Share

4. Di Antara Dua Pilihan

***

Matahari berada tepat di atas kepala. Cuaca siang ini sangat terik, ditambah debu-debu jalanan beterbangan ke sana kemari. Tanpa sadar, keringat sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis.

Baru setengah hari kerja, kiriman paket masih tersisa sekitar 40 alamat. Huft, hari ini jatah paketku lebih banyak dari biasanya. Lekas aku menancap gas motor dan bergegas mengirim paket ke alamat tertera. Tidak perlu menggunakan G****e Maps lagi, sebab diriku sudah hafal betul seluk-beluk daerah sekitar sini.

Drrtt! Drrttt!

Sejenak terasa ponselku bergetar. Secepat kilat aku menepikan motor untuk melihat siapa yang menelepon barusan. Tertera nama Ibu di sana. Saking penasaran, langsung kupencet tombol hijau sekaligus ikon loudspeaker di layar ponsel.

“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu?” tanyaku sambil melepas helm.

“Waalaikumsalam. San, transfer Ibu 5 juta lagi, dong. Sekarang, ya. Ibu tunggu, penting!”

“Ya Allah, Bu. Kan, semalam udah aku transfer 5 juta, Bu. Kok, masih minta lagi, sih?”

“Nah, itu masalahnya. Uang yang kamu transfer semalam diminta sama istrimu, San.”

Aku sedikit kaget mendengar penjelasan Ibu. Bagaimana bisa Silvi meminta uang transferan semalam? Sedangkan dirinya saja tidak tahu perihal uang itu.

“Maksud Ibu gimana? Aku nggak paham, Bu.”

“Itu, istrimu katanya mau buka usaha olshop atau apa gitu, Ibu juga nggak tahu. Jadi, dia pinjam uang ke Ibu tadi. Ya … mau nggak mau, Ibu kasih uang dari kamu semalam. Daripada Ibu nanti dibilang pelit sama menantu sendiri, mendingan Ibu kasih pinjam, toh?”

Aku berdecak kesal, bisa-bisanya Silvi tidak memberi tahu apa pun padaku. Sejenak aku memijat pelipis yang masih basah, bekas terkena keringat yang mengucur deras. Tiba-tiba, kepala mendadak pusing dibuatnya.

“Hallo! Kamu masih denger Ibu, kan? Hallo, San!”

“Iya, Bu.”

“Ya udah, Ibu tunggu transferannya sekarang, ya. Uang itu mau Ibu pakai buat bayar arisan. Ingat, di dalam gajimu itu ada hak Ibu, loh. Hitung-hitung buat gantiin biaya merawatmu sampai seperti ini, San.”

Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon terputus sepihak. Tidak ada pilihan lain, aku harus mentransfer uang itu sekarang juga. Kalau tidak, Ibu pasti meneror terus-terusan.

Sebenarnya aku tidak mau membohongi Silvi terus-menerus. Akan tetapi, tuntutan dari Ibu selalu menjadi momok bagi diri sendiri. Wanita itu sering meminta uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan, sering kali beliau mengancam akan memberi tahu perihal total gajiku yang sebenarnya pada Silvi. Tidak hanya itu, bahkan beliau selalu mengungkit tentang biaya hidup merawat anaknya sejak masih bayi.

Aku tidak memiliki pilihan lain selain menuruti kemauan beliau. Bagaimanapun, beliau adalah orang yang telah melahirkan dan merawatku hingga dewasa. Sebenarnya ingin memberontak, tetapi belum mengetahui titik lemah wanita itu.

Transfer berhasil!

Langsung kukirimkan bukti screenshot kepada Ibu melalui chat W******p. Tidak butuh waktu lama, pesan itu langsung bercentang biru. Wanita itu segera membalas pesanku dengan stiker bergambar jempol.

Ah, sial! Baru satu hari, tabungan langsung terkuras sepuluh juta. Saat mengecek saldo di m-banking spontan membuat mata melotot. Bagaimana tidak, saldo yang tersisa di rekening tinggal satu juta saja.

“Sial!” Aku berdecak kesal sambil memukul kencang batok motor matic itu.

Tanpa membuang waktu, lekas beralih ke bidang chat W******p dengan Silvi. Lekas aku mengirimkan pesan padanya, bermaksud tanya perihal olshop dan uang lima juta itu. Sebenarnya tidak masalah jika ia hendak membuka olshop. Hanya saja, dirinya tidak jujur hingga menyebabkan uang tabungan terkuras sepuluh juta rupiah.

[Pakai gaji Mas dulu aja, tadi aku udah bilang ke Ibu kalau bayarnya pakai gaji Mas bulan depan.]

Jawaban yang ditulis oleh Silvi membuat diri ini naik pitam. Bisa-bisanya ia berucap demikan. Hal itu pasti akan dimanfaatkan oleh Ibu nantinya. Seandainya saja dia tahu perihal gajiku dan Ibu, pasti Silvi tidak akan berucap dengan enteng seperti itu.

Ah, sudahlah! Bertanya pada Silvi justru membuat kepala semakin pusing. Sengaja tidak membalas pesan darinya, tidak ingin membuat perdebatan semakin panjang. Lebih baik waktu yang ada aku gunakan dengan sebaik-baiknya sebab paket hari ini masih tersisa banyak. Nanti malam saja akan aku bicarakan dengannya.

***

“Alhamdulillah, selesai!”

Aku bermonolog setelah mengirimkan semua paket hari ini. Ya, aku memang bekerja keras dan serba cepat agar mendapat bonus harian sebesar 50 ribu rupiah. Bonus itu yang nantinya akan aku berikan pada Silvi sebagai nafkah.

Motor matic kesayanganku mulai melaju pelan, membelah jalan raya yang masih dipadati kendaraan roda empat. Sekilas aku menengok ke arah sebuah warung yang ada jam dinding besar di tengahnya. Jarum jam tepat menunjukkan pukul tujuh malam. Diriku segera menuju ke pom bensin sekaligus menarik uang di ATM center yang ada di lokasi tersebut.

Setelah mengantre cukup lama, aku sudah berada di depan ATM center, langsung kutarik uang sebesar seratus ribu rupiah. Rencananya, uang itu akan aku belikan bensin full tangki sedangkan sisanya untuk nafkah Silvi hari ini.

“Ah, sial! Tabunganku tinggal 900 ribu aja. Belum lagi besok harus gantiin uang tabungan Silvi. Ck!” Aku menggerutu sambil keluar dari mesin ATM.

Selesai mengambil uang dan mengisi bensin, gegas diriku pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku sangat cemas memikirkan cara untuk membuka obrolan dengan istriku nanti. Begitu sayangnya diri ini dengan Silvi, sampai-sampai tidak tega untuk melukai hatinya lagi. Sudah cukup aku membohonginya selama ini perihal gaji, tidak ingin menambah kebohongan dengan permasalahan lain.

Saat motor matic yang aku kendarai memasuki kawasan rumah, dari kejauhan tampak Silvi sedang duduk di teras sambil berdiam diri. Lekas kumatikan mesin motor dan memarkirnya dengan rapi. Silvi langsung berdiri, menyambut kedatanganku dengan senyum ramah.

“Alhamdulillah kamu udah pulang, Mas.” Senyum manis tersuguh di poros bibirnya, membuat hati ini mendadak berdebar.

“Iya, Dek. Ngapain nunggu di luar? Masuk, yuk!”

Wanita itu mengekor di belakang. Saat di ruang tamu, ia hendak pergi ke dapur, tetapi aku cegah.

“Sini dulu, Mas mau ngobrol.” Spontan dirinya langsung duduk di sebelahku sambil memasang muka serius.

“Ngobrol apa, Mas?”

“Coba ceritain, gimana awalnya kok bisa tiba-tiba kepikiran mau buka olshop? Bahkan, sampai pinjam uang ke Ibu.”

Dahi wanita itu mengernyit, tampaknya ia sedikit risi dengan pertanyaan barusan. “Memangnya Ibu cerita apa?”

Mau tak mau, mulai aku ceritakan kejadian tadi siang. Bermula saat Ibu menelepon ketika aku sedang mengantar paket. Sekilas terlihat ekspresi Silvi seperti menyimpan segudang pertanyaan yang hendak diajukan.

“Kok, Ibu bisa punya uang sebanyak itu, ya, Mas? Padahal, Bapak kan cuma kerja jualan keliling. Masa iya, nafkah dari Bapak yang dikasih ke Ibu melebihi nafkah Mas ke aku? Bahkan, aku aja nggak punya tabungan segitu, loh.”

Sekakmat! Seperti mati kutu aku dibuatnya. Aku mulai bingung menyiapkan jawaban yang tepat. Tanpa sadar, ekspresi bingungku justru mengundang kecurigaan wanita itu.

“Oh, aku tahu … jangan bilang kalau selama ini Mas kasih duit ke Ibu tanpa sepengetahuanku? Iya, kan?”

Mendengar pertanyaan barusan membuat tubuh ini panas dingin. Mati aku, pasti Silvi sudah menemukan beberapa bukti hingga dirinya berani melontarkan jawaban seperti itu. Aku tahu betul perangai wanita itu, ia tidak akan menuduh seseorang tanpa bukti.

“Jujur aja nggak apa-apa, kok, Mas. Aku janji nggak akan marah kalau kamu jujur. Lagian, aku nggak pernah ngelarang kamu untuk kasih uang ke Ibu, kan?”

Nyawa bagai di ujung tanduk. Sejujurnya, aku masih bimbang di antara dua pilihan. Antara jujur atau tidak, lebih sedikit mana risikonya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status