Share

2. Bukti Transfer

Setelah makan seporsi bakso urat, perutku tidak lagi keroncongan. Bahkan, sepertinya malam ini aku akan tidur dengan pulas. Sesampai di rumah, langsung cuci kaki dan sedikit bersih-bersih, lalu pergi ke kamar.

Lekas kurebahkan tubuh di atas kasur. Mata ini tidak kunjung terpejam. Hanya saja, diriku masih asyik melamun sambil menatap langit-langit kamar. Masih teringat dalam benak perihal chat Mas Hasan dengan ibunya. Rasa penasaran semakin bergejolak, membuat diri makin gencar mengumpulkan niat untuk mengintai ponsel lelaki itu.

Kali ini, otakku harus berpikir keras untuk menyusun strategi mengambil ponsel itu. Sebelumnya akan kupastikan Mas Hasan tidur lebih dulu. Jika tidak, ia akan mengetahui rencanaku lebih awal.

“Kok, kamu belum tidur, Dek?” Mas Hasan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

“Oh, iya, Mas. Ngantuk, sih, tapi belum bisa merem. Pengen dipeluk Mas, deh, kayaknya.”

Sengaja aku menjawab demikian. Biasanya, Mas Hasan akan lebih cepat tidur duluan saat aku minta dipeluk olehnya. Lelaki itu perlahan mendekat, merebahkan tubuh tepat di sebelahku. Tangan kanannya terulur, memeluk tubuh ini dengan erat. Tidak lupa dirinya juga mendaratkan kecupan hangat di kening, membuat diri ini sedikit terbuai karenanya.

Jarum jam berputar cepat. Sudah setengah jam Mas Hasan tidur sambil memeluk tubuh mungilku. Prediksi tidak meleset, lelaki itu sudah terlelap sedari tadi. Bahkan, dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. 

Waktu lebih berharga dibandingkan emas. Aku segera melancarkan aksi, tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang berharga itu. Segera kuambil ponsel hitam yang tergeletak di atas nakas, lalu membawanya ke luar kamar. Sengaja menjauh memang, tidak ingin Mas Hasan mengetahui aksi ini.

Dengan cekatan aku membuka password ponsel milik Mas Hasan. Setelah berhasil, langsung menuju aplikasi W******p dan mencari nama Ibu mertuaku di sana. Segera aku berseluncur membaca isi pesan tersebut. Alangkah terkejutnya saat mendapati balasan pesan semalam. Ya, Mas Hasan telah mengirim sebuah screenshot bukti transfer kepada sang ibu.

Jujur, aku sedikit geram melihat hal itu. Segera kupindahkan screenshot itu ke nomorku lagi. Kali ini tak ingin kecolongan lagi, langsung kucoba membuka aplikasi m-banking berlogo biru yang ada di ponsel tersebut. Ah, nihil! Aku tidak tahu kode akses untuk masuk m-banking tersebut.

Tidak kehabisan akal, langsung beralih menuju galeri. Pasti di sana banyak screenshot bukti transfer. Benar saja, baru sebentar aku mengecek galeri ponsel Mas Hasan, terdapat lebih dari sepuluh screenshot bukti transfer yang berjejer. Bahkan, bulan ini Mas Hasan terhitung mengirim uang jutaan kepada sang ibu sebanyak tiga kali.

“Tamat riwayatmu, Mas! Kamu pikir aku sebodoh itu, hah?” gumamku seraya cekatan memindahkan screenshot tersebut ke nomorku, tidak lupa langsung menghapus jejaknya agar tidak ketahuan.

Buru-buru aku kembali ke kamar dan meletakkan ponsel itu di tempat semula. Lantas, aku merebahkan diri di samping Mas Hasan, mencoba memejamkan mata untuk tidur. Akan tetapi, aku justru sulit tidur akibat terus memikirkan kejadian barusan. Hingga setengah jam lamanya, diriku benar-benar terlelap menuju alam mimpi.

***

Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, terlihat Mas Hasan tengah bersiap untuk mandi. Aku sengaja bangun lambat, ingin melihat respons lelaki itu jika tidak ada sarapan untuk pagi ini. Biasanya, jauh sebelum Mas Hasan bangun, diriku sudah giat belanja dan membuat masakan untuk sarapan.

Tidak berapa lama, Mas Hasan keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Ia hanya memakai celana pendek.

“Kok, belum masak, Dek? Kamu kesiangan, ya?” tanyanya sambil mengusap-usap handuk ke rambutnya yang masih basah.

“Iya, capek banget aku, Mas. Nggak enak badan kayaknya,” jawabku dengan masih rebahan di kasur. “Untuk sarapan, Mas beli aja di luar.”

“Mas lagi nggak ada uang, Dek. Mana, katanya kemarin mau minjemin uang tabungan kita?”

Sial, berani sekali Mas Hasan masih menagih uang itu? Jika dipikir-pikir, uang di tabungannya pasti masih banyak. Bahkan, semalam dia mampu mentransfer uang lima juta ke rekening sang ibu.

Hati ini mendadak dongkol mendengar ucapan Mas Hasan barusan. Tampaknya, pelit sekali suamiku ini sampai-sampai tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun dari tabungannya untuk membeli bensin.

“Ya udah. Kamu tunggu di luar dulu, Mas.”

Lelaki itu menurut, menunggu di luar kamar. Sementara itu, pintu kamar langsung aku kunci dari dalam. Tidak ingin kalau Mas Hasan tahu letak uang tabungan itu aku simpan. Bahaya, bisa-bisa dihabiskannya nanti.

“Nih, Mas. Inget, kembalikan besok! Jangan macam-macam, itu uang tabungan kita untuk beli rumah nanti!”

Mas Hasan mengernyit heran, tampaknya lelaki itu tidak percaya dengan ucapanku barusan. “Terus, dari mana kamu dapat uang ini, Dek?”

“Ya dari uang belanjalah, Mas. Kalau ada sisa pasti aku tabung, takut kalau besoknya nggak kamu kasih uang lagi. Mau belanja pakai apa, hm?”

Lelaki itu cengar-cengir seolah tak merasa bersalah. Bahkan, ia juga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya, ia lumayan tersindir mendengar ucapan barusan.

“Mas, gajimu kan cuma 50 ribu per hari. Bahkan, itu semua kamu berikan padaku sebagai nafkah. Terus, caramu ngasih Ibu, gimana?” tanyaku tanpa basa-basi.

Sekilas terlihat ekspresi Mas Hasan berubah. Tubuhnya mendadak kaku, bahkan matanya tampak celingukan ke sana kemari seolah sedang mencari jawaban yang tepat. Aku yang melihatnya hanya tersenyum miring sambil menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir Mas Hasan.

“Ehm … Ibu nggak pernah minta, Dek. Sebelum kita menikah, Mas udah jelasin ke Ibu kalau keluarga kecil Mas itu yang utama. Jadi, kalau Mas ada uang lebih, barulah ditransfer ke Ibu. Itu pun harus sepengetahuan kamu nantinya, Dek.”

“Jadi, selama setahun ini Mas nggak pernah kasih uang ke Ibu?”

“Enggak, Dek. Lagian, apa yang mau dikasih? Buat nafkah kamu aja pas-pasan.” Lelaki itu menjawab dengan ekspresi meyakinkan.

Bullshit!

Aku melotot mendengar jawabannya barusan. Sial, ternyata lelaki itu benar-benar bermulut manis. Pantas saja, dulu dia bisa meyakinkanku dengan mudah. Bahkan, diri ini selalu menuruti semua ucapan yang terlontar dari bibirnya.

“Oh, gitu.”

“Ya udah, Mas mau ganti baju dulu, Dek. Mau siap-siap berangkat.”

Aku mengangguk pelan, membiarkan lelaki itu melewatiku begitu saja. Masih tampak jelas dari pandanganku, Mas Hasan masuk ke kamar dan menutup pintu. Sementara itu, aku berjalan ke depan, duduk di sofa sambil menunggu lelaki itu keluar.

“Mas berangkat dulu, Dek. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Mas.” Kukecup punggung tangan lelaki itu, kemudian mengantarnya sampai depan rumah.

Sepeninggal Mas Hasan, aku mulai memutar otak. Memikirkan cara menggali bukti-bukti yang bisa digunakan untuk menginterogasi lelaki itu. Seenaknya saja Mas Hasan membohongiku seperti tadi.

Aku beranjak ke kamar, mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Langsung browsing di internet tentang perusahaan tempat Mas Hasan bekerja. Aku mengamati satu per satu artikel yang menjelaskan latar belakang perusahaan itu. Setelah mengulik beberapa artikel, barulah menemukan sebuah titik terang.

Di layar ponsel terpampang sebuah lowongan kerja untuk mengisi posisi kurir paket. Ya, posisi yang sama seperti pekerjaan Mas Hasan saat ini. Bahkan, perusahaan yang merekrut pun sama. Hanya saja, lokasi penempatannya saja yang berbeda.

Saat mencermati lowongan tersebut, ada sesuatu yang membuatku sedikit kaget. Gaji yang ditawarkan di perusahaan tersebut ternyata tidak sama dengan gaji Mas Hasan. Bahkan, jauh lebih besar dari yang aku tahu selama ini.

“Apa? Gaji di loker ini 200 ribu per hari. Hmm … masuk akal juga, sih.” Aku bergumam pelan.

Jemariku cekatan mengambil screenshot iklan lowongan kerja tersebut. Akan kupastikan bahwa screenshot ini tersimpan dengan aman. Misi selanjutnya, tinggal mengonfirmasi kebenaran gaji yang ada di iklan tersebut. Sampai saat ini, aku masih memikirkan cara untuk mengetahui kebenaran informasi lowongan kerja tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status