Setelah makan seporsi bakso urat, perutku tidak lagi keroncongan. Bahkan, sepertinya malam ini aku akan tidur dengan pulas. Sesampai di rumah, langsung cuci kaki dan sedikit bersih-bersih, lalu pergi ke kamar.
Lekas kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini tidak kunjung terpejam. Hanya saja, diriku masih asyik melamun sambil menatap langit-langit kamar. Masih teringat dalam benak perihal chat Mas Hasan dengan ibunya. Rasa penasaran semakin bergejolak, membuat diri makin gencar mengumpulkan niat untuk mengintai ponsel lelaki itu. Kali ini, otakku harus berpikir keras untuk menyusun strategi mengambil ponsel itu. Sebelumnya akan kupastikan Mas Hasan tidur lebih dulu. Jika tidak, ia akan mengetahui rencanaku lebih awal. “Kok, kamu belum tidur, Dek?” Mas Hasan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat. “Oh, iya, Mas. Ngantuk, sih, tapi belum bisa merem. Pengen dipeluk Mas, deh, kayaknya.” Sengaja aku menjawab demikian. Biasanya, Mas Hasan akan lebih cepat tidur duluan saat aku minta dipeluk olehnya. Lelaki itu perlahan mendekat, merebahkan tubuh tepat di sebelahku. Tangan kanannya terulur, memeluk tubuh ini dengan erat. Tidak lupa dirinya juga mendaratkan kecupan hangat di kening, membuat diri ini sedikit terbuai karenanya. Jarum jam berputar cepat. Sudah setengah jam Mas Hasan tidur sambil memeluk tubuh mungilku. Prediksi tidak meleset, lelaki itu sudah terlelap sedari tadi. Bahkan, dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Waktu lebih berharga dibandingkan emas. Aku segera melancarkan aksi, tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang berharga itu. Segera kuambil ponsel hitam yang tergeletak di atas nakas, lalu membawanya ke luar kamar. Sengaja menjauh memang, tidak ingin Mas Hasan mengetahui aksi ini. Dengan cekatan aku membuka password ponsel milik Mas Hasan. Setelah berhasil, langsung menuju aplikasi W******p dan mencari nama Ibu mertuaku di sana. Segera aku berseluncur membaca isi pesan tersebut. Alangkah terkejutnya saat mendapati balasan pesan semalam. Ya, Mas Hasan telah mengirim sebuah screenshot bukti transfer kepada sang ibu. Jujur, aku sedikit geram melihat hal itu. Segera kupindahkan screenshot itu ke nomorku lagi. Kali ini tak ingin kecolongan lagi, langsung kucoba membuka aplikasi m-banking berlogo biru yang ada di ponsel tersebut. Ah, nihil! Aku tidak tahu kode akses untuk masuk m-banking tersebut. Tidak kehabisan akal, langsung beralih menuju galeri. Pasti di sana banyak screenshot bukti transfer. Benar saja, baru sebentar aku mengecek galeri ponsel Mas Hasan, terdapat lebih dari sepuluh screenshot bukti transfer yang berjejer. Bahkan, bulan ini Mas Hasan terhitung mengirim uang jutaan kepada sang ibu sebanyak tiga kali. “Tamat riwayatmu, Mas! Kamu pikir aku sebodoh itu, hah?” gumamku seraya cekatan memindahkan screenshot tersebut ke nomorku, tidak lupa langsung menghapus jejaknya agar tidak ketahuan. Buru-buru aku kembali ke kamar dan meletakkan ponsel itu di tempat semula. Lantas, aku merebahkan diri di samping Mas Hasan, mencoba memejamkan mata untuk tidur. Akan tetapi, aku justru sulit tidur akibat terus memikirkan kejadian barusan. Hingga setengah jam lamanya, diriku benar-benar terlelap menuju alam mimpi. *** Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, terlihat Mas Hasan tengah bersiap untuk mandi. Aku sengaja bangun lambat, ingin melihat respons lelaki itu jika tidak ada sarapan untuk pagi ini. Biasanya, jauh sebelum Mas Hasan bangun, diriku sudah giat belanja dan membuat masakan untuk sarapan. Tidak berapa lama, Mas Hasan keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Ia hanya memakai celana pendek. “Kok, belum masak, Dek? Kamu kesiangan, ya?” tanyanya sambil mengusap-usap handuk ke rambutnya yang masih basah. “Iya, capek banget aku, Mas. Nggak enak badan kayaknya,” jawabku dengan masih rebahan di kasur. “Untuk sarapan, Mas beli aja di luar.” “Mas lagi nggak ada uang, Dek. Mana, katanya kemarin mau minjemin uang tabungan kita?” Sial, berani sekali Mas Hasan masih menagih uang itu? Jika dipikir-pikir, uang di tabungannya pasti masih banyak. Bahkan, semalam dia mampu mentransfer uang lima juta ke rekening sang ibu. Hati ini mendadak dongkol mendengar ucapan Mas Hasan barusan. Tampaknya, pelit sekali suamiku ini sampai-sampai tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun dari tabungannya untuk membeli bensin. “Ya udah. Kamu tunggu di luar dulu, Mas.” Lelaki itu menurut, menunggu di luar kamar. Sementara itu, pintu kamar langsung aku kunci dari dalam. Tidak ingin kalau Mas Hasan tahu letak uang tabungan itu aku simpan. Bahaya, bisa-bisa dihabiskannya nanti. “Nih, Mas. Inget, kembalikan besok! Jangan macam-macam, itu uang tabungan kita untuk beli rumah nanti!” Mas Hasan mengernyit heran, tampaknya lelaki itu tidak percaya dengan ucapanku barusan. “Terus, dari mana kamu dapat uang ini, Dek?” “Ya dari uang belanjalah, Mas. Kalau ada sisa pasti aku tabung, takut kalau besoknya nggak kamu kasih uang lagi. Mau belanja pakai apa, hm?” Lelaki itu cengar-cengir seolah tak merasa bersalah. Bahkan, ia juga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya, ia lumayan tersindir mendengar ucapan barusan. “Mas, gajimu kan cuma 50 ribu per hari. Bahkan, itu semua kamu berikan padaku sebagai nafkah. Terus, caramu ngasih Ibu, gimana?” tanyaku tanpa basa-basi. Sekilas terlihat ekspresi Mas Hasan berubah. Tubuhnya mendadak kaku, bahkan matanya tampak celingukan ke sana kemari seolah sedang mencari jawaban yang tepat. Aku yang melihatnya hanya tersenyum miring sambil menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir Mas Hasan. “Ehm … Ibu nggak pernah minta, Dek. Sebelum kita menikah, Mas udah jelasin ke Ibu kalau keluarga kecil Mas itu yang utama. Jadi, kalau Mas ada uang lebih, barulah ditransfer ke Ibu. Itu pun harus sepengetahuan kamu nantinya, Dek.” “Jadi, selama setahun ini Mas nggak pernah kasih uang ke Ibu?” “Enggak, Dek. Lagian, apa yang mau dikasih? Buat nafkah kamu aja pas-pasan.” Lelaki itu menjawab dengan ekspresi meyakinkan. Bullshit! Aku melotot mendengar jawabannya barusan. Sial, ternyata lelaki itu benar-benar bermulut manis. Pantas saja, dulu dia bisa meyakinkanku dengan mudah. Bahkan, diri ini selalu menuruti semua ucapan yang terlontar dari bibirnya. “Oh, gitu.” “Ya udah, Mas mau ganti baju dulu, Dek. Mau siap-siap berangkat.” Aku mengangguk pelan, membiarkan lelaki itu melewatiku begitu saja. Masih tampak jelas dari pandanganku, Mas Hasan masuk ke kamar dan menutup pintu. Sementara itu, aku berjalan ke depan, duduk di sofa sambil menunggu lelaki itu keluar. “Mas berangkat dulu, Dek. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, Mas.” Kukecup punggung tangan lelaki itu, kemudian mengantarnya sampai depan rumah. Sepeninggal Mas Hasan, aku mulai memutar otak. Memikirkan cara menggali bukti-bukti yang bisa digunakan untuk menginterogasi lelaki itu. Seenaknya saja Mas Hasan membohongiku seperti tadi. Aku beranjak ke kamar, mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Langsung browsing di internet tentang perusahaan tempat Mas Hasan bekerja. Aku mengamati satu per satu artikel yang menjelaskan latar belakang perusahaan itu. Setelah mengulik beberapa artikel, barulah menemukan sebuah titik terang. Di layar ponsel terpampang sebuah lowongan kerja untuk mengisi posisi kurir paket. Ya, posisi yang sama seperti pekerjaan Mas Hasan saat ini. Bahkan, perusahaan yang merekrut pun sama. Hanya saja, lokasi penempatannya saja yang berbeda. Saat mencermati lowongan tersebut, ada sesuatu yang membuatku sedikit kaget. Gaji yang ditawarkan di perusahaan tersebut ternyata tidak sama dengan gaji Mas Hasan. Bahkan, jauh lebih besar dari yang aku tahu selama ini. “Apa? Gaji di loker ini 200 ribu per hari. Hmm … masuk akal juga, sih.” Aku bergumam pelan. Jemariku cekatan mengambil screenshot iklan lowongan kerja tersebut. Akan kupastikan bahwa screenshot ini tersimpan dengan aman. Misi selanjutnya, tinggal mengonfirmasi kebenaran gaji yang ada di iklan tersebut. Sampai saat ini, aku masih memikirkan cara untuk mengetahui kebenaran informasi lowongan kerja tersebut.Baru teringat, menghubungi Mbak Daning adalah pilihan tepat. Wanita itu adalah rekan kerja Mas Hasan, bahkan dulu kami sempat dekat dan sering bertemu. Ia merupakan seorang admin yang bertugas mengurus tentang sistem penggajian karyawan di perusahaan tempat Mas Hasan mengais rezeki.Aku langsung mengirim pesan ke Whatsapp Mbak Daning. Berharap dirinya mampu sedikit terbuka dan memberikan sebuah petunjuk baru nantinya.[Assalamualaikum, Mbak. Ini Silvi, istrinya Mas Hasan. Masih ingat sama aku, kan, Mbak?][Waalaikumsalam, Sil. Tentu masih ingat, dong. Ada apa, Sil? Kok, tumben nge-chat Mbak?]Jemariku cekatan menari-nari di atas tuts keyboard. Menceritakan hal-hal yang setahun belakangan aku alami. Tidak lupa pula langsung mengirimkan screenshot berisi iklan lowongan kerja yang kudapat dari internet.[Mbak bisa nolongin aku, nggak? Aku cuma pengen tahu isi slip gaji Mas Hasan, Mbak. Aku pengen tahu gaji Mas Hasan sebenarnya berapa, sih?][Menurut SOP, sebenarnya nggak boleh, Sil. Itu
***Matahari berada tepat di atas kepala. Cuaca siang ini sangat terik, ditambah debu-debu jalanan beterbangan ke sana kemari. Tanpa sadar, keringat sebesar biji jagung mulai membasahi pelipis.Baru setengah hari kerja, kiriman paket masih tersisa sekitar 40 alamat. Huft, hari ini jatah paketku lebih banyak dari biasanya. Lekas aku menancap gas motor dan bergegas mengirim paket ke alamat tertera. Tidak perlu menggunakan Google Maps lagi, sebab diriku sudah hafal betul seluk-beluk daerah sekitar sini.Drrtt! Drrttt!Sejenak terasa ponselku bergetar. Secepat kilat aku menepikan motor untuk melihat siapa yang menelepon barusan. Tertera nama Ibu di sana. Saking penasaran, langsung kupencet tombol hijau sekaligus ikon loudspeaker di layar ponsel.“Hallo, assalamualaikum. Ada apa, Bu?” tanyaku sambil melepas helm.“Waalaikumsalam. San, transfer Ibu 5 juta lagi, dong. Sekarang, ya. Ibu tunggu, penting!”“Ya Allah, Bu. Kan, semalam udah aku transfer 5 juta, Bu. Kok, masih minta lagi, sih?”“N
“Jujur aja, Mas. Nggak apa-apa, kok.”Lagi, wanita itu berucap dengan setengah memaksa. Sorot matanya tampak tajam seolah hendak mencari suatu kebenaran dalam diriku. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa berbohong lagi.“Ya udah, Mas mau jujur, Dek. Janji, ya, kamu nggak akan marah sama Mas? Sebenarnya Mas udah capek bohong terus kayak gini. Mas juga terpaksa bohong sama kamu.” Aku menjeda ucapan sejenak, berusaha mengatur napas dan tempo nada saat berbicara.“Hmmm ….” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Silvi. Dari gelagatnya, sepertinya ia memang mengetahui sesuatu.“Sebenarnya, gaji harian Mas itu 200 ribu, Dek. Terus, kalau udah mencapai target, Mas dapat bonus 50 ribu.”“Iya, terus?”“T-tapi … Mas cuma kasih nafkah 50 ribu per hari, soalnya sisanya itu Mas pak–”“Mas pakai buat transfer ke Ibu, kan?” potong Silvi. Jujur, aku terperangah mendengar jawabannya barusan.“K-kamu tahu dari mana, Dek?”Sejenak wanita itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar.
“Mas, lihat ini, deh! Ibu kayaknya lagi banyak duit sekarang.” Silvi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan status Whatsapp milik Ibu.Aku mengamati status yang diposting oleh Ibu beberapa menit lalu. Memperlihatkan sebuah gambar restoran mewah dengan bermacam-macam menu sajian yang terlihat mewah juga. Bahkan, di foto itu Ibu juga mengenakan perhiasan baru di pergelangan tangan kiri serta dua cincin emas yang melingkar apik di dua jarinya.“Hmm … Ibu nggak berubah ternyata.” Aku bergumam pelan sembari mengamati status Whatsapp itu terus-menerus.“Lihat sendiri, kan, Mas? Uang bulanan yang Mas kasih justru dibuat foya-foya oleh Ibu. Hedon sekali gayanya!” Silvi menanggapi ucapanku barusan. “Bukannya aku iri melihat Ibu pakai perhiasan banyak seperti itu, tapi aku nggak ikhlas kalau hasil jerih payah suamiku justru dibuat foya-foya seperti itu!”“Hm … Mas minta maaf, Dek.”Penyesalan selalu datang belakangan. Sesuatu yang tadinya selalu menjadi patokan sebagai tanda bakti, ternyata just
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu