Share

3. Fakta Baru

Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.

Aku langsung mengirim pesan ke W******p Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya.

[Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?]

[Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?]

Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet.

[Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?]

[Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu sama aja melanggar peraturan, aku bisa dapat SP dari atasan.]

[Please, Mbak. Kali ini aja bantuin aku. Aku janji nggak akan melibatkan Mbak Daning dalam masalah ini.]

[Baiklah, tapi jangan sampai orang lain tahu, ya. Mbak percaya sama kamu, Sil.]

[Siap, Mbak. Aman!]

Hanya butuh beberapa menit, sebuah file p*f berisi slip gaji Mas Hasan mendarat di bidang chat kami. Lekas aku membuka file tersebut, langsung mencadangkannya di tempat lain. Khawatir jika suatu saat file itu terhapus tanpa sengaja.

Mataku membeliak saat membaca nominal yang tertera di slip gaji tersebut. Di situ tertulis bahwa gaji harian Mas Hasan sebesar 200 ribu per hari. Ditambah bonus harian sebesar 50 ribu per hari jika mencapai target minimal pengiriman paket. Belum lagi masih dapat premi kehadiran sebesar 300 ribu per bulan jika tidak pernah absen, kecuali saat mendapat jatah libur.

Mendadak dada ini terasa sakit. Terhitung setahun sudah lelaki itu membohongiku. Bahkan, selama ini uang nafkah dari Mas Hasan setiap hari ternyata hanya bonus harian, bukan gaji per hari seperti yang ia katakan. Lantas, ke mana perginya gaji harian dan premi milik suamiku itu?

Aku mendadak geram, bahkan emosi telah memuncak sampai ubun-ubun. Lekas menelepon Bu Sarah, sengaja ingin tahu bagaimana reaksinya jika aku meneleponnya secara tiba-tiba. Sekian lama terdengar nada dering, barulah dijawab oleh seseorang di ujung telepon. Sengaja aku loudspeaker agar obrolan terdengar jelas saat direkam.

“Hallo, assalamualaikum. Gimana kabarnya, Bu? Sehat?” tanyaku basa-basi.

“Waalaikumsalam. Iya, alhamdulillah sehat, Sil. Kamu sendiri apa kabar? Kok, tumben telepon Ibu nggak bilang-bilang?”

“Alhamdulillah, Silvi juga sehat, Bu. Ehm … begini, Bu. Silvi rencananya mau buka usaha olshop, tapi nggak ada modal. Boleh nggak Silvi pinjam uang lima juta, Bu? Nanti Silvi balikin kalau udah lancar usahanya.”

Ucapan barusan spontan keluar begitu saja. Rencana buka online shop itu hanya omong kosong. Saat ini, aku hanya bermaksud mengambil kembali uang Mas Hasan yang selalu ditransfer ke ibunya tanpa sepengetahuanku.

Bukan bermaksud membuat Mas Hasan durhaka kepada wanita yang melahirkannya, hanya saja sedikit memberi pelajaran pada kedua orang itu agar tidak seenaknya terhadapku. Satu hal yang paling kuingat sampai detik ini, seorang anak laki-laki tetap milik ibunya sampai kapan pun. Akan tetapi, bukankah kewajiban seorang suami tetap mendahulukan kebutuhan istri daripada orang tuanya? Setelah istri tercukupi, barulah suami membantu orang tuanya.

“Aduh, Ibu nggak ada uang, Sil. Tahu sendiri, kan, Hasan udah nggak pernah kasih uang ke Ibu sejak nikah sama kamu? Bukannya semua gaji Hasan secara utuh diberikan ke kamu, ya?”

Sial, bisa-bisanya Ibu mertuaku itu memutar balik fakta. Dia yang selalu menikmati gaji Mas Hasan, malah menuduhku yang tidak-tidak. Emosiku semakin tersulut, tetapi masih bisa diredam.

“Oh, iya, Bu. Gaji Mas Hasan itu udah Silvi buat deposito di bank, jadi nggak bisa cair sekarang. Ayolah, Bu … tolong Silvi kali ini aja. Ehm … mungkin, nanti Silvi ganti pakai gaji Mas Hasan bulan depan. Gimana, Bu?”

“Hmm … iya, deh. Janji, ya, diganti sama gaji suamimu bulan depan? Ya udah, kirim nomor rekeningmu ke W******p Ibu. Ibu akan transfer sekarang.”

“Iya, Bu. Makasih banyak, ya, udah dibantu. Assalamualaikum.”

Setelah terdengar jawaban dari seberang, sambungan telepon itu langsung kumatikan. Begitu pun dengan rekaman pembicaraan kami juga turut berakhir. Dalam hati sedikit girang karena Bu Sarah ternyata mudah dibohongi. Gegas aku beralih ke bidang chat, langsung mengetik nomor rekening pribadi saat masih bekerja di perusahaan yang dulu.

Tidak butuh waktu lama, wanita itu mengirim sebuah screenshot bukti transfer ke rekeningku. Gegas aku mengecek di aplikasi m-banking biru. Benar saja, uang sejumlah lima juta telah mendarat mulus di rekening barusan.

[Jangan lupa diganti bulan depan, ya.]

Wanita itu mengirim pesan di bawah screenshot bukti transfer. Sengaja tidak membalas, hanya mendiamkan pesan dari Ibu mertuaku. Aku tersenyum miring lantaran sudah menang satu langkah dari Mas Hasan dan ibunya. Lihat saja, aku akan membongkar semua kebohongan lelaki itu nanti!

[Dek, kamu pinjam uang lima juta ke Ibu buat apa?]

Tetiba muncul sebaris pesan yang mengambang di atas layar. Ah, sial! Cepat sekali Ibu mertuaku mengadu pada anaknya. Seharusnya tadi aku membuat perjanjian dengannya agar tidak memberi tahu tentang hal ini pada Mas Hasan.

[Buat join olshop sama temanku, Mas. Daripada nganggur di rumah, kan mending buka olshop. Hitung-hitung buat bantuin kamu cari nafkah.]

[Teman? Teman yang mana? Setahu Mas, kamu nggak punya teman di sini.]

[Teman waktu kerja dulu, Mas.]

[Terus, nanti balikin uangnya gimana, Dek? Kan, Mas nggak punya uang.]

[Pakai gaji Mas dulu aja, tadi aku udah bilang ke Ibu kalau bayarnya pakai gaji Mas bulan depan.]

Pesan yang aku kirim hanya bercentang biru. Baguslah, tidak perlu repot-repot mengolah kata untuk membalas pesan dari Mas Hasan. Biarkan dia asyik menerka-nerka tentang hal ini sendirian. Pastilah sepulang kerja nanti lelaki itu akan memberondong pertanyaan padaku.

Tetiba terdengar suara beberapa orang sedang mengobrol di sekitar rumah. Aku berjalan keluar, berniat nimbrung dengan Ibu-ibu itu. Ternyata, mereka sedang bergosip sambil memilih-milih sayuran di gerobak milik Pak Ji.

“Eh, iya. Denger-denger, anaknya Bu Ita udah keterima kerja jadi kurir paket, ya, Bu?” tanya seorang wanita yang mengenakan daster bunga-bunga.

“Iya, Bu. Baru kemarin dia training di sana. Kalau nggak salah, sih, bakalan satu wilayah sama suaminya Silvi. Gajinya juga lumayan, loh, Bu,” ungkap Bu Ita sambil memilih-milih sayuran yang ada di hadapannya.

“Berapa, Bu?”

“Kata anak saya, sih, 200 ribu per hari. Ada bonus harian juga kalau tembus target nganterin paket hari itu. Iya, kan, Sil?”

Aku yang sedari tadi diam, mendadak kaget saat Bu Ita seolah meminta persetujuanku. Mau tak mau, aku harus mengiyakan. Berarti benar, memang gaji kurir paket di tempat Mas Hasan kisaran 200 ribu per hari.

“Ini aja, Mbak?” tanya Pak Ji saat aku menyodorkan sepaket sayur sop beserta jamur kuping.

“Iya, Pak. Berapa?”

“Sepuluh ribu aja, Mbak.” Lekas kusodorkan selembar uang sepuluh ribu, lalu berjalan ke arah rumah.

“Duluan, ya, Ibu-ibu.” Aku menyapa sekumpulan Ibu-ibu yang masih asyik belanja sambil bergosip.

“Iya, Sil.” Mereka menjawab hampir berbarengan.

Bertambah satu lagi bukti yang aku dapatkan barusan. Lumayan, nanti bisa digunakan sebagai alasan saat menyidang Mas Hasan. Tak sabar rasanya aku menginterogasi lelaki itu nanti malam. Jujur, aku sangat penasaran bagaimana ekspresinya nanti?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status