu untuk resign. Sudah aku ikhlaskan jabatan bertahun-tahun sebagai admin di sebuah perusahaan ternama di kota ini. Bahkan, waktu itu gajiku tiga kali lipat dari gaji Mas Hasan sebagai kurir paket.

“Apa kata besok, deh, Mas. Lagian, kamu ini aneh, deh. Cuma ngajak istri makan di luar, bebannya udah kayak diminta uang lima juta aja!” Sindiran halus tiba-tiba meluncur begitu saja. Dapat kulihat dari ekor mata, lelaki itu sedikit kaget mendengar ucapanku barusan.

“Mas udah nggak punya uang lagi, Dek. Bensin motor aja udah nipis banget. Rencananya, uang yang tadi Mas kasih itu mau dipinjem lagi buat isi bensin besok pagi.”

Spontan aku mengernyit heran. Jawaban yang terlontar dari bibir Mas Hasan sungguh di luar nalar. Bisa-bisanya dia kepikiran berencana hendak meminta kembali uang itu besok pagi? Huft, entah terbuat dari apa hati dan pikirannya. Setelah menikah, barulah sifat aslinya terlihat.

“Gini, deh. Kalau bensin Mas beneran habis, nanti aku ambil uang tabungan kita, deh. Nggak gratis, tapi Mas harus balikin uang itu dua hari lagi!” usulku.

Mas Hasan hanya bergeming, tidak lagi menimpali usulku barusan. Mungkin ia telanjur lelah menghadapi sikapku yang berubah menjadi wanita keras kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status