Share

5. Kejujuran

“Jujur aja, Mas. Nggak apa-apa, kok.”

Lagi, wanita itu berucap dengan setengah memaksa. Sorot matanya tampak tajam seolah hendak mencari suatu kebenaran dalam diriku. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa berbohong lagi.

“Ya udah, Mas mau jujur, Dek. Janji, ya, kamu nggak akan marah sama Mas? Sebenarnya Mas udah capek bohong terus kayak gini. Mas juga terpaksa bohong sama kamu.” Aku menjeda ucapan sejenak, berusaha mengatur napas dan tempo nada saat berbicara.

“Hmmm ….” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Silvi. Dari gelagatnya, sepertinya ia memang mengetahui sesuatu.

“Sebenarnya, gaji harian Mas itu 200 ribu, Dek. Terus, kalau udah mencapai target, Mas dapat bonus 50 ribu.”

“Iya, terus?”

“T-tapi … Mas cuma kasih nafkah 50 ribu per hari, soalnya sisanya itu Mas pak–”

“Mas pakai buat transfer ke Ibu, kan?” potong Silvi. Jujur, aku terperangah mendengar jawabannya barusan.

“K-kamu tahu dari mana, Dek?”

Sejenak wanita itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar. Ekspresinya mendadak berubah. Awalnya ramah dan teduh, sekarang justru seperti menahan amarah.

“Jujur, sebenarnya aku pengen marah banget, loh. Nggak nyangka aja, Mas tega bohongin aku selama setahun ini. Mas nggak tahu, kan, gimana perjuanganku selama ini buat mencukupkan nafkah yang Mas berikan? Belum lagi, saat Mas minta balik uang itu. Apa aku pernah marah? Enggak, kan, Mas?”

Silvi menjeda ucapannya sejenak. Ia pun mencoba mengatur deru napasnya. Wanita itu tampak mengusap wajahnya dengan kasar seolah berusaha meredam amarah yang kian memuncak.

“Di sini aku kecewa sama Mas. Karena apa? Karena Mas nggak jujur dari awal. Aku tahu, kok, Mas tuh sering banget kasih uang ke Ibu, bahkan nominalnya jutaan. Dalam sebulan, Mas bisa berkali-kali transfer ke Ibu. Aku juga tahu tentang total gajimu yang sebenarnya, bahkan sebelum kamu berani jujur seperti sekarang.”

Aku tertegun dibuatnya. Dari mana Silvi tahu tentang semua itu? Kini, aku tidak bisa mengelak lagi. Kekecewaan mulai tampak di raut wajah wanita itu. Bahkan, air matanya mulai menggumpal di sudut mata.

“Kamu tahu dari mana, Dek?”

“Mas lupa kalau anaknya Bu Ita baru diterima kerja di tempat Mas?”

Benar juga, bisa-bisanya aku lupa tentang fakta itu padahal kemarin sempat bertemu dengan Hadi, anak Bu Ita yang sedang magang di tempatku. Diri ini semakin terpojok, tidak ada gunanya untuk membohongi Silvi lagi. Bisa-bisa ia semakin merajuk nantinya.

“Iya, Dek. Maaf, Mas lupa.”

“Sekarang jelasin, kenapa Mas bisa transfer uang berkali-kali ke rekening Ibu? Bahkan, nominalnya jutaan dan tanpa sepengetahuanku, loh.”

“Mas terpaksa, Dek. Sebenarnya, Mas juga capek dijadikan ATM berjalan oleh ibu kandung sendiri. Ibu sering banget minta uang tanpa tahu waktu. Bahkan, uang lima juta yang kemarin kamu pinjam, Mas udah transfer balik ke Ibu.”

“Ya Allah, Mas. Kenapa Mas transfer balik, sih? Aku udah capek-capek, loh, ambil uang itu dari Ibu!”

Aku mengernyit heran, masih berusaha mencerna jawaban Silvi barusan. “Maksudnya?”

“Aku tahu kalau Mas sering dimanfaatkan oleh Ibu, makanya aku berusaha pinjam uang dengan alasan mau buka olshop, Mas. Sebenarnya, itu cuma omong kosong. Tujuan utamaku hanya ingin mengambil uang itu!”

“Bukannya aku melarangmu untuk kirim uang ke Ibu, tapi ini udah kelewatan, Mas! Nafkah yang Mas kasih ke aku hanya 50 ribu, dalam sebulan terhitung hanya 1,3 juta. Kalau libur pun nggak pernah dikasih duit belanja. Nah, sedangkan Mas kasih uang ke Ibu dalam sebulan bisa lebih dari tujuh juta. Berbanding jauh, kan, Mas?”

Ya, semua yang dikatakan oleh Silvi memang benar adanya. Dalam sebulan, aku bisa menghabiskan uang lebih dari tujuh juta untuk Ibu. Padahal, rencana awalnya aku hanya memberi uang bulanan sekitar dua juta. Namun, Ibu terus mendesak, bahkan sering meneror lewat telepon hingga membuatku risi.

“Sekarang terserah Mas, deh. Kalau Mas masih mau dimanfaatkan oleh Ibu terus-terusan, ya … silakan aja.”

“Nggak, Dek. Mas pengen berubah, tolong bantu Mas, ya? Mulai bulan depan, kamu yang pegang semua gaji Mas. Nanti kamu juga yang akan menentukan nominal uang bulanan buat Ibu,” tuturku.

“Hah? Apa Mas yakin?” Silvi mengernyit heran.

“Iya, yakin. Daripada Mas terus-terusan diporoti oleh Ibu, mending uang itu ditabung aja. Sebenarnya, Mas dari dulu niat nabung buat beli rumah, biar bisa kasih kamu kehidupan yang lebih layak. Sayangnya, Mas terus diperas oleh Ibu.”

“Ya udah, Mas. Yang lalu biarlah berlalu, sekarang fokus ke masa depan kita. Kalau Mas memang niat berubah lebih baik dari sebelumnya, aku dengan senang hati akan bantu Mas. Perihal uang bulanan buat Ibu, nanti kita kasih jatah 2 juta aja, Mas. Itu udah lebih dari cukup, kok. Apalagi, Bapak kan masih sehat dan bisa bekerja.”

“Iya, aku setuju. Makasih, ya, udah mau bantuin Mas, bahkan nggak marah berlebihan ketika Mas bikin kesalahan seperti ini.”

Lekas aku memeluk tubuh Silvi sambil mengecup dahinya beberapa kali. Sungguh, perasaanku sedikit lega. Bahkan, beban yang aku tanggung rasanya sedikit berkurang. Aku tak sanggup kalau terus-menerus menanggung semua ini sendirian. Bisa-bisa gila nantinya, terlebih hampir setiap hari mendapat teror dari Ibu yang memaksa untuk meminta uang.

Lantas, aku langsung mengeluarkan ponsel hitam milikku. Membuka m-banking berlogo biru, berniat mentransfer sisa uang yang ada di tabungan ke rekening milik Silvi. Selama setahun menikah, baru kali ini aku berani menunjukkan saldo ATM di hadapan Silvi secara terang-terangan. Bahkan, diri ini juga menunjukkan mutasi keluar yang isinya hampir dipenuhi oleh transferan ke rekening Ibu.

“Udah Mas transfer semua ke rekeningmu, Dek. Sisa uang yang ada di rekening Mas hanya 900 ribu. Jangan lupa ambil 50 ribu buat gantiin tabungan belanjamu yang kemarin.”

Silvi mengangguk mantap. “Iya, Mas.”

“Uang 900 ribu untuk jatah nafkah sampai akhir bulan ini apakah cukup, Dek?”

“Cukup banget, kok, bahkan bisa sisa banyak kalau berada di tangan istri yang tepat,” jawabnya sambil terkekeh pelan.

Hati semakin plong saat aku sudah mentransfer sisa uang di rekening. Tidak disangka, obat dari beban pikiran yang selama ini aku tanggung hanyalah sebuah kejujuran. Beruntung aku masih diberi kesempatan jujur oleh Silvi.

“Ya udah, Mas. Udah selesai, kan, sesi ngobrolnya? Aku mau ke belakang dulu, mau nyiapin makan malam buat Mas. Hari ini aku masak sayur sop kesukaan Mas.”

“Wah, mantap betul itu, Dek!”

“Banget! Udah, sekarang Mas buruan mandi, deh. Lepas mandi, kita makan sama-sama, ya?”

“Siap!”

Aku berjalan ke arah kamar mandi dengan semangat. Rasanya tidak sabar untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh istri tercinta. Bahkan, Silvi pun tak pernah lupa untuk memasak sayur sop, makanan favoritku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status