Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.
Aku langsung mengirim pesan ke W******p Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya. [Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?] [Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?] Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet. [Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?] [Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu sama aja melanggar peraturan, aku bisa dapat SP dari atasan.] [Please, Mbak. Kali ini aja bantuin aku. Aku janji nggak akan melibatkan Mbak Daning dalam masalah ini.] [Baiklah, tapi jangan sampai orang lain tahu, ya. Mbak percaya sama kamu, Sil.] [Siap, Mbak. Aman!] Hanya butuh beberapa menit, sebuah file p*f berisi slip gaji Mas Hasan mendarat di bidang chat kami. Lekas aku membuka file tersebut, langsung mencadangkannya di tempat lain. Khawatir jika suatu saat file itu terhapus tanpa sengaja. Mataku membeliak saat membaca nominal yang tertera di slip gaji tersebut. Di situ tertulis bahwa gaji harian Mas Hasan sebesar 200 ribu per hari. Ditambah bonus harian sebesar 50 ribu per hari jika mencapai target minimal pengiriman paket. Belum lagi masih dapat premi kehadiran sebesar 300 ribu per bulan jika tidak pernah absen, kecuali saat mendapat jatah libur. Mendadak dada ini terasa sakit. Terhitung setahun sudah lelaki itu membohongiku. Bahkan, selama ini uang nafkah dari Mas Hasan setiap hari ternyata hanya bonus harian, bukan gaji per hari seperti yang ia katakan. Lantas, ke mana perginya gaji harian dan premi milik suamiku itu? Aku mendadak geram, bahkan emosi telah memuncak sampai ubun-ubun. Lekas menelepon Bu Sarah, sengaja ingin tahu bagaimana reaksinya jika aku meneleponnya secara tiba-tiba. Sekian lama terdengar nada dering, barulah dijawab oleh seseorang di ujung telepon. Sengaja aku loudspeaker agar obrolan terdengar jelas saat direkam. “Hallo, assalamualaikum. Gimana kabarnya, Bu? Sehat?” tanyaku basa-basi. “Waalaikumsalam. Iya, alhamdulillah sehat, Sil. Kamu sendiri apa kabar? Kok, tumben telepon Ibu nggak bilang-bilang?” “Alhamdulillah, Silvi juga sehat, Bu. Ehm … begini, Bu. Silvi rencananya mau buka usaha olshop, tapi nggak ada modal. Boleh nggak Silvi pinjam uang lima juta, Bu? Nanti Silvi balikin kalau udah lancar usahanya.” Ucapan barusan spontan keluar begitu saja. Rencana buka online shop itu hanya omong kosong. Saat ini, aku hanya bermaksud mengambil kembali uang Mas Hasan yang selalu ditransfer ke ibunya tanpa sepengetahuanku. Bukan bermaksud membuat Mas Hasan durhaka kepada wanita yang melahirkannya, hanya saja sedikit memberi pelajaran pada kedua orang itu agar tidak seenaknya terhadapku. Satu hal yang paling kuingat sampai detik ini, seorang anak laki-laki tetap milik ibunya sampai kapan pun. Akan tetapi, bukankah kewajiban seorang suami tetap mendahulukan kebutuhan istri daripada orang tuanya? Setelah istri tercukupi, barulah suami membantu orang tuanya. “Aduh, Ibu nggak ada uang, Sil. Tahu sendiri, kan, Hasan udah nggak pernah kasih uang ke Ibu sejak nikah sama kamu? Bukannya semua gaji Hasan secara utuh diberikan ke kamu, ya?” Sial, bisa-bisanya Ibu mertuaku itu memutar balik fakta. Dia yang selalu menikmati gaji Mas Hasan, malah menuduhku yang tidak-tidak. Emosiku semakin tersulut, tetapi masih bisa diredam. “Oh, iya, Bu. Gaji Mas Hasan itu udah Silvi buat deposito di bank, jadi nggak bisa cair sekarang. Ayolah, Bu … tolong Silvi kali ini aja. Ehm … mungkin, nanti Silvi ganti pakai gaji Mas Hasan bulan depan. Gimana, Bu?” “Hmm … iya, deh. Janji, ya, diganti sama gaji suamimu bulan depan? Ya udah, kirim nomor rekeningmu ke W******p Ibu. Ibu akan transfer sekarang.” “Iya, Bu. Makasih banyak, ya, udah dibantu. Assalamualaikum.” Setelah terdengar jawaban dari seberang, sambungan telepon itu langsung kumatikan. Begitu pun dengan rekaman pembicaraan kami juga turut berakhir. Dalam hati sedikit girang karena Bu Sarah ternyata mudah dibohongi. Gegas aku beralih ke bidang chat, langsung mengetik nomor rekening pribadi saat masih bekerja di perusahaan yang dulu. Tidak butuh waktu lama, wanita itu mengirim sebuah screenshot bukti transfer ke rekeningku. Gegas aku mengecek di aplikasi m-banking biru. Benar saja, uang sejumlah lima juta telah mendarat mulus di rekening barusan. [Jangan lupa diganti bulan depan, ya.] Wanita itu mengirim pesan di bawah screenshot bukti transfer. Sengaja tidak membalas, hanya mendiamkan pesan dari Ibu mertuaku. Aku tersenyum miring lantaran sudah menang satu langkah dari Mas Hasan dan ibunya. Lihat saja, aku akan membongkar semua kebohongan lelaki itu nanti! [Dek, kamu pinjam uang lima juta ke Ibu buat apa?] Tetiba muncul sebaris pesan yang mengambang di atas layar. Ah, sial! Cepat sekali Ibu mertuaku mengadu pada anaknya. Seharusnya tadi aku membuat perjanjian dengannya agar tidak memberi tahu tentang hal ini pada Mas Hasan. [Buat join olshop sama temanku, Mas. Daripada nganggur di rumah, kan mending buka olshop. Hitung-hitung buat bantuin kamu cari nafkah.] [Teman? Teman yang mana? Setahu Mas, kamu nggak punya teman di sini.] [Teman waktu kerja dulu, Mas.] [Terus, nanti balikin uangnya gimana, Dek? Kan, Mas nggak punya uang.] [Pakai gaji Mas dulu aja, tadi aku udah bilang ke Ibu kalau bayarnya pakai gaji Mas bulan depan.] Pesan yang aku kirim hanya bercentang biru. Baguslah, tidak perlu repot-repot mengolah kata untuk membalas pesan dari Mas Hasan. Biarkan dia asyik menerka-nerka tentang hal ini sendirian. Pastilah sepulang kerja nanti lelaki itu akan memberondong pertanyaan padaku. Tetiba terdengar suara beberapa orang sedang mengobrol di sekitar rumah. Aku berjalan keluar, berniat nimbrung dengan Ibu-ibu itu. Ternyata, mereka sedang bergosip sambil memilih-milih sayuran di gerobak milik Pak Ji. “Eh, iya. Denger-denger, anaknya Bu Ita udah keterima kerja jadi kurir paket, ya, Bu?” tanya seorang wanita yang mengenakan daster bunga-bunga. “Iya, Bu. Baru kemarin dia training di sana. Kalau nggak salah, sih, bakalan satu wilayah sama suaminya Silvi. Gajinya juga lumayan, loh, Bu,” ungkap Bu Ita sambil memilih-milih sayuran yang ada di hadapannya. “Berapa, Bu?” “Kata anak saya, sih, 200 ribu per hari. Ada bonus harian juga kalau tembus target nganterin paket hari itu. Iya, kan, Sil?” Aku yang sedari tadi diam, mendadak kaget saat Bu Ita seolah meminta persetujuanku. Mau tak mau, aku harus mengiyakan. Berarti benar, memang gaji kurir paket di tempat Mas Hasan kisaran 200 ribu per hari. “Ini aja, Mbak?” tanya Pak Ji saat aku menyodorkan sepaket sayur sop beserta jamur kuping. “Iya, Pak. Berapa?” “Sepuluh ribu aja, Mbak.” Lekas kusodorkan selembar uang sepuluh ribu, lalu berjalan ke arah rumah. “Duluan, ya, Ibu-ibu.” Aku menyapa sekumpulan Ibu-ibu yang masih asyik belanja sambil bergosip. “Iya, Sil.” Mereka menjawab hampir berbarengan. Bertambah satu lagi bukti yang aku dapatkan barusan. Lumayan, nanti bisa digunakan sebagai alasan saat menyidang Mas Hasan. Tak sabar rasanya aku menginterogasi lelaki itu nanti malam. Jujur, aku sangat penasaran bagaimana ekspresinya nanti?***Matahari berada tepat di atas kepala. Cuaca siang ini sangat terik, ditambah debu-debu jalanan beterbangan ke sana kemari. Tanpa sadar, keringat sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis.Baru setengah hari kerja, kiriman paket masih tersisa sekitar 40 alamat. Huft, hari ini jatah paketku lebih banyak dari biasanya. Lekas aku menancap gas motor dan bergegas mengirim paket ke alamat tertera. Tidak perlu menggunakan Google Maps lagi, sebab diriku sudah hafal betul seluk-beluk daerah sekitar sini.Drrtt! Drrttt!Sejenak terasa ponselku bergetar. Secepat kilat aku menepikan motor untuk melihat siapa yang menelepon barusan. Tertera nama Ibu di sana. Saking penasaran, langsung kupencet tombol hijau sekaligus ikon loudspeaker di layar ponsel.“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu?” tanyaku sambil melepas helm.“Waalaikumsalam. San, transfer Ibu 5 juta lagi, dong. Sekarang, ya. Ibu tunggu, penting!”“Ya Allah, Bu. Kan, semalam udah aku transfer 5 juta, Bu. Kok, masih minta lagi, sih?”“N
“Jujur aja, Mas. Nggak apa-apa, kok.”Lagi, wanita itu berucap dengan setengah memaksa. Sorot matanya tampak tajam seolah hendak mencari suatu kebenaran dalam diriku. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa berbohong lagi.“Ya udah, Mas mau jujur, Dek. Janji, ya, kamu nggak akan marah sama Mas? Sebenarnya Mas udah capek bohong terus kayak gini. Mas juga terpaksa bohong sama kamu.” Aku menjeda ucapan sejenak, berusaha mengatur napas dan tempo nada saat berbicara.“Hmmm ….” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Silvi. Dari gelagatnya, sepertinya ia memang mengetahui sesuatu.“Sebenarnya, gaji harian Mas itu 200 ribu, Dek. Terus, kalau udah mencapai target, Mas dapat bonus 50 ribu.”“Iya, terus?”“T-tapi … Mas cuma kasih nafkah 50 ribu per hari, soalnya sisanya itu Mas pak–”“Mas pakai buat transfer ke Ibu, kan?” potong Silvi. Jujur, aku terperangah mendengar jawabannya barusan.“K-kamu tahu dari mana, Dek?”Sejenak wanita itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar.
“Mas, lihat ini, deh! Ibu kayaknya lagi banyak duit sekarang.” Silvi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan status Whatsapp milik Ibu.Aku mengamati status yang diposting oleh Ibu beberapa menit lalu. Memperlihatkan sebuah gambar restoran mewah dengan bermacam-macam menu sajian yang terlihat mewah juga. Bahkan, di foto itu Ibu juga mengenakan perhiasan baru di pergelangan tangan kiri serta dua cincin emas yang melingkar apik di dua jarinya.“Hmm … Ibu nggak berubah ternyata.” Aku bergumam pelan sembari mengamati status Whatsapp itu terus-menerus.“Lihat sendiri, kan, Mas? Uang bulanan yang Mas kasih justru dibuat foya-foya oleh Ibu. Hedon sekali gayanya!” Silvi menanggapi ucapanku barusan. “Bukannya aku iri melihat Ibu pakai perhiasan banyak seperti itu, tapi aku nggak ikhlas kalau hasil jerih payah suamiku justru dibuat foya-foya seperti itu!”“Hm … Mas minta maaf, Dek.”Penyesalan selalu datang belakangan. Sesuatu yang tadinya selalu menjadi patokan sebagai tanda bakti, ternyata just
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu