"APA? Dinikahi Bang Fahad? Enggak! Gak bisa! Chiara ini calon istriku. Aku gak setuju Bang Fahad menggantikan posisiku hari ini!"
PLAKKK! Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Rakana dari sang Papa. "Tutup mulutmu! Siapa yang minta pendapatmu? Belum puas mencoreng nama baik keluarga dengan kelakukan menjijikkanmu itu, hah? Lebih kamu diam! Karena tidak ada yang meminta pendapat kamu di sini!" teriak Om Hans di depan wajah putra bungsunya itu. "Pokoknya aku tetap gak setuju! Chiara calon istriku, Bang Fahad tidak boleh menikahinya!" "Diam kamu! Sudah benar seharusnya kamu memang diam! Kamu harusnya bertanggungjawab atas kehamilanku ini, Raka!" Faula bersuara dengan lantang. Terdengar Rakana mendecih. "Dengar, Fau. Kamu jangan merusak hari bahagiaku dengan Chia. Aku tahu kamu memang terobsesi padaku selama ini. Kamu coba menikung Chia dari belakang untuk mendapatkanku. Tapi aku tidak mungkin sampai membuat kamu hamil! Bayi yang ada dalam perut kamu itu bukan anakku!" bantah Rakana. Plak! "Kurang ajar kamu Raka! Mulutmu bisa berkelit, tapi aku punya bukti kalau aku memang mengandung anakmu!" Faula berucap dengan menggebu setelah menampar Rakana. Dia mengambil ponselnya dan mengutak-atik gawai di tangannya itu. "Lihat ini! Foto kita di kamar hotel. Berapa kali selama satu tahun belakang ini kamu mengajakku check in, hah? Berapa kali? Tidak terhitung!" Faula memperlihatkan layar ponselnya pada semua orang yang sedang melingkari meja. Foto-foto dalam galeri ponselnya yang memuat kemesraan mereka di atas tempat tidur. Dan itu memang Faula bersama Raka. "Kamu mau mengelak? Kamu mau mengatakan ini bukan kamu? Kamu ingin mengatakan kalau yang bersamaku dalam foto ini adalah setan? Begitu? Kamu lupa? Kamu yang selalu datang padaku. Bermanja dan meminta ini itu. Karena apa? Karena Chia tidak bisa memberikannya. Karena Chia terlalu kaku dan kuno selama kalian berpacaran. Karena kamu tidak bisa menyentuh Chia seliar kamu menyentuhku!" Faula berujar dengan berapi-api. Hingga dapat kudengar bisik-bisik cemoohan dari orang-orang yang sudah mengisi kursi tamu. Satu kenyataan terungkap. Raka berselingkuh dan mengkhianatiku hanya karena aku tidak pernah mau disentuhnya? Apa yang salah? Apa yang keliru jika aku tidak mau disentuh lebih dari sekedar berpegangan tangan dan mencium kening? Raka pun bungkam. "Batalkan pernikahanmu dengan Chia. Kamu harus menikahiku! Atau ...." Faula mengacungkan pisau dengan ujung mata berkilau. "Aku akan mati di sini bersama bayiku. Dan akan aku hantui kalian semua sampai kalian juga mati!" ancamnya sambil mengarahkan mata pisau itu dan bergerak memutar. Tentu hal itu membuat kami semua mundur dan kaget. "Cukup, Raka! Cukup! Berhenti mengelak dan segera bertanggungjawab atas perbuatan gilamu ini! Jangan membuat kami lebih malu!" teriak Tante Tari yang terlihat melemah. Tubuhnya lunglai dan berhasil didudukkan. Tante Tari pun mulai terisak. "Hentikan keributan ini. Nikahkan dulu manusia tidak bermoral itu dengan perempuannya. Setelah itu, aku yang akan menikahi Chia!" Suara Bang Fahad terdengar tajam. Nampak Om Hans bernegosiasi dengan Papa dan Mama. Sedangkan aku sendiri masih kesulitan mencerna apa yang sedang terjadi detik ini. "Tidak ada pilihan lain, Chi. Raka harus bertanggungjawab pada Faula. Dan kamu, akan menikah dengan Fahad. Sekarang, biarkan penghulu menikahkan dulu Raka dan Faula. Baru setelah itu, Fahad yang akan mengucap ijab qobul. Kita duduk dulu, biarkan Om Hans menyelesaikan masalah yang ditimbulkan bungsunya yang brengsek itu." Papa berbicara dengan tegas. Kemudian menuntunku agar duduk lebih dulu di kursi yang berjarak satu meter dari meja ijab qobul. Mama, Mbak Lin dan Papa mengelilingiku. Memberikanku kekuatan meski mereka pun sama terlukanya sepertiku. Seandainya hal ini terungkap sebelum hari ini, mungkin pesta ini tidak akan pernah berlangsung. Aku akan membatalkan hari ini sebelumnya. Tapi ... semua benar-benar mengejutkan. Raka dan Faula mencurangiku. Dua orang yang begitu aku percayai, ternyata tidak lebih dari pengkhianat. Demi apapun, aku tidak pernah menyangka mereka bisa berlaku menjijikan seperti itu di belakangku. Akh, atau ... aku yang terlalu polos selama ini? Aku yang terlalu naif sampai tidak sedikit pun mencurigai mereka? Entahlah. Yang jelas aku merasa begitu hancur hari ini. Pernikahan yang aku rancang, pernikahan yang aku impikan, justru kacau balau. Lelaki yang seharusnya menjadi pasanganku, lelaki yang selama tujuh tahun menjalin kasih denganku, justru harus menikah dan menjadi suami dari sahabatku sendiri. Ah, tidak, tidak. Sudah tidak pantas aku menyebutnya sahabat. Kepalaku begitu pening. Rasanya berat sekali. Pandangan juga tiba-tiba buram. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Sampai rasanya limbung dan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. ******** "Sudah sadar, Chi?" tanya Mba Lin yang tampak berjongkok di sebelahku. Aku mengerjapkan mata berulang. Entah apa yang sudah aku alami, tapi saat ini aku mencoba untuk tersadar dan setelah aku sadari, aku berhasil mengingatnya. Pernikahanku .... Aku bangkit dan Mba Lin dengan sigap mendekapku, sehingga tangisku tumpah ruah sejadi-jadinya. "Mba ... Rakana jahat, Mba. Aku gagal menikah, Mba. Aku malu ...." Aku terisak di pelukan kakak perempuanku satu-satunya. Tangan lembut Mba Lin terasa mengusap punggung ini. Seolah memberi kekuatan dan menyalurkan energi ketegaran. "Mba tahu ini pasti menyakitkan kamu, Chi. Tapi Papa dan Mama, Om Hans dan Tante Tari sudah sepakat untuk tetap melanjutkan acara ini. Sebentar lagi para tamu akan datang. Kolega dan kerabat jauh Papa Mama juga akan datang. Kamu akan tetap menikah, Chi," ujar Mba Lin membuatku refleks memundurkan badan. Melepaskan dekapan yang semula begitu erat. "Menikah dengan siapa, Mba? Sudah jelas sekali Rakana itu selingkuh. Aku gak mungkin meneruskan pernikahan dengan dia," jawabku lemah. "Memang bukan dengan Rakana, Chi. Tapi ... dengan Fahad!" tegas Mba Lin membuat kedua netraku membola sempurna. ******************* "SAH!!!" Aku hanya bisa memejamkan mata. Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya Rakana resmi menikahi Faula. Bahkan mahar yang sudah Rakana siapkan pun, menjadi maharnya menikah dengan Faula. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? Aku tidak punya pilihan lain. Menikah dengan Rakana sudah tidak mungkin. Membatalkan pesta pun juga bukan jalan keluar. Satu-satunya pilihan hanyalah menikah dengan Bang Fahad, lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparku. "Papa minta, kamu tidak perlu ada di aula. Pergi saja ke mana kamu mau. Biarkan pernikahan Fahad dan Chia berlangsung sekarang!" tegas Om Hans pada anak lelakinya itu. "Tapi, Pah. Aku juga berhak ada di sini—" "Jangan banyak bicara. Masih punya muka kamu ada di aula ini setelah kamu lemparkan kotoran pada kami? Urus saja perempuan yang sudah kamu tiduri itu." Terdengar Bang Fahad menghardik sang adik. Terlihat Raka meremas rambutnya. Rahangnya pun mengeras lalu bergegas pergi menjauh dari meja ijab qobul. Disusul Faula yang membawa kotak mahar berisi satu set perhiasan emas 24 karat juga uang tunai yang mana nominalnya sama dengan hari pernikahan ini. Hingga meja tampak kosong dan tak berselang lama, tim WO mengisi kembali meja tersebut dengan benda yang entah apa. Mama dan Mba Lin lantas menuntunku menuju meja akad. Aku didudukkan bersebalahan dengan Bang Fahad. Lelaki yang nyaris tidak aku kenali sekalipun ia adalah kakak kandung dari Rakana. Sampai mataku tertuju pada kotak mika di hadapanku dan entah apa isinya, Tanpa bertanya apa-apa lagi padaku, Papa langsung berjabatan tangan dengan lelaki di sebelahku ini. Diarahkan penghulu, Papa memulai proses ijab. "Saya terima nikah dan kawinnya Chiara Nesyana binti Ruslan Munandar dengan mas kawin logam mulia seberat lima puluh gram tunai!" Aku melongo mendengar mahar yang aku dapat. Cukup fantastis dan mahar itu diberikan tanpa perundingan denganku dulu. Masih dilanda rasa tidak percaya dan terkejut, terdengar doa yang mulai dibacakan. Sampai selesai dan aku diminta bersalaman dengan Bang Fahad. Ijab qobul selesai, acara dilanjutkan pada sungkeman. Sesi yang harusnya penuh haru biru ini, sama sekali tidak kurasakan. Hatiku seperti kosong. Air mata seperti enggan untuk keluar. Tidak ada perasaan haru dan bersedih karena aku sudah menjadi istri orang. Selanjutnya acara resepsi. Aku mengisi pelaminan bersama lelaki asing di sebelahku. Sementara Rakana, tidak kulihat batang hidungnya berkeliaran di aula ini. Pesta ini benar-benar tetap berjalan. Tamu berdatangan silih berganti. Teman-teman kantor tempatku bekerja seakan syok karena mempelai pria di sampingku bukanlah Rakana. Kolega Papa, kerabat jauh dari kedua orang tuaku pun turut hadir dan memberikan ucapan selamat. Pesta memang berjalan dengan semestinya. Tidak ada yang batal dari tiap rangkaian acaranya. Gaun-gaun pengantin pilihanku bergantian dipasang di tubuh ini. Fotografer profesional berulangkali memotretku bersama sang pengantin pria. Tapi nahas, hatiku tidak bahagia. .Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai.Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam.Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh.Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya.Apalagi di luar sedang diguyur huja
"Si—siapa takut?!"Dia jual, aku borong lah!Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku.Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli.Sialan.Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga?Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding?Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku.Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang.Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang y
"Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany
"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
"Kenapa kamu diam? Tidak mau? Tidak berani 'kan membuktikannya? Kamu takut kalau apa yang saya katakan adalah kebenaran? Artinya, kamu memang sudah tidak pe ra wan!" tegasnya menekan kata yang terakhir karena aku tidak menjawab tantangannya. Jika semula aku marah dan kesal, kali ini aku bertekad akan melawan ucapannya yang hanya tuduhan. "Anda ingin dilayani malam ini?" tanyaku tak gentar seraya menatap sepasang matanya. Bang Fahad mengangguk. "Huum." "Di mana otak Anda? Setelah menghina-hina, merendahkan dan menyudutkan, sekarang Anda meminta untuk dilayani? Ck," aku mendecak. "Jangan harap!" Kurasakan kedua tangan Bang Fahad di sisi tubuhku itu berubah mengepal. Bodo amat kalau dia kesal dengan ucapanku barusan. "Sudah saya duga. Kamu memang sudah tidak perawan! Benar-benar merugikan. Pesta mewah, uang untuk mahar, dan terikat dalam pernikahan, tapi hanya dapat bekas orang. Benar-benar nasib buruk!" cibirnya dengan wajah meledek. Aku tersenyum miring. "Terserah! Terserah
Jari telunjukku masih berada di dalam mulut Bang Fahad, sampai pelan-pelan dikeluarkan dan cairan merah yang mengucur memang telah berkurang.Bang Fahad berlalu dan aku lagi-lagi mengibaskan jariku yang terasa perih sekarang.Bruk!Tak lama Bang Fahad datang, menghempas kotak P3K di atas kitchen set dan kembali mengambil tanganku."Nasib ... nasib kawin sama bocah ingusan!" gerutu Bang Fahad sambil berlalu membawa kotak P3K usai mengobati jariku. Kini, telunjuk tangan kiriku sudah dibalut kassa tipis.Entah obat apa saja yang tadi Bang Fahad gunakan, tapi memang mampu meredakan rasa perih yang biasanya terasa karena luka sayatan."Buruan dibikin sarapannya! Kalau cuma bengong, bisa pingsan saya!" Bang Fahad bicara sambil menyusulku di ruang dapur ini.Aku hanya mengangguk. Melanjutkan apa yang harus kukerjakan sesuai instruksi. Sampai wajan penggorengan sudah diisi nasi putih dan telur orak-arik. Bang Fahad menambahkan bumbu yang dia mau.Setelah selesai, aku coba mengaduknya. Tapi se
Sepersekian detik aku membeku. Memandangi sepasang manik hitam pekat milik Bang Fahad. Sampai akhirnya aku sadar lalu cepat-cepat menarik diri."Ngapain sih, Bang? Modus banget pake nyenggol kakiku!" sungutku kesal.Bang Fahad yang juga sudah menyusul bangkit dan berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring sambil merapikan dasinya. "Lemah! Sekarang kamu siap-siap. Ikut saya meeting!" tegasnya yang terdengar di luar nalarku."Hah? Ikut meeting? Enggak ah. Ngapain? Aku di sini aja!" tolakku mentah-mentah."Di sini masih ada Rakana dan istrinya yang menumpang. Kamu mau jadi satpam buat mereka?" sindirnya yang sudah selesai merapikan dasi.Aku bergeming. Benar juga katanya, Rakana dan Faula masih berada di rumah ini. Kalau Rakana tahu Bang Fahad pergi dan aku sendirian, bukan tidak mungkin dia akan menggangguku seperti saat dia membawaku ke kamar mandi."Cepat. Saya gak suka orang lelet!" tukas Bang Fahad seraya berjalan keluar dari kamar dengan menjinjing sepatunya. Pintu tertutup dan ak
(10) Rasa Sakit yang Nyata Aku tidur lebih awal. Sepulang meeting siang tadi, Bang Fahad benar-benar memberiku tugas untuk berbelanja. Dia memintaku memenuhi catatan yang sudah dibuatnya. Hingga badanku rasanya pegal karena harus berkeliling swalayan besar. Karena itu menjadi hal pertama bagiku, tentu saja aku lambat melakukannya. Sehingga berbelanja baru selesai saat sore tadi. Gilanya lagi, Bang Fahad juga memintaku membereskan barang belanja yang begitu banyak itu setelah tiba di rumah. Yang benar saja? Aku rasa memang sudah tidak waras laki-laki tua itu. Aku tidak menggubrisnya. Aku memilih bersantai dengan menikmati sore hari tadi di pinggir kolam renang. Entah bagaimana nasib belanjaan itu sekarang. Di tengah-tengah lelapnya tidur, tenggorokan terasa seret. Aku harus minum hingga tidurku pun terbangun. Aku masih lupa menyediakan gelas minum, karena itu semuanya biasanya disiapkan pembantu saat masih tinggal di rumah Mama dan Papa. Meski malas, aku tetap bangun. Mataku rasa
Aku menggigit bibir, menahan kepanikan yang menggelegak dalam dada. Tanganku terus menekan sisi perut Bang Fahad, berusaha mengurangi pendarahan."Pa, cepat! Kita harus segera sampai!"Mobil melaju kencang membelah jalanan sepi dini hari. Mama menangis tertahan di sampingku, menggenggam tangan Bang Fahad yang kini dingin."Fahad, bertahanlah. Tolong bertahan!" isak Mama, seolah ketakutan akan kehilangan seseorang lagi setelah Mas Althaf pergi untuk selamanya.Aku menatap wajah Bang Fahad yang semakin pucat. Perasaan aneh berkecamuk dalam dadaku. Harusnya aku tidak peduli. Harusnya aku membiarkan dia mati karena kehabisan darah.Tapi saat ini, melihatnya dalam keadaan seperti ini, jujur saja aku merasa sesak. Aku kasihan padanya. Tidak tega. Apa kebencianku hanya setengah hati? Apa aku tidak benar-benar membencinya?Mobil akhirnya berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Papa tampak buru-buru keluar untuk meminta bantuan. Dalam hitungan detik, beberapa petugas medis datang me
"Apa, Chi? Tinggal di luar negeri? Kenapa tiba-tiba kamu bicara begini?" tanya Mama dengan ekspresi terkejut."Iya, Chi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba sekali kamu ingin tinggal di luar negeri. Ada apa?" Papa menimpali dengan reaksi tak kalah terkejutnya.Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya sekaligus. Kedua tangan terangkat meraup wajah, meremas kepala kemudian barulah menatap Mama dan Papa lagi."Mama dan Papa sudah tahu, kalau Bang Fahad ada di kota ini juga. Dia ... masih terus menemuiku, Ma, Pa. Dia masih terus saja muncul di hadapanku. Dia bersikap seolah-olah ingin menebus kesalahannya di masa lalu terhadap kita. Dan tentu saja aku marah terus-terusan bertemu dia. Mama dan Papa tahu, bagaimana aku membenci dia setengah mati. Makanya, aku ingin tinggal di luar negeri. Di tempat yang jauh dan gak akan pernah bertemu lagi dengan dia," jelasku akhirnya."Kita lebih dulu tinggal di kota ini, Chi. Kalaupun harus ada yang pergi, itu bukan kamu atau kita. Tapi, ya dia.
Pagi ini udara terasa lebih segar dari biasanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja setelah semalam aku bisa sedikit melupakan kesedihan karena kematian Mas Althaf. Meski caranya tidak dibenarkan, tapi aku rasa itu tidak merugikan siapapun.Dengan pakaian olahraga dan earphone terpasang di telinga, aku siap keluar dari rumah untuk melakukan jogging pagi ini. Tapi belum sempat melewati pagar, Mama lebih dulu datang dan menahan kepergianku."Chi, sebentar," ucapnya dengan lembut.Aku melepas satu sisi earphone. "Ada apa, Ma?"Mama menatapku lama, seakan mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkan. "Kamu pulang larut tadi malam?"Aku menghembus napas kasar. "Iya, Ma. Maaf, aku keasyikan keliling mall terus nonton di bioskopnya, enggak sadar udah larut."Mama menghela napas. "Iya, Papa juga bilang kamu pulang kemalaman karena nonton bioskop, tapi mama rasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku melangkah cepat menuju mobil, telapak tanganku masih terasa panas setelah dua kali menampar wajah Bang Fahad. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari laki-laki itu, tak ingin mendengar suaranya, apalagi melihat wajahnya.Namun, baru saja meraih gagang pintu mobil, seseorang menarik pergelangan tanganku dari belakang. Seketika aku menoleh dan menemukan Bang Fahad yang melakukannya. Dia mencengkram pergelangan tanganku sambil menyudutkan pada badan mobil."Kamu berpikir saya merencanakan semua ini?" tanyanya dengan suara masih tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tidak terima.Aku mendengkus, menepis tangannya dengan kasar. "Pergi dari sini! Pergi dari hadapanku!"Bang Fahad menghela napas panjang. "Chi, kamu enggak tahu betapa khawatirnya saya ketika melihat kamu tadi. Kenapa kamu berpikir kalau saya mengenal orang-orang itu?"Aku tertawa sinis. "Khawatir? Jangan pura-pura peduli, Bang! Jangan berlaku seolah-olah Abang adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan aku malam ini. Aku tahu
Aku kembali meronta di dalam gendongan Bang Fahad, tapi dia tetap berjalan tegap hingga keluar dari area taman tanpa mengindahkan protesku. Napasku tersengal, dada terasa sesak karena emosi yang memuncak."Turunin aku, Bang! Aku bisa pulang sendiri!" seruku sambil mencari-cari pegangan berharap bisa bertumpu pada sesuatu dan menghentikan langkahnya.Bang Fahad hanya menghela napas, lalu sedikit mengeratkan lengannya agar aku tidak banyak bergerak. "Jangan banyak gerak, Chi. Nanti kaki kamu makin sakit.""Aku gak peduli! Aku lebih baik ngesot pulang daripada harus digendong Abang!" Aku menggertakkan gigi, tapi laki-laki itu tetap tak menggubrisku.Dia terus berjalan menyusuri trotoar jalanan kian menjauh dari taman. Sementara aku terus meronta meski tenagaku tak seberapa besar dan kalah telak dengan tenaga Bang Fahad."Turunin aku, Bang! Apa Abang udah gak bisa denger?!" teriakku kembali. Namun Bang Fahad tidak jug
Namun sepertinya Bang Fahad terus saja mengikuti, hingga ia berhasil menyamai langkahku lagi dan berlari tepat di lintasan di sebelahku. Akhirnya aku berhenti berlari lalu beralih menatapnya dengan pandangan penuh kebencian."Mau apalagi, sih? Gak ada tempat lain yang bisa Anda datangi selain taman ini?!" tegasku dengan memasang wajah muak yang semoga bisa ia pahami.Terdengar laki-laki itu berdehem seraya memutar tubuh hingga tak lagi berhadapan denganku. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh ke sini, termasuk saya.""Memang, tapi aku muak bertemu Abang lagi, Abang lagi. Ngapain sih, ngikutin aku terus? Mau apa? Kita sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Apalagi yang membuat Abang selalu muncul di hadapanku?" cecarku kemudian.Tampak laki-laki itu menggeleng dengan pandangan yang masih lurus ke depan, sebelum detik berikutnya berubah hingga menghadapku. "Saya mau memastikan kamu baik-baik saja, Chi."Aku mendecih kesal. "Abang buta? Abang gak lihat? Aku sekarang di hadapan Abang seh
"Aakhhh!" Aku memukul setir kemudi berulang, meluapkan kekesalan yang memenuhi hati. Entah bagaimana, Bang Fahad bisa datang dan mengacaukan niatku.Aku tahu apa yang akan kulakukan memang tidak dibenarkan, tapi sekali lagi aku tekankan, aku hanya sedang membutuhkan pelarian agar tidak tertekan atas kematian Mas Althaf. Mungkin saja, satu atau dua gelas minuman di klub malam tadi bisa menenangkan pikiranku. Tapi sialnya, Bang Fahad datang dan berlagak seperti orang suci."Memuakkan. Kenapa dia masih di kota ini? Dia juga tahu kematian Mas Althaf. Apa dia benar mengawasiku? Kalau iya, buat apa? Buat apalagi dia datang dalam kehidupanku? Aarghhh! Menyebalkan!" Aku merutuk sambil mengemudi, teringat pertemuan di klub malam tadi dengan Bang Fahad.Laki-laki yang kubenci setengah mati, sekarang justru hadir kembali dalam kehidupanku. Aku benar-benar muak.Setelah tiga tahun sebelumnya dia menghempasku seperti seonggok sampah, sekara
"Chi ... kamu mau minum? Sadar, Chiara. Itu gak baik. Minuman yang ada di sini itu beralkohol dan kamu pasti tahu kalau itu haram."Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan muak. Amarah seketika memenuhi dada melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul dan menghalangi apa yang hendak aku lakukan."Apa peduli kamu? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan rahang mengeras. Aku memang sudah memaafkan Bang Fahad atas kesalahannya, tapi bukan berarti aku bisa menerima kehadirannya kembali."Tentu saya peduli, Chi. Saya sangat peduli. Saya tahu kamu sedih atas kematian dokter Althaf, tapi tidak seperti ini caranya, Chi," ucapnya membuat telingaku rasanya panas.Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. "Pergi," pintaku dengan jari telunjuk mengarah ke pintu masuk.Bang Fahad tampak menggeleng. "Saya tahu kamu sedang bersedih, Chi. Saya tahu keadaan kamu sekarang tidak baik-baik saja, tapi tidak seperti ini kamu mencari pelarian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, ada saya." Dia
POV CHIARA #Waktu tujuh hari berjalan dengan begitu lambat. Di mana setiap malamnya aku harus menghadapi kenyataan dengan adanya acara tahlilan di rumahku. Rumah yang selama satu tahun ini aku tempati bersama Mas Althaf.Tempat yang setiap sudutnya menguarkan aroma tubuh dari laki-laki itu, membuat dadaku sesak dan rasanya aku ingin menyusulnya saja.Aku tidak sanggup lebih lama menempati rumah itu seorang diri, karena setiap jengkalnya membangkitkan kenangan bersama Mas Althaf.Laki-laki yang menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang telah membawa pelangi serta semangat dalam hidupku yang semula gelap dan hancur usai kematian bayi yang sedang aku kandung karena kecelakaan.Setelah aku memutuskan untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Fahad, setelah aku mengikhlaskan hubungan kami yang baru seumur jagung itu, aku masih baik-baik saja.Aku juga mampu menjaga kandunganku yang semula d