"Selamat datang di rumah."
Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya."Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selamAku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
"Raka! Rakana! Keluar kamu! Jangan sembunyi, atau kubakar pelaminan di depan sana!" Suara wanita yang amat kukenali terdengar menggema. Aku yang baru saja selesai dirias oleh make up artist terkejut bukan main. Brakkk! Aku makin terkesiap, kala pintu ruangan make up di gedung tempat pernikahanku akan berlangsung hari ini, didobrak amat kencang. "Faula?" gumamku pada sosok perempuan yang berhasil menggebrak pintu tadi. Dia adalah sahabatku sejak sekolah SMA. Dulu rumahnya tepat di depan rumahku, tapi sejak satu tahun lalu dia tinggal di luar kota karena mendapatkan pekerjaan di sana. Meski begitu, kami masih sering bertukar kabar melalui ponsel. "Kamu pulang juga akhirnya," ucapku merasa senang sekaligus tak percaya. Dua minggu sebelumnya, Faula mengabarkan tidak bisa datang untuk menjadi Bridesmaids di pernikahanku karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. "Kamu tidak bisa menikah dengan Raka!" ucapnya dengan tangan yang bersilang di depan dada. Matanya seolah memindai pena
"APA? Dinikahi Bang Fahad? Enggak! Gak bisa! Chiara ini calon istriku. Aku gak setuju Bang Fahad menggantikan posisiku hari ini!"PLAKKK!Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Rakana dari sang Papa. "Tutup mulutmu! Siapa yang minta pendapatmu? Belum puas mencoreng nama baik keluarga dengan kelakukan menjijikkanmu itu, hah? Lebih kamu diam! Karena tidak ada yang meminta pendapat kamu di sini!" teriak Om Hans di depan wajah putra bungsunya itu."Pokoknya aku tetap gak setuju! Chiara calon istriku, Bang Fahad tidak boleh menikahinya!""Diam kamu! Sudah benar seharusnya kamu memang diam! Kamu harusnya bertanggungjawab atas kehamilanku ini, Raka!" Faula bersuara dengan lantang.Terdengar Rakana mendecih. "Dengar, Fau. Kamu jangan merusak hari bahagiaku dengan Chia. Aku tahu kamu memang terobsesi padaku selama ini. Kamu coba menikung Chia dari belakang untuk mendapatkanku. Tapi aku tidak mungkin sampai membuat kamu hamil! Bayi yang ada dalam perut kamu itu bukan anakku!" bantah Rakana.
Aku termenung. Kepala menunduk menatap sandal selop bulu yang membungkus kaki. Duduk sendirian di ujung tempat tidur entah sudah berapa lama.Pesta selesai pukul lima sore tadi, lepas itu keluarga lantas berunding, dan keputusan finalnya ialah Bang Fahad memboyongku ke rumah miliknya satu jam kemudian. Papa dan Mama tentu tidak bisa menolak atau menghalangi, karena sekarang aku sudah menjadi istri orang. Kewajiban keduanya sudah selesai.Setibanya di rumah Bang Fahad, ia langsung menunjukkan kamar utama yang akan menjadi kamar kami katanya. Kamar utama ini didominasi warna putih dengan barang-barang berwarna hitam.Hingga perlahan kepalaku mendongak, kemudian menoleh ke belakang dan menatap jam weker di atas nakas yang sudah menunjuk di angka tujuh.Aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Andai pernikahanku dan Rakana tidak batal, sudah tentu aku akan serumah dengannya. Melayaninya sebagai suami, seperti yang selalu aku bayangkan sebelum-sebelumnya.Apalagi di luar sedang diguyur huja
"Si—siapa takut?!"Dia jual, aku borong lah!Entah seperti apa nantinya, yang jelas aku bisa membuktikan dan mematahkan tuduhan liarnya itu terhadapku.Bang Fahad tersenyum asimetris seraya menatapku tajam. Perlahan wajahnya kian diturunkan, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Bang Fahad makin menunduk, aku mulai merasakan sentuhan pada daun telingaku. Pun terpaan napas hangat yang membuatku merasa geli.Sialan.Dia benar-benar ingin membuktikannya malam ini juga?Detik berikutnya kulit pipiku yang merasakan sentuhan. Ujung hidungnya seolah mengabsen tiap inchi pipiku ini. Astaga, kenapa rasanya merinding?Aku tidak bisa mencegahnya. Kedua tanganku ditahan. Hingga saat ini, kepala Bang Fahad semakin turun seperti menyusup di cerukan leherku.Lagi dan lagi, napasnya terasa hangat menyentuh kulitku. Dan itu, berhasil membuat bulu kudukku meremang.Sebenarnya aku tidak siap dan ... tidak rela andai mahkotaku harus diserahkan malam ini. Apalagi dilakukan dengan orang y
"Raka! Apa-apaan kamu? Minggir atau aku akan teriak!" ancamku seketika.Rakana menatapku sayu. "Teriak yang kencang, Chi. Semua ruangan di rumah Abang ini kedap suara. Teriak sampai urat lehermu putus, gak akan ada yang denger," jelasnya dengan suara terdengar lemah."Mau apa kamu?!" Aku bertanya ketus. Tidak mempedulikan jika ancamanku gagal karena aku pun baru tahu kalau ruangan-ruangan di rumah ini kedap suara.Rakana merangsek maju. Refleks aku mundur sampai punggungku membentur dinginnya dinding kamar mandi. Jujur aku takut Rakana berbuat macam-macam terhadapku."Aku gak mau apa-apa, Chi," ucapnya bersama wajah memelas. "Aku cuma mau tanya, kenapa kamu mau saat Bang Fahad menggantikan aku menikahi kamu? Kenapa, Chi? Pesta hari ini adalah pesta untuk kita. Pesta yang kita berdua siapkan dan rancang bersama-sama. Kenapa kamu membiarkan justru Bang Fahad yang menjadi suami kamu?" cecarnya tanpa rasa berdosa.Mataku membola. Memandangnya diikuti gelengan kepala."Masih bisa kamu tany
"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seinda
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap langit yang mulai meredup. Senja berganti malam dengan begitu cepat, seperti perasaanku yang tiba-tiba jadi berantakan.Sejak tadi, Bang Fahad sibuk berbicara dengan dokter dan perawat di luar ruangan. Aku bisa mendengar suaranya samar-samar, memastikan semua kebutuhan perawatanku akan terpenuhi. Sementara itu, Mama dan Papa baru saja meninggalkan kamar setelah memastikan aku baik-baik saja—setidaknya, secara fisik.Aku menghela napas, menatap kakiku yang masih terbungkus gips. Rasanya berat, lebih dari sekadar rasa nyeri yang menjalar. Aku tidak hanya kehilangan kebebasan bergerak, tapi juga harus menerima kenyataan bahwa mulai hari ini, aku akan sepenuhnya berada dalam pengawasan Bang Fahad.Apa ini hukuman buatku?Aku mengeratkan jemariku di atas selimut.Sebelumnya, aku ingin dia merasakan penderitaan yang sama seperti yang aku alami. Aku ingin dia tersiksa, ingin dia tahu rasanya dia
Samar-samar, aku bisa mendengar suara bising di sekeliling. Bau obat-obatan menyeruak mengganggu indera penciuman, bercampur dengan suara langkah kaki yang mondar-mandir. Kelopak mataku terasa berat, tapi akhirnya berhasil terbuka.Aku menatap langit-langit putih di atas kepala. Rasanya asing. Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari bahwa aku sedang berada di sebuah ruangan rumah sakit.Mataku mengerjap, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap. Perampokan. Tendangan. Rasa sakit yang menjalar di kaki. Aku menggigit bibir, dan saat itulah aku meringis, merasakan nyeri menusuk di bagian wajah."Chiara?"Aku menoleh, menemukan Bang Fahad duduk di samping ranjang. Wajahnya tampak tegang dan sorot mata penuh kecemasan."Kamu sudah sadar?" tanyanya terdengar begitu khawatir.Aku menelan ludah, lalu mengalihkan pandangan menghindari bertatapan dengannya. Aku bahkan tidak tahu ba
Sepanjang hari itu, aku memilih untuk tetap berada di dalam kamar meski tidak banyak yang bisa aku lakukan selain tidur dan bermain ponsel. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari keberadaan Bang Fahad. Tapi tetap saja, ada bagian dari pikiranku yang terus bertanya-tanya apa yang sedang dia lakukan.Sampai akhirnya, menjelang malam, aku keluar untuk mengambil air di dapur. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Bang Fahad duduk di ruang tengah, dengan segelas air di tangannya. Matanya tampak kosong, menatap lurus ke depan seakan pikirannya berada entah di mana.Aku tidak berniat menyapa, tapi ketika aku berbalik untuk kembali ke kamar, suaranya lantas terdengar."Kamu mau pergi ke mana besok?" tanyanya, membuatku mengerutkan kening.Aku lantas menoleh. "Maksudmu?"Bang Fahad menghela napas sebelum menoleh ke arahku. "Besok akhir pekan. Saya hanya ingin tahu apakah kamu punya rencana pergi ke luar?"Aku menatapnya curiga. "Kenapa? Mau ikut?"Dia menggeleng. "Tidak. Saya hanya ingin m
Aku bisa merasakan genggaman tangannya yang mengerat, seolah tidak ingin melepaskanku. Sorot matanya yang penuh harapan kini berganti rasa penasaran, terhantam oleh kata-kataku yang dingin."Chi, jangan begini. Saya tidak mau pisah ranjang. Kita baru saja memulai hubungan ini lagi, dan kamu——"Aku menarik tanganku yang ia cekal, lalu mengangkatnya hingga ia berhenti bicara."Aku sudah bilang, jangan memaksa. Dan ini menjadi kesepakatan kita!" ucapku tegas.Aku menatapnya tanpa ekspresi, membiarkan tatapannya menusuk hatiku, tapi aku menolak untuk menunjukkan kelemahanku. "Kamu yang sudah memilih jalan ini, Bang. Kamu yang meminta kesempatan ini, bukan? Aku hanya memastikan kamu menikmati akibatnya." Seringai tipis pun kutunjukkan untuknya.Bang Fahad tampa terdiam, membuatku akhirnya melangkah menuju pintu untuk ke luar. Namun, baru saja aku menyentuh kenop pintu, suara beratnya kembali menahan langkah ini
Hari-hari berlalu, aku masih belum bertemu lagi dengan Bang Fahad.Aku sengaja menghindarinya, belum siap untuk menghadapi perasaanku sendiri, apalagi melihatnya berusaha mendekatiku lagi. Tapi meskipun aku tidak menemuinya, keberadaannya tetap terasa.Ada bunga yang dikirimkan ke rumah, meskipun aku tidak pernah menyentuhnya. Ada pesan yang dikirim ke ponselku, meskipun aku tidak pernah membalasnya. Ada kehadiran yang selalu mengintai, meskipun aku berpura-pura tidak melihatnya.Dan yang paling membuatku gelisah adalah … aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini.Rasa rindu yang terkubur dalam-dalam, perlahan mulai muncul ke permukaan.Aku membencinya. Aku membenci diriku sendiri karena membiarkan perasaan ini tumbuh kembali.Tapi apa aku bisa membohongi hati sendiri?Aku pikir dengan menghindarinya, aku bisa mengubur segala perasaan yang mulai merayap diam-diam ke dalam hatiku. Tapi ken
Permintaannya berhasil membuat tubuhku membeku, seolah-olah waktu berhenti begitu saja. Aku terpaku di tempat, menatap Bang Fahad yang duduk di kursi roda dengan ekspresi tenang. Seakan-akan ia baru saja mengatakan hal yang sepele, padahal ucapannya barusan adalah sesuatu yang benar-benar di luar dugaan.Mama dan Papa pun terdiam. Aku bisa melihat bagaimana wajah Papa mengeras, sedangkan Mama terperangah, jelas tidak menyangka permintaan itu akan muncul detik ini yang dirasa begitu cepat.Bagaimana dengan aku?Aku bahkan tidak tahu harus merespons bagaimana."Kamu baru saja meminta maaf. Baru saja kita bicara tentang menyudahi semua ini. Baru saja kita, ah bukan kita, tapi hanya Papa dan Mama yang mau berdamai, seakan tidak terjadi apa-apa pada kita di masa lalu. Dan sekarang, kamu bilang ingin menikahiku lagi? Secepat ini?" cecarku dengan menunjukkan raut ketidaksukaan.Bang Fahad menatapku lekat-lekat. "Saya tidak ingin memendamnya lebih lama, bahkan mungkin terdengar tidak masuk a