Dalam setiap hubungan, pasti pernah menghadapi kesalahpahaman dengan pasangan. Namun aku bimbang apakah permintaan maaf cukup untuk menebusnya? Inilah kisahku, Alnaira Riquina atau biasa dipanggil Ira, tentang sebuah kesalahpahaman, dimana dengan bersikap sabar dan diam, menyebabkan perpecahan hubungan dengan suamiku, Reyvaldo Anggara yang biasa dipanggil Rey. Dan ketika semuanya sudah terlambat, sulit untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami yang sudah rusak. Pernikahanku tidak pernah direstui keluarga suami karena kekurangan yang dimiliki sisi keluargaku. Setelah lima tahun menikah dan kami pun tidak kunjung memberikan keturunan, ibu mertuaku-pun semakin membenciku dan seringkali memaki sebagai istri tidak berguna. Sampai puncaknya, ibu mertuaku mengundang seorang wanita ke rumah untuk dijodohkan dengan suami karena diriku dianggap mandul. Sudah sejauh ini lika-liku pernikahanku dengan Rey. Mencoba bertahan dan mencari jalan keluar dengan suami sudah kulakukan. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk menyerah dan ingin kubuktikan bahwa ada orang lain yang bisa memperlakukan dan menghargaiku dengan lebih baik.
View MoreAku duduk di sofa ruang tamu, mencoba menenangkan diriku. Tanganku gemetar, saling menggenggam erat di pangkuanku. Di depanku, Mas Rey duduk diam dengan kepala menunduk. Dia selalu begitu—terdiam ketika kami harus membahas sesuatu yang penting, terutama jika itu menyangkut ibunya.
"Ibu … lagi-lagi membicarakan soal Citra," katanya akhirnya, suaranya terdengar lelah. Citra. Nama itu seperti belati yang menusuk dadaku setiap kali disebutkan. Aku tahu betul apa yang ingin disampaikan Mas Rey, bahkan sebelum dia membuka mulut. Citra adalah wanita yang dianggap ibu mertuaku sebagai istri ideal untuk Mas Rey. Dan aku? Aku hanyalah istri yang, menurut beliau, tidak pernah cukup baik. "Apa yang ibu katakan kali ini?" tanyaku, suaraku bergetar meskipun aku mencoba untuk tegar. Mas Rey menghela napas panjang, lalu berkata, "Ibu bilang … aku harus mempertimbangkan ulang pernikahan kita. Katanya, lima tahun tanpa anak adalah bukti bahwa … mungkin ada sesuatu yang salah." Aku terdiam. Kata-kata itu bukan hal baru bagiku. Aku sudah terlalu sering mendengar sindiran tentang ketiadaan anak dalam rumah tangga kami. Tapi mendengarnya keluar dari mulut Mas Rey—suamiku, orang yang seharusnya menjadi pelindungku—tetap saja melukai hati ini. "Apa Mas setuju dengan ibu?" tanyaku akhirnya. "Apa Mas merasa aku … tidak cukup baik untukmu?" Mas Rey mendongak, menatapku dengan mata yang dipenuhi rasa bersalah. "Tentu saja tidak, Sayang. Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Sayang tahu itu." Aku ingin mempercayainya, sungguh. Tapi rasanya semakin sulit. Kata-katanya mungkin terdengar meyakinkan, tapi aku tahu bagaimana Mas Rey. Dia mencintaiku, ya, tapi Mas Rey terlalu lemah untuk menghadapi ibunya. "Aku sudah mencoba menjelaskan ke ibu," lanjutnya. "Tapi Ibu … Ibu tidak mau mendengarkan." "Tentu saja Ibu tidak mau mendengarkan," potongku, suaraku sedikit meninggi. "Karena Ibu sudah memutuskan sejak awal bahwa aku ini tidak pantas untukmu. Apa pun yang Mas katakan tidak akan mengubah pikirannya." Mas Rey terdiam, dan aku merasa marah sekaligus putus asa. "Mas," kataku pelan. "Aku lelah." Mas Rey menatapku, matanya penuh kekhawatiran. "Lelah? Maksudnya apa, Yang?" "Aku lelah harus selalu membuktikan diriku, Mas," kataku, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku lelah mencoba meyakinkan ibumu bahwa aku layak berada di sini. Aku lelah menghadapi semua ini sendirian." "Mas tidak membiarkanmu sendirian," bantah Mas Rey. Aku tertawa kecil, tanpa humor. "Benarkah? Mas tahu bagaimana ibu memperlakukanku, tapi Mas hanya diam. Mas membiarkannya menghinaku, meremehkanku, seolah-olah aku ini bukan manusia." "Mas tidak tahu harus bagaimana," bisik Rey. Dan di situlah masalahnya. Mas Rey tidak tahu harus bagaimana, dan aku yang harus menanggung semuanya. --- Malam itu, aku duduk di depan cermin di kamar kami, menatap bayangan diriku sendiri. Wajahku terlihat lelah, dengan mata yang sembab karena menangis. Lima tahun. Lima tahun aku mencoba bertahan dalam pernikahan ini, berharap segalanya akan menjadi lebih baik. Tapi setiap hari terasa seperti medan pertempuran, dan aku mulai merasa tidak punya cukup tenaga untuk terus berjuang. Pernikahan kami tidak pernah mendapat restu dari ibu mertua. Dari awal, beliau sudah menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Alasannya? Karena aku berasal dari keluarga sederhana. Ayahku hanya seorang pegawai negeri biasa, dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Tidak ada yang istimewa. Dan kini, setelah lima tahun menikah, alasan lain muncul: aku belum bisa memberikan keturunan. Ibu mertuaku selalu mengingatkanku, dengan nada suara yang sinis, bahwa seorang wanita hanya dianggap "berharga" jika bisa melahirkan anak. Padahal, aku tahu masalah ini bukan sepenuhnya salahku. Kami sudah memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnya menyatakan bahwa kami berdua sehat. Tapi tetap saja, aku yang disalahkan. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku mencintai Mas Rey, tapi cinta saja tidak cukup. Pernikahan ini terasa seperti perang yang harus kuhadapi sendirian, dan aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. --- Pagi harinya, aku beranjak ke ruang makan dengan perasaan berat. Aku tidak tahu apa yang menungguku, tapi aku mencoba bersikap tenang. Ketika aku masuk, aku tertegun. Di meja makan, ibu mertua duduk dengan senyum yang terlihat puas, sementara seorang wanita muda yang cantik duduk di sebelahnya. Wanita itu … aku mengenalinya. Dia Citra. "Oh, Ira," kata ibu mertuaku dengan nada sinis. "Akhirnya kau bangun juga. Kemarilah, kenalkan dirimu pada Citra." Aku berdiri kaku di ambang pintu, mencoba mencerna situasi ini. Apa maksudnya membawa Citra ke rumah kami? "Citra ini calon istri Rey," lanjutnya, seolah-olah aku tidak ada di ruangan itu. "Kalau saja Rey mau mendengarkan ibunya, pernikahan ini pasti jadi yang pertama untuknya dan megah dengan banyaknya tamu yang hadir." Aku merasakan darahku mendidih, tapi aku mencoba tetap tenang. Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Mas Rey masuk ke dalam ruangan. "Bu, cukup," katanya tegas. "Kita sudah membahas ini." Ibu mertuaku mendengus. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Rey. Kau tahu sendiri, pernikahanmu tidak membawa kebahagiaan. Kau pantas mendapatkan wanita yang lebih baik." Aku merasa seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingku. Kata-kata ibu mertuaku adalah hal yang sudah sering kudengar, tapi mendengarnya diucapkan langsung di depan Citra membuatnya terasa jauh lebih menyakitkan. Mas Rey menatap ibunya dengan tajam. "Ira adalah istriku, dan aku mencintainya. Tidak ada yang bisa mengubah itu, termasuk Ibu." Kata-kata Mas Rey mungkin terdengar meyakinkan, tapi aku tahu itu tidak cukup. Ibu mertuaku tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan Mas Rey … Mas Rey terlalu lemah untuk melawannya. Setelah sarapan yang penuh ketegangan, aku memutuskan untuk pergi ke taman kecil di dekat rumah. Aku duduk sendirian di bangku kayu, mencoba menenangkan pikiranku. Tapi permasalahan itu tetap hinggap di pikiranku. "Apakah aku benar-benar tidak cukup baik untuk Mas Rey?" gumamku pada diri sendiri. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku merasa seperti terperangkap dalam pernikahan yang tidak pernah benar-benar menjadi milikku. Aku mencintai Mas Rey, tapi cinta itu terasa seperti racun yang perlahan-lahan menghancurkan diriku. Aku tahu aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku harus membuat keputusan. Aku harus menemukan cara untuk mempertahankan harga diriku, bahkan jika itu berarti aku harus melepaskan Mas Rey. Keputusan yang sangat sulit dan dilematis. Dengan keraguan yang menghantui pikiranku, aku tahu bahwa hidupku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melangkah maju, apa pun yang terjadi. Setiap langkah yang kuambil mulai sekarang akan menentukan masa depanku, dan aku tidak boleh menyerah.Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d
Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.
Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be
Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments