Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
Gemercik air hujan mulai turun membasahi sekitaran rumah. Kilatan petir tampak berlarian ke sana kemari melewati awan, meninggalkan bunyi gemuruh yang menggelegar. Refleks, aku langsung menutup pintu rumah kontrakan, kemudian duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu.Sekilas diri ini menatap ke arah jam dinding, sudah jam segini Mas Hasan belum juga pulang. Pekerjaan sebagai kurir paket membuatnya terkadang pulang larut malam lantaran mengejar setoran paket di hari tersebut. Sungguh, hati ini merasa cemas dibuatnya.Sejenak, aku mulai mondar-mandir di area ruang tamu sambil menggigit kuku jari tangan. Dalam hati terasa waswas, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada lelaki itu. Tidak henti-hentinya aku merapal doa dan meminta perlindungan untuk Mas Hasan.Tin! Tin!Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson motor dari arah luar. Bergegas aku mengintip dari celah gorden, tampak motor Mas Hasan terparkir di sana. Lekas aku membuka pintu, kemudian menghampiri lelaki itu samp
Setelah makan seporsi bakso urat, perutku tidak lagi keroncongan. Bahkan, sepertinya malam ini aku akan tidur dengan pulas. Sesampai di rumah, langsung cuci kaki dan sedikit bersih-bersih, lalu pergi ke kamar.Lekas kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini tidak kunjung terpejam. Hanya saja, diriku masih asyik melamun sambil menatap langit-langit kamar. Masih teringat dalam benak perihal chat Mas Hasan dengan ibunya. Rasa penasaran semakin bergejolak, membuat diri makin gencar mengumpulkan niat untuk mengintai ponsel lelaki itu.Kali ini, otakku harus berpikir keras untuk menyusun strategi mengambil ponsel itu. Sebelumnya akan kupastikan Mas Hasan tidur lebih dulu. Jika tidak, ia akan mengetahui rencanaku lebih awal.“Kok, kamu belum tidur, Dek?” Mas Hasan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat.“Oh, iya, Mas. Ngantuk, sih, tapi belum bisa merem. Pengen dipeluk Mas, deh, kayaknya.”Sengaja aku menjawab demikian. Biasanya, Mas Hasan akan lebih cepat tidur dul
Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.Aku langsung mengirim pesan ke Whatsapp Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya.[Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?][Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?]Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet.[Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?][Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu
***Matahari berada tepat di atas kepala. Cuaca siang ini sangat terik, ditambah debu-debu jalanan beterbangan ke sana kemari. Tanpa sadar, keringat sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis.Baru setengah hari kerja, kiriman paket masih tersisa sekitar 40 alamat. Huft, hari ini jatah paketku lebih banyak dari biasanya. Lekas aku menancap gas motor dan bergegas mengirim paket ke alamat tertera. Tidak perlu menggunakan Google Maps lagi, sebab diriku sudah hafal betul seluk-beluk daerah sekitar sini.Drrtt! Drrttt!Sejenak terasa ponselku bergetar. Secepat kilat aku menepikan motor untuk melihat siapa yang menelepon barusan. Tertera nama Ibu di sana. Saking penasaran, langsung kupencet tombol hijau sekaligus ikon loudspeaker di layar ponsel.“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu?” tanyaku sambil melepas helm.“Waalaikumsalam. San, transfer Ibu 5 juta lagi, dong. Sekarang, ya. Ibu tunggu, penting!”“Ya Allah, Bu. Kan, semalam udah aku transfer 5 juta, Bu. Kok, masih minta lagi, sih?”“N