Share

6. Bukan ATM Berjalan

“Mas, lihat ini, deh! Ibu kayaknya lagi banyak duit sekarang.” Silvi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan status W******p milik Ibu.

Aku mengamati status yang diposting oleh Ibu beberapa menit lalu. Memperlihatkan sebuah gambar restoran mewah dengan bermacam-macam menu sajian yang terlihat mewah juga. Bahkan, di foto itu Ibu juga mengenakan perhiasan baru di pergelangan tangan kiri serta dua cincin emas yang melingkar apik di dua jarinya.

“Hmm … Ibu nggak berubah ternyata.” Aku bergumam pelan sembari mengamati status W******p itu terus-menerus.

“Lihat sendiri, kan, Mas? Uang bulanan yang Mas kasih justru dibuat foya-foya oleh Ibu. Hedon sekali gayanya!” Silvi menanggapi ucapanku barusan. “Bukannya aku iri melihat Ibu pakai perhiasan banyak seperti itu, tapi aku nggak ikhlas kalau hasil jerih payah suamiku justru dibuat foya-foya seperti itu!”

“Hm … Mas minta maaf, Dek.”

Penyesalan selalu datang belakangan. Sesuatu yang tadinya selalu menjadi patokan sebagai tanda bakti, ternyata justru disalahgunakan oleh Ibu kandung sendiri. Hal itu membuat tekadku semakin bulat agar tidak memberikan jatah uang bulanan secara berlebihan pada wanita itu.

Drrrttt! Drrrttt!

Terdengar nada dering dibarengi getaran pada ponsel yang sedari tadi masih berada di dalam saku celana. Lekas kuambil ponsel hitam itu, lalu melihat siapa yang menelepon barusan. Aku berdecak sebal saat mengetahui siapa orang itu.

“Ibu lagi? Ngapain Ibu telepon malam-malam gini?”

Firasat mulai tidak enak. Aku menyodorkan ponsel itu pada Silvi. Ia justru mengendikkan bahu seolah tidak mau menjawab telepon dari Ibu. Mau tak mau, langsung aku jawab panggilan tersebut. Sengaja aku loudspeaker agar Silvi bisa mendengar percakapan kami.

“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu? Kok, tumben banget telepon malam-malam gini?”

“Waalaikumsalam. San, Ibu minta uang lagi, dong. Minggu depan Ibu ada acara rekreasi sama anggota arisan soalnya, tapi uangnya terakhir dikumpulkan besok. Nggak banyak, cuma 1,5 juta, kok. Biayanya satu juta, terus uang saku buat Ibu 500 ribu, San. Transfer sekarang, ya. Ibu tunggu!”

“Maaf, aku nggak bisa transfer, Bu. Tabunganku udah ludes. Kan, kemarin aku udah transfer 5 juta ke rekening Ibu. Hari ini juga udah aku lunasin, kan, uang yang dipinjam sama Silvi? Pakai uang itu aja buat bayar rekreasinya, Bu.”

“Aduhhh … kamu ini gimana, sih? Uang itu udah dipakai buat bayar arisan, terus sisanya dibuat patungan makan-makan sama anggota arisan yang lain. Jadi, Ibu udah nggak punya uang lagi, San. Ayolah, tolong Ibu sekali ini, San. Nanti Ibu malu kalau nggak ikut rekreasi.”

“Nggak ada, Bu. Aku udah nggak punya uang lagi. Sisa di tabungan tinggal 900 ribu dan udah aku transfer ke rekening Silvi tadi.”

“Ngapain, sih, pakai dikirim ke rekening istrimu? Seharusnya ditransfer ke Ibu, dong. Kan, Ibu yang melahirkanmu bukan Silvi. Udah, kamu minta Silvi buat transfer ke rekening Ibu sekarang. Ibu tunggu, nggak mau tahu! Titik!”

Wajah Silvi mendadak merah padam saat mendengar namanya disangkutpautkan. Ekspresinya pun sudah berubah. Bahkan, dengan cekatan dirinya merampas ponsel dari genggamanku.

“Silvi juga nggak mau tahu, Bu! Enak saja Ibu cuma tahu minta uang terus. Apa nggak kasihan sama Mas Hasan? Dia kerja banting tulang buat biayain keluarga kecilnya, Bu, bukan malah menanggung biaya hidup Ibu yang hedon itu! Mas Hasan bukan ATM berjalan. Ingat itu!”

Seperti dugaanku, Silvi langsung menyemprot Ibu tanpa jeda. Bahkan, wanita itu juga meluapkan seluruh amarah yang memuncak sejak beberapa waktu lalu. Tak seperti Silvi yang biasa aku kenal sabar dan ramah, kali ini justru tampak sisi lain dari istriku itu.

“Heh, Silvi! Kurang ajar sekali mulutmu itu! Ibu ini mertuamu, ibu kandung dari suamimu! Wajar, dong, kalau Ibu minta uang pada anak sendiri? Ingat, dalam gaji Hasan ada hak Ibu yang telah merawat dia dari kecil!”

“Bu, nggak ada aturannya kayak gitu. Kalau Mas Hasan masih bujang, memang benar kalau ada hak Ibu di dalam gajinya. Kan, ini beda status, Bu. Mas Hasan udah jadi kepala keluarga. Kewajiban utamanya, ya, nafkahin istrinya, bukan orang tuanya. Lagian, Ibu nggak bersyukur banget jadi orang. Udah ditransferin uang jutaan, eh malah dibuat foya-foya gak jelas! Ibu, tuh, terlalu hedon, tapi nggak punya duit sendiri!”

Kepala bertambah pusing mendengar perdebatan dua wanita itu. Spontan aku menarik ponsel dari tangan Silvi, lalu memutus sambungan telepon secara sepihak. Tidak lupa pula mematikan paket data dan menyalakan mode pesawat agar Ibu tidak meneror terus-terusan.

“Tenangkan dirimu, Dek. Sabar, jangan terbawa emosi. Kita berproses bareng-bareng, ya, Dek.”

Lekas kupeluk tubuh Silvi, kemudian mengusap punggungnya secara lembut. Sejenak kurasakan tubuh mungil itu bergetar hebat, disertai isak tangis yang sengaja ditahan. Aku mengusap lembut puncak kepalanya, lalu menciumnya beberapa kali.

“Maafkan Mas, ya, Dek. Gara-gara ketidaktegasan Mas, kamu dan Ibu malah berantem kayak gini.”

Wanita itu tidak menjawab ucapanku barusan. Ia masih terus menangis, meluapkan segala keluh kesah yang selama ini tertahan. Aku tahu, dalam lubuk hatinya pasti menyesal telah berucap demikian pada Ibu. Silvi itu orang yang sabar meskipun telah disakiti berulang kali.

“M-maaf, ya, Mas. A-aku nggak bermaksud bentak Ibu seperti tadi. A-aku ….”

Silvi menjeda ucapan sejenak. Sengaja jari telunjuk aku tempelkan di depan bibirnya, sejenak beralih mengusap air mata yang terus membanjiri pipi wanita itu. Jujur, tak sanggup melihat Silvi menangis seperti ini.

“Nggak apa-apa, Dek. Mas juga paham tentang apa yang kamu rasain. Terlebih, kamu juga tahu kalau penyebab permasalahan kita selama ini adalah Ibu.”

“Maaf, Mas.”

Berulang kali Silvi mengucap kata maaf. Terbukti, hatinya memang selembut sutra. Dalam keadaan seperti ini, ia masih sempat meminta maaf beberapa kali.

“Ya udah, Dek. Ayo tidur! Udah malam, nih.”

Aku berdiri, menuntun Silvi menuju kamar. Wanita itu hanya menurut, tetap melangkah meski air matanya masih membanjiri pipi. Lekas aku mendudukkan dia di sudut ranjang sambil sesekali mengusap telapak tangannya dengan lembut.

Masih terlihat matanya begitu sembab. Tangan ini membingkai kedua pipi Silvi, lantas mengusap lelehan air mata yang kian deras. Mengusapnya dengan lembut sampai-sampai wanita itu merasa sedikit tenang.

“Tidur, yuk!” ucapku sambil menyuguhkan senyum termanis.

Silvi tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai pertanda. Cepat-cepat membaringkan tubuh istriku, lalu menutupi sebagian tubuh mungil itu dengan selimut yang ada di sudut ranjang. Tak lupa mendaratkan kecupan hangat di dahi Silvi. Sudah menjadi rutinitas kami sekaligus sebagai penenang saat dirinya sedih.

Baru sekejap, Silvi sudah tertidur pulas. Aku memandangi wajahnya yang terlihat natural tanpa balutan make up. Terlihat ayu dan kalem, persis seperti wanita-wanita di keraton.

“Cantik sekali istriku ini,” gumamku pelan.

Rasa sayang terhadap wanita itu kian bertambah. Bahkan, aku sangat takut kehilangan dia. Wanita seperti Silvi tergolong langka. Sifat sabar dan penurut belum tentu dimiliki oleh orang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status