"Raka memang tidak akan bisa menikahi Chia. Tetapi pernikahan ini akan tetap bisa berjalan. Pesta ini harus tetap berlangsung. Pernikahan ini harus tetap terlaksana. Putra sulung kami yang akan menggantikannya. Fahad lah yang akan menikahi Chia menggantikan Raka." *************** Hari pernikahan sudah di depan mata, tapi calon suamiku malah ketahuan menghamili sahabatku sendiri. Akhirnya pengantin pria pun digantikan. Aku dinikahi oleh kakaknya. Laki-laki yang seharusnya menjadi Abang iparku. Takdir macam apa ini?
View More"Raka! Rakana! Keluar kamu! Jangan sembunyi, atau kubakar pelaminan di depan sana!"
Suara wanita yang amat kukenali terdengar menggema. Aku yang baru saja selesai dirias oleh make up artist terkejut bukan main. Brakkk! Aku makin terkesiap, kala pintu ruangan make up di gedung tempat pernikahanku akan berlangsung hari ini, didobrak amat kencang. "Faula?" gumamku pada sosok perempuan yang berhasil menggebrak pintu tadi. Dia adalah sahabatku sejak sekolah SMA. Dulu rumahnya tepat di depan rumahku, tapi sejak satu tahun lalu dia tinggal di luar kota karena mendapatkan pekerjaan di sana. Meski begitu, kami masih sering bertukar kabar melalui ponsel. "Kamu pulang juga akhirnya," ucapku merasa senang sekaligus tak percaya. Dua minggu sebelumnya, Faula mengabarkan tidak bisa datang untuk menjadi Bridesmaids di pernikahanku karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. "Kamu tidak bisa menikah dengan Raka!" ucapnya dengan tangan yang bersilang di depan dada. Matanya seolah memindai penampilanku dari atas hingga ke bawah. "A—apa maksudnya?" Aku bertanya tidak mengerti. Dia bahkan tahu hubunganku selama tujuh tahun ini bersama Raka. Dia yang selalu menjadi tempatku bercerita saat hubunganku dan Raka bermasalah. Dia tahu betapa aku mencintai laki-laki hitam manis itu. Kenapa tiba-tiba dia datang dan mengatakan demikian? "Karena ... aku hamil anaknya Raka!" Hah? Mataku melotot sempurna mendengarnya. Menatap Faula penuh selidik dan ia mengangguk tanpa ragu. "Iya. Aku hamil anak dari Raka. Sudah tiga bulan. Dia harus menikahiku, bukan kamu, Chia!" "Jangan bercanda kamu, Fau!" hardikku keras. Jari telunjukku berada tepat di depan wajah perempuan tinggi semampai dengan dress merah marun tanpa lengan ini. Faula menepis jariku kasar, lantas ia merogoh ke dalam tas hitam yang dipakainya. Mengeluarkan hampir lima testpack bergaris dua, amplop berlogo rumah sakit swasta, lalu terakhir fotonya bersama calon suamiku. Foto mereka berdua ... di atas ranjang. Melihat itu, jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya. "Ini buktinya! Aku positif hamil. Surat hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Dan ini, fotoku bersama Raka di kamar hotel. Masih kurang? Apa harus aku perdengarkan voice note mesra kami juga?!" cecar Faula berhasil membuat persendianku melemas. Aku tak kuasa lagi berdiri. Badanku sudah oleng, seseorang terasa menyangga dari belakang sampai tubuhku didudukkan. Tak terkira hancurnya hatiku mendapati kenyataan ini. Bagaimana mungkin? Aku sendiri masih sulit mempercayainya. Sejak kapan mereka berkhianat di belakangku? Sialan sekali. "Sekarang mana Rakana? Pernikahan kalian tidak boleh terjadi, Raka harus menikahiku. Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanku!" lontar Faula tajam. Aku menggeleng menahan nyeri di hati yang teriris. Air mataku sudah ingin jebol dari tempatnya. "Di mana Raka?!" Faula bertanya membentak. "Rombongan calon pengantin pria belum datang!" Perias pengantin di sebelahku yang akhirnya menjawab. Perempuan cantik yang usianya sebaya denganku itu pun berlalu. Dia melangkah menuju pintu dan akhirnya keluar dari ruangan ini. Aku masih memikirkan apa yang terjadi saat ini. Hari pernikahanku bersama Rakana, hari yang aku impikan dan kurancang sedemikian rupa. Haruskah berakhir seperti ini? Bukti-bukti yang Faula beberkan masih teronggok di atas meja rias ruangan ini. Foto tak senonoh yang memuat kebersamaan mereka, berhasil membuat hati ini berdarah-darah dan patah sempurna. Akh ... Bagaimana bisa ...? Aku masih terus bertanya-tanya. Faula tidak sedang mengada-ada. Dia sedang memberikan bukti bahwa ia dan Rakana memang memiliki hubungan istimewa selama ini. Air mataku sudah lolos. Banjir membasahi pipi. Aku hanya bisa tergugu dengan gaun pengantin yang membalut indah di tubuh ini. "Chia, apa yang sebenarnya terjadi?" Suara Mama terdengar. Aku menengadah dengan wajah basah. Mama dan Papa memasuki ruangan. Mereka mendekat ke arahku dan Mama mendekapku. Saat itu juga, tangis ini tumpah ruah. Wajahku tenggelam di perut Mama. "Apa benar yang Faula katakan?" tanya Mama dan aku hanya bisa mengangguk lemah sambil terus terisak. "Rakana dan keluarganya baru saja datang, tapi Faula tiba-tiba berteriak. Mengancam akan membakar pelaminan jika Rakana tetap melanjutkan pernikahannya dengan kamu. Dia bahkan memegang pisau yang diarahkan tepat di depan perutnya. Dia juga mengancam akan menusuk perutnya yang sedang mengandung anak Raka," jelas Mama membuat hatiku semakin nyeri. "Benar begitu?" Aku masih tersedu. Tanganku lalu menunjuk pada meja rias di samping. Entah bagaimana reaksi Papa dan Mama setelahnya. "Kurang ajar Rakana!" geram Papa yang sepertinya sudah melihat bukti di meja rias itu. Terdengar derap langkah sedangkan Mama terasa mengusap punggung ini dengan lembut. ***** Aku sudah di aula. Meja yang seharusnya menjadi saksi ikrar suci ijab qobul, kini diisi oleh Rakana seorang diri. Lelaki dengan tuxedo hitam itu menunduk. Namun aku bisa melihat wajahnya babak belur dan sudut bibirnya berdarah. Sementara Faula berdiri di sampingnya tanpa rasa berdosa. Sepertinya, Raka kena hajar Papa. Aku berdiri diapit oleh Mama dan Mba Lin, kakakku. Riuh orang-orang yang sudah hadir terdengar memenuhi aula. "Memalukan sekali ini, Hans! Sia-sia aku menyiapkan pesta hari ini. Tapi seperti ini balasan kamu dan putramu?" hardik Papa kepada Om Hans, Ayah dari Rakana. "Iya. Jauh-jauh hari kami menyiapkan untuk hari ini. Semua yang terbaik kami berikan untuk perayaan pernikahan Chia dan Raka. Tapi apa? Putra kalian ternyata berselingkuh dengan Faula. Bagaimana sekarang? Semua keluarga dan kerabat sudah kami undang. Bayangkan, bagaimana kami hanya akan menjadi bahan cemoohan dan ledekan karena pernikahan dan pesta resepsi ini harus batal gara-gara perbuatan menjijikkan Raka!" Mama berteriak di depan kedua calon besannya. "Kami benar-benar minta maaf atas kejadian hari ini, Ruslan, Zaida. Mohon maaf sekali. Kami sebagai orang tua dari Raka, turut syok akan kejadian ini. Sungguh," ucap Tante Tari dengan kedua telapak tangan yang bertangkup. "Benar. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas hari ini. Semua di luar kuasa kami. Kami juga baru mengetahui kenyataan ini sekarang. Seandainya semua terungkap sebelum hari ini, saya selaku ayah Raka, tentu akan membicarakan semuanya lebih dulu. Tidak akan hal ini terjadi," tutur Om Hans lesu. "Aku gak peduli, Hans! Aku hanya peduli pada putri bungsuku. Dia dan anakmu sudah berpacaran sejak lama. Hampir tujuh tahun, bukan? Tapi, apa yang Chia dapatkan sekarang? Pernikahan impiannya harus batal dan kandas. Karena aku tidak mungkin menikahkannya dengan Raka. Jelas-jelas dia sudah menghamili perempuan lain!" tukas Papa kembali. "Tenang, Ruslan. Tenang. Kita bisa bicarakan dan berunding baik-baik," jawab Om Hans. "Berunding baik-baik gundulmu! Sudah tidak ada yang bisa dirundingkan lagi. Pernikahan ini batal! Batal!" ujar Papa penuh kemurkaan. Mendengar Papa berucap dengan tegas membatalkan pernikahanku dan Raka membuat hati ini kian berdenyut-denyut saja. "Pergi dari sini. Bawa anak lelakimu yang kurang ajar dan brengsek itu pulang. Pergi dari hadapanku!" Papa mengusir dengan terang-terangan. "Tolonglah tenang dulu, Pak Rus. Kita pasti akan menemukan solusi atas masalah ini," pinta Bu Tari. "Solusi apa? Sudah, bubar saja sana! Pergi kalian semua dari sini. Pergi! Memalukan!" tukas Papa dengan kerasnya. Pastilah Papa merasakan malu yang teramat sangat. Calon menantu yang dibanggakannya, ternyata tak lebih dari seorang pengkhianat. "Tunggu, Ruslan. Tolong dengarkan dulu kami." Om Hans terus memohon. "Apalagi yang harus didengarkan Pak Hans?" Mama menimpali kali ini. "Raka memang tidak akan bisa menikahi Chia. Tetapi pernikahan ini akan tetap bisa berjalan. Pesta ini harus tetap berlangsung. Pernikahan ini harus tetap terlaksana. Putra sulung kami yang akan menggantikannya. Fahad lah yang akan menikahi Chia menggantikan Raka," jelas Om Hans membuatku melongo dengan mata melebar sempurna. "Fahad yang akan menjadi mempelai pengganti" What? Bang Fahad yang akan menjadi mempelai lelakinya? Aku menikah dengannya? Hampir tujuh tahun aku berpacaran dengan Rakana. Bolak-balik aku ke rumah orang tua Rakana selama itu dan baru sekali aku mendengar suara dari laki-laki tersebut. Usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Dia juga duda selama sepuluh tahun lamanya. Yang benar saja aku harus menikah dengan dia? *Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments