“Jujur aja, Mas. Nggak apa-apa, kok.”
Lagi, wanita itu berucap dengan setengah memaksa. Sorot matanya tampak tajam seolah hendak mencari suatu kebenaran dalam diriku. Jika sudah seperti itu, aku tidak bisa berbohong lagi. “Ya udah, Mas mau jujur, Dek. Janji, ya, kamu nggak akan marah sama Mas? Sebenarnya Mas udah capek bohong terus kayak gini. Mas juga terpaksa bohong sama kamu.” Aku menjeda ucapan sejenak, berusaha mengatur napas dan tempo nada saat berbicara. “Hmmm ….” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Silvi. Dari gelagatnya, sepertinya ia memang mengetahui sesuatu. “Sebenarnya, gaji harian Mas itu 200 ribu, Dek. Terus, kalau udah mencapai target, Mas dapat bonus 50 ribu.” “Iya, terus?” “T-tapi … Mas cuma kasih nafkah 50 ribu per hari, soalnya sisanya itu Mas pak–” “Mas pakai buat transfer ke Ibu, kan?” potong Silvi. Jujur, aku terperangah mendengar jawabannya barusan. “K-kamu tahu dari mana, Dek?” Sejenak wanita itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara kasar. Ekspresinya mendadak berubah. Awalnya ramah dan teduh, sekarang justru seperti menahan amarah. “Jujur, sebenarnya aku pengen marah banget, loh. Nggak nyangka aja, Mas tega bohongin aku selama setahun ini. Mas nggak tahu, kan, gimana perjuanganku selama ini buat mencukupkan nafkah yang Mas berikan? Belum lagi, saat Mas minta balik uang itu. Apa aku pernah marah? Enggak, kan, Mas?” Silvi menjeda ucapannya sejenak. Ia pun mencoba mengatur deru napasnya. Wanita itu tampak mengusap wajahnya dengan kasar seolah berusaha meredam amarah yang kian memuncak. “Di sini aku kecewa sama Mas. Karena apa? Karena Mas nggak jujur dari awal. Aku tahu, kok, Mas tuh sering banget kasih uang ke Ibu, bahkan nominalnya jutaan. Dalam sebulan, Mas bisa berkali-kali transfer ke Ibu. Aku juga tahu tentang total gajimu yang sebenarnya, bahkan sebelum kamu berani jujur seperti sekarang.” Aku tertegun dibuatnya. Dari mana Silvi tahu tentang semua itu? Kini, aku tidak bisa mengelak lagi. Kekecewaan mulai tampak di raut wajah wanita itu. Bahkan, air matanya mulai menggumpal di sudut mata. “Kamu tahu dari mana, Dek?” “Mas lupa kalau anaknya Bu Ita baru diterima kerja di tempat Mas?” Benar juga, bisa-bisanya aku lupa tentang fakta itu padahal kemarin sempat bertemu dengan Hadi, anak Bu Ita yang sedang magang di tempatku. Diri ini semakin terpojok, tidak ada gunanya untuk membohongi Silvi lagi. Bisa-bisa ia semakin merajuk nantinya. “Iya, Dek. Maaf, Mas lupa.” “Sekarang jelasin, kenapa Mas bisa transfer uang berkali-kali ke rekening Ibu? Bahkan, nominalnya jutaan dan tanpa sepengetahuanku, loh.” “Mas terpaksa, Dek. Sebenarnya, Mas juga capek dijadikan ATM berjalan oleh ibu kandung sendiri. Ibu sering banget minta uang tanpa tahu waktu. Bahkan, uang lima juta yang kemarin kamu pinjam, Mas udah transfer balik ke Ibu.” “Ya Allah, Mas. Kenapa Mas transfer balik, sih? Aku udah capek-capek, loh, ambil uang itu dari Ibu!” Aku mengernyit heran, masih berusaha mencerna jawaban Silvi barusan. “Maksudnya?” “Aku tahu kalau Mas sering dimanfaatkan oleh Ibu, makanya aku berusaha pinjam uang dengan alasan mau buka olshop, Mas. Sebenarnya, itu cuma omong kosong. Tujuan utamaku hanya ingin mengambil uang itu!” “Bukannya aku melarangmu untuk kirim uang ke Ibu, tapi ini udah kelewatan, Mas! Nafkah yang Mas kasih ke aku hanya 50 ribu, dalam sebulan terhitung hanya 1,3 juta. Kalau libur pun nggak pernah dikasih duit belanja. Nah, sedangkan Mas kasih uang ke Ibu dalam sebulan bisa lebih dari tujuh juta. Berbanding jauh, kan, Mas?” Ya, semua yang dikatakan oleh Silvi memang benar adanya. Dalam sebulan, aku bisa menghabiskan uang lebih dari tujuh juta untuk Ibu. Padahal, rencana awalnya aku hanya memberi uang bulanan sekitar dua juta. Namun, Ibu terus mendesak, bahkan sering meneror lewat telepon hingga membuatku risi. “Sekarang terserah Mas, deh. Kalau Mas masih mau dimanfaatkan oleh Ibu terus-terusan, ya … silakan aja.” “Nggak, Dek. Mas pengen berubah, tolong bantu Mas, ya? Mulai bulan depan, kamu yang pegang semua gaji Mas. Nanti kamu juga yang akan menentukan nominal uang bulanan buat Ibu,” tuturku. “Hah? Apa Mas yakin?” Silvi mengernyit heran. “Iya, yakin. Daripada Mas terus-terusan diporoti oleh Ibu, mending uang itu ditabung aja. Sebenarnya, Mas dari dulu niat nabung buat beli rumah, biar bisa kasih kamu kehidupan yang lebih layak. Sayangnya, Mas terus diperas oleh Ibu.” “Ya udah, Mas. Yang lalu biarlah berlalu, sekarang fokus ke masa depan kita. Kalau Mas memang niat berubah lebih baik dari sebelumnya, aku dengan senang hati akan bantu Mas. Perihal uang bulanan buat Ibu, nanti kita kasih jatah 2 juta aja, Mas. Itu udah lebih dari cukup, kok. Apalagi, Bapak kan masih sehat dan bisa bekerja.” “Iya, aku setuju. Makasih, ya, udah mau bantuin Mas, bahkan nggak marah berlebihan ketika Mas bikin kesalahan seperti ini.” Lekas aku memeluk tubuh Silvi sambil mengecup dahinya beberapa kali. Sungguh, perasaanku sedikit lega. Bahkan, beban yang aku tanggung rasanya sedikit berkurang. Aku tak sanggup kalau terus-menerus menanggung semua ini sendirian. Bisa-bisa gila nantinya, terlebih hampir setiap hari mendapat teror dari Ibu yang memaksa untuk meminta uang. Lantas, aku langsung mengeluarkan ponsel hitam milikku. Membuka m-banking berlogo biru, berniat mentransfer sisa uang yang ada di tabungan ke rekening milik Silvi. Selama setahun menikah, baru kali ini aku berani menunjukkan saldo ATM di hadapan Silvi secara terang-terangan. Bahkan, diri ini juga menunjukkan mutasi keluar yang isinya hampir dipenuhi oleh transferan ke rekening Ibu. “Udah Mas transfer semua ke rekeningmu, Dek. Sisa uang yang ada di rekening Mas hanya 900 ribu. Jangan lupa ambil 50 ribu buat gantiin tabungan belanjamu yang kemarin.” Silvi mengangguk mantap. “Iya, Mas.” “Uang 900 ribu untuk jatah nafkah sampai akhir bulan ini apakah cukup, Dek?” “Cukup banget, kok, bahkan bisa sisa banyak kalau berada di tangan istri yang tepat,” jawabnya sambil terkekeh pelan. Hati semakin plong saat aku sudah mentransfer sisa uang di rekening. Tidak disangka, obat dari beban pikiran yang selama ini aku tanggung hanyalah sebuah kejujuran. Beruntung aku masih diberi kesempatan jujur oleh Silvi. “Ya udah, Mas. Udah selesai, kan, sesi ngobrolnya? Aku mau ke belakang dulu, mau nyiapin makan malam buat Mas. Hari ini aku masak sayur sop kesukaan Mas.” “Wah, mantap betul itu, Dek!” “Banget! Udah, sekarang Mas buruan mandi, deh. Lepas mandi, kita makan sama-sama, ya?” “Siap!” Aku berjalan ke arah kamar mandi dengan semangat. Rasanya tidak sabar untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh istri tercinta. Bahkan, Silvi pun tak pernah lupa untuk memasak sayur sop, makanan favoritku.“Mas, lihat ini, deh! Ibu kayaknya lagi banyak duit sekarang.” Silvi menyodorkan ponselnya, memperlihatkan status Whatsapp milik Ibu.Aku mengamati status yang diposting oleh Ibu beberapa menit lalu. Memperlihatkan sebuah gambar restoran mewah dengan bermacam-macam menu sajian yang terlihat mewah juga. Bahkan, di foto itu Ibu juga mengenakan perhiasan baru di pergelangan tangan kiri serta dua cincin emas yang melingkar apik di dua jarinya.“Hmm … Ibu nggak berubah ternyata.” Aku bergumam pelan sembari mengamati status Whatsapp itu terus-menerus.“Lihat sendiri, kan, Mas? Uang bulanan yang Mas kasih justru dibuat foya-foya oleh Ibu. Hedon sekali gayanya!” Silvi menanggapi ucapanku barusan. “Bukannya aku iri melihat Ibu pakai perhiasan banyak seperti itu, tapi aku nggak ikhlas kalau hasil jerih payah suamiku justru dibuat foya-foya seperti itu!”“Hm … Mas minta maaf, Dek.”Penyesalan selalu datang belakangan. Sesuatu yang tadinya selalu menjadi patokan sebagai tanda bakti, ternyata just
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
***“Keterlaluan kamu, San! Kamu tega, ya, mempermalukan Ibu di hadapan semua orang kayak gini! Ibu ini ibu kandungmu, loh. Seorang ibu yang melahirkan kamu ke dunia ini, San. Jadi, Ibu juga berhak atas gajimu. Jangan biarkan istrimu itu enak-enakan menguasai semua gajimu, San. Ada hak Ibu di dalamnya!” ucap Bu Sarah panjang lebar.Aku memutar bola mata jengah. Mulai malas melihat drama yang diperankan oleh ibu mertuaku itu. Dari dulu hal yang dibahas pun selalu sama. Selalu terkait dengan haknya di dalam gaji Mas Hasan. Bahkan, beliau pun selalu mengungkit telah membiayai kehidupan Mas Hasan sejak kecil.“Bu, apa Ibu nggak capek drama terus? Dari dulu yang Ibu tekankan selalu hal itu-itu saja. Tahu, nggak? Silvi tuh bosen banget dengerin ucapan Ibu. Selalu aja mengungkit tentang biaya hidup Mas Hasan sejak kecil. Ibu ini tujuan membesarkan Mas Hasan untuk apa, sih? Silvi jadi curiga sama Ibu!”Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-unek terhadap wanita itu. Biarlah
***Tok! Tok! Tok!Terdengar sebuah ketukan keras di pintu. Silvi beranjak bangkit dari tempat duduknya, segera membuka pintu yang tak jauh dari tempat kami berada. Dari kejauhan, dapat kulihat seseorang yang muncul di hadapan Silvi.“Mana si Hasan? San, Hasan! Keluar kamu, San!” Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibu.“Ada apa, sih, Bu? Jangan teriak-teriak gitu, dong. Malu sama tetangga.” Mendengar teriakan Ibu, aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lantas, menghampiri Silvi di ambang pintu. Sengaja aku menegur Ibu dengan lembut karena sudah tahu bagaimana sifat asli wanita yang telah melahirkanku itu.“San, tolong Ibu, dong. Sekali ini aja, Ibu mohon sama kamu, San. Tolong transfer uang untuk rekreasi itu, San. Ibu malu banget kalau nggak ikut, San.”Wanita itu memelas. Kedua tangannya sempat menggoyangkan lenganku dengan kencang. Jujur saja, aku sudah muak dengan drama-drama yang dilakoni olehnya.“San, tolong! Kamu mau jadi anak durhaka k
***“Aku cuma berniat membela harga diri suamiku di depan semua orang, Mas. Apa itu salah?” Kali ini aku berucap dengan penuh penekanan.Sekilas terlihat wajah lelaki itu mendadak serius. Bukan tanpa alasan, mungkin dirinya khawatir kalau aku melabrak Bu Sarah tanpa alasan. Aku masih cukup waras untuk menerima caci maki dari Ibu mertua. Akan tetapi, jika menyangkut harga diri Mas Hasan aku tak akan tinggal diam.“Coba ceritain dulu gimana kronologinya, Dek? Mas pengen tahu,” tanya Mas Hasan sambil mengusap puncak kepalaku.Sejenak aku menghela napas berat, berusaha mengingat kembali tentang kejadian tadi siang. Tiba-tiba, muncul perasaan nyeri di dalam dada. Perasaan yang sangat sulit dijelaskan.Otakku kembali memutar kejadian tadi siang. Setelah menutup sambungan telepon secara sepihak, aku langsung mendatangi rumah ibu mertua yang jaraknya tak terpaut jauh dari kontrakan kami. Sebelumnya, sengaja aku meminjam motor tetangga kontrakan sebelah untuk berkunjung ke rumah itu.Sesampai
Jarak antara rumah kontrakanku dengan rumah Ibu tak terpaut jauh. Jika ditempuh menggunakan sepeda motor, kurang lebih membutuhkan waktu sepuluh menit. Kali ini aku berniat langsung membawa Ibu ke rumah.Saat memasuki halaman rumah, terlihat Bapak sedang menyiapkan bahan makanan yang akan dibawanya untuk berjualan. Setelah menyadari kedatangan kami, ekspresi lelaki paruh baya itu mendadak semringah. Senyum tulus langsung tersuguh di sudut bibirnya yang kehitaman.“Alhamdulillah, akhirnya ibumu pulang, San. Bapak khawatir banget!” tutur lelaki itu saat menyambut kedatangan kami.“Iya, Pak. Memangnya Ibu nggak bilang apa-apa ke Bapak sebelumnya?”“Enggak, San. Ibumu tiba-tiba pergi gitu aja, terus pas Bapak telpon nggak diangkat sama sekali.”Aku meradang mendengar penjelasan Bapak. Entah apa yang ada di pikiran Ibu saat itu, sampai-sampai beliau tidak pamit pada Bapak. Lekas aku menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Akan tetapi, orang yang ditatap justru cuek dan malah memb
***Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan, diselingi dengan suara azan subuh yang terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mengerjapkan mata pelan, masih berusaha mengumpulkan kesadaran terlebih dahulu. Sekilas aku menoleh ke arah samping, sosok wanita yang berpredikat sebagai istriku itu masih tertidur pulas.Sengaja aku bangun lebih awal dari Silvi sebab tak ingin membuat mood-nya hancur karena menyadari bahwa Ibu masih di sini. Antara Silvi dan Ibu, aku sangat menyayangi keduanya. Rasanya tak bisa untuk memilih salah satu di antaranya.Mengingat tentang Ibu, aku mulai tersadar satu hal. Semalam diri ini sudah berjanji pada Silvi untuk memulangkan Ibu ke rumah. Aku melangkah ke luar kamar, menghampiri Ibu yang masih tidur di kamar belakang.Tok! Tok! Tok!“Buka pintunya, Bu.” Aku mengetuk pintu kamar itu, tetapi tak kedengaran tanda-tanda sahutan dari dalam.“Bu, buka pintunya. Ibu masih di dalam, kan?”Ceklek!Setelah beberapa saat, muncul sosok Ibu dari balik pintu. Mata w
*** Ceklek! Mas Hasan muncul dari kejauhan, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Sekilas terlihat dari ekor mata bahwa lelaki itu berjalan mendekat. Sebelumnya, ia juga sempat menyalakan sakelar lampu kamar yang sempat aku matikan. “Makan dulu, yuk, Dek! Mas udah beliin mie kluntung kesukaanmu. Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil berdiri tepat di sebelah ranjang. Aku tidak menggubris ucapan lelaki itu, lebih memilih tetap memainkan ponsel yang berada di genggaman. Aku rasa, men-scroll aplikasi Toktok lebih seru daripada menanggapi ucapan Mas Hasan barusan. “Dek ….” Lagi, Mas Hasan memanggil dengan suara lirih. Bahkan, kali ini dirinya ikut duduk di tepi ranjang. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang sedari tadi aku genggam. “Kalau Mas lagi ngomong, dengerin.” “Ck! Udah, Mas makan aja sendiri. Tuh, udah ada Ibu yang nemenin, kan?” Sengaja diri ini memasang mu
*** Suara pujian mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara masjid. Aku yang baru sadar dari alam mimpi, spontan terkesiap saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Gegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu cepat melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi. “Ada apa ini? Ya Allah, Ibu!” pekikku setelah mendapati wanita paruh baya itu berjongkok, berusaha membereskan kekacauan tersebut. Seketika darahku mendidih lantaran melihat seisi dapur mirip kapal pecah. Sepanci soto ayam yang tadi siang aku masak dengan susah payah, kini sudah berjatuhan di lantai. Kuah, soun beserta daging ayamnya sudah berserakan di mana-mana. Kepala ini mendadak pusing menyaksikan hal tersebut. Ingin rasanya memarahi orang di hadapanku ini, bahkan menjotos wajah wanita paruh baya yang menyebalkan itu. ‘Jika dia bukan ibunya Mas Hasan, dapat kupastikan kedua pipinya akan babak belur terkena jotosanku!’ batinku.
Ujian rumah tangga setiap orang memang beda-beda. Dalam hal ini, ujian rumah tanggaku dengan Mas Hasan terletak di sisi ekonomi dan sifat serakahnya Ibu mertua. Sesaat aku memang hampir menyerah, tetapi baru ingat bahwa tidak ada mahligai yang sempurna. Terlebih, usia pernikahan kami baru seumur jagung.Poros kehidupan berumah tangga itu terletak pada kepala keluarga. Jika suami tidak mampu memberi nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, bisa dipastikan mahligai itu bisa runtuh kapan saja. Tinggal menunggu waktu ketika istri merasa tidak mampu lagi menghadapi semuanya.Beruntung sekali Mas Hasan masih mau terbuka perihal gaji. Jika tidak, mungkin aku akan kalah dengan rasa muak yang singgah sejak tahu bahwa dirinya berbohong.Iseng mengecek ponsel, ternyata ada chat Whatsapp masuk yang belum terbaca dari Mas Hasan. Aku segera membuka pesan tersebut.[Assalamualaikum, Dek. Maaf, ya, tadi Mas sengaja nggak bangun
*** “Sayur, Pak!” Aku melambai ke arah Pak Ji, tukang sayur langganan yang barusan lewat di depan rumah. Sengaja pagi ini tidak mendatangi tempat mangkal lelaki itu sebab mata ini masih tampak sembab. Malu jika nanti orang lain melihatnya. “Iya, Mbak.” Pak Ji membelokkan motor ke arah rumahku. Berhenti tepat di depan beranda rumah. “Kok, tumben tadi nggak ke sana, Mbak?” sambungnya. “Iya, saya lagi nggak enak badan soalnya, Pak.” Pak Ji hanya manggut-manggut. Lelaki itu tampak mencuri pandang beberapa kali seolah sedang mengamati kondisi mataku yang masih sembab. Akan tetapi, aku pura-pura tidak tahu agar tidak menimbulkan rentetan pertanyaan tak terduga dari lelaki itu. “Ada bumbu soto nggak, Pak?” “Bumbu halus atau instan?” “Bumbu halus aja, Pak. Sama tambah ayamnya sekalian, deh. Satu kilo aja.” “Oke, sebentar.” Lelaki itu dengan cekatan mencari bumbu halus sasetan untuk soto di antara kumpulan bumbu yang ada di kantong kresek. Setelahnya, ia menyodorkan satu saset bumbu